The Story of Jerk

APOLOGY

Seunghyun’s POV

 

We used to be jerk.

 

Choi Realty Group Corp. adalah perusahaan yang menaungi beberapa aspek properti, mulai dari gedung convention, exhibition, dan real estate. Perkembangan perusahaan sendiri tak lepas dari beberapa unsur penting, salah satunya adalah media. Kami, Choi Realty Group Corp. menyepakati untuk melakukan kerja sama dengan Architech sebagai media partner tunggal perkembangan Choi Realty Group Corp.—

Perkawinan dua perusahaan itu ternyata tidak hanya sampai pada kesepakatan untuk bekerja sama. Ketertarikanku pada seni dan arsitektur masih sebatas penikmat dan pembuat semata, sementara beban yang akan kutanggung nanti mulai memaksaku sebagai pengembang, perubah, dan pemegang roda kendali. Semenjak perkawinan perusahaan itu, CRGC mengalami perkembangan yang cukup pesat. Architech mengulas, membuat perbandingan dan menyediakan ruang bagi siapapun yang ingin mengetahui lebih banyak mengenai CRGC melalui karyanya. Tak hanya itu, Architech juga mendapat bahan tetap sebagai pengisi rubric bulanan mereka di berbagai aspek. Siapapun yang melihatnya, ini adalah kerja sama yang sangat menguntungkan bagi kedua belah pihak.

Tidak untukku.

Setelah lulus kuliah, aku membantu ayah untuk menangani beberapa proyek real estate. SHVillage salah satunya, maha karya pertamaku sekaligus menjadi bukti bahwa aku adalah seorang arsitek yang patut diperhitungkan. Keinginanku untuk bekerja lebih banyak dengan CRGC ternyata hanya sampai disana. Dua bulan setelah menyelesaikan proyek pertamaku, ayah memberikanku sebuah tawaran yang menyulitkan.

“Aku akan memindahkanmu ke Architech. Kau akan memulai hari pertamamu bekerja sebagai editor sebuah rubrik. Ku dengar kau cukup sering membuat laporan mengenai karya seni semasa kuliah. Ku pikir, kau bisa mengembangkan diri disana selama beberapa waktu.”

“Tapi, kupikir—“

“Dengarkan aku, Seunghyun-ah. Untuk menjadi seorang pemimpin, kau harus mengenali lawan dan temanmu. Ingat itu.”

Sebulan kemudian, aku mengawali karir bersama Architech sebagai editor sebuah rubrik yang kini menjadi rubrik milikku sendiri. Setahun berkarir, mereka memberiku sebuah jabatan yang lebih tinggi sebagai penanggung jawab beberapa rubrik di divisi seni. Bisa dibilang karirku berjalan dengan mulus, aku masih membantu proyek kecil milik ayah, membuat review beberapa pameran dan menulis opini di rubrik pribadi. Aku menyukai pekerjaanku.

Beberapa bulan kemudian aku mengencani sekretaris dari rekan perusahaan properti ayahku. Kim Saerom—meski usianya lebih tua empat tahun dariku—adalah gadis yang sangat menyenangkan, dewasa dan senang akan joke murahan milikku. Kurasa hampir tak ada hari yang tidak menyenangkan bersamanya di sela-sela kesibukannya dan diriku. Namun, aku tidak pernah mengira kesibukannya akan menjadi batas yang lama kelamaan menjadi jurang di antara kami.

Ya, Saerom memutuskan untuk break setelah setahun bersama. Kesibukannya sebagai sekretaris menuntutnya untuk bekerja lebih dari seharusnya. Ia harus pergi ke beberapa tempat mengikuti pimpinan yang kebetulan sedang dalam masa mengembangkan perusahaan. Aku mengerti dan aku menerima. Cukup lama hingga Saerom kembali dalam dekapanku. Hanya saja, aku ingin kali ini kami memulai hubungan yang serius. Aku tidak ingin ada break untuk yang kedua kalinya. Maka, ku pikir sebuah perjanjian akan mengikatnya kali ini. Namun perkiraanku salah, Saerom menghilang lagi. Lebih lama dari yang kuduga. Tanpa meninggalkan pesan, ponselnya pun tidak aktif. Saat itu, kupikir lebih baik kusudahi saja hubungan yang tidak menyehatkan ini dan memfokuskan diri pada pekerjaanku.

Takdir berkata lain. Dengan caranya yang tidak pernah kupahami, dia mempertemukanku pada seorang gadis pembawa berita di salah stasiun televisi bisnis yang cukup terkenal, sekaligus anak pertama dari salah satu pemangku kekuasaan di Architech. Park Kyujoon.

“Kami sudah mengatur pertunanganmu dengan Park Yura.”

Apa kau gila? Irisan daging itu hampir saja menohok kerongkongan ku ketika ayah telah selesai menggelar acara makan malam dengan keluarga Park Kyujoon. Aku menatap wajah ayah sekali lagi, namun yang tercetak disana hanyalah kekuatan absolut yang tak dapat diganggu gugat. Aku menatap wajah ibu, hanya saja ia tidak mampu mengangkat wajahnya untuk membalas tatapanku. “Aku belum memutuskan hubungan dengan Saerom, bagaimana kau bisa mengatur dengan siapa aku harus berhubungan?”

“Aku sudah berbicara dengan Saerom dan menawarkannya untuk bekerja di perusahaan yang lebih besar. Dan dia menerimanya. Jadi, kau tak perlu mengkhawatirkannya.”

“Itu bukan point dari permasalahan ini. Pertama, karena aku bukan robot. Kedua, aku tidak mengenal siapa itu Yura. Dan ketiga, aku sedang tidak ingin berhubungan dengan siapa pun saat ini,” jelasku, menahan amarah yang hampir meluap.

“Kami sudah cukup mengenalnya dengan baik dan Yura juga teman semasa kuliah Hyeyoun. Kami yakin dia adalah orang yang pantas untukmu,” balas ayah dengan wajah dingin.

“Aku sangat menghargai ayah. Namun, maaf. Ayah bukan seseorang yang mampu mengatur dengan siapa aku menjalani hubungan.”

Aku menyudahi makan malam itu sekaligus pembicaraan kami. Hanya saja keputusan yang dibuat ayah adalah suatu hal yang mutlak. Keputusan sepihak itu berakhir dengan acara makan malam yang dirancang sedemikian rupa untukku dan Yura. Park Yura dengan senyumnya yang sangat khas, rambut pendek dan short dress yang sangat cocok dikenakannya malam itu. Penampilannya sedikit banyak membuatku terpukau.

“Aku tak tahu banyak tentang dirimu, jadi aku harap kau tak terlalu banyak berharap padaku. Dan aku sedang tidak ingin memulai hubungan lagi,” ucapku di kencan pertama. Bagaimana bisa aku bertunangan dengan wanita yang baru saja kutemui.

“Tidak masalah, kau berhak memilih. Masih banyak waktu untuk mengenal satu sama lain.”

“Benar, aku hanya tak ingin hubungan yang terburu-buru ini hanya menjadi pelarian.”

“Mustahil memulai hubungan dari kondisi minus. Namun jika kita dalam situasi yang sama sebagai pelarian, paling tidak kita berlari ke arah yang sama.”

Berlari ke arah yang sama.

Yang sebenarnya terjadi adalah kami memang bergerak ke arah yang sama, hanya saja dengan jalur yang berbeda. Jika ada dua jalan setapak yang mengarah ke sebuah rumah, maka salah satu jalannya berbatu dan yang satunya lagi berkarang. Kedua jalan tersebut selalu beriringan, namun tidak pernah bertemu di satu titik. Itulah kami. Tiga bulan pertama hubungan kami berjalan sangat lambat, sulit dan krisis kepercayaan. Hubungan yang dibangun dengan tidak sehat, selalu berjalan secara tidak sehat. Nyatanya kami sangatlah bertolak belakang, terutama dalam hal prinsip.

Yura mulai membatasi ruang gerakku. Dia benci aku menghisap nikotin, dia membenci aku menikmati wine, dia membenci aku bersama teman-temanku menghabiskan malam, dia membenci semua teman wanitaku bahkan partner kerja serta klien, dia membenci Saerom dan segala hal tentangnya. Terkadang aku tak habis pikir, tapi itulah Yura. Aku terjebak bersamanya. Semakin mendekati tanggal pertunangan kami, Yura semakin sensitif terhadap semua yang aku lakukan. Kami sering mempermasalahkan hal-hal yang kecil dan membuatnya membesar. Aku tahu ia menikmati setiap pertengkaran itu. Ketika aku mempermasalahkan hal yang besar, dia tidak pernah meminta maaf dan menganggapnya itu bukan hal penting. Aku tak mengerti apa maunya. Aku sungguh frustasi saat itu.

“Jangan tidur!”

“Ini sudah lewat tengah malam, tidurlah. Aku mengantuk sekali. Aku harus menyelesaikan laporanku besok, Yura. Mengertilah…” jawabku pada suatu malam dengan suara parau di sambungan telepon.

“Kita sudah seharian tidak berbicara. Tidak bertemu pula. Hanya ini kesempatanku untuk berbicara denganmu. Kau tahu aku sibuk dan kau sibuk, banyak hal yang harus kita bicarakan,” seru Yura dengan kesal. “Aku tidak peduli, kau tidak boleh tidur!”

Mungkin aku bisa mentoleransi hal itu pada awalnya, aku harus meluangkan lebih banyak waktu dengannya. Meluangkan waktu untuk sekedar mendengarkan bercerita mengenai harinya atau menemaninya minum teh di suatu sore. Namun, semua yang telah kulakukan tak membuat waktu semakin cepat. Justru semakin lambat atau bahkan mati. Ya, waktu seakan terhenti. Api itu pada awalnya hanya seperti lilin, penerang dari latar belakang kami masing-masing yang gelap. Seiring dengan waktu, cahaya lilin itu semakin terang. Menghabisi lilin. Melelehkan waktu. Hingga cahaya itu bertopang pada lelehan lilin yang ada sebelum benar-benar padam.

Beberapa hari sebelum acara pertunangan kami, Yura menghilang setelah pertengkaran hebat. Ya, dia menghilang tanpa kabar. Dan beberapa saat kemudian, baru ku ketahui dia pergi ke Atlanta, US, untuk menenangkan diri. Segala usaha sudah kulakukan untuk membujuknya kembali. Hasilnya nihil. Dia tak ingin kembali sampai aku berubah. Aku tak tahu lagi bagian mana lagi yang harus diubah dari diriku agar memuaskannya.

“Kau tidak usah menangani proyek perusahaan bila kau mengurusi satu wanita saja tidak bisa.”

Brengsek! Ucapan ayah semakin memperburuk keadaan. Kau yang membuatku terperosok semakin dalam oleh permainanmu! Kau ingin menghancurkanku secara perlahan, huh?! Baiklah! Mulai sekarang—detik ini juga—aku tidak peduli dengan omong kosongmu. Aku bisa berdiri dengan kedua kakiku sendiri. Aku tak perlu bertopang pada lenganmu. Aku muak!

Sebulan kemudian, aku bertemu dengan Cho Miyeon. Seorang gadis yang bekerja magang sebagai reporter lepas untuk salah satu rubrik milikku. Architech sangat pemilih dalam menerima pekerja baru, terlebih lagi untuk fresh graduate. Paling tidak kau mempunyai pengalaman minimal tiga tahun atau kau cukup pintar untuk lolos beberapa ujian yang ditempuh sebelum predikat magang kau terima. Dan aku yakin, Cho Miyeon cukup pintar untuk bekerja di divisiku. Laporannya memukau, sehingga tak banyak yang perlu ku perbaiki. Hampir seluruh laporannya bisa langsung diserahkan ke layout-er. Ia adalah tipikal pekerja yang ceria dan bersemangat.

Saat itu Jun sudah bekerja bersamaku sebagai fotografer khusus untukku, namun semenjak Cho Miyeon hadir kami lebih sering pergi bersama untuk mencari bahan berita. Miyeon sering bercerita mengenai hal apapun padaku. Dia sangat senang memiliki sosok kakak seperti diriku. Dan aku senang mendapatkan adik yang menyenangkan sepertinya.

Sampai suatu hari dengan wajah yang cukup cemas dia mendatangi ruanganku.

“Jun mengatakan cintanya padaku. Apa yang harus aku lakukan?” tanyanya.

Aku mengalihkan pandangan ke arahnya dari laptopku. Aku senang akhirnya Jun bisa menemukan dan mengungkapkan rasa cintanya, tapi perasaan aneh apa ini? Mengapa aku merasa sedikit kecewa? “Jun adalah pria yang baik. Kau bisa mengatakan yang sebenarnya tentang perasaanmu padanya.”

Miyeon terlihat gelisah, “T-Tapi… Aku sudah menolaknya…”

“Mengapa?” tanyaku.

“Karena aku pikir….” Miyeon terdiam sesaat, “Aku pikir, aku menyukaimu, Choi-ssi.”

Aku terdiam cukup lama. “Apakah kau tahu seperti apa diriku?”

“Aku tahu ini terdengar gila dan aku memang tidak tahu banyak tentang dirimu selain hubunganmu dengan Park Yura. Hanya saja, aku ingin mengungkapkan perasaanku. Tidak lebih dari itu. Aku hanya ingin lega dari rasa ini…” Miyeon beranjak dari tempat duduknya dan pamit mundur. “Aku rasa.. banyak hal yang harus aku kerjakan. Aku akan kembali ke ruanganku. Selamat siang—”

“Cho Miyeon.”

Langkah Miyeon terhenti dan membalikkan badan ke arahku, “Y-Ya, Choi-ssi?”

“Mau menemaniku minum malam ini?”

Entah sudah berapa lama aku tak menghabiskan malam dengan minum saat itu. Dan aku pun tak ingat berapa banyak gelas bir yang kuhabiskan. Aku tak ingat apapun. Aku tak ingat apapun selain Miyeon. Dia menjadi satu-satunya perhatianku selama aku tak bisa menghubungi Yura. Perbedaan umur kami yang terpaut cukup jauh tak menyulitkan kami untuk melakukan hal yang menyenangkan. Aku seperti kembali muda. Mendapatkan jati diriku yang baru kembali. Rasa yang sudah lama tak aku rasakan semenjak diriku berpisah dengan Saerom. Sesekali aku memintanya untuk menginap di apartemenku untuk sekedar menemaniku tidur. Hubungan seperti inilah yang aku inginkan.

Masih jelas dalam ingatanku, saat itu bulan Oktober. Aku pulang agak larut malam ke apartemenku dan tak mengajak Miyeon. Ia meminta izin untuk mengunjungi rumah orang tuanya di Mapo. Tidak terlalu jauh sebenarnya, namun aku selalu saja merindukannya. Seperti biasa, aku menaruh long coat dan sepatu pada tempatnya kemudian menuju dapur untuk menenggak sekaleng bir. Namun, ada yang aneh pada malam itu. Sebuah akuarium Jellyfish yang kubeli saat aku dan Miyeon mengunjungi Coex Aquarium nampak tak berpenghuni. Perlahan aku mendekati akuarium tersebut. Tak mungkin kan Jellyfish bisa loncat dari akuarium. Tiba-tiba aku teringat film Finding Nemo. Miyeon pasti sedih jika binatang kesukaannya lenyap begitu saja.

“Mungkin binatang itu kini sudah bersenang-senang kembali ke laut.”

Aku sangat mengenal suara itu. Sangat mengenal dengan jelas.

Ku tegakkan badan dan menemukan Park Yura tengah berdiri sembari melipat kedua tangannya di depan dada. “Apa yang kau lakukan padanya?”

“Jadi, sekarang kau lebih peduli pada seekor Jellyfish daripada menanyakan kabarku?” tanyanya dengan nada sarkatis. “Masa kerja magang gadis itu pada Architech sudah berakhir dan kami tidak memperpanjang masa kontraknya. Pengalaman yang ia dapatkan bersama Architech sudah cukup untuk membuatnya mendapat jabatan bagus di perusahaan lain.” Yura menajamkan perkataannya. “Bahkan lebih dari cukup. Tapi, itu tidak akan menghapus labelnya sebagai perusak hubungan orang.”

“Jaga mulutmu, Park Yura!” seruku refleks.

“Kau selingkuh!” seru Yura tak mau kalah.

“Aku tak pernah selingkuh! Kau yang meninggalkanku begitu saja! Aku hampir gila karenamu!”

“Kau pikir, aku meninggalkanmu karena ulah siapa?! Kau dan ego-mu! Aku pergi untuk memberimu waktu berpikir agar kita bisa menjalani hubungan ini dengan sehat. Tapi, kau justru selingkuh. Luar biasa, Choi Seunghyun!”

Aku terdiam. Bukan karena aku telah kalah, namun karena aku sama sekali tidak mengenal wanita yang ada dihadapanku saat ini.

“Kau sakit jiwa, Park Yura. Kau sakit jiwa.”

Hubunganku dengan Miyeon berakhir begitu saja. Beberapa kali aku menghubunginya tapi selalu saja tidak bisa. Aku mencoba untuk bertanya pada Jun bagaimana kabarnya, dia pun tak tahu. Ku coba untuk mencari alamatnya di Mapo lewat data diri yang masuk ke perusahaan, tapi yang kutemukan hanyalah rumah kosong yang telah lama ditinggalkan. Miyeon seakan lenyap dan berusaha menghindariku semenjak kedatangan Yura kembali. Aku seakan selalu diliputi perasaan bersalah. Bukan karena Yura, tetapi karena telah membiarkan Miyeon masuk dalam kehidupanku. Maafkan aku…

Dua bulan kemudian, hubunganku dengan Yura semakin mengalami krisis. Kembali jatuh pada titik nol. Dimana kepercayaan mulai lenyap dari diri masing-masing. Dia semakin tidak mempercayai apa yang aku lakukan setiap harinya, meskipun aku melakukan pekerjaan normal sekalipun. Dia semakin mencurigai siapapun yang berada di dekatku. Terutama wanita.

“Kau tidak tidur dengannya malam ini, kan?”

Atau, “sudah berapa hari kau menidurinya?”

Persetan dengan semua kata-katamu. Aku tidak peduli.

Sampai suatu hari, Yura datang dengan sekeranjang bunga saat aku menjemputnya untuk makan malam. Dia nampak berbeda. Wajahnya lebih ceria. Pakaiannya juga lebih berbunga-bunga. Apa ia sedang bahagia?

“Biar kubawakan keranjang itu untukmu,” kataku menawarkan diri.

“Tak perlu, aku bisa membawanya sendiri,” jawabnya dengan sebuah senyuman. Senyuman yang hampir tak dapat kutemukan lagi dari dirinya.

“Dari klien?”

“Tidak, dari teman baikku.”

“Wanita?”

“Apakah jenis kelamin penting bagimu?”

“Kau selalu mempermasalahkan itu padaku.”

“Kau ingin balas dendam?”

“Kenapa aku selalu buruk dimata mu, heh?”

Yura mengibaskan tangannya, “sudah aku sedang tidak ingin bertengkar denganmu. Aku lapar. Aku ingin makan seafood!”

Hari demi hari, aku semakin yakin ada yang berbeda dari kepribadian Yura. Ia lebih sering mengabaikanku. Hingga pada suatu hari, saat kami menghabiskan waktu bersama di apartemen baru (Yura sangat membenci apartemen lamaku. Kau tahu kan alasannya?), sebuah pesan di ponselnya mengakhiri kecurigaanku selama ini.

 

Hi! Aku baru saja kembali Hawai. Aku membawakan beberapa oleh-oleh yang cantik dari sana. Kau pasti suka! Kapan kita bisa bertemu? — Jay   21.45

 

Kapan kita bisa meluangkan waktu bersama? Atlanta merindukanmu! — Jay  21.46

 

Aku merindukanmu — Jay  21.46

 

“Dia hanya teman baikku,” ucap Yura dengan nada final.

“Kau pikir aku akan percaya?”

“Tentu saja, karena aku bukan sepertimu. Aku bisa membatasi diri dalam pertemanan. Aku tidak tidur dengannya.”

Aku berdecak kesal, ia selalu saja mengungkit kesalahanku. Seolah itu adalah kesalahan yang tidak mungkin termaafkan. “Jauhi dia. Apa perlu aku mengatakan langsung padanya?”

“Kau gila? Dia hanya temanku!”

“Semua teman kantorku juga temanku. Dan dia bahkan tidak mengirim pesan seperti ini.”

“Kecuali Miyeon kan?”

“Itu karena aku menyukainya. Aku yang membuatnya bersamaku!”

“Dan aku juga menyukai Jay. Dia teman yang baik. Dia bersamaku saat kau dan egomu itu menyakitiku! Dia yang berusaha menyembuhkanku! Dia juga menemaniku saat—“

“Di Atlanta? Kau meninggalkanku dan bersamanya disana? Terima kasih, Park Yura.”

“Tapi aku tidak—“

“Persetan dengan segala tuduhanmu!” seruku tanpa sadar. Aku menunjuk wajahnya tepat di manik mata dengan gigi gemeletuk. “Jauhi dia sekarang, atau aku yang akan pergi.”

Yura tidak gentar. Ia balas menatapku tanpa berkedip. “Tidak. Aku tidak mau.”

Aku tak ingat bagaimana pastinya saat aku melempar ponsel milik Yura begitu saja ke dinding di belakangnya. Ponsel itu hancur. Hancur serupa dengan hubungan kami. “Aku mengorbankan seluruhnya untuk bersamamu. Saerom, Miyeon, pekerjaanku, semuanya. Hanya untuk bersamamu. Ku pikir ada sedikit harapan. Sedikit saja untuk memperbaiki semua ini. Tapi aku salah. Kau memang bukan wanita yang pantas ku pertahankan.”

Yura tidak menjawab apapun. Dia hanya terdiam. namun, aku juga tak melihat kegoyahan dalam manik matanya. Ia masih saja sekeras karang. Ku raih begitu saja kunci motor dan jaket milikku. Baru saja aku akan meraih hendel pintu, Yura menahan langkahku dengan kalimatnya.

“Aku akan melepaskanmu jika kedudukan kita sudah sama. Kau masih berhutang satu kesalahan. Dan satu kesalahan itu harus ditebus dengan kesalahan yang sama.”

 

~oo0O0oo~

 

 

Tak ada yang dapat terselesaikan dari hubungan kami. Setelah melewati masa tegang, hubungan kami sedang menjalani masa tenggang. Sebelum akhirnya benar-benar padam.

 

You and me, we made a vow

For better or for worse

I can’t believe you let me down

But the proof’s in the way it hurts

 

For months on end I’ve had my doubts

Denying every tear

I wish this would be over now

But I know that I still need you here

 

You say I’m crazy

‘cause you don’t think I know what you’ve done

But when you call me baby

I know I’m not the only one

 

You’ve been so unavailable

Now sadly I know why

Your heart is unobtainable

Even though Lord knows you kept mine

 

I have loved you for many years

Maybe I am just not enough

You’ve made me realize my deepest fear

By lying and tearing us up

 

You say I’m crazy

‘cause you don’t think I know what you’ve done

But when you call me baby

I know I’m not the only one

 

I know I’m not the only one

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet