The Choice

APOLOGY

 

Jalur pedestrian itu selalu ramai saat jam makan siang. Saat dimana kau akan setengah mati kebingungan mencari meja kosong di salah satu di antara deretan café dan restaurant yang berjajar rapi di sepanjang daerah Itaewon. Aroma masakan menguar saat pintu-pintu kaca itu terbuka, menggoda siapapun yang melewatinya. Restauran dan café tersebut kebanyakan menyajikan masakan luar negeri, namun tak sedikit yang tetap menjajakan makanan khas daerah tersebut. Beberapa ras Bavarian beserta ras lainnya ikut bercengkerama, bersantai menikmati makan siang sembari di fresco yang disajikan sang empunya. Mereka berbicara dengan bahasa asing yang fasih dan hanya mereka yang memahaminya. Itaewon memang selalu terkenal sebagai persinggahan para imigran atau turis asing yang rindu akan masakan kampung halamannya. Sungguh tempat yang menakjubkan.

Long parka berwarna coklat yang melapisi hoodienya itu cukup mampu menahan udara dingin di awal Desember. Yubin berjalan sembari sesekali melirik secarik kertas yang dibawanya sedari tadi. Berbekal ingatannya yang usang saat ia ke daerah ini tempo dulu, ia mencari sebuah restaurant yang letaknya tak jauh dari tempat pemberhentian bus. Namun, sepertinya ia sudah masuk ke dalam terlampau jauh. Ternyata, tempat ini sudah banyak berubah. Banyak sekali restaurant baru yang ia sama sekali tak kenal. Setelah memberanikan diri untuk bertanya—yang kebanyakan dijawab dengan gelengan kepala—akhirnya ia menemukan arah yang tepat.

Vatos Urban Tacos—sebuah restaurant yang khusus menyajikan masakan Meksiko itu cukup ramai siang ini. Ia mengedarkan arah pandang ke penjuru restaurant tersebut hingga seorang pria muda menghalangi arah pandangnya dan membuatnya nyaris terjengkang.

“Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan senyum terkembang.

“Ah, saya ingin bertemu dengan Lim—“ jawab Yubin sembari tersenyum canggung. Ia yakin kalimatnya sangat berantakan, semoga saja pelayan itu mengerti maksudnya.

“Nona Lim sudah berpesan pada saya temannya akan datang hari ini. Maaf, siapa nama Anda?” tanyanya—masih dengan senyum yang tak kunjung padam.

“Kim Yubin.”

“Tepat sekali! Silahkan masuk, saya antarkan ke meja Nona Lim.”

Pelayan muda itu sangatlah ramah sekali, ia mengantarkan Yubin ke ruangan yang cukup tertutup di bagian dalam restauran tersebut. Ia mempersilahkan Yubin duduk dan menikmati makanan pembuka yang telah disajikan di meja. Masih dengan senyum canggung, Yubin mengangguk sembari mengucapkan terima kasih. Yubin belum pernah mencoba masakan Meksiko, namun sepertinya makanan ini terlihat enak dan menggoda. Baru saja ia akan mengulurkan tangan mencoba makanan tersebut, sebuah suara melengking tinggi tiba-tiba saja mengagetkannya.

“YUBIN-AAAH!!!!”

Benar saja, Yubin serta merta diserang sebuah pelukan kuat dari seorang wanita cantik yang sudah lama tak ditemuinya. Beruntung ia tak sempat mencoba makanan itu, karena ia yakin bisa tersedak. Pelukan itu begitu kuatnya hingga Yubin nyaris kehabisan napas. Ditepuknya kuat-kuat punggung wanita itu, memohon untuk melepaskan pelukan.

“Hentikan—“

“Bagaimana kau bisa ke Seoul, hah? Kau tinggal dimana? Sudah berapa lama kau tinggal disini? Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?! Kau tinggal dengan siapa?...” dan sederet pertanyaan lain yang tak kunjung berhenti hingga Yubin—dengan terpaksa—membekap mulutnya sambil meringis geli.

“Ya! Biarkan aku menjawabnya dulu!” protes Yubin.

Lim—gadis itu nampak sangat memukau dengan kemeja berbahan satinnya, celana panjang hitam yang melapisi kakinya yang jenjang, serta rambutnya yang dibuat sedemikian rupa serasi membingkai wajahnya yang cantik dan menawan—terkekeh geli saat Yubin melepaskan tangannya.

“Aku merindukanmu!” serunya langsung. “Sudah lama kali kita tidak bertemu, tacos disini juga ingin bertemu denganmu! Apa yang membuatmu datang ke Seoul?”

Yubin ingat, dulu saat kuliah di sebuah Universitas di Seoul mereka sering bertandang ke restaurant yang notabene milik keluarga Lim. Banyak yang sudah berubah dari restaurant ini. Terutama interiornya, lebih modern dan bergaya Meksiko. Dan tentunya semakin besar saja. “Aku juga sangat merindukanmu, Lim. Senang bisa bertemu denganmu lagi. Aku sudah tinggal di Seoul selama satu bulan.”

Yubin menjelaskan banyak sekali yang terjadi dan yang terlewati selama di Busan, ia berharap Lim tidak terlalu banyak bertanya karena memang Yubin juga terlalu lelah untuk menjelaskannya. Kebanyakan Lim bercerita kembali tentang masa-masa kuliah yang mereka habiskan bersama, serta beberapa pria yang dulunya mereka dekati. Lim adalah teman yang sangat menyenangkan. Yubin tak berhenti untuk tertawa melihat tingkahnya dan perkataannya. Dia sama sekali tak berubah. Ia merasa bersyukur sekali bisa kembali menemui gadis itu setelah sekian lama berpisah.

“Bagaimana dengan pekerjaanmu di Busan?” tanya Lim dengan nada khawatir.

“Aku sudah resign, saat ini aku masih mencari pekerjaan yang cocok,” jawabnya sambil tersenyum menenangkan.

“Sayang sekali,” Lim terdiam sesaat, sedetik kemudian wajah berubah berseri-seri. “Kau bisa bekerja disini jika kau mau!”

Yubin tersenyum canggung, “terima kasih, Lim. Tapi aku tidak ingin merepotkanmu.”

“Sama sekali tidak kok! Sungguh!” ucapnya dengan mata yang berbinar-binar, membuat Yubin tak tega untuk menolaknya.

“Aku akan mempertimbangkannya lagi setelah aku menerima balasan dari beberapa perusahaan yang aku hubungin, Lim. Kau sangat baik sekali. Terima kasih,” ucapnya tulus.

Lim tersenyum, “ingatlah, aku akan selalu ada untukmu. Kau jangan khawatir.”

Yubin membalas senyumnya.

“Ah!” Lagi-lagi reaksi Lim mengagetkan Yubin. “Apa kau masih tertarik dengan fotografi? Aku ingat dulu kau pernah menjadi fotografer lepas di salah satu surat kabar kota. Benar begitu?”

Ya, beberapa tahun lalu saat masih kuliah, Yubin menyambung hidupnya di kota Seoul yang keras sebagai fotografer lepas di salah satu surat kabar. Memang uang yang dihasilkan tidak terlalu besar, namun ia memiliki ketertarikan sendiri di bidang tersebut. Meskipun, foto-fotonya hampir tidak pernah dijadikan headline surat kabar, ia cukup bahagia bila fotonya bisa terselip di salah satu halaman surat kabar itu. Tidak harus besar, yang terpenting adalah terpajang. Pekerjaannya sebagai sekretaris sebuah perusahaan beberapa tahun kemudian membuatnya meninggalkan hobinya tersebut. Ia tidak yakin, apakah ketertarikan itu tetap sama seperti dulu hingga membuatnya berani terjun ke dalam dunia itu kembali.

“Aku tidak yakin kemampuanku masih sama seperti dulu, Lim.”

“Ah, sayang sekali. Temanku sedang berusaha mencari fotografer pengganti di salah satu perusahaan majalah ternama. Mereka harus mendapatkannya minggu ini. Aku pikir kau akan tertarik.”

“Majalah ternama?” tanya Yubin mulai penasaran.

“Ya, Architech,” jawab Lim bersemangat. “Ku dengar mereka menawarkan gaji yang cukup tinggi untuk bagian fotografer dan gaji itu cukup untukku menyewa apartemen baru dalam waktu sebulan.”

“Wow, pasti mereka membutuhkan orang yang sangat professional. Tidak untukku, Lim. Aku hanya fotografer lepas, yang bahkan fotoku jarang dimuat di surat kabar,” ucap Yubin dengan nada pesimis. Lebih baik aku kembali menjadi sekretaris saja, pikirnya.

“Tidak ada persyaratan professional kok, siapapun bisa mengajukan lamaran pada perusahaan itu.”

“Jangan bercanda!” Yubin terkekeh geli.

“Aku serius! Temanku sendiri yang bicara padaku. Hanya ada satu syarat saja.”

Yubin terdiam, menelisik manik mata Lim dengan ekor mata. “Maksudmu?”

“Ya, satu syarat saja. Kau hanya perlu bertahan satu bulan disana.”

“Setelah itu?”

“Setelah itu, kau lolos. Apartemen baru di tanganmu.”

Yubin kembali terdiam. Bimbang.

Hanya bertahan satu bulan saja? Tidak mungkin! Mustahil. Perusahaan macam apa itu?

 

~oo0O0oo~

 

You can throw your hands up

You can beat the clock

You can move a mountain

You can break rocks

You can be a master

Don’t wait for luck

Dedicate yourself and you gon’ find yourself

 

Suara dari vokalis The Script itu terdengar, mengalun menyanyikan lagu Hall of Fame yang sangat terkenal dari ponsel yang Soyeon genggam. Lagu itu selalu saja berhasil membuatnya bermimpi untuk menggenggam dunia, meraih segala kesempatan yang ditemuinya dan mengambil sebesar apapun resiko yang mengirinya. Soyeon percaya bahwa kita adalah pemenang dan pecundang di saat yang bersamaan. Namun, sisi mana yang harus disingkarkan tergantung pada semua keinginan dan kerja keras yang telah kita lakukan. Be a champion!

Soyeon menilik layar ponselnya, satu panggilan tak terjawab dan beberapa pesan yang telah ia acuhkan sedari pagi. Beberapa saat lalu, ponselnya dengan sengaja ia tinggalkan di laci meja ruangannya. Setelah rapat internal divisi, ia bergegas ke ruang HRD untuk mengecek beberapa lamaran yang masuk untuk posisi yang ditinggalkan Jun beberapa minggu yang lalu. Sudah seringkali ia mengingatkan Seunghyun untuk mengecek lamaran yang diajukan kepadanya, namun nampaknya map-map lamaran itu akan segera membusuk disini tanpa pernah dilihat. Jangankan dibaca, disentuh saja pun tidak. Dasar lelaki keras kepala!

1 missed call

From:

Him

xxxx-xxxx-xxxx

Soyeon tertegun sesaat setelah mengetahui siapa gerangan yang menghubunginya. Seketika bagian otak yang menyimpan memori jangka pendeknya menampilkan proyeksi ingatan beberapa minggu yang lalu. Kenangan indah yang mampu meluruhkan pertahanan dirinya, membuainya dalam angan-angan, kemudian menghujamkannya begitu saja ke palung paling terdalam, menyisakan gaung tak berujung dan menghapus asa. Ia tahu, semakin dalam perasaan itu akan membuatnya semakin merasa bersalah. Meski bukan salahnya sepenuhnya. Ia tak tahu apapun mengenai lelaki itu, tapi lelaki itu berhasil menariknya perlahan. Dan Soyeon terlena karenanya.

Andai saja…

Andai saja, ia tak menemuinya.

Andai saja Soyeon lebih dulu tahu.

Bahwa lelaki itu harus membagi cinta dengan…

.

.

.

Soyeon menggelengkan kepalanya, mencoba menghapus ingatan itu. Namun, kenangan itu tetap disana. Menguasainya. Melumpuhkan bagian terlemah dari dirinya. Soyeon mengalihkan perhatiannya dengan mengecek isi kotak masuk di ponselnya, dari beberapa pesan yang berbaris rapi disana hanya ada satu pesan yang menarik perhatiannya. Masih dari pengirim yang sama.

Lelaki itu.

 

Hai. Bagaimana kabarmu?— 16.14

 

Aku akan ke Seoul minggu depan. Aku harap kita bisa bertemu.—17.10

 

Aku merindukanmu, Park Soyeon.—17.37

 

“Aku juga merindukanmu.”

Hampir saja Soyeon melejit dari posisinya ketika suara baritone yang khas dari seseorang yang sangat dikenalnya tiba-tiba mengagetkannya. Ketika ia ingin melihat siapa pemilik suara itu, sebuah wajah entah bagaimana sudah bertengger di bahunya dengan manik mata yang menatap lurus-lurus layar ponselnya. Soyeon segera menyingkirkan wajah itu dari bahunya dan menyembunyikan ponsel miliknya sebelum lelaki itu membaca lebih jauh percakapan yang ada disana.

“YA!! Apa yang kau lakukan?!” seru Soyeon memutar tubuhnya, menghadap lelaki tinggi semampai itu dengan wajah yang merah padam.

Seunghyun memicingkan matanya, menatap Soyeon dan ponselnya secara bergantian dengan pandangan curiga. Seolah dia adalah seorang detektif yang siap menyelidiki apapun yang ada dihadapannya. Soyeon yang ditatap seperti itu lantas menjadi kikuk dan mengantongi ponselnya di saku setelan jasnya. Seunghyun menegakkan tubuhnya, kemudian melipat kedua tangannya di depan dada sembari menatap gadis di hadapannya dengan pandangan yang menyebalkan.

Soyeon berdehem, berusaha mencairkan suasana. “Apa yang kau lakukan disini?” tanya Soyeon kembali yang kini terdengar lebih lembut, berharap Seunghyun tidak melihat lebih dari yang seharusnya ia ketahui.

Butuh sekian detik sampai Seunghyun mengalihkan pandangannya pada Soyeon pada beberapa map yang dibawanya sedari tadi. “Aku sudah membaca CV mereka,” Seunghyun melongokkan kepalanya pada meja di belakang Soyeon, “dimana pak tua itu? Bukankah dia mengurusi semua ini?” tanyanya, bergerak melewati Soyeon yang masih kikuk dan mendekati meja kepala HRD tersebut.

“Mungkin dia sedang ke toilet,” jawab Soyeon. “Aku takjub kau mampu meluangkan waktumu yang sempit itu untuk membaca semua lamaran yang masuk.”

Seunghyun memutari meja dan memeriksa beberapa berkas yang tergeletak di meja, “aku hanya berbuat sedikit padamu,” Seunghyun menatap Soyeon sekilas kemudian menyunggingkan senyum yang sulit diartikan.

“Ah! Choi-nim!” seru seseorang paruh baya bertubuh gempal itu sambil berjalan tergopoh-gopoh menghampiri Seunghyun dan Soyeon. Kemejanya sangat ketat hingga membentuk sebuah gundukan di bagian perutnya, rambutnya tertata rapi dan sedikit berminyak, wajahnya sangatlah khas sehingga semua orang bisa mengingatnya meskipun baru pertama kali melihatnya. Cekatan, ia segera menjabat tangan Seunghyun dengan wajah sumringah dan mempersilahkannya duduk di kursi miliknya. “Choi-nim, apa yang membuatmu datang kemari?”

Seunghyun tersenyum saat melihat wajahnya, entah mengapa lelaki bernama Park Jaesang itu selalu saja dapat membuatnya ingin tertawa. Perawakannya yang selalu ceria, sedikit absurd, dan aneh mampu mengubah atmosfer kantor yang kadang selalu menegangkan karena deadline. Namun, Jaesang adalah orang yang berbeda. Berbeda dengan pandangan Soyeon, dia selalu berpikir Jaesang adalah lelaki penggoda wanita muda. Jika bukan karena Seunghyun yang menyusahkannya, dia akan sangat malas sekali harus menemui lelaki itu di ruang kerja.

“Jaesang-ssi, aku sudah memeriksa file yang masuk. Hubungi mereka untuk mendatangi pameran seni di Mapo dan aku meminta mereka untuk membuat laporannya. Setelah itu, aku akan mempertimbangkannya lagi.”

Jaesang lantas menegakkan badan dan berpose hormat ala tentara, “Siap!”

“Kau beruntung, pasti Seunghyun lupa membawa helm dan kepalanya terbentur hingga mendatangimu seperti ini,” sela Soyeon.

“Aku juga beruntung melihatmu di ruanganku, Park-nim,” jawab Jaesang sambil terkekeh geli dan menatap Soyeon dengan pandangan sedikit nakal. Soyeon seketika melotot dan membuang arah pandangnya ke sembarang arah. Kemana saja, asal tidak ke wajah lelaki itu.

Seunghyun terkekeh geli, “baiklah, kau urus semuanya, Jaesang-ssi,” katanya sembari beranjak pergi.

“Ah! Choi-nim, hampir saja saya lupa.” Jaesang bergegas mencari sesuatu di mejanya dan menemukan sebuah map. Ia membukanya sesaat untuk mengecek isinya, kemudian menyerahkannya pada Seunghyun. “Ada satu pelamar lagi, CV-nya baru saja masuk hari ini. Aku harap kau memeriksanya.”

Seunghyun menatap map tersebut sekilas dan menerimanya. “Aku akan memeriksanya nanti. Terima kasih,”

Setelah mengucapkan terima kasih yang dibalas anggukan Jaesang sekaligus lirikan menggodanya pada Soyeon, mereka meninggalkan ruangan itu dan menaiki elevator yang terdekat. Soyeon tak henti-hentinya mengungkapkan rasa kesalnya pada Jaesang meskipun lelaki itu tak sepenuhnya mengganggunya. Jika bukan dia adalah karyawan yang potensial di kantornya, mungkin dia sudah meminta itu untuk dipecat saja. Seunghyun menjelaskan dengan nada datar bahwa Jaesang adalah lelaki yang baik, Soyeon hanya perlu mengenalnya lebih jauh saja. Tapi, saran itu langsung ditolak mentah-mentah oleh Soyeon.

“Kau tak ingin membalasnya?” tanya Seunghyun setelah keheningan yang cukup panjang di dalam elevator.

Soyeon tergagap dan mendadak menjadi salah tingkah. “Membalas apa?”

“Aku pikir kau tahu apa yang kita bicarakan.”

“Bukan hal penting,” ucap Soyeon sembari mengibaskan tangannya.

“Jadi, apakah kau merindukannya?” tanya Seunghyun lagi.

Soyeon kini memutar tubuh untuk menghadap sepenuhnya pada Seunghyun, “hentikan, Choi Seunghyun!” sergahnya sembari menarik lengan lelaki itu saat pintu elevator terbuka di lantai sebelas, “sudah! Kembali ke ruanganmu sana!”

Seunghyun terkekeh geli saat Soyeon menyeret tubuhnya dengan paksa keluar dari elevator. “Jadi, apakah dia lelaki yang kau kagumi itu?”

“Jangan berkhayal. Dia bukan siapa-siapa!” serunya, tangannya terulur hendak menekan tombol untuk menutup pintu, namun dengan seenaknya saja Seunghyun bersandar di ambang pintu menghalangi pintu itu untuk tertutup. Tangannya terlipat di depan dada, dibibirnya tercetak senyum menyelidik. “YA! Choi Seunghyun!”

“Ini pertama kalinya kutahu ada seorang lelaki yang mendekatimu. Aku tak tahu ini adalah sebuah keberuntungan atau malapetaka. Tapi, kau sedikit banyak berubah semenjak hari itu, Park Soyeon.”

Soyeon berdecak kesal, “kau pikir kau tidak mengalami hal yang sama?”

Seunghyun terdiam. Seolah ada sesuatu yang menohok ulu hatinya. Mereka bertatapan selama beberapa detik. Soyeon tahu, lelaki di hadapannya ini terlalu banyak memiliki rahasia. Dan tak adil baginya jika hanya Seunghyun yang mengetahui semua kartunya, tanpa satu kali pun Soyeon tahu kartu milik lelaki itu. Ini terdengar kekanak-kanakan memang. Namun, ia ingin sekali mengerti tentang Seunghyun. Mengerti dengan apa yang ia rasakan. Ia tak ingin hanya dijadikan seorang teman, tapi juga tempat bersandar.

“Hari ini ibuku berulang tahun, kau mau datang?” tanyanya. Seunghyun menegakkan tubuhnya dan berjalan mundur, membiarkan Soyeon untuk menutup pintunya.

Soyeon menghembuskan napas lelahnya dan mengangguk. “Sampai jumpa.”

Tangan gadis itu terulur dan membiarkan pintu dihadapannya tertutup. Siluet tubuh Seunghyun itu perlahan menghilang. Meninggalkan tanda tanya yang tak pernah ia tahu jawabannya.

 

~oo0O0oo~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet