Do you really love me?

APOLOGY

 

Barisan gedung pencakar langit di distrik Gangnam itu bak rimba beton. Mereka saling beradu, mempertontonkan keelokan, kekuatan dan keagungan masing-masing. Gedung-gedung itu adalah bukti dari kemauan keras dan tekad sekuat baja dari usaha sang penggerak roda perekonomian di Seoul. Persaingan pun tak terelakkan. Mereka tak segan membuatmu tergilincir atau limbung jatuh dari singgasana, bahkan dengan cara apapun. Gedung-gedung itu tak ayal adalah sebuah pion, dimana otak dari setiap langkah yang dibuat ada di dalamnya. Sekali salah langkah, maka kau akan jatuh. Bak hukum rimba, siapa yang terkuat dialah sang penguasa. Dan hidup adalah sebuah replika dari hukum tersebut.

Gedung berlantai lima belas itu tidak cukup besar dibandingkan dua gedung di kedua sisinya, namun gedung tersebut mempunyai pengaruh tersendiri dalam perkembangan kota Seoul. Gedung itu adalah kantor redaksi sebuah majalah bulanan yang terkenal akan topik pilihan mereka mengenai Art (seni), Architecture (arsitektur) dan Technology (teknologi), atau mereka biasa menyingkatnya dengan sebuah kata ARCHITECH.

Architech berdiri beberapa tahun lalu oleh tiga pionir keberhasilan majalah tersebut saat ini. Ketiga orang pendiri percaya bahwa persahabatan itu tidak selalu dilandasi oleh ketertarikan yang sama. Namun, justru perbedaan yang menyatukannya. Ketiganya memiliki minat dan keahlian yang berbeda dan akhirnya membuat sebuah revolusi dalam diri mereka untuk mendirikan Architech.

Jauh menembus batas dinding kaca yang berjajar rapi melapisi kerangka gedung tersebut, seorang lelaki dengan setelan coat warna hitam melapisi sweater rajutnya yang elegan. Manik mata tajam dan hitamnya yang dinaungi sepasang alis tebal—menerawang jauh menembus dinding kaca transparan di hadapannya, melewati beberapa gedung pencakar langit dan menembus batas cakrawala. Tak jelas apa yang menjadi titik pengamatannya, namun ia tak kunjung melepas arah pandangnya. Matanya menatap satu titik, seolah titik itu merupakan refleksi dari pikirannya yang berkelana.

Do you really love me?

Sebuah kalimat yang membuatnya menyadari sesuatu. Sesuatu yang tak pernah terpikirkan olehnya. Sesuatu yang telah menutupi dirinya beberapa tahun ini. Ia tak pernah berpikir jika permainan yang telah ia mulai itu justru membuatnya semakin terperosok jatuh. Ia hanya berpikir bahwa cinta itu adalah wujud abstrak dari rasa. Dan rasa bukanlah benda mati. Bukanlah batu atau besi. Sekeras apapun besi bisa saja ditempa. Jadi, cinta bisa saja ditempa, dibentuk, diolah.

Namun, hukum tersebut nampaknya tak berpengaruh pada dirinya. Ruang di dirinya tetaplah kosong. Ruang itu mungkin terisi, hanya saja terasa hambar. Ia tahu arah dan tujuannya, hanya saja ia tak tahu bagaimana cara menuju kesana. Ia tak tahu, bagaimana mencapai kesana jika ia pun tak ingin kesana.

Do you really love me?

Masih segar dalam ingatannya bagaimana gadis itu mengucapkannya.

Saat itu hampir lewat tengah malam. Seperti biasa ia kembali ke apartemen dengan kondisi tubuh yang nyarih luluh lantak. Banyak sekali yang harus ia kerjakan malam itu sebelum laporan masuk ke meja Pemimpin Redaksi (baca : PemRed), kemudian diserahkan ke tim layout-er dan naik cetak. Sehingga ia harus menyelesaikan proses editing malam itu juga. Masih dengan wajah kuyu, ia berjalan di sepanjang koridor lantai apartemennya berada yang lengang. Tiba-tiba saja, ia melihat sesuatu tergolek di sebuah pintu salah satu kamar apartemennya. Ia tak yakin apa yang dilihatnya, namun dengan hati-hati ia mencoba menghampiri sesuatu itu.

Dan benar saja, seorang gadis tengah meringkuk disana. Rambut blondenya menutupi sebagian wajahnya. Bau bir menguar kuat dari tubuhnya. Sepertinya ia mabuk dan terkapar di depan pintu apartemennya. Kutinggalkan saja, atau harus kusingkirkan dia?, tanyanya dalam hati. Ia terdiam sejenak, kemudian berlutut dengan satu lutut menyentuh lantai. Berusaha sedekat mungkin dengan gadis itu. Perlahan, ia mengulurkan tangan dan mengguncang tubuh gadis itu pelan.

“Nona,” panggilnya. Tak ada jawaban. “Nona, bangunlah.”

Ia menunggu beberapa saat. Namun, gadis itu masih tidak bergeming meringkuk di lantai. Dengan hati-hati ia meneliti wajah gadis itu yang terlihat samar-samar dari balik surai rambut blondenya. Kemudian manik matanya menebar arah pandang ke penjuru koridor. Tidak ada satupun orang selain mereka. Terlebih, ia tidak mengenal gadis itu sama sekali.

“Nona, kau baik-baik saja?” tanyanya sambil menepuk pundak gadis itu pelan.

Masih saja tidak ada jawaban. Mungkin lebih baik kuambilkan saja selimut di kamarku, setidaknya dia tidak mati kedinginan di luar, pikirnya. Akhirnya ia menegakkan tubuhnya dan hendak berjalan melewati gadis itu menuju pintu apartemennya. Tapi, tiba-tiba saja sebuah suara menahan langkahnya.

“Mengapa kau meninggalkanku?”

Ia menoleh ke arah sumber suara dan mendapati tubuh gadis itu terguncang pelan diiringi isak tangis. Seketika ia berbalik arah dan mendekati gadis itu lagi. Berharap kali ini ia mau memberitahu dimana kamarnya, sehingga ia bisa saja menelpon petugas apartemen untuk mengantarkan ke kamarnya.

“Kau bisa mendengarku? Aku akan menelpon—“

Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya dalam hitungan detik sebuah tangan terulur dan menarik sweaternya. Kepalan tangan itu terlampau kuat sehingga ia yang tidak siap sempat limbung dan hampir menimpa tubuh gadis itu jika ia tidak segera mengulurkan kedua lengannya membuat pondasi. Saat itulah ia bisa melihat dengan jelas wajah gadis tersebut. Pelupuk matanya bengkak, hidungnya memerah begitu juga dengan pipinya, menandakan ia terlalu banyak minum. Bau alcohol semakin kuat menguar dari mulutnya.

“Kenapa kau melakukan ini padaku?!” kepalan tangan gadis itu di sweaternya menghentakkan tubuhnya. “Katakan mengapa?! Apa aku pernah berbuat salah padamu?! Apakah aku pernah memperlakukanmu tidak baik?! KATAKAN PADAKU!! KATAKAN!!” Tangis gadis itu pecah. “Apa gadis itu lebih baik dari padaku?! Apakah aku tidak membuatmu bahagia?! JAWABLAH!”

Ia seperti baru saja tertampar. Waktu seakan bergerak mundur, dimana ia pernah mengalami hal yang sama. Namun, ia berusaha menepisnya. Ia berusaha mematikan waktu itu sendiri. “Nona, kau sedang mabuk. Maafkan aku, aku—“

“Maaf? Semudah itu kau meminta maaf?” Gadis itu terkekeh geli. “Aku hancur. Aku luruh. Dan kau hanya berkata maaf?!”

“Aku—“

Dua buah telapak tangan entah bagaimana caranya dalam hitungan detik sudah mengurung kedua pipinya saat itu. Gadis itu menangkupkannya kuat, sehingga ia pun tersentak ketika gadis itu berusaha menyejajarkan manik matanya dengan milik lelaki itu. Ia terdiam. Manik mata itu berisi kekalutan, kebingungan dan putus asa.

“Apakah…” gadis itu terdiam sesaat, mencari jawaban di manik mata lelaki di hadapannya, “…kau benar-benar mencintaiku?”

Tak ada jawaban. Seakan pertanyaan itu bergaung di sepanjang koridor yang tak berujung. Pertanyaan yang beberapa hari ini terus berulang di dalam pikirannya. Menciptakan echo. Menimbulkan tanya. Tanya yang entah ia tak pernah yakin dengan jawabannya. Seakan pertanyaan itu menamparnya kembali untuk kedua kalinya dan menghujamnya dengan pertanyaan yang sebaliknya.

Apakah…

Apakah aku benar-benar mencintainya?

.

.

.

“Choi Seunghyun-ssi, kau mendengarku?”

Tepukan itu menyadarkan Seunghyun dari lamunannya. Sudah berapa lama ia terdiam seperti tadi? Ia menyadari, saat ini dirinya tengah berada di lantai teratas gedung Architech—dimana para Direktur Utama, Penasihat Umum, Penanggung Jawab Umum, Pemimpin Redaksi dan para Redaktur Pelaksana tiap unit—berkumpul untuk rapat evaluasi, rapat untuk menentukan Tajuk Rencana tiap bulannya dan perkembangan setiap minggunya.

Semua mata kini tertuju padanya, termasuk sang Dirut yang seakan sedang menunggu Seunghyun untuk berbicara. Biasanya Seunghyun memang tidak terlalu banyak bicara jika tak ada hal yang perlu diperdebatkan. Namun sebagai salah satu dari jajaran pion penggerak roda perkembangan Architech, pendapatnya terkadang cukup membantu beberapa masalah yang sulit dipecahkan saat rapat mingguan. Bukan berarti Penasihat Umum tidak ada gunanya, hanya saja ia selalu saja memiliki pemikiran yang out-of-the-box. Tapi, masalahnya adalah ia sama sekali tidak memperhatikan—atau mendengarkan—apa yang mereka bicarakan saat ini. Sial!

“Choi-ssi, bagaimana pendapatmu?” tanya No Seunghwan, selaku Dirut Architech. Lelaki itu selalu saja terlihat antusias saat Seunghyun sudah mulai bicara. Dia seperti menunggu sesuatu yang menakjubkan. Sebenarnya Seunghyun sudah beberapa kali mendapat promosi untuk naik pangkat. Hanya saja dia lebih nyaman untuk menjalani apa yang ia suka, bukan apa yang orang lain inginkan. Sementara itu, Seunghyun masih berkutat dengan rasa canggung dan bingung. Apa yang mereka bicarakan sebenarnya?

“Ah, ya…” Seunghyun membetulkan posisi tempat duduknya. “Aku rasa tidak ada masalah dengan hal itu.”

Mereka terdiam sesaat memperhatikan raut wajah Seunghyun. Mungkin ini pertama kalinya ia menemukan Seunghyun hanya berkata seperti itu tanpa ada sesuatu yang menarik. Setelah menimbang bahwa Seunghyun juga setuju saja terhadap rencana itu, kemudian mereka mengangguk dan kembali membicarakan topik lainnya.

Di saat semua mata kembali dalam diskusi yang serius, ada sepasang manik mata yang tak kunjung beralih dari dirinya. Manik mata itu milik Soyeon. Seunghyun tertegun sesaat. Gadis yang duduk tak jauh darinya itu masih menghujamkan pandangannya pada Seunghyun, seakan ia tak yakin apakah diri Seunghyun yang saat ini ditatapnya adalah Seunghyun yang sudah ia lama kenal.

 

~oo0O0oo~

 

Rapat itu berakhir dengan sebuah tema musim gugur yang cukup menarik untuk awal musim dingin bulan depan. Sebuah konsep yang sudah cantik sebenarnya, jadi tak yang perlu ditambahkan. Tinggal bagaimana tim meramunya menjadi kesatuan yang mengesankan bagi pembaca. Seunghyun yang sempat tersesat sesaat kembali ke jalan pikirannya semula sembari membaca kembali bahan rapat dan mendengarkan kesimpulan sebelum meninggalkan ruangan tersebut. Entah mengapa ia merasa sangat lelah. Mungkin ia perlu menyegarkan diri sesaat.

Seunghyun melirik arlojinya, tepat jam dua siang saat ia berjalan menuju elevator terdekat. Bukan hal baru jika ia sering melewatkan jam makan siangnya, namun rasanya hari ini ia sangat menyesal jam makan siangnya terlewat begitu saja. Ia sangat lapar dan lelah. Sudah berapa lama ia tak merasa seperti ini? Apakah ia bukan seorang manusia lagi?

Tak perlu menunggu lama hingga pintu elevator terbuka dan Seunghyun masuk ke dalamnya. Hanya saja, sedetik kemudian sebuah tangan bergerak dengan cepat dan tiba-tiba menahan pintu elevator yang hampir tertutup. Seunghyun melirik sekilas dan menemukan seorang gadis yang sangat dikenalnya berdiri terengah-engah sembari meliriknya juga dengan pandangan tajam.

“Kau tak bisa menghindariku begitu saja, Choi Seunghyun!”

Seunghyun berdecak kesal. Sial!

Gadis bernama Soyeon itu sangatlah cantik dengan setelan kantornya yang berwarna marun, melapisi kulitnya yang bersih dan perawakannya yang selalu terlihat lebih muda dibandingkan dengan umurnya. Namun, penampilan itu hanyalah tipuan belaka. Dibalik senyumnya yang selalu menawan itu terpancang taring-taring yang tajam dan siap mengoyak siapapun yang berani mengganggunya atau menentangnya. Ia adalah satu-satunya redaktur pelaksana wanita yang menaungi bidang arsitektur dan cukup terkenal akan kegarangannya. Sehingga sebutannya “호랑이 누나” (Tiger Sister) tersebar hingga ke pelosok gedung. Tidak terkecuali dengan Seunghyun.

“Deli Heinzenburg?” tanya gadis itu tanpa perlu menatap Seunghyun sembari menekan tombol untuk menuju ke basement. Sebenarnya ucapannya lebih mengarah ke perintah daripada meminta pendapat. Dan Seunghyun sedang malas untuk berdebat dengannya. Lebih baik ia diam saja, atau haruskah ia mengacuhkannya?

Tak perlu waktu lama untuk sampai ke basement dan menemukan Ducati Monster hitamnya bertengger tak jauh dari lobby basement. Tidak seperti lainnya, Seunghyun lebih nyaman menggunakan motornya ketimbang mobil. Selain lebih efisien dan cepat, ia juga tak perlu terjebak kemacetan di tengah kepadatan kota Seoul. Baru saja ia akan mengambil helm dan jaketnya, Soyeon seketika menghalangi pandangannya dan berkacak pinggang.

“Aku sedang memakai rok, Choi Seunghyun!” serunya kesal.

Seunghyun membalasnya dengan wajah sama kesalnya. “Aku tidak mengajakmu untuk naik motor bersamaku,” ucapnya sembari menunjuk mobil milik gadis itu dengan dagu.

“Itu tidak efisien!” serunya lagi.

“Menurutmu, aku terlihat peduli?” tantang Seunghyun tak kalah sengit. Tanpa mempedulikan Soyeon, Seunghyun langsung mengenakan jaket dan helmnya kemudian bersiap menyalakan mesin motornya. Soyeon mengernyitnya wajahnya terlihat kesal. Ingin rasanya ia memukul kepala berhelm dihadapannya dengan gada besar. Biar saja dia gegar otak! Jika sudah begini, terkadang Soyeon tidak peduli bila yang dipukulnya adalah sahabatnya sendiri. Seketika Soyeon menyingsingkan roknya hingga batas paha atas dan naik ke motor Seunghyun dengan setengah paksa. Si pemilik motor serta merta meronta saat dua lengan mengunci lehernya dengan kuat.

“YA!! Apa yang kau lakukan?!” seru Seunghyun kesulitan bergerak.

“Sudah kubilang kan, kau tak bisa menghindariku begitu saja!” seru Soyeon sambil terkekeh geli. “Ayo jalan! Aku sudah lapar! Let’s gooooo~!”

Perdebatan antara Seunghyun dan Soyeon tak berakhir di basement begitu saja. Jika Seunghyun tak sayang pada nyawanya sendiri, mungkin ia sudah berniat untuk menabrakkan motornya ke salah satu gedung terdekat. Ia tak tahan dengan suara Soyeon yang terkadang melengking, merusak gendang telinga. Aku bisa gila, pikir Seunghyun.

Seunghyun dan Soyeon sudah berteman cukup lama. Cukup lama sehingga rasanya Seunghyun sangatlah bosan bertemu dengannya hampir setiap hari. Ya, orang tua mereka sudah berteman sejak mereka kecil dan keduanya adalah pioneer Architech bersama seorang pendiri lainnya. Jadi, sudah tak heran lagi alasan mereka bergabung dengan Architech yang tak lain adalah sebagai penerus orang tua mereka.

Deli Heinzenburg cukup ramai siang ini, beruntung kami menemukan sepasang kursi kosong di pojok restaurant. Deli Heinzenburg menyajikan bermacam menu burger ala eropa dengan ukuran yang luar biasa besar dan dijamin mengenyangkan. Cocok dengan kondisi perut Seunghyun saat ini. Tak hanya ukuran makanannya yang besar, ukuran drink jarnya juga cukup untuk dua orang yang sedang kehausan. Tidak memakan waktu lama hingga pesanan mereka datang dan sedetik kemudian mereka sudah melupakan debat kusir sebelumnya.

“Kau tidak terlihat seperti dirimu di rapat redaksi tadi. Ada apa?” tanya Soyeon sambil mengunyah makanan.

Seunghyun tak langsung menjawab, ia lebih dulu menikmati makanan di mulutnya. “Tidak ada hal yang penting.”

“Ah! Seperti aku tidak mengenalmu saja.” Soyeon mengibaskan tangannya. “Aku yakin kau pasti sedang memikirkan sesuatu. Yang maha dahsyat!”

“Ya, seperti memikirkan bagaimana mengenyahkanmu secepatnya,” jawab lelaki itu santai.

Wajah Soyeon berubah, ia cemberut berat. Seketika ia mencubit lengan Seunghyun tanpa ampun. Meskipun pernyataan Seunghyun tak benar-benar serius, ia tetap saja sering merasa kesal kesal dengan lelaki itu.

“YA!” seru Seunghyun yang langsung mengusap tangannya. “Aku serius! Aku akan menelpon sniper jika kau mencubitku lagi! Lihat saja, Park Soyeon!”

Soyeon terkikik geli dan melanjutkan makan siangnya. Senang rasanya membuat lelaki dihadapannya kesal juga. “Ah ya! Aku baru ingat sesuatu. Pihak HRD sudah menghubungiku, ada beberapa calon fotografer untukmu sebagai pengganti Jun. Nanti juga sudah meminta mereka mengirimkan data fotografer tersebut ke emailmu. Aku harap kau segera mengeceknya.”

Seunghyun hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Andai saja Jun—partner kerjanya terdahulu—tidak memutuskan untuk resign, mungkin ia tidak akan kepayahan seperti sekarang. Masalahnya adalah Seunghyun belum juga menemukan partner kerja yang cocok untuknya.

“Kau harus menentukan sebelumnya. PemRed tidak ingin kau bekerja sendiri. Dia tidak akan main-main denganmu kali ini, Choi Seunghyun.”

“Bawa saja Jun kembali jika ingin cepat,” sergahnya santai.

“Jangan bercanda! Jun resign juga karna dia tidak tahan dengan tingkahmu, bodoh!”

“Sayang sekali, padahal aku suka bekerja dengannya. Dia penurut sekali,” balas Seunghyun sembari menyunggingkan senyum misteriusnya, kemudia terkekeh geli.

“Dasar kau ini, menyusahkan saja!”

“Aku juga menyarankan kau untuk mengikuti jejak Jun saja.” Kali ini Seunghyun terbahak melihat perubahan wajah Soyeon.

Soyeon tak membalasnya lagi, dalam diam ia cukup lega dapat membuat sahabatnya itu tertawa melepas segala kepenatan yang entah apa. Ia tahu, ada sesuatu yang tersirat dari manik hitam Seunghyun. Ia hampir tak pernah melihatnya tenggelam dalam pikirannya sendiri saat rapat. Cukup aneh bila hal itu benar-benar mengganggunya. Sedari kecil mengenal Seunghyun, tak mampu membuat Soyeon benar-benar mengenalnya. Hanya sedikit sekali yang ia tahu tentang lelaki itu. Ia tak bisa menggali lebih dalam apa yang dipikirkan Seunghyun. Seunghyun menutupinya dengan sangat baik tentang perasaan dan pikirannya. Seperti benteng kokoh. Walaupun Soyeon bisa memanjatnya, namun ia akan dihadapkan dengan labirin besar yang rumit dan menyesatkan. Seunghyun benar-benar menyesatkannya. Tapi, tidak untuk hari ini. Benteng kokoh itu mulai terlihat rapuh.

Siaran televisi di pojok restaurant menampilkan salah satu stasiun tv bisnis yang cukup terkenal. Saat ini, stasiun tv tersebut sedang menayangkan seorang gadis berpakaian rapi dan membacakan berita terkini tentang perkembangan saham di korea. Namun, bukan isi berita itu yang menjadi fokus Soyeon. Melainkan gadis yang ada disana. Gadis dengan rambut berpotongan pendek sebahu itu memiliki manik mata bulat yang indah, hidung yang mancung serta senyum yang khas. Senyum khas yang dimiliki seluruh anggotanya. Senyum yang salah satu bagian dari gadis itu adalah milik sahabatnya.

Soyeon mengarahkan pandangannya pada Seunghyun yang lebih fokus pada burgernya. Sebagian orang berkata, Seunghyun cukup beruntung memiliki senyum indah itu. Dan sebagian lainnya, gadis itu cukup beruntung mendapatkan manekin hidup seperti Seunghyun. Mereka serasi dan mampu membuat iri siapa saja. Hanya saja, ada satu hal yang sering mengganggu pikiran Soyeon.

Seunghyun, apakah kau bahagia?

 

~oo0O0oo~

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet