fifth

Blind Date

“Yubin cepat bangun! Sebentar lagi makan malam,”

Uh, suara itu menggangguku. Aku tidak suka tidur siang—yang terbangun saat malam tiba—ku digangu terlebih oleh ibuku sendiri. Sudah cukup beliau mengganggu kehidupan ke-single-an ku tidak usahlah menggangguacara melarikan diri dari rutinitas yang semakin padat ini juga dirusak olehnya. Heh, kenapa aku jadi berlebihan seperti ini. Sepelan apapun Ibu mencoba membuka pintu kamarku, aku masih bisa mendengar deritnya dan aku menaikan selimut untuk menutupi tubuh sampai kepala—berusaha tidak peduli.

Langkah kakinya terdengar pelan dan berat, tidak seperti Ibuku yang seradak-seruduk tapi aku pikir itu hanya salah satu taktik agar langkah kakinya tidak terdengar olehku lalu menarikku paksa dari peraduan terindah, kasur. Aku tidak peduli dan berusaha untuk kembali tidur.

“Yubin,”

Ah, suara itu. Didalam mimpi pun suaranya begitu indah dan seksi. Aku makin memeluk guling yang empuk dan halus, berguling sedikit untuk mendapatkan posisi yang pas. Menurut penelitian tidur yang mendapat mimpi dikatagorikan tidak pulas tetapi kalau mendapat mimpi berupa panggilan manis dari si ‘dia’ kupikir itu akan menjadi tidur yang membahagiakan. Aku bahkan berpikir sedang senyum-senyum sendiri diatas kasur.

“Ini sudah hampir malam, ayo bangun”

Sial. Belaian tangannya pada rambutku begitu nyata dan aku tidak tahan untuk menggenggam tangan itu. Terasa besar, hangat dan halus, aku bahkan bisa merasakan garis tangan yang tegas. Ketika aku membawa tangan itu ke bibirku—untuk ku cium-cium, karena kapan lagi aku bisa mencium-cium tangan si pujaan hati—aku mumulai curiga, aku bahkan dapat mencium bau sabunnya! Aku hampir terjungkal kelantai saat kudapati wajah kebingungan sang pujaan hati berada tepat didepan mukaku. Jantungku sebentar lagi akan mencapai limitnya karena berdetak begitu cepat.

Kami saling pandang dalam keheningan yang berlangsung cukup lama—aku bahkan menahan napas. Aku berada diujung tempat tidur dan ia berada di sisi lainnya. Ketika ia berkedip (yang sialnya terlihat lucu) aku memutuskan untuk melemparnya dengan bantal terdekat.

“Hey!”

Aku menegakkan tubuhku dan merasa baru benar-benar sadar. “Apa yang kau lakukan disini?!”

“Sohee menitipkan pakaianmu saat ku bilang akan lewat didekat sini” ia mengangkat bahu malas dan tak lama kemudian aku mendapati tatapannya mengarah pada tubuhku yang hanya terbalut gaun tidur yang tipis. Tanpa ragu aku meleparnya lagi dengan bantal untuk mengecohnya selagi aku melilitkan selimut disekujur tubuh.

Iamelihatku dengan heran lalu tertawa keras, tipe tawa yang tak pernah ia tunjukkan dilayar kaca. “Kau lucu, ayo cepat turun.” Lelaki itu melemparku dengan bantal sebelum lari terbirit-birit untuk keluar dari kamar—berpikir aku akan balas melemparinya.

Tanpa sadar tubuhku terpojok dipinggiran kasur saking terkejutnya. Aku bahkan lupa pernah meminjamkan baju pada Sohee karena ukuran tubuh kami lumayan berbeda walaupun terlihat sama-sama kurus. Entah ini tipu muslihat siapa tapi aku masih tidak dapat mempercayai ini semua. Aku bahkan ragu untuk berganti pakaian untuk sekedar memastikan kebenaran yang ada…diruang makan, mungkin?

 Ini seperti ada yang mendorong-dorong tubuhku untuk menemui Seunghyun di lantai bawah rumahku. Ketika aku menuruni tangga, aku tidak dapat mempercayai penglihatanku ketika melihatia dan ibuku tertawa sambil menaruh hidangan dimeja makan. Aku bahkan yakin rahangku tidak tertutup rapat sekarang. Ibu menyadari kehadiranku lalu memanggil dengan suara lembut—yang sengaja dibuat-buat dan terdengar menggelikan. Seperti gerakan slow motion sang pujaan menengok kearahku dan tersenyum tipis yang membuatku mengeratkan cengkraman pada tangga agar tidak terjatuh dari tangga karena itu akan terlihat memalukan.

            Sudah hampir sejam setelah makan malam usai dan aku bingung mengapa lelaki ini tak kunjung angkat kaki dari rumahku. Ia sudah memberikan titipan Sohee—yang demi apapun aku tidak ingat kapan membeli dan meminjamkannya pada Sohee dan ia bahkan sudah mendapat makan gratis dirumahku. Kami berada ditaman belakang rumah, duduk di ayunan, masing- masing menggenggam segelas cokelat panas. Sedikit-sedikit aku menyeruput cairan panas itu untuk menghangatkan tubuh, sedangkan Seunghyun menyelimuti gelas itu dengan tangan besarnya (aku mulai berpikir apa jari-jarinya yang panjang itu pas berada disela jari-jariku yang kurus) sambil melihat ke langit yang gelap.

Hari ini tidak ada bintang tapi ia seperti menikmati pemandangan gelap gulita diatas sana, bibirnya menyunggingkan senyum kecil. Sesekali aku melirik dan menimbang-nimbang apakah aku harus minta maaf atas perlakuan kasarku di telpon tempo hari.

“Apa sebenarnya yang kau lihat?” Pertanyaan asal ini sudah kupesiapkan beberapa menit kebelakang dan nada suaraku yang ketus tidak mendukung suasana tenang yang tadi sudah tercipta.

Seunghyun menghela napas lalu meneguk hampir setengah dari isi gelas yang sedari tadi belum diminumnya, ia melirik kearahku. “Aku hanya sedang menikmati keheningan,”

            “Jadi pertanyaanku mengganggu kegiatanku menikmati keheningan malam?”aku berkata sembari memfokuskan pandanganku pada gelas yang isinya sisa seperempat saja—takut membalas lirikan mautnya.

            “Tidak. Setidaknya aku tahu kau tidak bisu,” ia meletakkan gelasnya dimeja kecil yang membatasi kami sebelum melanjutkan “mungkin hanya malu untuk bersuara bila berada didekatku, um?”

Aku mendengus samar untuk menutupi keterkejutanku. Apa perasaanku terbaca semudah itu olehnya? Alisnya yang naik sebelah dan bibirnya masih menyunggingkan senyum tetapi kali ini lebih lebar, menggodaku untuk ikut tersenyum juga.

            “Aku minta maaf atas omongan kasarku tempo hari. Dan kau benar,” aku mulai berani menatapnya. “Malamnya tamu bulananku mampir”

Ia mendesah, “aku harus menandai kalenderku dengan periode bulananmu agar tidak kena semprot mulut besarmu ketika menelpon,” sekonyong-konyong ia mengalihkan pandangan dariku saat aku memberanikan diri untuk menatapnya.

Aku melemparnya dengan hiasan buah plastik yang berada dimeja sembari diam-diam berpikir apa ia akan sering menghubungiku karena ia repot-repot menandai kalender ketika periode bulananku datang. Tapi kemudian bagian diriku yang lain berkata kalau itu hanya kata-kata yang tak akan ia ingat lagi setelah pulang nanti. Yang lebih besar adalah mulut lelaki, aku mengingatkan diriku sendiri.Seunghyun melirik jam tangan mahalnya sebentar, kemudian ia mengutarakan keinginannya untuk pulang. Aku merasa agak kecewa kendati ini belum sampai pukul sepuluh tapi aku mengantarnya ke pintu rumah, membukakan pintu lalu mempersilakannya untuk pulang (aku ingin mengingatkan untuk sering-sering kembali tetapi gengsi dalam diriku menahannya).

Ketika aku akan menutup pintu, sesuatu menahannya. Seunghyun ternyata berbalik lagi dan menunda kepulangannya. Apa ia akan mengecup keningku dan mengucapkan selamat malam? Kata suara dalam hatiku. Tetapi ia diam saja sambil menatapku, aku pun tak berani bersuara. Kemudian ia merogoh saku celananya, memberikan kotak kecil beludru padaku.

“Apa kau akan memberikan ini pada orang yang kau sukai?” isinya cincin, seperti yang sudah ku duga. Aku menanyakannya dengan setengah hati. Oh Tuhan, ia menyukai seseorang dan memamerkan cincin berlian yang cantik padaku.

Seunghyun menarik napas cukup keras, “ya, aku akan memberikannya.”Ia menatapku lagi. “Kau mau mencobanya?”

Apa yang ia pikirkan? IA MENYURUHKU UNTUK MENCOBA CINCIN SIALAN YANG AKAN DIBERIKAN OLEH WANITA LAIN YANG LEBIH BERUNTUNG DARI AKU?

            “Apa ukuran jarinya sama seperti ku?” alih-alih marah, suaraku malah terdengar ragu.

            “Mungkin,”

            “Apa dia cantik?”

            “Ku rasa begitu”

            “Apa dia artis juga?”

            “Ya, dia akan comeback sebentar lagi,” Siapa? Apa salah satu personel Girls Generation?

            “Apa harganya mahal?” Oh, pertanyaan apa ini.

Ia menghembuskan napas dengan frustrasi, “Oh fck. Hanya pakai saja cincin itu dan menikahlah denganku,” pandangannya tidak fokus ke segala arah. “aku sudah bicara dengan Ibumu tentang masalah ini sebelum makan malam tadi dan beliau tidak keberatan. Kita bisa saling mengenal sebelum tiba hari pernikahan.”

            Apa aku perlu mendeskripsikan bagaimana keadaanku sekarang? Kalaupun tidak aku akan tetap mengatakan bahwa aku kacau dan hampir kehilangan kesadaran. Mulutku bahkan tidak mengatup rapat, aku lupa sudah berapa detik tidak berkedip karena mataku terasa pedih sekarang, kotak beludru yang ku genggam mungkin sudah terjatuh dari tadi karena tanganku gemetaran—untung aku menggenggamnya erat-erat.

            “Jadi…apa kau mau, Yubin?”

Aku rasa kalian tahu jawabannya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

-to be continued-

         

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
ilikek444 #1
Coule you please do an english version please ?

I really like toobin <3
iemamaa #2
Chapter 1: wawww.. untuk pertama kalinya baca ff berbahasa Indonesia dan sangat menarikkk... ditunggu update-anya author-nim :)