Being a Stalker

God who Falls in Love

Tubuh kecil yang sudah sejak semalam ditelan selimut itu menggeliat. Perlu beberapa menit bagi Baekhyun untuk melempar selimutnya dan memperlihatkan balutan piyama bermotif lucu. Lihatlah, gambar anjing-anjing kecil memenuhi piyama berwarna putih itu. Imut sekali.

Namun, pemuda bertubuh mungil itu ternyata masih betah berbaring. Dalam posisi meringkuk, ia buka matanya. Ia menguap sambil mencoba memfokuskan pandangan kaburnya pada jam di dinding. Sudah jam 6 pagi, rupanya.

Ia tutup matanya lagi sambil menguap. Air mata muncul—tentu karena efek mengantuk. Setelah beberapa saat bertahan pada posisi itu, Baekhyun memaksa diri untuk bangun. Diangkat tubuhnya, namun tetap bertahan dalam posisi duduk di atas ranjang. Berulangkali ia kerjapkan mata yang tergolong indah untuk seorang laki-laki.

"Oahm—" Uapan lagi. Entah sudah berapa kali ia menguap sejak mencoba bangun dari tidurnya.

Baekhyun menggaruk-garuk kepalanya yang mendadak gatal. Kemudian, ia berdiri sembari merapikan tempat tidurnya yang lagi-lagi dipenuhi dengan corak dan ornamen anjing.

Memang, semua hal di kamar Baekhyun bertemakan dengan anjing: dinding, lantai, perabotan, hiasan, pernak-pernik, bahkan pakaiannya. Ah, jangan lupakan koleksi boxernya. Pengawal Chanyeol ini memang pecinta anjing. Jadi, jangan kaget, jika ada segala sesuatu yang berhubungan hewan itu, pasti akan dibeli dan dijadikan koleksi.

Dengan gontai, Baekhyun meninggalkan kamar. Matanya terpejam, namun ia tetap berjalan. Sungguh mirip dengan seorang yang berjalan saat tidur. Ia benar-benar tampak lucu dan menggemaskan. Kecuali, jika saat ia marah dan menebarkan senyum penuh artinya ke mana-mana. Saat Baekhyun dalam kondisi saat itu, lebih baik orang lari sejauh mungkin untuk bersembunyi dan menyelamatkan diri.

Ia terus saja melangkah hingga akhirnya, berhenti di depan pintu sebuah kamar. Sebuah kamar dengan pintu bertuliskan Park Chanyeol, the Handsome GodMelihat tulisan itu, Baekhyun mendecih tanpa minat, lalu mengetuk pelan pintu. "Park Chanyeol, keluarlah dari kamarmu! Kau tidak boleh tidur, kau tahu? Kalau aku mendapati kau menutup mata, bersiaplah mati, Park Chanyeol!" Sebuah ancaman ternyata mengikuti.

Tak ada sahutan. Tak ada pula pintu terbuka. Kening Baekhyun berkerut.

Dibukanya pintu kamar Chanyeol, namun tak ditemukan sosok bertubuh jangkung itu di kamarnya. Pemuda bersurai hitam itu hanya menelengkan kepala.

Sungguh aneh. Di mana Chanyeol?

Biasanya, Chanyeol akan sibuk melakukan sesuatu di kamar untuk meredakan rasa bosan karena tak boleh tidur. Namun, kali ini, dewa itu tak ada di kamar sama sekali. Jika dilihat, kamar Chanyeol bahkan tak tampak terjamah apa pun sejak semalam.

Baekhyun menutup kamar sang Dewa. Pertanyaan tentang di mana gerangan Chanyeol berada memenuhi benaknya. Namun, ia mengabaikan untuk sementara. Segera, ia melangkah ke arah ruang makan. Ia membuka kulkas, mengambil segelas susu dan meminumnya dengan cepat. Susu dingin itu cukup efektif membantunya untuk benar-benar sadar dan membuka mata.

Perlahan, ia tutup pintu kulkas sambil mengedarkan pandangan ke sekitar berharap bisa menemukan sosok dewa yang mulai malas menjalankan tugasnya dengan benar belakangan ini.

Nihil. Tak ada tanda-tanda keberadaan Chanyeol.

Mata Baekhyun akhirnya terfokus pada sebuah memo yang tertempel pada pintu kulkas.

Aku pergi duluan. Sudah kumasakkan bubur untuk sarapan pagi. Dijamin enak dan tak akan membunuhmu. Hehe. Aku harus mengejar buruanku.

With Love, Park Chanyeol, si Dewa yang tampan-

Kernyitan tampak di kening Baekhyun sesaat ia membaca memo di sticky note kuning itu. Segera, ia ambil cermin kecil di saku piyama dan fokus melihat sesuatu yang tampak.

Ia berjalan ke arah meja makan. Ditemukan semangkok bubur putih pucat dan sedikit kecoklatan. Orang pasti akan melihat itu tak benar-benar tampak seperti bubur. Namun, Baekhyun tak terlalu memerhatikan apa yang ada di dalam mangkok. Ia terlampau fokus mencermati cermin miliknya.

Sang pengawal mendudukkan diri pada kursi. Tanpa pikir panjang, ia sendokkan bubur ke dalam mulut. Mata masih terpaku dari cermin di tangannya. Di sana, ia bisa melihat Chanyeol sedang berdiri di apotek. Sepertinya, habis membeli sesuatu.

Ah, Baekhyun sedang memantau sang Dewa dengan cermin ajaib, rupanya.

Baekhyun masih akan terfokus pada cermin, kalau saja ia tak merasakan sesuatu menjijikkan memenuhi mulut. Dengan segera, ia menyemburkan bubur itu. Ia mengambil air dan membersihkan mulut dari rasa yang hampir membuatnya mati.

"Dasar, Park Chanyeol sialan! Apa dia mau membunuhku? Cih, benda menjijikkan apa yang dia masak?"

Baekhyun menatap jijik semangkok bubur di depannya. Ingin rasanya ia muntah. Mengapa ia bisa begitu bodoh? Bisa-bisanya, tanpa sadar, ia mau makan masakan buatan Chanyeol. Padahal, jelas-jelas, Baekhyun tahu seumur hidupnya, Chanyeol tidak pernah bisa memasak sendiri.

Baekhyun mengambil mangkok berisi bubur gagal itu dan membawanya ke tempat cuci piring di dapur. Baru saja bermaksud membuang isi mangkok ke tempat sampah, ia terperangah. Pemandangan yang ia lihat membuat matanya melotot seakan mau keluar.

Berbagai sayur, yang utuh dan setengah terpotong, berserakan di mana-mana. Di meja, di lantai, bahkan ada selada tergantung di kipas dan ikut berputar searah jarum jam. Perabotan masak tak berada di tempatnya. Sebuah panci teronggok di jemuran payung di samping rumah. Baekhyun penasaran bagaimana mungkin itu bisa ada di sana? Sungguh, dapur itu benar-benar seperti kapal pecah.

Baekhyun memilih membanting mangkok itu sebelum mengambil sebuah pisau daging besar. Dengan mata melotot dan senyum 'kematian' terkembang, ia acungkan pisau sambil berteriak. "PARK CHANYEOL! BERSIAPLAH UNTUK MATI!"

~ . ~


~ . ~

"HatchiHatchi—"

Sejak semalam, Kris tak berhenti bersin. Badannya sangat tidak enak—mungkin efek dari kehujanan kemarin.

Kris mengeratkan syal putih yang melilit lehernya. Ia merasa tak sehat hari itu.

Sungguh. Orang normal mungkin akan memilih tak berangkat sekolah dengan kondisi seperti itu. Meringkuk di bawah selimut setelah makan sup ayam hangat dan obat adalah hal wajar untuk dilakukan. Namun, Kris bukan orang 'normal'. Tak bisa ia melakukan itu.

Rumah bukan tempat yang membuatnya betah. Ia tak suka menghabiskan waktu di sana dalam waktu lama. Jadi, ia memilih meninggalkannya sepagi mungkin. Ya, tentu saja dengan alasan sekolah. Alasan paling masuk akal. Alasan apa pun pasti akan ia buat demi meninggalkan tempat bernama rumah itu. Bagi Kris, rumah hanyalah tempat untuk tidur dan makan. Hanya itu—tak lebih. Jadi, tak ada gunanya berlama-lama di sana. Toh, keluarganya tak akan peduli apa dirinya sakit atau tidak. Mereka terlalu sibuk dengan urusan bisnis—tak pernah memerhatikannya.

"Hatchi— Hatchi—"

Kris mengambil tisu dari saku jaket dan mengusap hidungnya yang mulai memerah dan sedikit berair. Ya, setampan apa pun dirinya, Kris tetaplah manusia biasa. Ia bisa saja sakit. Bahkan, penyakit flu bisa saja menyerang dan membuat pesona coolnya menghilang sekejap.

Pemuda berumur 17 tahun itu menghentikan langkah. Duduklah ia di kursi taman. Tempat itu begitu sepi. Sudah jam 6.15, tapi tak banyak orang di sana. Mungkin udara terlalu dingin, sehingga membuat orang malas keluar dan memilih meringkuk di bawah selimut lama-lama.

Kris mengeluarkan sebuah headphone putih yang selalu menemani dari dalam tas punggung. Segera, ia pasang menutupi kedua belah telinga yang kini terlihat memerah. Ia mencolokkan ujung headphone pada iPod sebelum memutar lagu kesukaannya. Sembari menikmati lagu, ia sibuk menggosokkan kedua belah tangan pucatnya—berharap sedikit kehangatan tercipta. Hari itu memang dingin. Jaket dan syal yang melekat pun tak bisa memberikan kehangatan yang Kris inginkan.

Ia baru saja berniat pergi dan meninggalkan taman, saat sesosok pemuda menyodorkan sekantong plastik hitam di depannya. Tak jelas apa isinya. Ia alihkan pandangan dari kantong ke arah si pemberi. Seorang pemuda berwajah tampan dengan senyuman lebar tersungging di bibir. Sungguh, benar-benar mirip orang tolol.

Kris melemparkan tatapan dingin seolah berkata: siapa kau? Singkirkan senyum memuakkan itu!.

Ya, pemuda di depannya memang tampak menyebalkan. Namun, alih-alih menghilang, senyuman si pemuda malah semakin lebar. Tampak jelas, ia sebenarnya tertawa—entah karena alasan apa. Kris menautkan alis, berpikir pemuda itu pasti benar-benar sudah gila.

"Untukmu, Kris." Pemuda itu masih saja menyodorkan kantong plastik hitam yang tampak penuh. Entah apa isinya. Sungguh mencurigakan.

Kris tercengang.

Untuknya? Tapi, untuk apa? Dan, apa isinya?

Jangan-jangan, ia adalah anggota mafia pencuri organ. Pasti ia mencoba mendekati Kris untuk menjadikannya korban. Namun, dibuangnya jauh-jauh pikiran aneh yang tiba-tiba melintas itu. Eh—sebentar—Bagaimana pemuda itu tahu nama Kris? "Kau sia—?"

"Park Chanyeol. Panggil aku Chanyeol. Siswa kelas 2 SM High School. Kau Kris, siswa kelas 2 XOXO High School, kan?" jawab Chanyeol santai, tanpa menunggu pertanyaan dari Kris. Senyuman lebar masih melekat di bibirnya—memperlihatkan deretan putih nan rapi.

Kris lagi-lagi terperangah. Mengapa ia terus saja tersenyum?

Menyebalkan! Ia tampak seperti orang tolol yang suka tersenyum lebar—mengganggu sekali. Namun, mengapa ia terlihat tampak manis juga? Astaga, apa yang Kris pikirkan?

Eh? Sebentar—sebentar. Lagi-lagi, bagaimana pemuda bisa tahu tentang Kris? Pasti ada yang tidak beres. Itu sudah pasti! Pikiran bahwa pemuda di depannya berniat jahat kembali memenuhi benak Kris. "Tinggalkan aku sendiri!" usir Kris kasar.

"Hei, Kris. Aku tak mempunyai niat jahat padamu sama sekali. Aku hanya ingin memberimu ini. Itu saja! Tak lebih!" Chanyeol memindahkan kantong plastik ke tangan Kris dengan sedikit memaksa.

Kris menepisnya dengan sedikit emosi. Kantong plastik terjatuh dan robek—memperlihatkan isi yang kini bertebaran di dekat kakinya. "Hei, dengar ya, siapa pun dirimu! Untuk apa kau ingin memberiku sesuatu, kalau kau tak punya niat jahat? Aku tidak mengenalmu! Menyingkirlah! Aku tidak butuh apa yang kau be—" Kris terdiam melihat isi kantong plastik hitam tadi.

"Bukannya kau membutuhkan semua itu, Kris? Dan, bukannya sudah kuberitahu namaku Chanyeol?" Chanyeol mengerucutkan mulut sebal sembari memungut barang-barang di depannya. Ada obat flu, tisu, sebotol mineral, sekotak susu, dan kimbapyang masih terbungkus rapi.

Kris membelalakkan mata. Sungguh, ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Semua benda itu—semua itu yang ia pikirkan! Ia membutuhkan obat dan air mineral untuk mengobati penyakitnya. Dan, jujur, ia memang lapar. Ia tadi sempat membayangkan kimbap dan sekotak susu untuk sarapan. Ya, ia tadi memang belum sempat sarapan. Sengaja. Kris tak ingin bertemu dengan keluarganya yang terlalu sibuk itu.

Tapi, bagaimana mungkin pemuda yang tampak memungut semua itu tahu apa yang ia butuhkan? Jangan-jangan— "Ya! Kau! Siapa tadi namamu? Chan— Chan— Ah, untuk apa aku peduli dengan namamu. Tidak penting! You're a stalker, right?" seru Kris setengah emosi. Dikacakkannya pinggang dengan mata memerah karena marah dan sedikit mengantuk. Maklum, ia memang nyaris tak bisa tidur semalam.

Chanyeol sudah selesai. Ia pun segera meletakkan barang yang berhasil ia kumpulkan di samping Kris. "Hei, namaku Chanyeol, Kris. Tapi, khusus untukmu, kau boleh memanggilku Channie, kok. Kurasa itu lebih manis, kan? Dan aku—seorang stalker? Kau pasti bercanda." Chanyeol tertawa ceria.

Rasa-rasanya, Kris ingin muntah mendengar jawaban Chanyeol. Teriakan frustasi tertahan di tenggorokan. Ia mengumpat dalam hati.

Sungguh sial.

Ia lapar, sakit dan sekarang harus berhadapan dengan pemuda tolol dengan senyuman lebarnya. Pasti, ini efek sial gara-gara mengenal Tao. Ya, Kris memang selalu melimpahkan hal buruk yang terjadi padanya pada Tao. Bagi dirinya, Tao pembawa sial. Semenjak bertemu dan berkencan dengan pemuda itu, yang berakhir dengan putus, hidup Kris tak pernah sama lagi.

Tak tahan berhadapan dengan Chanyeol, Kris berniat pergi dari situ secepat mungkin. Baru saja ia membalik badan dan melangkah, sebuah sepeda yang dikendarai anak SMP melintas dan nyaris menabraknya. Mungkin ia akan tertabrak dan terluka kalau Chanyeol tak menariknya.

Hei! Tak tertabrak dan tidak terluka?

Jangan bercanda!

Memang Chanyeol membuatnya terhindar dari tabrakan. Tapi, pemuda itu juga membuat Kris jatuh tersungkur dengan cara tidak elit—menyebabkan telapak tangannya memerah. Luka dengan sedikit darah tampak mewarnai telapak itu.

"Ah, Kris! Maafkan aku! Aku berusaha menyelamatkanmu, tapi malah membuatmu terjatuh. Aduh, maaf Kris! Aku sungguh tak sengaja. Maaf." Chanyeol segera berjongkok di samping Kris sambil mencoba menolongnya.

Kris menepis tangan Chanyeol. Ia bangkit berdiri dengan cepat. Tangannya sibuk membersihkan tangan dan pakaian yang terkena debu. "Ya! Kau mau membunuhku, eoh? Menjauh dariku! Dasar bodoh!" Kris beranjak pergi.

Sungguh, mengapa harinya harus sesial ini? Benar-benar, ia ingin membunuh orang sekarang.

Chanyeol menahan tangan Kris dan menariknya. Dengan sedikit memaksa, ia membuat pemuda bersurai pirang itu untuk tetap duduk. "Bukankah aku sudah bilang aku tidak sengaja? Aku juga sudah minta maaf." Chanyeol melancarkan serangan puppy eyesnya. Sungguh memelas sekali—minta dikasihani, membuat Kris tak tahan dan memalingkan wajah.

"Aku benar-benar minta maaf. Ah, tunggu sebentar di sini. Aku belikan obat untuk lukamu," tambah Chanyeol.

Kris mendengus sebal. Mau apa bocah itu sebenarnya? "Hei, sudah kubilang aku tidak butuh apa pun darimu!"

"Aku tidak menerima penolakan! Tetaplah di sini atau kau akan menyesal!" Chanyeol melemparkan sebuah ancaman halus.

"Kau mengancamku?" Kris menaikkan alis.

"Sebenarnya tidak. Tapi, kalau kau menganggapnya seperti itu tak apa, Kris! Pokoknya kau harus tetap di sini!" Kembali, Chanyeol memamerkan deretan gigi putihnya nan rapi.

"Ya!" Kris sudah meninggikan nada suaranya.

"Aku bercanda, Kris. Jangan marah! Tapi, aku serius akan membelikanmu obat. Anggap saja sebagai tanggungjawabku sudah membuatmu jatuh. Okay? Tetap di situ sampai aku kembali atau aku akan mencarimu sampai ketemu!" Chanyeol bergegas meninggalkan Kris.

Lambaian tangan Chanyeol hanya ditanggapi oleh Kris dengan memutar bola matanya malas. Sungguh, Kris merasa dirinya sudah gila sekarang. Bertemu dengan orang menyebalkan dan ia mengikuti apa yang diminta oleh Chanyeol. Pasti, Kris sudah kehilangan akal sehatnya. Pasti!

"Kris! Kau boleh minum obat flu itu! Itu memang untukmu! Kalau mau, kau boleh makan kimbapnya! Jika tidak, tinggalkan saja di sana! Okay? Tetap di sana, ya! Aku mengawasimu," seru Chanyeol dari jauh. Jari telunjuk dan tengah yang ia gerakkan berulang kali ke arah bola matanya kemudian ke arah Kris mengakhiri aksinya. Senyuman khas masih saja menghiasi bibirnya, sebelum akhirnya ia menghilang di sebuah belokan.

Kris hanya menghela napas panjang. Berusaha keras ia memikirkan sesuatu untuk mengalihkan pikiran tentang Chanyeol. Nihil. Gagal total. Tak berhasil.

"Hatchi— Hatchi—"

Kris bersin-bersin lagi. Pandangannya beralih pada barang-barang di sampingnya. Butuh waktu lama, sampai akhirnya, ia memutuskan mengambil obat flu dan air mineral. Dengan cepat, obat dan air itu menyusuri kerongkongan. Sungguh, ia benar-benar membutuhkan obat untuk menyembuhkan penyakitnya.

Berdiam beberapa menit setelah meminum obat, membuat Kris mengantuk. Namun, Kris tak bisa tidur. Rasa lapar mendera. Kris menatap bungkusan rapi kimbap. Sadar dengan apa yang dilakukannya, ia mengalihkan pandangan ke arah lain—berusaha membuang jauh-jauh pikiran untuk memakan kimbap yang sangat menggoda itu.

Lagi-lagi, matanya berkhianat. Kimbap itu terlalu menggoda. Kris kembali menatap makanan itu lekat. Helaan napas keluar. Ia edarkan pandangan ke sekitarnya lagi. Sesudah memastikan tidak ada orang, Kris segera membuka bungkus kimbap itu dan segera memakannya.

Tak sampai lima menit, kimbap itu tandas. Tak tersisa. Kris segera membuang bungkus kimbap ke tempat sampah lalu meminum air mineral. Kembali ia mendengarkan iPodnya—tanpa menyadari ada sepasang mata yang terus mengawasinya dari ujung belokan sejak tadi. Ya benar, Park Chanyeol. Senyuman terkembang di bibirnya.

Chanyeol segera memulai aktingnya. Dengan menunjukkan wajah berkeringat, ia berlari ke arah Kris. Napas terengah-engah seolah kelelahan menambah sempurna aksinya. "Kris, kau menungguku? Aku benar-benar terharu, Kris."

"Aku tidak menunggumu, Bodoh! Aku hanya lelah. Jangan terlalu percaya diri," kata Kris dingin—berpura-pura. Egonya terlalu tinggi untuk mengakui bahwa ia menunggu Chanyeol.

"Apa pun alasanmu—Kuanggap kau menungguku. Oh, kau sudah meminum obat dan memakan kimbapnya?" tanya Chanyeol sambil menunjuk obat yang sudah tidak utuh lagi. Bungkusan kimbap pun sudah tak tampak lagi. Raut muka senang ia tunjukkan. Tulus, meskipun sebenarnya, Chanyeol berakting. Ingin rasanya, ia menggoda Kris dan melihat bagaimana reaksi pemuda dingin itu. Maklum, ia memang sudah tahu apa yang dilakukan Kris karena ia mengawasinya sejak tadi.

"Hei, jangan terlalu percaya diri! Aku hanya meminum obatnya. Kimbapnya aku buang. Kau pasti tak berpikir kalau aku memakan kimbap kotor berdebu tadi, kan? Cih!" Kris memalingkan wajah—berusaha menyembunyikan kebohongannya.

Chanyeol berusaha menahan tawa. "Ah, benarkah? Padahal kimbap tadi mahal sekali. Kau malah membuangnya. Sungguh sayang. Aku mau memakannya kalau tadi kau tak mau." Chanyeol berpura-pura mengerucutkan bibir.

Kris menatap Chanyeol dengan pandangan tak percaya. Ya, Chanyeol tadi sudah memberikan kimbap itu padanya. Tapi, ternyata, ia juga punya keinginan memakannya sendiri. Dasar pemuda konyol!

Chanyeol sibuk mengeluarkan beberapa benda dari tas punggungnya sebelum memberikannya pada Kris. Kapas, obat merah, alkohol dan beberapa plester bergambar lucu. "Untukmu!"

Kris melihat benda-benda itu dengan sedikit melotot. Bagaimana tidak? Plester itu—astaga! Bagaimana mungkin ada plester mencolok itu? Darimana ia mendapatkannya? Ya, plester itu—plester merah menyala dengan gambar phoenix warna keemasan. Dan, haruskah ia memakai benda norak itu? Jangan bercanda!

"Kubantu mengobati lukamu, ya?" pinta Chanyeol.

"Tak perlu. Aku terburu-buru!" tolak Kris cepat. Ia bangkit berdiri dan bergegas meninggalkan Chanyeol.

Namun, pemuda dengan tinggi 185 cm itu mengejarnya lalu memasukkan dengan paksa barang-barang itu ke dalam tas Kris. "Pastikan kau memakainya, okay? Sampai jumpa lagi, Kris. Kita akan sering bertemu," kata Chanyeol sambil mengerlingkan sebelah mata. Senyuman masih saja menghiasi bibirnya. Ia terus melambai-lambaikan tangan pada Kris yang menatapnya horor.

"Tao, ini semua salahmu! Mengapa aku harus bertemu dengan orang menyebalkan seperti Chanyeol? Tao, ini semua gara-gara dirimu! Awas kau! Argh—" Kris terus mengumpat sambil setengah berlari. Berusaha secepat mungkin menjauh dari pemuda yang terus melambai dan tersenyum padanya itu.

Ah—hari itu akan jadi hari panjang untuk Kris. Hari itu baru saja awal. Awal dengan akhir yang tak pernah Kris duga. Sungguh.

~ . ~

TO BE CONTINUED

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Chapter 6, 7, and 8 for you who miss this story. Lol. *jika ada*

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
Plot ceritanya bagus!
can_tbeempty #2
Chapter 5: Lanjutin dooong
stressedouttt #3
really interesting..
LovelyMeyMey #4
Chapter 5: udah deh kris lupain tao kan udah ada chanyeol
AWPark #5
Oonie fighting ciayou ganbate.. keep writing. Cerita oonie DAEBAK!! ^-^
krisyeolcola
#6
Chapter 5: ouuuhh, poor kris TT
chanyeol: sini-sini aku temani XD
mr.kim... makasih dah buat kris sedikit (SEDIKIT) menyukai keberadaan chanyeol kkkkk
thanks for update, want more~
Syanamyun99 #7
nice story! lanjut ya min
krisyeolcola
#8
Chapter 4: udah lihat di wordpressnya untuk chapt ini hehehe
n aku terkekeh di bagian ini "Mr. Kim, saya tidak pendek!" XD
AWPark #9
Chapter 3: Next min... Greget nih..
krisyeolcola
#10
Chapter 1: hadduu, another taoris -_-
bhs formal terasa kaku, apa krn aku yg jrg bc fiksi dlm bahasa y? XD
foreword nya ngingetin aku sm salah satu krisyeol angst dsni dan ceritanya bgs bgt, cm bedanya ini ada humornya hmm
update soon :)