Bad Luck

God who Falls in Love

"Hosh— Hosh—"

Kris masuk gerbang sekolah dengan cepat. Napasnya sedikit terengah. Peluh membanjiri wajah nan pucatnya. Namun, hal itu tak mengurangi ketampanannya—justru sebaliknya, membuat Kris tampak semakin memesona.

Tapi, apa yang sebenarnya terjadi?

Ah, pemuda jangkung ini sedari tadi terus berlari—tanpa henti. Meninggalkan pemuda dengan senyuman lebar yang ia temui di taman. Pemuda aneh yang sangat menyebalkan.

Park Chanyeol. Siapa lagi?

Dalam perjalanan ke kelas, sesekali, Kris masih menoleh ke belakang—takut kalau-kalau Chanyeol akan kembali mengikuti dan muncul tiba-tiba di hadapannya.

Entahlah, bagi Kris, ia harus menghindari pemuda di taman tadi. Ada sesuatu yang aneh dari diri Chanyeol. Kris merasa harus terus waspada dan berhati-hati—entah apa alasannya. Yang jelas, ia akan berusaha keras menghindari berurusan dengan Chanyeol. Benaknya mengatakan kalau hidupnya tak akan pernah sama lagi jika ia terus bertemu dengan pemuda bergigi rapi itu.

Ah, dulu Tao, sekarang Chanyeol. Sial. Kris benar-benar bisa gila.

Dengan ekspresi terlewat dingin, ia terus melangkah menuju kelas. Sesekali, terdengar bisik-bisik saat Kris lewat. Ah, ia sudah terbiasa dengan itu. Kris memilih menaikkan volume iPodnya sehingga tak perlu mendengar gunjingan atau obrolan tak penting dari siswa-siswa di sekolah. Toh, ia juga tak peduli lagi dengan apa yang mereka bicarakan.

Kris baru saja akan memasuki ruangan kelas, saat pemandangan di dalam menghentikan langkahnya di depan pintu.

Tao tampak sibuk mengusap rambut dan mencubit pipi Kyungsoo—teman sekelas Kris yang terkenal dengan mata bulatnya. Pemuda bak panda itu tampak sangat menikmatinya, sementara Kyungsoo begitu malas menanggapi ulah Tao. Justru ia kelihatan begitu risih dengannya.

Bagaimana tidak? Pagi-pagi, Tao dengan seenaknya datang ke kelasnya. Ditambah lagi, tingkah menggelikan ini. Damn it. Ingin Kyungsoo membunuh makhluk satu ini. Tao bukan pacar -apalagi teman juga bukan- dan ia pun tak menyukainya. Ya, meskipun sebenarnya, Tao itu salah satu makhluk paling populer di sekolah. Ah, ia tak peduli.

Dalam hati, Kyungsoo ingin sekali menonjok mata panda Tao sehingga bertambah hitam. Namun, jelas ia harus berpikir dulu seribu kali sebelum melakukannya—Tao itu juara martial art tingkat internasional. Bisa-bisa Kyungsoo mati duluan sebelum berhasil melancarkan pukulannya. Ah, Kyungsoo masih terlalu sayang nyawa. Jadi, ia terpaksa diam saja diusik seperti itu. Sekalipun sejujurnya, tingkah Tao itu membuat muak setengah mati. Kyungsoo normal, man!

~ . ~

~ . ~

Kris menatap jijik pemandangan itu dari pintu. Kedua manusia di kelas rupanya tak sadar akan aura membunuh yang menguar dari Kris. Ya, untung saja mereka tak menyadarinya. Karena jika mereka sadar, mereka akan langsung mati melihat mata Kris tajam yang siap mencincang.

"Kris! Mau sampai kapan kau di depan pintu? Kami harus masuk ke kelas! Bel sudah hampir berbunyi!" seru Suho, sang ketua kelas.

Gara-gara Kris berhenti tepat di depan pintu masuk, beberapa anak terlihat tertahan di luar. Mereka ingin segera masuk sebelum terlambat—sebelum Mr. Kim, si guru matematika paling kejam, menghukum mereka dengan hukuman tak berperi-kemanusiaan.

Kris melirik sadis. "Berisik! Itu bukan urusanku!" teriak Kris pada segerombolan siswa kelasnya. Mata Kris memerah—menahan emosi yang siap meledak kapan saja. Oh, baiklah, ia sudah mulai meledak. Lihatlah asap yang seolah muncul dari kepalanya.

"Ya! Aku tak peduli seberapa hebat dirimu, Kris! Aku juga tak peduli apa yang membuatmu menghalangi pintu! Sekarang, biarkan kami masuk! Kami tak ingin menerima hukuman dari Mr. Kim! Minggir!" Xiumin yang bertubuh kecil merangsek masuk—melewati tubuh tinggi Kris dan akhirnya berhasil masuk kelas.

Kris terdorong sedikit ke belakang. Anak-anak yang tertahan di luar tadi jelas tak melewatkan kesempatan itu. Mereka berebut memasuki kelas. Mereka tak mau mengambil risiko terlambat satu menit saja untuk kelas Mr. Kim.

Keributan di luar membuat Tao menghentikan tingkah isengnya menggoda Kyungsoo. Dipicingkan matanya—mencoba mengalisis apa yang terjadi. Dan, mata Tao terpaku pada Kris yang tetap bergeming di luar. Menatap langsung ke mata pemuda itu.

Menyadari apa yang terjadi, Tao hanya memamerkan seringai. Sebuah senyuman remeh. Dilambaikan tangannya seolah menyapa sang mantan pacar. Dengan tingkah sok polos dan tanpa merasa bersalah, ia melakukannya. Padahal, Tao jelas bisa melihat aura membunuh yang luar biasa dari Kris. Namun, tak ia pedulikan. Ia justru menikmati perasaan benci itu. Sekarang, malah semakin gencar ia menggoda Kyungsoo yang terus-terusan menepis tangannya—bahkan sampai mengumpat.

Semakin sebal jadinya seorang Kris. Emosi pemuda ini semakin tak terbendung. Dibantingnya pintu dengan keras, menimbulkan suara yang mengagetkan seluruh penghuni kelas. Terlampau kaget, beberapa dari mereka mengumpat—mengeluarkan sumpah serapah pada Kris. Dasar manusia aneh.

~ . ~


~ . ~

Drap—Drap—Drap—

Langkah sepatu Kris berderap—menimbulkan gema—kala menaiki tangga menuju atap sekolah.

Bel tanda masuk berbunyi ketika Kris tiba di tempat paling ia sukai di sekolah—selain perpustakaan dan ruang musik. Atap sekolah memang menjadi tempat pelarian favorit Kris dari segala masalah. Ya, setidaknya, di jam-jam kosong atau istirahat. Bukan kala jam pelajaran aktif seperti ini.

Ah, rupanya Kris memutuskan membolos kelas Mr. Kim. Ia tahu itu salah, apalagi sang guru matematika sangat menyukainya. Ya, setidaknya itu menurutnya. Namun, ah—ia tak akan bisa fokus ke pelajaran dengan mood sekacau ini. Lebih baik Kris membolos daripada ia melampiaskan emosi meledak-ledaknya dalam kelas.

Bukan masalah baginya jika siswa lain yang jadi korban pelampiasan emosi. Tapi, kalau Mr. Kim yang kena? Bisa-bisa Kris mati digorok guru matematika kejam itu. Dan, Kris masih ingin hidup. Ya, setidaknya untuk saat ini.

Setelah melemparkan tas ke sebuah kursi di sana, pemuda bertubuh tinggi menjulang itu merebahkan diri di atas meja tak terpakai. Matanya kini menatap langit luas nan biru diwarnai awan putih berarak. Berusaha keras ia menenangkan diri—membuang jauh-jauh emosi meledak-ledaknya.

Beberapa saat kemudian, ia menarik napas panjang dan menutup mata. Angin sepoi-sepoi menyejukkan bertiup, seolah membantunya merasa lebih baik.

Kembali terlintas kejadian tadi. Sungguh, hal itu membuatnya begitu emosi.

Tao—pemuda panda itu, pemuda yang ia benci setengah mati. Pemuda yang jadi pacarnya selama seminggu setahun lalu, pemuda yang memutuskannya sepihak setelah menciumnya, pemuda yang mengatakan kalau ia membosankan. Pemuda yang ingin Kris bunuh. Keparat!

"Argh—! SIALAN KAU, TAO!" teriaknya keras. Kris masih tak bisa menenangkan diri. Masih terlalu emosi, rupanya.

Pemuda berambut pirang itu beranjak bangkit dan duduk. Diacak surai berkilaunya dengan frustasi. God, sampai kapan ia akan menjadi seperti ini?

Banyak orang beranggapan Kris terlalu berlebihan bersikap seperti sekarang. Harusnya ia tak bertingkah seperti itu setelah putus dengan Tao.

Berlebihan? BERLEBIHAN? Kris ingin membungkam orang yang mengatakan hal itu.

What the— Ya! Jangan bercanda! Apa yang Tao lakukan tak seperti yang orang lain bayangkan.

Hanya putus?

Tidak. Tidak seperti itu.

Efeknya jauh lebih besar dan buruk pada kehidupan Kris. Dan, tak seorang pun mengetahuinya. Mereka tak pernah mengenal sosok Kris sebenarnya—jadi, mereka tak mungkin tahu. Tidak mungkin.

~ . ~


~ . ~

Awalnya, Kris cukup populer di kalangan siswa XOXO High School. Tubuhnya tinggi dan atletis, pintar dan tentu berpenampilan menawan. Orang tuanya pun sepertinya mempunyai harta berlebih—meskipun Kris tak pernah menunjukkannya. Kris selalu mengikuti berbagai perlombaan akademis dan sering mendapatkan juara.

Banyak siswa berlomba menjadi pacar pemuda keren itu. Namun, Kris selalu menolak. Ia tak pernah menerima pernyataan cinta yang ditujukan padanya. Senyuman ramah dan tolakan halus selalu ia berikan. Ia selalu mengatakan lebih baik mereka berteman. Karena, ya, bagi Kris, buku dan musik adalah segalanya. Ia tak membutuhkan pacar selama ia masih menikmati buku dan musik.

Hal itu tak menyurutkan niat para penggemar untuk menyukai Kris. Justru sebaliknya, mereka semakin tergila-gila pada Kris. Pemuda itu terlihat sangat berkarisma saat sedang membaca buku, belajar atau mendengarkan musik. Itu pesona yang tak bisa ditolak. Hanya Kris yang memilikinya.

Di awal tahun ajar pertama, Kris sangat dekat dengan Tao—seorang siswa pindahan dari China yang duduk sebangku dengannya. Tao pindah ke XOXO High School beberapa minggu setelah tahun ajaran baru dimulai.

Saat-saat itulah, Kris akrab dengan Tao. Pemuda pindahan dari China itu memang mengalami kendala komunikasi. Jadi, Kris yang notabene mampu berbahasa mandarin dengan baik pun membantunya. Sedikit demi sedikit, Kris mengajarkan Tao bagaimana berbahasa Korea. Dan, karena itulah, mereka semakin dekat dan selalu terlihat bersama. Tiada Kris tanpa Tao, begitu pula sebaliknya.

Semakin hari, keakraban itu makin lekat. Kris mulai menaruh hati pada siswa mirip panda itu. Tao tampak begitu manis, apalagi dengan sikap yang selalu ceria dan optimis. Ia sangat menarik. Perlahan, Tao bisa membuat Kris mengalihkan perhatian dari pacar lamanya—buku dan musik. Kris pun menghabiskan lebih banyak waktu untuk bersama Tao.

Dan, seiring berjalannya waktu, Tao, yang awalnya punya kendala dengan komunikasi, berubah menjadi sangat populer. Kemampuan wushu dan martial artsnya membuatnya terkenal. Prestasi di bidang olahraga lain pun luar biasa. Ia jadi sangat tenar.

Ketenaran Tao mengundang decak kagum seluruh penghuni sekolah. Semua orang tertarik pada dirinya—berlomba-lomba dekat atau bahkan berharap Tao akan menjadi pacar salah satu dari mereka. Tak hanya teman seangkatan yang terpesona, para kakak kelas pun rela berlutut dan mengemis cinta pada pemuda berwajah manis itu.

Namun, nyatanya, kepopuleran Tao berefek pada kedekatan dengan Kris. Tao lebih sering menghabiskan waktu dengan teman klub olahraga, atau mereka yang memiliki hobi sama dengannya. Sementara, Kris tetap bertahan dengan berbagai kegiatan akademisnya. Dengan kemampuan berbahasa Tao yang jauh lebih baik, Kris pun serasa tak dibutuhkan lagi di mana pun Tao ingin berada. Siswa dari China itu sudah mandiri dan mulai menikmati kebebasannya.

Walaupun sudah tak sering bersama, nyatanya, Kris masih menyimpan rasa pada pemuda bermata panda itu. Tao sudah benar-benar mencuri hatinya. Otak Kris yang biasa dipenuhi rumus atau hapalan pelajaran, sudah terganti dengan semua hal tentang Tao.

Pada suatu hari yang cerah, Kris memberanikan diri menyatakan perasaannya. Hal mengejutkan terjadi: Tao menerimanya!

Luar biasa! Kris begitu gembira. Sampai-sampai ia ingin melompat-lompat dan berteriak sekencang-kencangnya.

Dan, ya, itulah awal dari hubungan kedua manusia ini. Kris dan Tao pun kembali dekat. Sekolah gempar dengan berita pacaran dua siswa populer itu. Banyak siswa kecewa dan patah hati karenanya.

Semenjak itu, Tao sering bermanja dengan Kris—dan pemuda bersurai pirang itu akan memberikan senyum termanisnya untuk Tao. Sesekali, dielusnya surai hitam Tao dengan lembut, penuh kasih. Dan, jelas saja, semua siswa iri dengan kemesraan itu. Mereka berharap pasangan KrisTao akan segera putus, sehingga mereka bisa mengambil kesempatan dekat dengan siswa sepopuler Kris atau Tao.

Masa-masa berpacaran mereka habiskan bersama. Tao sering menemani Kris membaca buku dan mendengarkan musik. Sebaliknya, Kris akan memberi dukungan dan menunggu Tao untuk menyelesaikan latihan. Mereka cukup menikmati kegiatan bersama ini.

Namun, semakin lama, tampaklah perbedaan yang semakin mencolok. Perbedaan ini mulai mengganggu hubungan KrisTao. Tao sendiri kini semakin suka menghabiskan waktu dengan teman-temannya di klub olahraga atau klub lain yang diikutinya. Sementara, Kris sejujurnya lebih suka menghabiskan waktu berdua dengan Tao—tanpa yang lain.

Awalnya, perbedaan ini tak menjadi masalah. Namun, lama kelamaan, ego masing-masing semakin meninggi dan kejadian menyakitkan itu akhirnya terjadi. Dengan tidak elitnya, Tao memutuskan hubungan dengan Kris. Memutuskan Kris setelah menciumnya. Memutuskan Kris setelah menyebutnya membosankan. Oh, menyebalkan.

Well, sesungguhnya, Kris bisa saja menerima keputusan Tao—keputusan untuk putus. Sesungguhnya, itu bukanlah masalah, meskipun hatinya sakit. Well, everything was actually okay. Namun, semua berubah kala Tao menunjukkan sifat aslinya atau mungkin his new side—his prince syndrome. Merasa diri tenar dan dipuja, mungkin membuat Tao memiliki kepribadian baru. Ya, itu mungkin.

Dengan wajah polosnya, Tao menyebarkan berita pada seluruh sekolah betapa membosankannya berpacaran dengan si jenius sekolah. Dibesar-besarkannya masalah itu sehingga sekolah gempar. Entah bagaimana caranya Tao membuat kabar yang sebagian tak benar itu sehingga seluruh siswa percaya dan mulai menggunjingkan Kris. Para pemuja si jenius sekolah kini berbalik meninggalkannya, bahkan menjelek-jelekkan Kris. Penggemar Kris pun semakin berkurang dan beralih menjadi penggemar siswa lain, termasuk Tao. Tak ada lagi yang simpatik pada Kris.

Dunia Kris hancur seketika. Ia bagaikan burung yang tadinya terbang bebas di angkasa, ditembak pemburu, jatuh ke tanah, dicabik-cabik binatang darat dan ditinggalkan begitu saja. Perlakuan tak adil dan gunjingan mendadak yang dilayangkan padanya membuat Kris kecewa dan shock. Kabar burung yang beredar—yang sama sekali tak ada benarnya—membuatnya semakin tersudut. Tak bisa ia melakukan apa pun. Membela diri pun tak mampu. Semua pembelaan dirinya bagaikan angin lalu. Tak seorang pun percaya. Tak ada gunanya.

Bagi penghuni sekolah, mungkin yang Kris alami adalah hal biasa. Namun, tak sesepele itu pada kenyataannya. Semuanya menimbulkan efek besar pada hidup Kris. Efek besar yang sangat buruk.

Tak ada lagi siswa yang mengelu-elukan nama Kris. Well, memang Kris tak terlalu peduli dengan pujian yang ditujukan padanya. Semua pujian bak kudapan bagi Kris—sudah biasa. Namun, kala semua snack itu menghilang dan berubah menjadi snack basi yang bau dan beracun, semua menjadi sangat menyakitkan. Kris tak punya apa pun tersisa. Tak ada. Hanya tinggal dirinya sendiri.

Dan, pada akhirnya, Kris berubah. Sosok jenius yang sebenarnya cukup ramah itu menjadi kasar dan dingin. Saat orang tak memedulikannya, maka tak ada gunanya peduli pada mereka. Hidup Kris berubah total—tak pernah sama lagi. Itu pun tak hanya ia alami di sekolah, pun di rumah begitu.

Bak kutukan membayangi, masalah pun Kris alami di rumah setelah kejadian itu. Orang tuanya sering bertengkar dan menyibukkan diri dengan bisnis. Kris yang jadi korban. Ia kehilangan perhatian, terlebih karena ia anak semata wayang.

Semua perubahan drastis itu membuat Kris begitu frustasi. Ia merasa sangat kosong—kehilangan segalanya. Dan, di pikirannya, ini semua adalah karena Tao. Pemuda dari China itulah yang menyebabkan semuanya terjadi.

Kris sangat membenci Tao. Sangat benci. Bahkan, ia membenci pemuda bermata bak panda itu segenap hati. Tao adalah sumber kesialan beruntun ini. Ya, semua gara-gara makhluk sialan bernama Tao. Kris ingin sekali membalas dendam. Ya, suatu saat nanti.

~ . ~


~ . ~

Kris memilih turun dari meja tempatnya berbaring. Dengan frustasi, ia angkat benda dari kayu jati itu dan sekuat tenaga dilemparkannya jauh-jauh. Suara keras benda terbanting pun terdengar—memekakkan telinga. Ah, Kris tak peduli. Toh, itu bukan miliknya.

"Sial! Sial! Sial! Tao, kau sialan! Keparat! Aish! Aku benar-benar akan membunuhmu! AARGH!" Teriakan keras Kris menggema dari atap sekolah. Kris tak peduli lagi. Terserah semua penghuni sekolah mendengar dan menganggapnya gila. Persetan dengan semua itu! Yang penting sekarang, semua emosinya bisa terlampiaskan.

Perlu beberapa saat bagi Kris untuk merasa lebih baik. Melemparkan meja –yang tak bersalah- dan berteriak rupanya cukup efektif menormalkan emosi si tampan. Sedikit membantu. Ya, lumayan daripada ia pendam sendiri. Bisa-bisa kepalanya benar-benar meledak karena tak mampu menahan buncahan emosi dalam diri.

Kala masih dalam proses menenangkan diri, Kris merasa telapak tangannya perih. Segera, mata tajam bak elang si jenius sekolah memeriksa penyebabnya.

Ah—tampak telapak tangan memerah. Semakin merah dibanding yang ia ingat sebelum ia membanting meja tak berdosa itu. Luka memanjang terlihat mengeluarkan darah. Kening Kris mengernyit. Tangannya kenapa?

Ia mendengus kala ingat apa yang terjadi dengan tangannya. Itu semua gara-gara si aneh di taman. Chanyeol—kalau tak salah itulah namanya. Ah, persetan. Chanyeol yang menyebabkan dirinya terluka seperti ini.

Sial. Kris lupa mengobati luka itu. Dan, sekarang, akibat ia terlalu bersemangat melampiaskan emosi, telapaknya semakin buruk saja. Sialan lagi.

Helaan napas terdengar jelas. Kris melangkah menuju sudut atap—tempat keran air berada. Digulungnya lengan jaket supaya tak basah. Begitu pun, syal yang membelit lehernya ia lepas dengan tangan yang tak luka.

Kris lalu membuka keran untuk membersihkan debu dan darah di telapak tangannya. Setelah dirasa cukup bersih, Kris melangkah mencari tas yang ia lemparkan sembarang tadi.

Dibuka tas itu sembari merogohnya—mencoba mencari barang yang disusupkan paksa oleh pemuda aneh bernama Park Chanyeol atau siapalah dia. Setelah berkutat beberapa saat, Kris berhasil menemukan barang yang dicarinya.

Tautan alis tercipta. Mata memicing sempurna. Kris mengangkat benda berwarna merah menyala tinggi-tinggi. Plester berwarna merah mencolok? Ah, norak sekali benda itu. Segera ia singkirkan jauh-jauh dari tempatnya berada. Hei, dari mana bocah aneh itu membeli plester bermotif norak berwarna mencolok mata? Astaga, Kris tak habis pikir. Norak!

Ditemukannya sebungkus kapas dan sebotol alkohol di sana. Segera, ia membasahi kapas tadi dengan alkohol dan membersihkan luka—mencoba membersihkan kuman yang mungkin tertinggal. Hei, diam-diam Kris itu sangat higienis!

Kala membersihkan luka, Kris meringis. Ternyata, cukup sakit. Ia tak mungkin membiarkan luka di telapak tangannya terbuka, jika tak ingin kondisinya jauh lebih buruk.

Well, apa yang harus ia lakukan? Membiarkan saja dan membuatnya semakin parah? Lalu, bagaimana jika terjadi infeksi sampai tangannya membusuk dan harus diamputasi? Hii—Kris membuang jauh-jauh pikiran itu. Ia mungkin sedikit berlebihan, namun, itu bisa saja terjadi, kan? Jadi, ia harus segera menutup lukanya. Harus.

Diliriknya kapas dan alkohol—ah, bukan yang ia butuhkan.

Ada obat merah. Haruskah ia menggunakannya? Tapi, lukanya tetap akan terbuka.

Bagaimana ini? Mau tak mau, Kris menatap jijik pada plester merah menyala. Ia mengalihkan pandangannya pada obat merah lagi, lalu pada plester, berulang kali. Sial, apa yang harus ia lakukan?

Kris meniup-niup surai pirangnya. Sesekali, kernyitan di kening tampak. Menunjukkan betapa keras ia berpikir tentang keputusan apa yang ia ambil.

'Pakai. Tidak. Pakai. Tidak. Pakai.'

Berulang kali, mata tajam Kris menatap plester norak itu. Aneh sekali. Mengapa plester itu seolah memanggil dirinya?

Ayo, Kris, putuskan—

"Aish, kenapa bocah itu harus memberiku plester norak ini sih? Menggelikan! Kekanakan sekali! Tidak! Aku tidak akan memakainya!" Kris mendengus setelah berpikir beberapa saat. Ia tak sudi memakai plester mencolok itu! Mau ditaruh di mana mukanya?

Kris membuang muka. Pandangannya ia alihkan ke sudut lain. Namun, tak berapa lama, ekor mata elang miliknya kembali tertarik pada plester pemberian Chanyeol. Si jenius berwajah tampan hanya bisa menggaruk kepala tak gatal dengan tangan tanpa luka.

Astaga, mengapa ia harus mempersulit diri dengan memikirkan hal tak penting seperti itu? Setelah mengatupkan mulut dan memejamkan mata, tangan Kris bergerak mengambil benda berwarna merah dari Chanyeol.

Baru saja Kris akan membukanya dan melekatkan ke telapak, sebuah suara terdengar.

Brak!

Suara keras, berdebam yang mengagetkannya setengah mati—membuatnya terlonjak dari tempat ia berdiri.

Pintu penghubung atap dan tangga gedung terdengar dibuka—ralat, dibanting keras. Kris familiar dengan suara bantingan itu karena ya, ia tadi telah melakukan hal yang sama pada si pintu tak berdosa.

Kris melirik ke arah pintu. Aktivitas membuka plester pun terhenti, teralihkan.

Sesosok manusia muncul dari balik pintu. Seorang siswa bertubuh mungil. Tampak ia penuh emosi, apalagi ia melemparkan tasnya ke sembarang arah. Dan, tanpa babibu, siswa itu berteriak marah. Begitu kerasnya sampai-sampai gendang telinga Kris nyaris pecah. Ah, ia tak menyadari keberadaan Kris, rupanya.

"Ya! Awas kalau kau pulang, Yeol! Jangan berharap kau akan hidup! Aku akan benar-benar membunuhmu! Mencincangmu sampai tak berbentuk lagi! Argh! SIAL!" teriak siswa itu lagi. Kali ini, kepalan tangannya terangkat bak orang sedang berdemo.

Kris hanya menautkan alis. Kris mengenalnya. Ah, rupanya dia.

Byun Baekhyun. Siswa bertubuh mungil yang duduk di deretan meja ketiga. Nomor empat dari depan. Siswa yang selalu tampak ceria dan menyunggingkan senyuman pada siapa pun. Terlihat ramah, supel dan manis, begitulah pendapat orang.

Tapi, tidak dengan Kris. Ia bisa melihat bahwa senyuman itu penuh arti. Senyum yang mengerikan—lebih mengerikan dari senyumannya sendiri. Mendadak saja, Kris merinding. Sungguh, ia bergidik ngeri kala membayangkan Baekhyun tersenyum.

Baekhyun masih tampak emosi. Teriakan demi teriakan ia serukan, termasuk umpatan dan sumpah serapah. Entah siapa pun yang membuat Baekhyun semarah itu, pastinya dia hebat. Sangat hebat. Ini sosok baru Baekhyun yang pernah dilihat Kris. Amarah yang meledak-ledak seperti itu benar-benar memenuhi sosok Baekhyun pastinya. Tak tampak lagi senyum penuh arti yang biasanya terpatri di bibirnya.

"SIALAN! SIALAN! SIALAN! AKU AKAN BENAR-BENAR MEMBUNUHMU! AARRGGHH!"

Baekhyun menarik-narik rambutnya frustasi. Rupanya, ia masih belum sadar akan keberadaan Kris yang menatapnya horor. Mata Baekhyun menangkap sebuah kaleng bekas minuman di depannya. Dengan penuh emosi, ditendangnya sekuat tenaga.

Kaleng itu melayang, terbang, tinggi dan jauh, sampai akhirnya mendarat dengan tidak elitnya di kepala yang jelas kau tahu siapa.

"Awww~" seru Kris mengaduh. Diusap kepala berharga yang jadi tempat pendaratan kaleng terbang sialan itu. Aish, kurang ajar.

Telinga Baekhyun menangkap suara mengaduh tak jauh dari tempatnya berdiri. Dialihkannya pandangan ke sana dan—

Tada

Seorang siswa tinggi yang tak asing di mata Baekhyun terlihat sibuk mengelus kepala. Kaleng yang ia terbangkan tadi tampak tergeletak di dekat pemuda itu. Penyok—sangat parah. Oh man, sial. Ia dalam bahaya.

Membuang jauh-jauh emosi sesaatnya, Baekhyun langsung berlari menghampiri Kris. "Ya ampun, maafkan aku! Ah, maaf. Aku benar-benar tak sengaja!" pinta siswa yang seperti anak kecil itu. Begitu memelas.

Kemarahan Baekhyun yang tadinya meledak-ledak hilang tak berbekas. Apalagi, kali ini, ia menyadari korban sesungguhnya dari si kaleng terbang. Pantas saja ia familiar. Tapi, mengapa harus Kris? Sungguh, demi apa pun, Baekhyun paling tak ingin membuat masalah dengan pemuda bersurai pirang itu.

Namun, apa yang sekarang terjadi? Ia sudah membuat masalah besar! Ini semua karena ia teledor.

Ah, tidak. Ini bukan salahnya! Ini semua salah Park Chanyeol! Dewa sialan itu! Awas saja, Chanyeol tak akan utuh ketika pulang nanti. Baekhyun bersumpah akan memberikan pelajaran setimpal pada dewa satu itu!

Sialan! Sialan! Sialan!

Ah, itu urusan nanti! Keadaan sekarang lebih darurat! Payah sekali. Baekhyun mendecih.

"Kau tidak apa-apa, Kris?" tanya Baekhyun takut-takut. Dalam hati, ia benar-benar malas berhubungan dengan Kris. Bukannya apa-apa, tapi—ah, entahlah—ia tak tahu.

Tak ada jawaban. Kris masih sibuk mengusap kepala.

Sekarang yang ada di kepala Kris hanyalah umpatan dan sumpah serapah: mengapa ia harus mengalami berbagai kesialan hari ini.

Dan, apa pula ini? Mengapa ia harus bertemu dengan manusia-manusia menyebalkan yang membuatnya sial? Chanyeol, si aneh yang muncul bak hantu. Perhatian yang diberikan pada dirinya membuat Kris ingin muntah saja. Tao, mantan pacar menyebalkan yang pagi ini bermanja-manja dengan Kyungsoo—membuatnya muak.

Lalu, sekarang? Baekhyun. Siswa yang tak pernah ia kenal baik—meskipun ia teman sekelasnya-. Siswa itu baru saja membuat kepala berharganya menjadi korban pendaratan kaleng terbang karena emosinya—yang entah karena siapa. Oh, God, ini hari sempurna. Masih adakah kesialan yang akan ia alami hari ini?

"Hei, Kris? Kau baik-baik saja? Apa sakit?" Kembali Baekhyun melayangkan pertanyaan. Ia sungguh berharap manusia dingin tanpa ekspresi di depannya itu baik-baik saja. Tak kenapa-kenapa. Sungguh, ia tak mau membuat masalah dengan manusia—terutama manusia seperti Kris.

Kris menatap Baekhyun tajam seolah matanya siap memakan hidup-hidup pemuda bertubuh kecil itu. Ia mendengus. "Baik-baik saja? BAIK-BAIK SAJA? Hei! Kau jangan bercanda! Bertemu si aneh yang membuatku ingin muntah, melihat pemandangan menjijikkan di kelas, dan menjadi korban kaleng terbang sialanmu—kau pikir aku akan baik-baik saja? Eoh, bagaimana mungkin aku baik-baik saja?! Keparat? Sial! Sialan!" Rentetan umpatan mulai mengikuti.

Kris menyadari dirinya terlalu termakan emosi. Ia baru saja mencurahkan seluruh masalahnya pada sosok yang bahkan tidak ia kenal baik. Oh, sialan. Mengapa ia tak bisa menjaga mulutnya? Aish.

Baekhyun hanya mengerucutkan mulut. Alisnya bertaut. Matanya memancarkan kesedihan, ketakutan—padahal sebenarnya tidak. Ia hanya sedikit berpura-pura. "Aku sudah bilang itu tak sengaja. Kupikir aku hanya sendirian di atap. Aku tak tahu ada kau, Kris. Sungguh, aku minta maaf, ya? Kris, please—" Senjata andalan Baekhyun pun keluar. Puppy eyes. Tak ada seorang pun yang bisa melawannya. Tak seorang pun.

Kris mencoba mengalihkan pandangan. Ia tak sanggup menatap lebih lama puppy eyes itu. Sungguh, semua pemilik puppy eyes menakutkan. Mengapa mereka bisa mengeluarkan pandangan seperti itu? Dan, mengapa hari ini dia harus mengalami dua kali kejadian seperti ini? Oh, man, puppy eyes orang-orang ini benar-benar menakutkan dan membuatnya ingin muntah. Yang benar saja. Ada apa dengan mereka?

Kris kembali mendengus. "Sudahlah, lupakan saja." Dibuang mukanya—diarahkannya ke arah lain.

Baekhyun tak percaya begitu saja kalau Kris akan melupakan permasalan ini begitu saja. It's impossible. Ia harus minta maaf lagi. "Kris, maafkan aku. Jangan marah, ya?" Baekhyun kembali mengerucutkan mulut.

Kris semakin horor menghadapi makhluk ini. Ia mulai jengah dengan tingkah imut itu. Menjijikkan. "Aish, kau itu berisik! Sudah kubilang, lupakan saja. Menyebalkan."

Kris segera menyibukkan diri lagi—tak ingin berlama-lama berhadapan dengan Baekhyun, takut ia sial lagi. Kembali dialihkan perhatiannya pada plester norak dari Chanyeol.

Perlahan, ia membuka dan menempelkan pada lukanya. Terpaksa sekali ia melakukannya. Sungguh. Ia melakukan semua itu dengan setengah hati dan setengah horor! Dan, setelah beberapa saat, plester merah menyala itu sudah melekat dan menutup luka di telapaknya.

Baekhyun yang sedari tadi tak beranjak hanya melihat apa yang Kris lakukan. Sungguh, pemandangan itu membuatnya ingin tertawa. Ia benar-benar tak percaya Kris menggunakan plester norak itu!

"Ya ampun, Kris! Sungguh tak bisa dipercaya! Siswa sedingin dirimu ternyata suka pada plester mencolok dan norak seperti itu? Merah? Bergambar pula! Astaga!" Baekhyun menggelengkan kepala sambil terus berkomentar. Sesekali decakan lidah keluar. Dan, bodohnya, ia tak menyadari pemuda di sampingnya menatapnya tajam.

Kris sudah menunjukkan death-glare nya, seolah siap memangsa Baekhyun hidup-hidup. "Shut up! Jangan berkomentar seenakmu! Plester ini diberikan orang aneh padaku! Orang aneh sialan yang membuatku terluka! Aku terpaksa menggunakannya. TER-PAK-SA! Catat itu! Cih, seandainya aku tak terluka, aku tak akan memakainya. Menjijikkan!" Kris menunjukkan pandangan muak, seperti mau muntah.

Mendengar perkataan si jenius sekolah, Baekhyun menelengkan kepala bingung. Ia tak mengerti dengan jawaban Kris. "Lalu, mengapa kau harus memakainya kalau tak suka? Bukankah kau bisa membeli plester yang lebih 'normal'?" tanya Baekhyun polos.

BINGO!

Pertanyaan itu menyentak Kris. Bagaikan listrik bertegangan tinggi mengenainya, benar-benar menyadarkannya.

Benar juga, mengapa ia harus memakai plester itu kalau ia malu? Mengapa ia terlalu terburu-buru menggunakannya?

Ya ampun, sebenarnya apa yang terjadi pada dirinya? Kris benar-benar tak habis pikir.

"Pastikan kau memakainya, okay? Sampai jumpa lagi, Kris. Kita akan sering bertemu."

Perkataan Chanyeol tiba-tiba melintas di benak Kris. Si bocah aneh itu! Aish, mengapa ia selalu melakukan apa yang dikatakan si bocah tak waras? Kris merasa dirinya benar-benar bodoh sekarang. Sungguh dungu. Sialan.

Ditatapnya plester yang melekat di telapak tangan. Oh God, he must be crazy! Namun, ia tak akan menunjukkan atau mengakuinya pada Baekhyun. Ia masih punya sisa-sisa harga diri yang bisa ia pertahankan!

"Biarkan saja! Memang aku tak boleh memakainya? Hei, dengar! Aku tak punya waktu membeli plester lain! Dan, itu bukan urusanmu aku mau memakai plester apa! Urus saja urusanmu sendiri!" bentak Kris.

Oh, Kris, tak adakah alasan pembelaan diri yang lebih baik?

Baekhyun menatap Kris shock. Tak percaya dengan apa yang didengarnya. Hei, mengapa Kris harus bersikap berlebihan seperti itu? Bukankah ia bisa menjawab dengan lebih baik?

"Hei, aku hanya bertanya! Tak perlu marah-marah seperti itu!" Baekhyun mendengus. Harga dirinya terluka dibentak oleh orang yang tak terlalu dikenalnya. Namun, ia memilih duduk di meja dekat Kris. Diam.

Kris merasa agak bersalah sudah membentak si siswa bertubuh mungil. Ia menghela napas dan menyembunyikan tangan tertutup plester di balik jaket besarnya. "Ya! Kau! Namamu Baekhyun, kan? Mengapa kau di sini? Berani sekali membolos kelas Mr. Kim. Tak takut dihukum? Dan—mengapa kau marah-marah di atap?" Kris mencoba mengalihkan pembicaraan. Takut dan malas kalau-kalau Baekhyun kembali membahas masalah plester norak pemberian Chanyeol.

Pertanyaan itu berhasil membuat Baekhyun menoleh ke arah Kris. Diarahkannya telunjuk pada diri sendiri. "Aku? Hei, aku tak bisa memercayai ini. Tak kusangka kau seperhatian itu padaku, Kris." Senyum penuh arti Baekhyun kembali.

Kris membuang muka. Tubuhnya sedikit beringsut menjauhi pemuda berwajah manis itu. "Ya! Jangan salah sangka! Aku tak peduli denganmu atau apa yang terjadi padamu! Aku hanya ingin tahu mengapa kau marah-marah dan menjadikan sasaran kaleng terbangmu!"

Baekhyun kembali merengut. Seperti dugaannya, masalah kaleng terbang itu belum selesai. Sial. Kris pasti sangat dendam padanya. "Hei, maaf, maaf. Bisakah kau tak mengungkit insiden kaleng terbang ini? Aku sudah bilang tak sengaja dan minta maaf. Apa itu tak cukup?" Baekhyun mengeluarkan senjatanya lagi. Puppy eyes yang dilengkapi dengan kerucutan di bibirnya. Benar-benar mirip anak kecil manja.

Kris bergidik ngeri. Namun, ia tetap berada di tempatnya, berusaha memasang tampang 'semua akan baik-baik saja selama aku duduk dan mendengarkannya'.

Tanpa keberatan, Baekhyun pun mengeluarkan seluruh unek-unek yang sejak tadi ditahannya sendiri. "Ini semua gara-gara orang gila itu! Orang gila yang mengacaukan rumah dan aku yang harus membereskannya! Belum lagi, makhluk sialan itu nyaris membunuhku dengan bubur gagalnya! Dan, gara-gara itu pula aku terlambat! Kau jelas tahu Mr. Kim tak membiarkanku masuk ke kelasnya! Bahkan, seperti biasa, 100 soal harus kukerjakan dan harus selesai besok! Aish, ini sungguh menjengkelkan! Aku benar-benar akan memberi pelajaran pada setan itu! AKU AKAN BENAR-BENAR AKAN MEMBUNUH DAN MENCINCANGNYA! ARGHHHHH!" Wajah iblis Baekhyun kembali tampak. Sungguh, ia benar-benar penuh dendam dan emosi.

Melihat Baekhyun, Kris merasa terancam.

Kode merah! Bahaya!

Ia sedikit beringsut dari tempatnya semula. Menggeser pantatnya menjauhi tempat duduk Baekhyun. Ia tak ingin jadi korban dari makhluk di sampingnya itu. Kris masih sayang nyawanya. Ya, setidaknya, ia tak mau jadi korban manusia seperti Baekhyun. TIDAK!

Umpatan mengalir lancar bak mantra dari mulut Baekhyun. Sumpah serapah pun dikeluarkan tanpa pikir panjang. Sementara itu, Kris hanya mengatupkan mulut rapat-rapat—tak berani berkomentar. Bergerak pun ia takut.

Setelah beberapa saat, emosi Baekhyun mereda. Ia merasa jauh lebih baik. Siswa bertubuh mungil itu baru menyadari Kris duduk cukup jauh darinya—berbeda dari yang bisa ia ingat. Apalagi, tatapan mata itu—ah, seolah Kris baru melihat kejadian paling mengerikan dalam hidupnya. Oh, man.

"Astaga! Aku lepas kendali, ya?" Nada suara Baekhyun terdengar normal. Lembut.

Baekhyun sudah kembali jadi sosok mungil dan lucu. Senyuman manis tampak tersungging. Bahkan, ia terkekeh geli karena malu akan sikapnya. Tangannya mengusap tengkuk.

Kris diam sejenak sebelum menggeleng-gelengkan kepala. "Kau benar-benar mengerikan," komentar Kris dingin—berusaha menyembunyikan ekspresi shocknya.

Baekhyun terkikik geli. Diedikkan bahunya sambil melemparkan pertanyaan pada si jenius tampan. "Kau sendiri, mengapa di sini? Hal tak biasa melihatmu membolos, apalagi di kelas Mr. Kim. Kau punya masalah?" Kening Baekhyun berkerut, penasaran pada Kris. Tak ada lagi rasa canggung dan takut pada sosok Kris.

Well, Baekhyun mengira Kris adalah sosok dingin, arogan, anti sosial dan tanpa perasaan—seperti yang beredar di sekolah. Namun, nyatanya, Kris tak buruk juga. Ya, meskipun tetap saja Kris itu mengerikan. Tapi, tak seburuk perkiraannya. Ia cukup baik. Setidaknya itulah kesan yang didapat Baekhyun selama beberapa menit ini.

Ya, Baekhyun memang tak terlalu mengenal Kris. Ia baru pindah ke sekolah ini sejak kelas 2. Ia tak pernah mengenal sosok Kris sebelumnya. Yang ia kenal—ah, lebih tepatnya yang ia tahu dan dengar, si jenius kelas itu begitu buruk reputasinya. Jadi, Baekhyun pikir Kris benar-benar siswa yang tak baik—sudah seperti itu sejak dulu. Ternyata—ia cukup baik.

Mendengar perkataan penuh perhatian dari Baekhyun malah membuat Kris risih. Tak seharusnya orang peduli pada dirinya, dan ia juga tak mau peduli. "Bukan urusanmu!" jawab Kris dingin.

Lagi-lagi, Baekhyun terkejut. Manusia di sampingnya ini— Ya ampun, bisakah ia bersikap lebih sopan? Haruskah ia menarik pikiran tentang Kris yang ternyata cukup baik? Sikapnya benar-benar menyebalkan!

"Hei! Aku cuma bertanya! Aku hanya penasaran! Jangan berbicara kasar padaku!" gerutu Baekhyun.

Kris memilih diam. Sedikit merasa bersalah, rupanya. Baekhyun hanya bertanya dan ia merasa dirinya agak sedikit berlebihan menanggapinya.

Baekhyun terlihat mengabaikan Kris karena bentakan tadi. Ia bangkit berdiri lalu mengambil tas dan membawanya kembali ke tempat semula ia duduk. Dibuka dan dirogohnya tas bergantungan puppyberjenis beagle itu. Sebungkus roti terlihat. Segera ia membuka dan melahapnya.

Dengan Baekhyun sibuk dengan rotinya, keheningan pun tercipta.

"Aku benar-benar sial hari ini," kata Kris memecah keheningan. Pemuda bersurai pirang itu membaringkan diri di meja yang ia duduki. Ditatapnya langit biru dengan awan putih berarak.

Baekhyun sedikit terkejut mendapati Kris berbicara. Sungguh sangat tak terduga. Namun, ia berusaha keras bersikap biasa. Seolah ia tak peduli. Ia memilih berpura-pura sibuk mengunyah rotinya sambil terus memandang ke depan.

"Mengapa aku harus bertemu orang-orang aneh menyebalkan seharian ini? Aish, ini semua sungguh membuatku nyaris gila. Makhluk aneh di taman, makhluk yang kubenci di sekolah, dan makhluk kecil di atap sekolah yang menjadikan kepalaku korban kaleng terbangnya."

Mendengar perkataan terakhir Kris, Baekhyun memberikan death-glare nya. Hei, berapa kali makhluk jangkung di sampingnya akan mengungkit masalah itu? Bisakah ia melupakannya? Aish, apa tak cukup Baekhyun meminta maaf berkali-kali?

"Ya! Kau membahasnya lagi! Aku sudah minta maaf berkali-kali, Kris! Kau ini pendendam sekali," sungut Baekhyun. Sebagai pelampiasan rasa kesalnya, dikeratnya roti itu kasar—bak orang kelaparan.

Namun, aneh. Tak ada tanggapan dari Kris. Sepi. Tak terdengar tanggapan menyebalkan seperti yang Baekhyun kira.

Baekhyun melirik Kris. Pemuda itu tampak menutup mata. Tertidur, rupanya. Baekhyun hanya mendengus. Kembali diambilnya satu bungkus roti dari dalam tasnya dan segera dilahapnya cepat. Ia berharap bel tanda pergantian pelajaran segera terdengar.

~ . ~


~ . ~

Siang itu, Kris memilih menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan sekolah seperti biasa. Tempat itu terletak di lantai 2 berdekatan dengan laboratorium komputer dan ruang serba guna.

Kali ini, untuk menghibur diri, Kris memilih buku tentang meteorologi. Ya, belakangan buku dengan bahasan seperti itu memang menyita perhatiannya. Sungguh, ia penasaran mengapa cuaca belakangan sering berubah dan tak bisa diduga. Oleh sebab itulah, ia mencoba mencari tahu. Mungkin saja, ia bisa menemukan jawaban dari salah satu buku di perpustakaan.

"Kyaa—"

"Kyaa— Dia tampan sekali"

"Keren sekali!"

"Siapa dia?"

"Kya—"

Kris mungkin akan tetap terfokus pada buku yang ia baca, kalau saja teriakan-teriakan heboh dari luar tak mengganggu konsentrasinya.

Well, ada apa, sih? Mengapa suara itu semakin terdengar jelas? Semakin keras saja.

Pemuda bertubuh tinggi itu meletakkan buku tebal itu dengan sebal. Penasaran dirinya pada kehebohan yang membuat kencannya dengan buku meteorologi terganggu. Ayolah, ada apa?

Baru saja akan beranjak dari tempat ia duduk, tiba-tiba sosok tinggi yang baru Kris kenal pagi ini muncul. Muncul di hadapannya tanpa ijin. Napas pemuda bergigi rapi itu terengah. Di belakangnya, puluhan penghuni sekolah berteriak histeris mengekor.

Chanyeol membungkukkan badan. Berusaha keras ia menormalkan ritme pernapasannya. Keringat membasahi wajah tampan nan manis pemuda itu. Teriakan histeris semakin terdengar jelas. Perpustakaan sekarang jadi berjubel dipenuhi fans dadakan Chanyeol.

Kris terdiam. Matanya membelalak.

Apa-apaan ini? Sungguh tak dapat dipercaya!

Kehebohan ini—gara-gara Chanyeol? Mau apa si aneh ini datang ke sekolahnya? Dan, mengapa ia berada di depan Kris?

"Kau! Kau! Mengapa kau datang ke sekolahku dan membuat keributan?" Kris mengarahkan telunjuknya ke arah Chanyeol. Ia masih tak bisa percaya dengan apa yang dilihatnya. Matanya masih terbuka lebar menatap pemuda yang tengah sibuk mencari pasokan udara itu.

"Ah, Kris. Kau masih ingat aku? Astaga, aku terharu!" Senyum terkembang di bibir Chanyeol. Mukanya tampak merah kelelahan. Namun, raut mukanya itu terlihat sangat senang.

"Ya! Mau apa kau kemari?" tanya Kris dingin. Ada sedikit bentakan dalam pertanyaan itu. Campuran jengkel dan shock membuat suaranya sedikit naik. Terdengar sangat kasar.

"Hei, Kris, bisakah kau bersikap sedikit lembut padaku? Aku datang baik-baik. Hei, aku mampir sebentar untuk memberikan ini." Chanyeol menatap Kris lekat. Dikeluarkannya rangkaian bunga ungu yang sedari tadi ia sembunyikan di belakang punggung. Purple Lilac.

Pemberian itu jelas semakin membuat Kris terbelalak. Matanya seolah ingin meloncat keluar dari lubang matanya saking kagetnya. Apa-apaan ini? Penghinaan!

"Bunga? Kau sudah gila? Kau pikir aku seorang wanita, eoh? Ya! Kau pasti benar-benar sudah tak waras. Dan, untuk apa kau memberikannya padaku? Aish, menggelikan. Sialan kau!" Dilemparkan tatapan tajam pada Chanyeol. Ia siap memakan Chanyeol hidup-hidup. Ia serius. Pemuda ini benar-benar berniat mengacaukan hidupnya!

"Hei, bunga itu tak sepenuhnya identik dengan wanita, Kris. Lagipula, bunga ini kuberikan padamu karena sesuai denganmu. Ah, jangan lupa cari artinya! Ya sudah, aku pergi dulu. Wah, tak kusangka kedatanganku membuat kehebohan seperti ini. Well, tak bisa dipungkiri aku memang sangat populer dan tampan."

Bunga lilac ungu itu diserahkan Chanyeol pada Kris. Tak sepenuhnya diserahkan karena si pemuda dengan senyuman lebar sedikit memaksa Kris supaya memegangnya erat sebelum melesat ke arah jendela perpustakaan.

Tanpa terduga, Chanyeol melompat melewati jendela yang memang cukup besar itu. Begitu cepat. Menghilang!

Kris dan penghuni sekolah yang berjubel di perpustakaan itu hanya bisa terbelalak.

Hei, ini lantai 2! Apa dia sudah gila? Apa dia sengaja ingin bunuh diri? Bagaimana kalau Chanyeol terluka atau bahkan sampai mati? Kris bisa disalahkan karena itu! What the—

Dengan segera, Kris memacu langkah menuju jendela tempat Chanyeol melompat. Puluhan siswa yang ingin tahu keadaan Chanyeol pun mengekornya.

'Ya Tuhan, jangan sampai dia mati!' pikirnya kalut. Ia sangat khawatir jika Chanyeol sampai mati karena tindakan bodohnya itu.

Namun, kekhawatirannya tak terbukti. Pemuda aneh bernama Park Chanyeol atau siapa pun namanya itu terlihat baik-baik saja. Pendaratannya begitu mulus. Ia selamat. Tapi, bagaimana bisa?

Kris masih saja berkutat dengan kejadian aneh itu, tapi tak menemukan jawaban. Perhatiannya teralihkan dengan suara Chanyeol yang memanggil namanya.

Chanyeol tampak berlari keluar gerbang sambil terus melihat ke arah Kris. Tangannya melambai. Senyuman lebar seolah terpatri sempurna menghiasi wajah Chanyeol.

"Kris! Plester itu—Kau sudah memakainya! Seperti yang kuduga, itu memang cocok untukmu! Sampai jumpa besok!" Chanyeol terlihat tertawa puas.

Kris yang mendengar seruan Chanyeol itu tak bisa berkutik. Tak bisa ia berkata apa-apa.

Shock. Kris benar-benar shock.

Ya Tuhan, orang normal macam apa yang datang menemuimu, memberikan bunga dan melompat dari lantai dua? Chanyeol itu benar-benar sudah gila! Tak waras!

Kris hanya bisa menggelengkan kepala. Sungguh, hari ini benar-benar hari yang gila untuk Kris. Apa ini mimpi?

Beberapa saat kemudian, setelah kepergian Chanyeol, siswa dan siswi berdesakan mengerubungi Kris dan memandangnya penuh arti.

"Hei, Kris! Kau kenal si tampan tadi?"

"Kau tahu namanya? Siapa namanya, Kris? Beritahukan pada kami!"

"Dia benar-benar keren!"

"Beruntung sekali kau mendapatkan bunga darinya. Kalian dekat, ya? Bisa kenalkan aku dengannya?"

"Kau tahu nomor ponselnya?"

"Hei, jangan pelit, Kris. Kenalkan dia pada kami!"

Pertanyaan demi pertanyaan dilayangkan pada Kris. Mendesaknya sehingga semakin terpojok. Tak membiarkan Kris untuk bergerak atau menjawab sama sekali.

Damn it. Apa-apaan mereka ini? Dasar Park Chanyeol gila! Gara-gara pemuda bergigi rapi itu, Kris jadi pusat perhatian lagi. Oh, man. Kris tak menyukai keadaan itu. Mengapa jadi menjengkelkan seperti ini?

"Ya! Aku tak mengenalnya! Itu bukan urusanku! Tinggalkan aku! Menyingkirlah!" bentak Kris kasar. Namun, para penghuni sekolah bergeming. Mereka tetap mendesak Kris untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

Kris mengatupkan mulut rapat-rapat. Orang-orang itu menyebalkan dan kurang kerjaan! Ia baru saja akan kembali membentak mereka, saat suara Mr. Kang, penjaga perpustakaan terdengar. Menggelegar di ruangan penuh buku itu.

"Hei! Kurang kerjaan sekali kalian datang ke perpustakaan hanya untuk hal seperti ini! Sekarang bubar! Awas saja kalau sampai ada buku yang rusak! Aku akan membunuh kalian! Bubar! Bubar!"

Mr. Kang tampak mengerikan dengan ekspresi marahnya. Ya, ia memang sangat posesif dan protektif dengan buku-buku yang ada di perpustakaan. Tak ada seorang pun yang bisa lolos darinya, jika sampai ada buku yang sampai rusak. Bahkan, setitik pena tak akan lepas dari perhatiannya.

Melihat Mr. Kang sudah mulai marah, para penghuni sekolah yang mengerubungi Kris membubarkan diri. Satu per satu meninggalkan perpustakaan. Hanya terlihat beberapa yang masih memilih tinggal. Well, bukan untuk menanyai Kris, tapi kembali membaca buku. Mereka-lah para pengunjung setia perpustakaan.

~ . ~

~ . ~

Setelah terbebas dari kepungan siswa yang biasanya menggunjingkannya, Kris melangkah ke arah tempat ia duduk. Diambilnya buku meteorologi yang sempat ia abaikan. Buket bunga dari Chanyeol ia lemparkan begitu saja ke meja depannya. Segera ia berjalan menuju meja sang penjaga perpustakaan. Meja Mr. Kang berada dekat pintu masuk ruangan.

"Mr. Kang, aku ingin meminjam buku ini." Kris meletakkan buku meteorologi itu di meja Mr. Kang. Tangan merogoh saku seragam dan mengeluarkan kartu perpustakaan.

Mr. Kang sudah mengenal baik Kris—seorang siswa yang rajin menghabiskan waktu untuk membaca di perpustakaan. Meskipun selalu tampak dingin dan tanpa ekspresi, pria berusian 45 tahun itu tahu betapa karismatik dan seriusnya seorang Kris jika berhadapan dengan benda yang disebut jendela dunia.

Mr. Kang menyukai Kris sebagai anak didiknya. Bahkan, ia akan menobatkan Kris sebagai siswa terbaik menurut versinya jika ada pemilihan.

Ya, bagaimana tidak?

Kris sangat pintar dan sopan. Ia merawat dan memperlakukan buku-buku bak benda berharga. Lagipula, Kris selalu menggunakan perpustakaan dengan benar: membaca dan meminjam buku atau mengerjakan tugas sekolah. Tak seperti siswa lain yang datang untuk membolos, mengobrol atau menunggu jam pelajaran karena diusir atau dihukum sang guru.

"Hei, Kris. Baru kali ini kau membuat kehebohan di perpustakaan." Mr. Kang mengambil buku yang akan dipinjam Kris beserta kartu perpustakaannya. Suara terdengar ramah dan santai—tak seperti sebelumnya.

"Maaf, Mr. Kang. Aku tak tahu mengapa ini terjadi. Bahkan, aku tak mengenal pemuda gila tadi." Kris mendudukkan diri di depan Mr. Kang sambil menunggu pria paruh baya itu mengurus bukunya.

Mr. Kang tertawa kecil. "Tapi, pemuda tadi cukup menarik, Kris. Hidupmu pasti akan berubah setelah mengenalnya kelak."

"Ya! Bagaimana mung—" Suara Kris meninggi mendadak tanpa ia sadari. Namun, dengan cepat, ia menghentikan ucapan penuh emosinya itu. Ya, tentu saja. Lawan bicaranya adalah seorang guru—apalagi, Mr. Kang adalah salah satu guru yang ia sukai.

"Ah, maaf, Mr. Kang, aku terlalu terbawa suasana. Pemuda aneh seperti dia hanya akan membawa kesialan. Huh." Helaan napas terdengar. Begitu panjang dan berat.

"Hei, jangan menghela napas berat seperti itu. Kau seperti orang yang banyak masalah saja. Ayolah, nikmati saja, Kris. Hidup ini indah. Jangan terlalu serius menanggapi sesuatu." Lagi-lagi, Mr. Kang terkekeh. Ia melanjutkan, "Oh ya, jangan lupa bawa buket bunga itu keluar dari sini. Aku tak mau perpustakaan kotor karenanya." Pria berhati hangat itu –kecuali pada orang yang mengacak-acak perpustakaan- menyerahkan buku dan kartu kembali pada Kris.

Mendengar perkataan Mr. Kang, Kris berusaha membantah. Tak sudi ia membawa bunga dari pemuda aneh tadi. Tidak. "Tapi—"

"Jangan membantah! Bawa bunga itu keluar!" Mr. Kang mulai mengubah raut mukanya. Itu tanda kalau ia benar-benar serius, sekalipun Kris adalah murid kesayangannya.

Kris menggangguk. Percuma saja berdebat dengan Mr. Kang. Ia pasti akan kalah. "Baiklah, Mr. Kang."

Si jenius sekolah bangkit berdiri. Dilangkahkan kakinya menuju meja tempat ia melemparkan buket bunga dari Chanyeol. Mulutnya terkatup rapat, mata terpejam, napas dihela. Dengan terpaksa, diambilnya rangkaian bunga lilac ungu itu, sebelum bergerak keluar perpustakaan.

Kala melewati Mr. Kang, Kris menunduk kecil pada penjaga perpustakaan itu. Baru saja akan melewati pintu, Mr. Kang terdengar memanggilnya kembali. "Kris!"

Panggilan itu sukses membuat Kris menoleh—menatap Mr. Kang yang sudah melambai-lambaikan sebuah buku padanya. Mau tak mau, Kris pun berbalik dan berjalan mendekati sang penjaga. "Ada apa, Mr. Kang?"

Mr. Kang hanya tersenyum. Ia memamerkan buku yang dipegangnya. "Kusarankan kau meminjam satu buku lagi."

Kris menautkan alis. Hei, apa maksud Mr. Kang? Buku apa itu?

"Maksudnya?" tanya Kris tak mengerti.

Mr. Kang tak menjawab. Segera ia mengambil kartu perpustakaan Kris paksa. "Sudah, pinjam dan baca saja buku ini nanti." Tak butuh waktu lama untuk menunggu. Dalam waktu kurang dari satu menit, kartu perpustakaan Kris sudah kembali dengan sebuah buku bersampul bunga.

Eh? Tunggu dulu— Bunga?

The Language of Flowers.

Kening Kris berkerut membaca judul buku itu. Dipandangnya Mr. Kang penuh arti. Sang penjaga perpustakaan hanya tersenyum lebar.

"Bacalah, Kris. Dan, temukan arti bunga yang diberikan pemuda gila tadi padamu." Mr. Kang mengerlingkan mata dan tertawa.

Kris hanya menelengkan kepala. Ia sungguh tak mengerti. Namun, bel sudah nyaris berbunyi. Ia harus segera kembali ke kelas. "Ah, baiklah, saya permisi dulu." Kris berpamitan lagi. Ditundukkan kepalanya sebelum meninggalkan perpustakaan dengan rasa bingung yang masih menggantung.

~ . ~

~ . ~

Sambil berjalan menuju kelas, Kris terus memandangi buku bergambar berbagai jenis bunga itu. Keningnya terus berkerut, alis menaut, mata terpicing. Hei, mengapa ia mau saja meminjam buku itu?

'Aish, mengapa aku melakukan semua ini? Tak ada gunanya meminjam buku ini. Ah, dasar Mr. Kang, seenaknya saja. Aku tak perlu membacanya! Aish. Menyebalkan sekali. Lalu, bunga ini—mengapa aku harus membawanya? Merepotkan!' Kris terus merutuk dalam hati.

Kris mengumpat. "Sialan! Kubuang sajalah!" Kris berjalan menuju sebuah tong sampah di dekat laboratorium komputer. Dengan segera, dibuka penutup bak sampah.

Ia baru saja akan membuang buket bunga itu, saat rasa penasaran mendadak menyergap.Well, Kris memang suka penasaran pada hal-hal baru. Karena itulah, ia selalu haus akan pengetahuan dan ilmu. Karena itulah, ia sering membaca buku—untuk mengobati kehausannya.

Mm— tak ada salahnya, jika ia tahu makna dari bunga yang ia pegang. Toh, itu akan menambah pengetahuan.

Kris menghentikan langkahnya. Sebuah bangku tak jauh dari perpustakaan menjadi tempatnya duduk. Buku meteorologi dan rangkaian bunga lilac ungu ia letakkan di sampingnya, sementara ia sibuk membuka buku berjudul The Language of Flowers itu.

Tangan Kris dengan cepat membuka glosarium di bagian belakang buku. Dicarinya kata lilac—halaman 43. Segera, ia membuka buku itu. Tangan dan matanya sekarang sibuk menyusuri baris demi baris.

"L—L—Lilac. Lilac. Ah, ini dia!" gumam Kris kecil. Dibaca makna yang ia temukan dari buku. "Purple Lilacs symbolize the first emotions of love, the first love. First love—first love—cinta pertama." Gumaman tentang arti bunga lilac ungu terus keluar dari mulut Kris. First love. Cinta pertama. Oh, what the—

Mata Kris membelalak sempurna menyadari apa yang ia baca. "Astaga! Oh, ! Dia gila! Argh! Si aneh itu! Awas dia!" seru Kris histeris. Segera ditinggalkannya bunga itu di bangku, sementara ia memilih bangkit dan angkat kaki cepat-cepat sambil membawa dua buku yang ia pinjam. Menjijikkan sekali!

Ya ampun, ya ampun. Apa lagi yang akan terjadi ini? Adakah hal yang lebih buruk dari ini? Kris tak berani membayangkan lagi jika ia bertemu dengan Chanyeol. Tidak lagi. NEVER!

~ . ~


~ . ~

Chanyeol bersiul-siul senang, menyenandungkan sebuah lagu yang pernah ia pelajari kala ia masih di Perancis. Senang sekali hatinya. Berbunga-bunga jika ia boleh menjabarkannya.

Bagaimana tidak? Ia akhirnya bisa menemui Kris. Dan, pemuda itu terlihat semakin keren saja, apalagi kala di perpustakaan. Karismatik. Chanyeol terkekeh geli mengingat kembali kejadian di sekolah tadi.

Ia menghentikan tawanya. Lalu, mencoba mengingat kembali apa yang tertempel di tangan Kris. Ya, plester pemberiannya. Ia tahu Kris pasti akan memakainya. Chanyeol terkekeh lagi. Oh, ia pasti sudah benar-benar gila.

Tanpa sadar, sang Dewa sudah berada di depan pintu rumah. Tak seperti biasa, rumah besar yang ia tinggali dengan Baekhyun itu terlihat sepi dan gelap. Ia hanya mengusap tengkuknya. Mendadak saja ia merasakan perasaan yang tak enak. Mm—sepertinya memang ada yang salah.

Perlahan ia membuka pintu. Gelap. Sepi.

Baru saja akan memasuki rumah, sebuah panci menabrak keningnya—meninggalkan bekas memerah di sana.

Astaga, Baekhyun! Ia lupa dengan urusan dengan pengawalnya itu! Sial!

Chanyeol mengelus keningnya sambil berjongkok. Meringis ia karena sakit. Tapi, ia memilih tak bersuara. Ini kondisi bahaya.

Dalam gelap, ia berusaha merangkak memasuki rumah. Ia mencoba bersembunyi dan menyelamatkan diri dari pengawal seramnya. Ini kode merah! Zona bahaya! Ini akan jadi pertempuran berdarah kalau ia tak kabur!

Tiba-tiba, lampu menyala. Chanyeol berhenti merangkak. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal lalu mendecih pelan. Tarikan dan helaan napas terdengar sebentar. Chanyeol bangkit dengan senyum lebar. Seolah ia tak tahu apa-apa.

Dilihatnya Baekhyun sedang berdiri beberapa meter darinya. Tangan kiri di pinggang, tangan kanan membawa pisau daging besar. Senyum terkembang. "Sudah pulang, Park Chanyeol, si dewa tampan?" sapa Baekhyun dingin.

Chanyeol hanya melambaikan tangan, terkekeh garing. "Yo, Baekkie! Aku—"

Belum sempat Chanyeol melanjutkan perkataan, sebuah kol terbang melayang ke arahnya. Namun, kali ini, sang Dewa bisa menghindar. Ia bergerak—berniat menerobos Baekhyun lalu masuk ke kamarnya. Namun, pengawalnya itu tak akan membiarkannya. Ia mengejar Chanyeol.

"YA! PARK CHANYEOL! AKU AKAN MEMBUNUHMU! SIALAN!" Kejar-kejaran pun dimulai. Berbagai peralatan dapur, sayur-sayuran dan buah-buahan berterbangan bebas, diarahkan pada Chanyeol. Sang Dewa terus berlari berkeliling rumah sambil terus menghindar.

"Hei, Baekkie! Ampun! Ampun! Jangan bunuh aku!" Chanyeol merunduk. Sofa menjadi tempat berlindungnya kali ini.

"Sialan kau, Park Chanyeol! Kau membuat hariku begitu buruk! Kuberitahukan kesalahanmu! Pertama, kau nyaris membunuhku dengan bubur menjijikkanmu! Kedua, kau membuatku membersihkan kekacauan karena ulahmu! Ketiga, kau membuatku terlambat di kelas Mr. Kim! Dan, kau tahu? Aku harus mengerjakan 100 soal matematika! Kau juga membuatku bermasalah dengan Kris! Dan, terakhir! Kau membuat keributan di sekolah! Kau keparat, Park Chanyeol! Dewa gila! Sinting!"

Sebuah lobak kini dilemparkan Baekhyun. Sungguh, ia benar-benar marah. Kali ini, ia tak akan bisa memaafkan dewa yang harus ia kawal itu. Chanyeol sudah keterlaluan!

Lobak itu mencium muka Chanyeol dengan sempurna. Baekhyun memang selalu tepat sasaran kalau dalam masalah lempar melempar.

"Aduh! Ampun, Baekkie! Aku minta maaf. Ampun, aku salah." Chanyeol mengatupkan tangan di depan dada. Ia benar-benar tampak memelas.

Namun, Baekhyun masih belum akan melepaskan dewa itu. Chanyeol harus menerima akibat sudah membuat masalah dengannya!

~ . ~

~ . ~

Peperangan yang didominasi serangan sepihak dari Baekhyun terjadi selama beberapa menit, sampai akhirnya pihak penyerang merasa lelah. Tenaganya benar-benar terkuras habis. Namun, ia senang karena semua emosinya bisa terlampiaskan! Ia menang!

Sementara, pihak bertahan?

Jangan ditanya. Chanyeol sudah babak belur. Rambut hitamnya terlihat begitu menjijikkan dengan telur pecah. Seragamnya kotor dipenuhi noda tomat. Mukanya tampak putih dibalut tepung terigu. Sungguh, dilihat dari sisi mana pun, tak tersisa wujud manusianya. Ia benar-benar kalah dan menyesal.

Beruntung, Baekhyun akhirnya mau memaafkannya setelah menghajar dirinya sampai seperti itu. Namun, sebenarnya, yang meluluhkan sang penjaga adalah janji Chanyeol untuk membelikannya boneka anjing berukuran jumbo besok. Boneka yang sudah diincar Baekhyun sejak beberapa hari lalu. Ditambah, Chanyeol berjanji untuk membereskan kekacauan di rumah. Tugas dari Mr. Kim pun akan ia selesaikan. Ini akan jadi hari istirahat yang panjang bagi Baekhyun. Wuhuuu~

Well, Baekhyun memang selalu menang. Chanyeol tak akan pernah bisa mengalahkan pengawal kejam bertubuh kecil itu. Oh, my—Kasihan sekali nasibmu, Park Chanyeol. Kau tak berkutik di depan si pecinta anjing.

~ . ~


~ . ~

Kelas Kris sedang bersiap menerima pelajaran Mr. Kim. Semua siswa duduk rapi di meja masing-masing. Tak terlihat seorang pun yang membolos atau terlambat kali ini. Semua tampak begitu rapi dan siap. Tak ada yang berani membuat masalah di kelas matematika guru satu ini.

Meja Kris penuh dengan buku. Tumpukan buku setinggi gunung itu terlihat mencolok jika dibandingkan dengan meja teman-temannya. Di meja teman sekelas Kris, hanya tampak sebuah buku paket dan buku tulis saja. Well, that's Kris. He's really differentright?

Klek—

Pintu kelas terbuka.

Mr. Kim masuk dengan senyuman mautnya. Mata elangnya menjelajah setiap sudut kelas—berusaha mencari korban. Korban terlambat, korban membolos, korban tak mengerjakan PR, bahkan korban yang tak mengenakan seragam dengan rapi.

Rengutan tampak kala mendapati semua siswa lolos kali ini. Mereka semua bermain aman rupanya hari ini.

Ia mendengus pelan lalu membuka mulut. Para siswa terlihat menahan napas. Takut kalau-kalau Mr. Kim menemukan setitik kesalahan. Mereka takut ada korban tak diduga hari ini. Namun—

"Hebat sekali kalian hari ini. Kalian semua aman. Sayang sekali, tak ada yang menerima tanda cinta dari saya. Namun, jangan senang dulu. Lain kali bersiaplah!" Mr. Kim melotot. Siswa di kelas itu tak bergerak. Mengedipkan mata pun tidak. Mereka takut kalau Mr. Kim berubah pikiran dan memberi hukuman kejutan.

Mr. Kim tersenyum bengis lalu menoleh ke arah pintu. "Hei, kau, siswa baru! Masuk!" teriak guru matematika itu pada seseorang di luar.

Pemuda bertubuh tinggi tampan dengan santai berjalan memasuki kelas.

Mata semua siswa terpaku padanya. Terpesona. Senyuman lebar diperlihatkan. Deretan gigi putih rapi benar-benar memesona. Benar-benar senyuman maut. Semua terpukau!

Namun, tidak dengan dua orang di kelas yang hanya bisa terbelalak. Mata mereka melotot, mulut menganga melihat siswa baru itu. Pandangan tak percaya mereka layangkan. Oh, man, ini gila!

"KAU!" Tanpa sadar, dua siswa di kelas itu berteriak bersamaan. Tanpa komando.

Siswa baru di depan kelas terus memamerkan senyum. Ia melambaikan tangannya dengan penuh makna.

~ . ~

TO BE CONTINUED

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Chapter 6, 7, and 8 for you who miss this story. Lol. *jika ada*

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
Plot ceritanya bagus!
can_tbeempty #2
Chapter 5: Lanjutin dooong
stressedouttt #3
really interesting..
LovelyMeyMey #4
Chapter 5: udah deh kris lupain tao kan udah ada chanyeol
AWPark #5
Oonie fighting ciayou ganbate.. keep writing. Cerita oonie DAEBAK!! ^-^
krisyeolcola
#6
Chapter 5: ouuuhh, poor kris TT
chanyeol: sini-sini aku temani XD
mr.kim... makasih dah buat kris sedikit (SEDIKIT) menyukai keberadaan chanyeol kkkkk
thanks for update, want more~
Syanamyun99 #7
nice story! lanjut ya min
krisyeolcola
#8
Chapter 4: udah lihat di wordpressnya untuk chapt ini hehehe
n aku terkekeh di bagian ini "Mr. Kim, saya tidak pendek!" XD
AWPark #9
Chapter 3: Next min... Greget nih..
krisyeolcola
#10
Chapter 1: hadduu, another taoris -_-
bhs formal terasa kaku, apa krn aku yg jrg bc fiksi dlm bahasa y? XD
foreword nya ngingetin aku sm salah satu krisyeol angst dsni dan ceritanya bgs bgt, cm bedanya ini ada humornya hmm
update soon :)