Being a Better Man

God who Falls in Love

Pagi itu, Chanyeol tengah menikmati sandwich isi tuna sambil membaca koran. Mata sang Dewa akan tetap terfokus pada bacaannya, jika sosok dengan piyama anjing lucu tak muncul di dekatnya.

Byun Baekhuyun. Siapa lagi? Sang pengawal itu tampak mengucek mata tertutupnya. Hebatnya, si pemuda mungil itu berjalan dari kamar menuju dapur dengan mata masih terpejam dan langkah gontai! Benar-benar ia masih mengantuk. Ia masih butuh tidur!

“Pagi, Baekkie!” sapa Chanyeol ceria. Sang Dewa melipat koran paginya dan meminum segelas susu di depannya.

“Mm—pagi!” sahut Baekhyun malas. Tanpa membuka mata, ia menanggapi sapaan Chanyeol. Seolah dengan tak membuka mata, Baekhyun bisa memperpanjang siklus tidurnya. Bahkan pemuda itu mengambil susu dan menghabiskan cairan dalam gelas hingga habis, dengan kondisi yang sama!

Chanyeol hanya mengabaikannya. Selesai dengan sarapannya, ia bangkit berdiri, membereskan peralatan makannya dan bergerak menuju tempat cuci piring.

Baekhyun memilih duduk dan meletakkan kepalanya di atas meja makan. “Chanyeol ah,” panggil Baekhyun dengan suara sedikit serak. Matanya masih terpejam. Belum rela untuk benar-benar bangun, rupanya.

Chanyeol melirik pengawalnya sekilas. Keningnya berkerut kala menangkap satu keanehan pada diri Baekhyun. Namun, Chanyeol memilih diam dan meneruskan kegiatan cuci piringnya.

“Mm—ada apa?” sahut Chanyeol tanpa menoleh.

“Tadi malam, pulang jam berapa?” Baekhyun menguap lebar.

“Mm—Jam berapa ya?” Aktivitas membilas piring terhenti. Chanyeol berusaha mengingat jam berapa ia pulang semalam. “Mungkin jam 12 atau jam 1. Entahlah, aku tak tahu persis. Memang ada apa? Kau menungguku?” lanjutnya.

Sebuah decihan terdengar. “Aish, pantas! Aku menunggumu begitu lama. Sekarang aku jadi kurang tidur karenamu!” Baekhyun mengubah posisinya. Ia gunakan tangan untuk menopang dagu sebelum membuka mata dengan malas.

“Salahku? How come? Aku tak memintamu untuk menungguku, kan?” Selesai mencuci peralatan makannya, Chanyeol menempatkannya pada rak.

“Aku tak mau tahu! Semua salahmu! Salahmu! Kau harus membayar denda! Belikan aku aksesoris terbaru! Harus!” teriak Baekhyun bak anak kecil tengah berdemo.

Sang Dewa hanya menautkan alisnya—bingung dengan jawaban Baekhyun. “Ya! Byun Baekhyun! Mengapa kau meminta denda padaku? Dan, apa kau tak sadar kamarmu sudah penuh dengan anjing, eoh? Lama-lama, akan kujual barang-barangmu itu, Byun Baekhyun! Dan, berhentilah membuat alasan untuk memaksaku membelikanmu benda-benda semacam itu! Kau sungguh membuatku kesal! Kau tahu? Aku bisa bangkrut!” Chanyeol mendengus. Sungguh, mengapa ia harus melewati indahnya pagi dengan keributan tak penting seperti itu?

Jiwa Rottweiler Baekhyun terbangun mendengar perkataan Chanyeol. “Apa katamu?” Baekhyun bangkit berdiri. Matanya membelalak lebar. Senyuman penuh artinya kembali.

Chanyeol menyadari kesalahannya. Sialan. “A-apa? Tidak. Tidak, Baekkie. Aku tadi bercanda.” Sang Dewa terkekeh kikuk. Tak ingin ia menjadi korban pengawalnya pagi ini.

Baekhyun menautkan alis. “Tapi, tadi aku mendengarmu berencana menjual koleksiku, Tuan Park-Chan-Yeol.” Pemuda bertubuh mungil itu sengaja memberi tekanan kala menyebutkan nama Chanyeol.

Menyadari alarm bahaya sudah dibunyikan, sang Dewa mulai berkeringat dingin. “Ah, kau pasti salah dengar, Baekkie. Aku tadi bilang akan membelikan koleksi baru untuk. Apa pun yang kau mau, sahabatku!”

Chanyeol memaksakan senyuman—mencoba menidurkan kembali jiwa Rottweiler dari pengawalnya. Sungguh, ingin rasanya ia protes diberikan pengawal seperti Baekhyun. Pengawal yang sangat mengerikan tapi berwujud makhluk yang manis dan lemah—membuat Chanyeol tak tega melawannya. Mungkin karena itulah, ia tak pernah menang dari Baekhyun.

Sungguh, sekarang Chanyeol tak mau bertengkar dengan Baekhyun. Ia ingin menghadapi hari ini dengan tenang. Hari ini adalah hari yang indah. Chanyeol berharap seperti itu. Bagaimanapun, hubungannya dengan Kris sudah jauh lebih baik. Ia cukup yakin itu.

Baekhyun kembali duduk dengan senyum kemenangan terkembang. Sosok manisnya telah kembali. Benar-benar bak iblis berkedok malaikat. “Baguslah. Nanti kubuatkan daftar yang harus kau beli,” jawab Baekhyun dengan polos. Terkekeh ia melihat wajah frustasi sang Dewa yang akan kehilangan banyak uang.

Chanyeol hanya mendecih sembari menyambar tasnya. Sudah bersiap ia untuk pergi, padahal jam masih menunjukkan pukul 06.15.

Melihat itu, Baekhyun mengerutkan kening. “Kau ada acara pagi ini? Ada apa?” tanya Baekhyun sembari mengambil roti tawar dan selai strawberry kesukaannya. Tangannya sibuk mengoleskan selai merah itu di atas roti.

“Tak ada apa-apa. Aku hanya ingin cepat sampai di sekolah,” jawab Chanyeol penuh semangat—memamerkan deretan giginya yang putih dan rapi.

Baekhyun menelengkan kepala. “Memang, ada apa di sekolah?” Sebuah pertanyaan menyelidik ia lontarkan.

“Rahasia. Kau tak perlu tahu.” Chanyeol terkekeh—membayangkan apa yang akan terjadi di sekolah.

“Rahasia apa? Beritahu aku, Park Chanyeol!”

Chanyeol hanya menjulurkan lidah. “Rahasia, pokoknya! Mengapa kau ingin tahu? Dan, oh—sejak kapan kau memasang mantra penghalang pada dirimu?” Sang Dewa melemparkan pertanyaan tentang keanehan yang ia rasakan dari Baekhyun.

Tampaknya, pengawalnya memasang mantra penghalang. Sebuah mantra yang membuat Chanyeol tak bisa membaca apa yang Baekhyun pikirkan, rasakan, maupun lakukan. Hanya beberapa dewa dan pengawal yang bisa menggunakan mantra itu.

Baekhyun memutar bola matanya malas. “Aku hanya tak mau kau seenaknya sendiri membaca apa yang kulakukan atau kupikirkan! Aku tak mau kejadian lalu kembali terjadi. Kau seenaknya sendiri membaca perasaanku saat aku masih menyukaimu! Dasar menyebalkan! Kau menyalahgunakan kekuatanmu! Cih, aku benci kau! Pergi sana!” usir Baekhyun penuh emosi.

“Membaca pikiran dan perasaan itu menyenangkan, Baekkie! Ya sudah, sampai jumpa di sekolah!” Chanyeol tertawa dan melesat pergi.

Begitu sosok sang Dewa tak terlihat, raut muka Baekhyun berubah sedih. “Tentu supaya kau tak tahu apa yang kurencanakan, Yeol. Kuberi waktu sedikit lagi. Aku harap kau bisa berhenti. Kau tak boleh terlibat lebih jauh dengan perasaan cinta, apalagi dengan manusia. Jika kau terus melakukannya, kami akan benar-benar bertindak, Yeol.” Baekhyun menghela napas panjang dan melahap roti dengan selai strawberrynya tanpa selera.

~ . ~


~ . ~

Aura Kris tampak sedikit berbeda kala memasuki kelas pagi ini. Wajah dingin tanpa ekspresinya terlihat sedikit cerah. Bukan berarti si jenius sekolah muncul dengan senyuman seceria Chanyeol. Raut mukanya masih sama, namun jelas ada sedikit perubahan. Secercah cahaya dan kehangatan tampak menguar. Seluruh kelas pun menyadari hal itu.

Siswa dengan tinggi 187 sentimeter itu duduk di kursi setelah meletakkan tasnya. Sebuah buku pelajaran telah terpasang di tangan Kris. Ah, kebiasaan pagi si jenius kelas. Bersiap dengan pelajaran. So well-prepared.

Chanyeol menatap lekat sosok di sampingnya. Ia telah menyadari perubahan Kris sejak semalam. Namun, tak pernah ia sangka, efeknya bisa terlihat sampai hari ini. Bahkan, senyum tipis tampak samar terlihat menghiasi wajah Kris. Itu pun ia harus memerhatikan pemuda itu untuk benar-benar bisa melihatnya.

Kris merasakan dirinya jadi pusat perhatian—terutama dari teman sebangkunya. Ditatapnya Chanyeol tajam—memperlihatkan kembali sikap arogan dan dinginnya seperti biasa. ”Apa? Mengapa kau menatapku seperti itu? Kau punya masalah denganku?” tanya Kris ketus.

Chanyeol terkekeh. ”Tidak. Tidak apa-apa. Apa sesuatu yang baik terjadi, Kris?”

Kris mengerutkan kening. Mengapa bocah itu selalu ingin tahu urusannya?

“Bukan urusanmu!” Lagi-lagi, kata-kata kasar terlontar dari mulut Kris. Well, tak seburuk sebelumnya sih. Tak ada lagi umpatan keluar. Ya, sikap pemuda bersurai pirang itu memang telah sedikit melembut.

“Benarkah? Baiklah, kalau begitu. Tapi, kau tahu? Senang bisa melihatmu sedikit berubah.” Chanyeol mengalihkan perhatian kembali pada novel yang tadi tengah dibacanya.

Tautan alis terbentuk menghiasi wajah Kris. ‘Mengapa dia tak menggangguku? Aneh. Dia jadi lebih pendiam sekarang. Mm, ada apa? Oh, Kris! Apa yang kaupikirkan? Harusnya kau bersyukur karena Chanyeol tak berisik! Apa kau berharap dia akan membuatmu jengkel dengan tingkahnya yang memuakkan? Kris, sadar! Sadar!’ Kris mengelengkan kepala—berusaha mengusir pikiran tentang teman sebangkunya.

Kedua pemuda itu bergeming—sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Ah, tak begitu juga. Chanyeol sibuk dengan novelnya. Sementara, Kris mengabaikan buku pelajaran dan beralih memandang keluar jendela—menikmati cerahnya pagi. Sungguh, begitu cerah dan hangat. Kris baru menyadari dan merasakannya sekarang. Sesuatu yang baik telah terjadi padanya. Sesuatu yang indah.

Mata Kris kini mengarah pada sosok teman sebangkunya. Pemuda itu masih saja sibuk dengan novelnya—tak terganggu dengan tatapan lekat Kris. Ingin rasanya Kris mengatakan sesuatu. Namun, sesuatu menahannya. Lidah Kris terasa kelu. Sungguh menyebalkan. Mengapa begitu sulit memulai pembicaraan?

Kris menarik napas panjang dan mengembuskannya. Ia sudah mantap untuk mengatakan sesuatu pada Chanyeol. “Ya! Park Chanyeol—” Kris menghentikan ucapannya kala Chanyeol beralih dari novel ke arahnya dengan tatapan bingung.

“Ada apa, Kris?”

“Mm—Dengar—Mm—Aish—Bagaimana aku mengatakannya?” Kris mengusap tengkuknya kikuk.

Chanyeol menelengkan kepala—menunggu dengan sabar kelanjutan ucapan Kris dengan wajah polosnya. Namun, dalam hati, jantungnya berdebar kencang tak sabar mendengar apa yang ingin dikatakan pemuda bersurai pirang itu.

Tha—Thank you—”

Suara Kris terdengar lirih. Sangat lirih sehingga Chanyeol pun tak bisa mendengarnya. Sang Dewa terlihat mengerutkan keningnya.

Thank you. Thank you, Park Chanyeol.” Kris mengulangi ucapannya. Kali ini, dengan suara lebih keras dan jelas.

Tak mengerti, Chanyeol hanya terkekeh. “What’s it for, Kris?” Chanyeol benar-benar tak tahu mengapa Kris mendadak berterima kasih padanya.

Aish—Jangan bertanya apa-apa! Pokoknya, kau sudah mendengarnya, kan? Just forget it!” Kris mendengus. Bukan karena emosi. Kris terlalu menjaga harga dirinya. Ah, lebih tepatnya, ia tak tahu harus melakukan apa. It’s really awkward.

Mendengar itu, Chanyeol tersenyum kecil dan menganggukkan kepala. Ditepuknya punggung Kris pelan. “Whatever it’s for, you’re welcome.”

Kris terdiam. Tanpa disadari, sebuah senyum tersungging di bibirnya. Sungguh, lega rasanya bisa mengatakan hal itu pada pemuda di sampingnya.

Chanyeol sendiri memilih memejamkan mata—mencoba mengintip apa yang telah Kris alami sehingga bisa bersikap seperti tadi. Setelah beberapa saat, ia membuka mata. Sudah tahu ia alasan mengapa Kris jadi sebaik itu. Senyum lebar terkembang.

Pantas saja Kris terlihat berbeda. Ternyata karena itu. Ya, karena itu.

~ . ~

~ . ~

-Flashback on-

Setelah merasakan satu pengalaman tak terlupakan dalam hidup, Kris akhirnya tiba di rumah. Perasaan hangat masih memenuhi. Perasaan itu membuat dadanya berdesir. Sensasinya sangat menyenangkan—menghapus sedikit amarah, kesal dan semua hal negatif yang biasanya berputar-putar di benaknya.

Pengalaman bersama Chanyeol dan dua malaikat kecil—Kyuhyun dan Minji—tadi, ah, sungguh mengesankan. Kris sendiri heran mengapa efek kejadian tadi bisa benar-benar menyentuh hatinya.

Sebuah senyum tipis terpatri di bibir Kris. Sungguh, pemandangan yang tak biasa. Ia tak tahu mengapa ia terus tersenyum. Padahal, Kris tahu persis ia bukanlah tipe orang yang bisa mengekspresikan perasaannya dengan baik. Kecuali, amarah, tentunya.

Perlahan, Kris memasuki rumah. Ruang tengah terlihat remang, namun, ada terpancar dari TV yang menyala. Pemuda bersurai pirang itu memicingkan mata—berusaha menangkap sosok di sofa.

Ah, itu ayahnya. Setelah menghela napas panjang dan menguatkan hati, Kris berjalan mendekati sang ayah. Jantungnya berdebar. Lama sekali ia tak berbicara dengan sosok kepala rumah tangga itu.

Dad—” sapa Kris pelan, takut kalau sang ayah sedang tidur.

Ketakutannya tak beralasan. Mr. Wu tampak asyik menonton film di layar kaca dengan santai, meskipun wajahnya tampak kusut. Sepertinya, ia kelelahan.

Mendengar namanya dipanggil, Mr. Wu berpaling ke arah Kris, menatapnya lekat. Sungguh, pemandangan yang tak biasa. Kris jarang sekali mau berbicara dengannya. Biasanya, Kris bersikap tak acuh dan penuh emosi padanya. Karena itulah, ia sedikit terkejut melihat Kris menyapa lebih dulu.

“Mm? Ada apa, Kris?”

Kris duduk di samping sang ayah dan ikut menatap layar kaca. Suasana menjadi sangat kikuk karena tak ada yang mau berbicara duluan. Mata mereka terlihat fokus pada film, namun pikiran mereka tidak. Masing-masing sibuk memikirkan cara untuk memecah keheningan dan kekikukan yang terjadi.

Kris bersuara lebih dulu. “Dad, aku memang tak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi pada keluarga kita. Jujur, aku benci ketika Dad dan Mom bertengkar. Aku benci kalian membesar-besarkan masalah kecil. I really hate that.” Suara Kris terdengar datar dan dingin. Itu memang ciri khas si pemuda bersurai pirang.

Mr. Wu memilih diam. Kali ini, ia ingin mendengar Kris. Ia sendiri tak tahu alasannya. Ia hanya ingin tahu saja apa yang dirasakan Kris selama ini. Jika ia melewatkannya, mungkin tak akan pernah ada lagi kesempatan seperti ini.

You know, Dad? Aku rindu keluarga kita yang dulu. Kita bahagia dan selalu ada waktu untuk bersama. Beberapa bulan belakangan, aku frustasi. Semua tampak salah di mataku—apa pun yang terjadi. Dan, aku berubah jadi sosok egois dan bertingkah seenaknya sendiri. Bahkan, tak jarang aku berkata kasar dan bersikap tak sepantasnya. SorryI’m really sorry.” Kris menghela napas panjang. Sedikit lega rasanya bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan selama ini.

Belum sempat ditanggapi, Kris melanjutkan ucapannya. “But, I realized something tonightI should be grateful because you’re still here with me, although our family is in imperfect situation. Aku harusnya bisa lebih bersyukur, Dad. Hidupku jauh lebih baik dari orang lain di luar sana. Mereka mungkin tak seberuntung aku. Tak ada keluarga, tak ada rumah, tak ada makanan, tak ada apa pun.” Sekilas, terlintas kisah hidup Kyuhyun dan Minji yang tak memiliki apa pun—kecuali diri mereka sendiri.

“Kris—” Hanya kata itu yang bisa keluar dari mulut Mr. Wu. Ia benar-benar tercengang dengan perkataan putranya.

Kris menutup mata dan langsung memeluk erat sang ayah. “I love you, Dad,” kata Kris lembut. Mungkin sosok si surai pirang memang kasar dari luar. Namun, ia sebenarnya berhati lembut dan rapuh. Masalahnya hanya satu: Kris tak bisa mengungkapkan perasaannya dengan baik.

Mr. Wu tak pernah menduga hal seperti itu akan terjadi. Awalnya, ia sangat terkejut—tak tahu apa yang harus dilakukannya. Namun, dengan cepat, ia membalas pelukan erat putranya—menyalurkan kerinduan yang tertahan egonya selama ini.

I love you too, son. I’m really sorry for what happened,” balas sang ayah penuh ketulusan.

Pelukan itu berlangsung singkat tapi cukup mengobati semua yang telah terjadi.

Kris melepaskan pelukannya dan bangkit berdiri. “Where’s Mom?

I’m not sureMaybe she’s in her room.” Mr. Wu terlihat ragu dengan jawabannya sendiri.

Pemuda tampan bersurai pirang itu menganggukkan kepala—mengucapkan terima kasihnya. “Well, I need to tell Mom what I felt too. Mm—Good night, Dad!” Kris tersenyum tipis dan meninggalkan sang ayah.

Mr. Wu merasakan dadanya berdesir. Ada satu kehangatan yang ditularkan sang putra. Senyuman tersungging. Rasanya semua akan sedikit berubah besok. Ya, mungkin harus ada yang diubah sejak saat ini.

~ . ~

~ . ~

Kris mengetuk pintu kamar itu pelan. Takut ia kalau sampai mengganggu tidur sang ibu. Namun, mendengar suara terisak dari dalam, Kris pun memutuskan masuk tanpa persetujuan. Dibukanya pintu perlahan—menimbulkan deritan.

Mom, are you okay?” tanya Kris khawatir sembari melangkahkan kaki jenjangnya ke ranjang sang ibu.

Awalnya, tak ada tanggapan—hanya ada isakan pelan di balik selimut tebal. Tak berapa lama, Mrs. Wu bangkit, menyibakkan selimut yang menutupi. Tangannya kini sibuk mengusap air mata yang mengalir. Ia mengerjapkan mata beberapa kali—tak memercayai penglihatannya. Apa yang dilakukan Kris di kamarnya? Sungguh, itu aneh.

Pemuda tinggi bersurai pirang itu duduk di samping sang ibu. Tatapan lekat ia layangkan pada wanita itu. “Are you okay, Mom?” Kris mengulangi pertanyaannya.

Mrs. Wu menggangguk pelan. “I’m okay, Kris. Ada apa? Mengapa kau belum tidur?” Suara wanita itu terdengar begitu lirih dan tertahan. Mungkin efek menangis tadi.

“Tidak apa-apa, Mom. Aku hanya ingin melihat Mom. O ya—”

Lagi-lagi, Kris menghentikan ucapannya. Ia tengah membangun niat untuk mengungkapkan semua yang telah dirasakannya selama ini. Sikapnya itu membuat keheningan menyergap. Suasana jadi kikuk. Apalagi, Mrs. Wu juga memilih bergeming.

I just wanna say that no matters what had happened or what will happen later, I will always love you. Dad and Mom. Always.” Berhasil menyelesaikan perkataannya, Kris menundukkan kepala. Rasanya beban berat terangkat, meskipun Kris sadar bahwa jujur itu hal yang sulit untuk dilakukan.

Sang ibu menelengkan kepala mendengar perkataan Kris. Perasaan hangat mendadak menjalar. Begitu pun, rasa bersalah ikut mencuat. “Kris—” panggilnya pelan. Dielusnya surai pirang sang putra. Lama sekali ia tak melakukan itu.

“Mulai saat ini, aku akan lebih bersyukur karena Mom dan Dad masih di sini. Aku tak pernah tahu betapa beruntungnya aku. Keluarga lengkap, kehidupan layak—aku memilikinya. Di luar sana, aku baru sadar, banyak orang yang tak memiliki apa pun. Kupikir aku terlalu serakah untuk mengharapkan kita bisa kembali seperti dulu. Namun, ya, kurasa kondisi ini tetap jauh lebih baik. Aku tak akan marah lagi pada kalian atau pada keadaan. Kurasa kalian juga tak pernah ingin mengalami semua ini, kan? Pasti berat, ya?”

Mrs. Wu terperangah mendengar kata-kata putranya. Dewasa sekali. Tapi, mengapa Kris tiba-tiba bisa berkata seperti itu? Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah beberapa jam lalu, Kris tampak begitu emosi? Bahkan, ia sampai membanting pintu saat ia dan suaminya bertengkar. Apa yang membuat Kris berubah secepat itu?

Rasa terkejut istri pengusaha terpandang di Korea-Cina itu tak bertahan lama. Kini, ia tengah mencoba mencerna perkataan Kris. Memang benar, ia juga tak mau bertengkar dengan sang suami. Hal itu sulit dan berat dilakukan. Tapi, semua terjadi begitu saja belakangan ini. Ia tak bisa mengendalikan diri. Ia lelah. Semua pertengkaran bahkan sering dipicu hal-hal sepele. Ia sendiri tak tahu mengapa itu bisa terjadi.

“Sudahlah, Mom. Lebih baik Mom tidur. Aku juga akan tidur. Besok kan sekolah. I love you, Mom. Always. Good night.” Kris memeluk erat sang ibu dan menghadiahi wanita itu ciuman di kedua belah pipinya.

Meskipun kembali diserang rasa terkejut, Mrs. Wu pun segera balas memeluk putranya erat. Diciumnya kening Kris. Rindu sekali ia melakukan itu. Ia senang bisa kembali mencium putra yang selalu ia sayangi itu.

Kris bangkit berdiri dan mengangguk kecil pada ibunya. Ia baru saja berjalan beberapa langkah saat suara Mrs. Wu menghentikannya.

“Kris—”

Kris menoleh. “Ya, Mom?”

“Boleh Mom tahu siapa yang membuatmu seperti sekarang?” tanya Mrs. Wu penasaran.

Pemuda bersurai pirang itu mendongakkan kepala—menatap langit-langit kamar sang ibu. Ia tengah berusaha mengingat apa yang telah terjadi, siapa yang telah membuatnya bisa berubah. Sebuah senyum terbentuk menghiasi wajah tampannya.

“Hanya dua anak kecil dan seorang idiot. Selamat tidur, Mom,” jawab Kris sembari menutup pintu kamar Mrs. Wu—meninggalkan wanita cantik itu dengan senyum terkembang. Ia telah lupa dengan kesedihan yang tadi melanda.

~. ~

~ . ~

“Kris, wake up!

Sejujurnya, Kris masih ingin menghabiskan waktu lebih lama di dunia mimpi. Ia belum rela bangun sekalipun suara wanita tadi berusaha keras menariknya kembali ke dunia nyata.

Wake up, Dear! Kris, ayo bangun! Sudah pagi.” Suara itu kembali terdengar.

Kris masih berusaha keras tak memedulikannya. Ia malah menarik selimutnya ke atas—menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut putih tebal bermotif naga. Rupanya, Kris belum sepenuhnya sadar bahwa Mrs. Wu lah yang berusaha membangunkannya sejak tadi. Ia berpikir bahwa itu hanyalah halusinasi karena pengaruh rasa kantuknya. Ibunya tak mungkin membangunkannya! Mrs. Wu sudah berhenti membangunkannya sejak ia masih remaja! Karena itulah, Kris mengabaikan suara itu.

“Kris~” Mrs. Wu mendekati ranjang Kris dan menarik selimut yang menutupi tubuh sempurna putranya. Tubuh tinggi, atletis, dengan wajah tampan dan otak cemerlang. Wanita itu membelai surai pirang Kris penuh kasih sayang.

“Kris, wake up! Mom had prepared breakfast for today. Have a shower, Dear! Then, we’ll have breakfast togetherDad sudah menunggu. Cepatlah!”

Mendengar itu, Kris sontak membelalakkan mata. Apa yang didengarnya tadi sungguhan? Ini bukan mimpi, kan? Pemuda tampan berotak pintar itu segera bangkit dari tidurnya—mendapati Mrs. Wu tersenyum. Dikucek matanya kemudian beralih mencubit lengannya sendiri, berusaha membuktikan bahwa ia tak sedang bermimpi. Namun, itu kenyataan! Apa yang sebenarnya terjadi? Kris benar-benar tak mengerti!

“Sudah, cepatlah mandi! Jangan lama-lama. Kami tunggu di meja makan,” kata Mrs. Wu lembut. Diletakkannya handuk coklat menutupi kepala putranya yang tampak sangat terkejut itu.

Setelah terkekeh, wanita cantik itu kembali berbicara. “Kau berubah, Kris. Dan, kami pun merasa ini saatnya untuk berubah juga. Ah, kami sungguh harus berterima kasih pada mereka yang telah membuatmu seperti ini. Lain kali, kenalkan mereka pada kami, okay? Cepat mandi! Kau tak mau makan masakan Mom?” Mrs. Wu beranjak keluar meninggalkan Kris yang masih belum percaya dengan apa yang terjadi.

Perlu beberapa saat bagi Kris untuk benar-benar menyadari apa yang terjadi. Senyuman kecil berubah jadi kekehan pelan. “Berubah, ya? Tak kusangka akan jadi seperti ini. Ah, si Bodoh itu—ini semua karena dia!”

Pemuda bersurai pirang itu bangkit berdiri dan menuju kamar mandi. Ia tak sabar memulai hari barunya.

-Flashback off-

~. ~

~ . ~

Chanyeol puas mendapati apa yang terjadi. Sesuatu yang telah diidamkan Kris sejak lama akhirnya terjadi. Sebuah senyum tersungging menghiasi bibirnya sebelum ia kembali memusatkan perhatian pada novel di tangannya. Sungguh, ia senang semua berjalan baik. Dan, Chanyeol bersyukur Kris telah membuat keputusan yang tepat dan berani untuk menghadapi masalahnya.

Hening.

Selama beberapa saat, Chanyeol dan Kris hanya bergeming—sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Suara siswa sekelas mendominasi. Mereka tengah ribut dengan pekerjaan yang harus dikumpul pagi ini, rupanya. Belum lagi, para siswa yang suka bergosip. Mereka berisik.

Mendadak, Kris teringat sesuatu. Ditatapnya Chanyeol lekat sebelum menengadahkan tangannya di depan sang Dewa. Pemuda bersurai hitam itu mau tak mau mengalihkan perhatiannya dari novel dan menatap tangan Kris. Ia sungguh bingung—tak mengerti. Kepalanya terteleng.

“Apa?” tanya Chanyeol polos.

Kris memilih diam. Tangannya ia gerakkan ke atas dan ke bawah—menunggu respons Chanyeol.

Jelas saja, sang Dewa tak mengerti apa maksud Kris sebenarnya. Setelah beberapa saat kebingungan, Chanyeol mendapat satu kesimpulan. Senyumnya mendadak terkembang lebar. Dengan cepat, diraihnya tangan kanan Kris dengan tangan kirinya. Ia menggenggamnya erat. Sungguh, tak bisa disangka kalau Kris ternyata ingin berpegangan tangan dengannya! Ini perkembangan yang sangat luar biasa!

Namun, itu bukan respons yang diharapkan Kris. Itu jelas terlihat dari mata Kris yang membelalak lebar tak percaya dengan apa yang baru terjadi. Raut mukanya tampak sangat terkejut. Oh, Chanyeol, apa sih yang dia pikirkan?

“Ya! Park Chanyeol! Apa yang kaulakukan?” seru Kris. Ditepisnya tangan Chanyeol sebelum mengusapkan tangan kanan dengan tangan yang satu—seolah tengah membersihkannya dari debu.

Chanyeol semakin bingung dengan sikap Kris. Apa yang sebenarnya diinginkannya kalau bukan berpegangan tangan? Pemuda bersurai hitam itu menatap tangan kiri dan membolak-baliknya. “Memang apa yang kulakukan? Bukankah kau mau menggandengku?” tanya Chanyeol polos.

Kris semakin terbelalak. Oh, God. Ini sudah dimulai lagi!

“Dalam mimpimu, Park Chanyeol! Aku hanya ingin menagih utangmu semalam! Kembalikan uangku!” seru Kris lagi—mulai sedikit emosi.

“Utang? Mm—utang apa?” Sang Dewa berusaha mengingat utang apa yang dimaksud Kris. Memangnya, ia berutang apa?

Tak sabar lagi, Kris mendengus kesal. “Utang tadi malam! Bukankah kau meminjam uangku untuk membayar ddeokbokkie semalam? Ingat, kau lupa membawa dompetmu, padahal kau yang harus membayarnya! Jadi, kembalikan uangku sekarang!”

“Ah, itu? Ayolah, Kris. Anggaplah kali ini kau yang traktir. Okay? Aku baru tak punya uang.” Chanyeol memamerkan senyuman lebarnya.

Kris tak bisa memercayai pendengarannya. “Apa? Kau bilang sendiri kau yang akan traktir, kan? Aish, pokoknya kembalikan!”

“Lain kali saja, ya, Kris? Wek—” Chanyeol menjulurkan lidah dan pergi meninggalkan Kris yang nyaris meledak.

Oh, Chanyeol, mengapa kau harus selalu membuat masalah dengan Kris?

~ . ~


~ . ~

Jam istirahat.

Chanyeol masih sibuk mengobrol dengan Kris. Well, tidak seperti itu juga. Sebenarnya percakapan itu didominasi oleh satu pihak saja. Sementara, pihak lain hanya tampak kesal mendengar celotehan lawan bicaranya.

Rupanya, Kris masih jengkel karena Chanyeol menolak membayar utangnya pagi tadi. Meskipun akhirnya sang Dewa mengembalikan uangnya, pemuda bersurai pirang itu tetap saja jengkel. Apalagi, sosok di sampingnya itu kembali berisik dan ingin ikut campur dalam masalah pribadinya.

Tiba-tiba, satu sosok tinggi mendekati meja Kris dan Chanyeol. Kedua pasang mata dua siswa yang tadinya tengah mengobrol beralih ke sosok itu.

“Hai. Kau yang namanya Park Chanyeol?” tanya sosok itu sembari menyunggingkan sebuah senyuman.

Chanyeol menelengkan kepalanya—bingung. Ia tak kenal sosok di depannya.

Kris jelas tahu siapa pemuda itu. Tao. Huang Zitao. Sosok yang sudah ia lupakan semenjak Chanyeol mengusik hidupnya. Sosok yang pernah membuat Kris sakit hati. Sosok yang mengatakan dirinya membosankan. Raut muka Kris berubah dingin. Tangannya mengepal erat dalam kantong celananya.

Yups. Aku Park Chanyeol. Siapa kau?”

Tao kembali tersenyum. “Huang Zitao, anak kelas sebelah. Panggil aku Tao. Sungguh senang bisa berkenalan denganmu.” Pemuda bermata panda itu menjulurkan tangan—mengajak Chanyeol berjabat tangan.

Sang Dewa meraih tangan Tao dengan sedikit ragu. “Benarkah? Kurasa aku belum pernah melihatmu,” kata Chanyeol.

“Ah, beberapa minggu terakhir, aku ada di Cina untuk kompetisi keolahragaan. Saat kau pindah kemari, aku tak ada di sini. Kemarin, sewaktu aku pulang, aku mendengar kau cukup populer di sekolah. Ya, aku jadi penasaran dan ingin mengenalmu. Kau tak keberatan, kan?’

Chanyeol tertawa renyah. “Tentu tidak. Mm, tapi, kurasa bukan itu tujuanmu sebenarnya. Mengapa kau sampai ingin mengenalku?”

“Bagaimana kalau kau bergabung dengan klub anak-anak populer? Kurasa kau memenuhi syarat.”

Sang Dewa melirik ke arah Kris yang hanya diam. Tampak benar, pemuda itu berusaha mengendalikan emosi. Kerutan di kening Chanyeol terbentuk. Apa Kris mengenal Tao? Apa pernah terjadi sesuatu dengan keduanya?

“Kris~ Menurutmu, apa kita cocok masuk ke klub ini?” tanya Chanyeol, berusaha memancing pembicaraan dengan Kris.

Lawan bicaranya bergeming. Tatapan tajam ia lemparkan ke sang Dewa sebelum beranjak bangkit.

“Aku tak tertarik!” seru Kris kasar sebelum pergi meninggalkan kelas dengan emosi meledak-ledak. Suara pintu ditendang keras terdengar.

“Aku hanya menawarimu, bukan Kris,” jelas Tao—tak mengacuhkan apa yang dilakukan Kris. Tampaknya, pemuda itu hanya tertarik pada Chanyeol.

Mendengar jawaban itu, Chanyeol tersenyum kecil dan bangkit berdiri. “Kalau begitu, aku juga tak akan bergabung. Sampai jumpa. Lebih baik aku menyusul Kris,” sahut Chanyeol cepat sebelum berlari mengejar Kris.

Tao mendecih pelan. Sungguh, ia tak percaya bisa diabaikan seperti itu. Apa Chanyeol baru saja menolaknya? Kurang ajar.

~ . ~

~ . ~

“Kris! Kris! Tunggu!” teriak Chanyeol sembari mencoba mengejar Kris yang berjalan cepat menyusuri selasar sekolah.

Beruntung karena kaki panjangnya, sang Dewa berhasil mengejar pemuda bersurai pirang itu. Dipegangnya bahu Kris—menghentikan langkah sosok itu. Saat berbalik, Chanyeol mendapati muka Kris merah padam. Tampak sangat emosi. Apa yang terjadi dengan Kris?

“Apa yang terjadi, Kris? Kau tak apa-apa? Ah, kau tahu? Aku menolak bergabung dengan klub Tao. Pasti tak akan menyenangkan ada di sana tanpa kau, Kris.” Chanyeol terkekeh—tak bisa membaca suasana.

Kris menatap tajam pemuda bersurai hitam di depannya. Tanpa diduga, sebuah pukulan mendarat di wajah Chanyeol—membuat pemuda itu jatuh tersungkur. Sejujurnya, Kris terkejut dengan tindakannya. Ia sungguh tak tahu mengapa sampai memukul Chanyeol yang bahkan tak tahu apa-apa. Namun, ia tak bisa mengendalikan emosinya!

“Urus masalahmu sendiri, Bodoh!” teriak Kris—meninggalkan Chanyeol dengan pipi merah.

Beberapa siswa yang melihat kejadian itu hanya terdiam—tak berani membantu. Lagipula, Chanyeol tak butuh itu. Sang Dewa bangkit berdiri, berlari ke arah toilet dan mengunci pintu dengan cepat.

“Sebisa mungkin, aku tak ingin mengintip, Kris. Maaf, tapi, aku harus melihatnya.”

Chanyeol menengadahkan tangannya. Sebuah bola cahaya tampak melayang di atas telapaknya itu. Ternyata, Chanyeol tengah mencoba menilik apa yang terjadi di masa lalu. Apa yang sebenarnya telah terjadi antara Kris dan Tao, sehingga membuat pemuda itu begitu marah. Setelah beberapa saat, matanya membelalak lebar. Ah, jadi itu yang terjadi. Pantas saja Kris semarah itu.

Sang Dewa memutuskan untuk melakukan sesuatu. Ya, harus.

~ . ~


~ . ~

Perasaan Kris jauh lebih lega karena ia sudah sempat melampiaskan emosi di atap selama beberapa saat. Kala amarahnya menghilang, ia menyadari bahwa ia berutang maaf pada Chanyeol. Lebih baik, ia segera kembali ke kelas dan meminta maaf. Perasaan Kris tak enak sekarang. Rasa bersalah menghantuinya.

Baru saja menuruni tangga lantai tiga, Kris mendengar suara keras dari gudang di salah satu sudut. Penasaran, ia pun mendekati sumber suara. Pintu gudang tampak terbuka sedikit. Kris mengintip apa yang terjadi di dalam sana lewat celah itu. Mata pemuda bersurai pirang terbelalak lebar!

Chanyeol berdiri dengan wajah dingin. Tak ada senyuman tampak di wajahnya yang biasanya ceria. Tangan kanan pemuda itu menggantung tegang. Sepertinya ia sedang terluka karena tangannya memerah dan berdarah. Kris menduga Chanyeol baru saja menghajar seseorang. Tapi, siapa?

Kris tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya. Korban Chanyeol adalah Tao! Siswa bermata panda itu tersungkur. Wajahnya tampak lebam dan memar. Darah terlihat menghiasi sudut mulutnya.

“Bukankah sakit kalau dipukul seperti ini, Tao? Berdarah, kan? Tapi, lukamu itu tak ada apa-apanya daripada yang Kris rasakan. Kau sungguh keterlaluan! Mencium Kris lalu bilang dia membosankan? Dengarkan aku! Tajamnya perkataanmu justru jauh lebih menyakitkan daripada pukulanku! Luka yang tak terlihat justru tak akan bisa sembuh dan semudah itu dilupakan seperti lukamu sekarang! Ah, sebenarnya, aku tak berniat ikut campur dalam masalah kalian. Apalagi, sampai menghajarmu padahal aku tak mengenalmu. Tapi, kau sendiri yang mendekatiku sehingga akhirnya, aku terpaksa melakukan ini. Sekarang, kuminta satu hal darimu. Hanya satu. Minta maaflah pada Kris atas apa yang telah kaulakukan setahun lalu. Mengerti?” Suara Chanyeol terdengar tajam dan menusuk.

Kris kaget setengah mati. Bagaimana Chanyeol tahu rahasianya? Tak ada seorang pun yang tahu apa yang terjadi kecuali dirinya sendiri dan Tao. Pemuda panda itu jelas tak akan menceritakan apa pun. Tidak. Tao tak sebodoh itu. Tapi, bagaimana mungkin?

Mendadak, pemuda bersurai pirang itu terhuyung. Tubuhnya terasa sangat berat. Tanpa melihat apa yang selanjutnya terjadi, Kris segera lari meninggalkan tempat itu. Tak seharusnya ia datang ke sana dan melihat kejadian tadi! Harusnya tidak pernah!

~ . ~


~ . ~

Kris membolos di jam pelajaran selanjutnya. Ia memilih berpura-pura sakit dan beristirahat di ruang kesehatan. Ia tak peduli dengan prestasi akademis yang ternodai. Tidak. Ia tak peduli. Saat ini, ia hanya bingung. Ia hanya ingin bebas dari kecamuk dan dilema yang mendera. Hari ini, perasaannya sungguh bercampur aduk. Ia bahagia, marah, kesal, muak! Semua berkecamuk dalam batin. Sial. Mengapa ia harus mengalami hari seperti itu?

Pemuda bersurai pirang itu masih tertidur di salah satu bilik paling ujung dengan tirai tertutup, kala terdengar langkah beberapa orang masuk ke ruang itu. Menurut pendengaran Kris, ada sekitar lima orang. Kris mencuri dengar perbincangan mereka dengan petugas kesehatan. Rupanya, ada salah satu dari mereka yang sedang terluka. Petugas kesehatan meminta mereka mengobati luka itu sendiri karena ia ada urusan mendadak.

Sesungguhnya, Kris tak peduli dengan siapa mereka. Namun, percakapan mereka tak bisa diabaikan begitu saja.

“Anak baru itu yang membuatmu babak belur seperti ini, Tao ya? Besar juga nyalinya.” Itu suara Donghyun. Tampaknya, ia sedikit emosi.

Eoh, dia juga berani menolakmu mentah-mentah. Rupanya, dia belum mengenal siapa dirimu, Tao ya. Kurasa dia harus diberi pelajaran supaya dia tahu diri!” Kali ini, suara Hyungseong terdengar.

Ah, Kris bisa menebak siapa mereka. Tao dan anggota klub populernya. Klub itu berisi siswa populer dari berbagai bidang seni, olahraga dan semacamnya. Well, mungkin Kris seharusnya tergabung di sana, seandainya ia tak bermasalah dengan Tao. Tapi, itu hanya salah satu alasan. Kris juga tak pernah tertarik dengan klub semacam itu.

“Kau tahu apa yang menyebalkan dari bocah itu? Sejak pindah kemari, dia selalu mengekor pada mantan pacaran sialanmu itu. Kris si arogan menyebalkan.” Minwoo yang dikenal dengan dance monster ikut bicara.

Mendengar namanya disebut, Kris hanya menautkan alis.

“Sialan kau, Jungmin! Pelan-pelan! Sakit!” teriak Tao. Akhirnya, pemuda bermata panda itu bersuara.

Kris mengepalkan tangan.

“Maaf, maaf. Aku tak sengaja. Tapi, aku heran. Bagaimana mungkin kau bisa babak belur seperti ini? Kau jago wushu, kan? Lalu, di mana kemampuan martial artsmu tadi sehingga kau bisa kalah?” tanya Jungmin.

Aish, kalian berisik! Dia itu iblis!” keluh Tao.

Donghyun membuka mulut lagi. “Iblis? Mana ada iblis, Tao? Ya! Bagaimana kalau kita memberinya pelajaran. Siang ini, kita ajak dia bermain-main. Dengan begitu, dia sadar kalau dia telah salah membuat masalah denganmu, Tao. Setuju?”

Tiga suara setuju. Namun, tak terdengar suara apa pun dari Tao.

“Kau tak setuju? Apa kau tak dendam?” tanya Jungmin.

“Lupakan. Terserah kalian mau melakukan apa. Aku tak mau ikut-ikutan!” jawab Tao emosi.

“Baiklah kalau begitu. Jadi, ini rencanaku—”

Donghyun menjabarkan rencananya dan yang lain mendengarkannya dengan seksama. Kris yang diam di balik bilik pun ikut mencuri dengar. Beruntung sekali, mereka tak menyadari keberadaannya di sana.

Tak lama, petugas kesehatan kembali. Setelah beberapa saat mengobrol dan berbasa-basi, gerombolan anak populer itu meninggalkan ruangan.

Keringat membanjiri tubuh Kris. Sungguh, tegang rasanya mendengarkan rencana buruk para siswa itu. Apalagi, jika mereka tadi tahu Kris ada di sana, ia pasti sudah mati. Rencana mereka tadi—mengapa keadaan jadi lebih runyam?

“Cih, Park Chanyeol. Kau merepotkan,” geram Kris.

~ . ~


~ . ~

“Kris, kau pergi ke mana? Kau bolos?” tanya Chanyeol sumringah. Wajah cerianya tampak jelas saat mendapati Kris masuk ke kelas setelah istirahat kedua berakhir.

Kris diam dan duduk di kursinya dengan malas. Chanyeol hanya memamerkan senyum lebar. Pemuda bersurai hitam itu bersikap tak pernah terjadi apa-apa sebelumnya. Tak sekalipun ia membahas kejadian waktu Kris memukulnya.

Kris menghela napas panjang lalu menatap Chanyeol. “Kau tidak apa-apa?” tanya Kris dingin. Ia berusaha keras untuk tetap menjaga harga dirinya.

“Aku? Aku baik-baik saja? Memang ada apa denganku?” Chanyeol memandang Kris balik dengan polos.

“Tentang pukulan tadi, maaf.” Karena rasa bersalah terus mendera, Kris pun mau tak mau meminta maaf.

Sang Dewa mengelus pipinya dan terkekeh. “Santai saja. Aku memang salah. Tak seharusnya aku mengganggumu saat kau sedang emosi.”

“Pokoknya aku minta maaf,” tekan Kris.

Chanyeol kembali terkekeh. “Baiklah. Aku memaafkanmu. Sekarang, lupakan saja.”

Mata Kris menangkap tangan Chanyeol terbalut perban. Tangan yang tadi sempat ia lihat terluka dan berdarah karena menghajar Tao. Sesungguhnya, Kris tahu persis apa sebabnya. Namun, ia penasaran juga apa yang akan dikatakan pemuda menyebalkan itu. Lagipula, Kris ingin tahu bagaimana Chanyeol tahu rahasianya.

“Tanganmu—kenapa?” tanya Kris pura-pura. Ia tampak begitu tak acuh, meskipun sejujurnya tak seperti itu. Ia hanya sedikit khawatir. Garis bawahi itu: SEDIKIT KHAWATIR. Apa mungkin Chanyeol akan menjawab jujur kalau ia seperti itu karena memukul Tao? Atau apa?

Chanyeol hanya melihat tangannya sekilas dan menyodorkannya pada Kris. “Ini? Aku jatuh tadi. Konyol, kan? Aku terpeleset karena lantai toilet licin dan aku jatuh menimpa tanganku sendiri.” Chanyeol tertawa.

Kening Kris berkerut mendapati kebohongan tak masuk akal itu. Mengapa Chanyeol berbohong? Namun, pemuda bersurai pirang itu memutuskan untuk diam dan berpura-pura percaya. Toh, Chanyeol tak mungkin tahu ia melihat semuanya.

“Dasar bodoh!” kata Kris sembari membuka buku pelajaran—tak melihat senyuman tipis tersungging di bibir Chanyeol. Senyum lega.

~ . ~

~ . ~

Bel pulang berbunyi. Kris dan Chanyeol tengah membereskan buku pelajaran kala Donghyun dan Minwoo berjalan mendekati mereka.

Melihat kedatangan dua siswa populer itu, Kris mulai was-was. Jadi, mereka benar-benar berniat menjalankan rencana busuk mereka? Pemuda bersurai pirang itu tahu persis betapa jahatnya Donghyun dan kawan-kawan. Mereka bermaksud menjebak dan menghajar Chanyeol kemudian mempermalukan pemuda itu di depan sekolah. Sungguh, mengingatnya membuat Kris geram. Memang, itu bukan urusannya. Namun, ada satu dorongan dalam diri yang memaksanya menyelamatkan Chanyeol.

“Park Chanyeol?” sapa Donghyun.

Chanyeol memandang dua sosok asing di depannya. “Ada apa?” tanya sang Dewa tanpa curiga.

“Kami dari perwakilan OSIS membutuhkanmu. Bisakah kau membantu kami?” pinta Minwoo.

“Bantuan? Bantuan apa?” Chanyeol mulai bingung.

“Mrs. Choi merekomendasikanmu utnuk membantu proyek ulang tahun sekolah. Jadi, bisakah kau membantu kami?” Donghyun terlihat bersungguh-sungguh.

‘Akting busuk!’ geram Kris dalam hati.

“Mm—Bagaimana, ya? Aku—”

Perkataan Chanyeol terpotong oleh Kris. “Maaf, dia tak bisa. Dia ada janji denganku hari ini. Ya! Park Chanyeol! Kau lupa dengan janji kita, eoh?” Sungguh, Kris tak menyangka kalimat itu keluar dari mulutnya dengan lancar. Astaga, ada apa dengan dirinya?

Mendengar itu, Chanyeol terkejut setengah mati. Janji? Janji apa? Keningnya berkerut.

Aish, cepatlah! Kita sudah terlambat!” seru Kris sambil menarik paksa tangan Chanyeol—meninggalkan Donghyun dan Minwoo. Kedua anggota klub populer itu mengumpat karena rencana mereka gagal total. Sial!

~ . ~

~ . ~

Sementara itu, di bangku belakang kelas, Baekhyun melihat kejadian yang baru terjadi tanpa ekspresi. Dikeluarkan cermin ajaib dan ponselnya. Ia menekan sebuah nomor dengan tangan kanan, sementara tangan yang satu memegang cermin ajaib. Di sana Kris dan Chanyeol tampak berlari keluar gerbang sekolah.

Akhirnya, panggilan itu tersambung. “Ya, ini aku——Berikan sedikit waktu lagi padanya——Kita bisa tentukan apa yang harus kita lakukan setelah ini——Baiklah, akan kuhubungi lagi nanti——Mm, sampai jumpa.”

Baekhyun menutup ponsel dan beralih pada cerminnya. Sebuah helaan napas panjang tercipta. “Sudah kubilang berhenti, Park Chanyeol! Kau tak boleh bersikap seperti ini! Buat keputusan yang tepat, Yeol. Kalau tidak, kami akan turun tangan dan menyelesaikannya dengan cara kami,” kata Baekhyun lirih.

~ . ~


~ . ~

“Hei, Kris! Kita mau ke mana?” tanya Chanyeol. Tangannya masih ditarik oleh pemuda bersurai pirang di depannya.

Kris memilih diam—mengabaikannya.

“Kris! Memang kita punya janji hari ini?” tanya sang Dewa lagi.

Si jenius tampan berhenti mendadak dan menatap pemuda menyebalkan yang selalu membuat masalah itu. “Dengar! Aku sedang baik hati! Aku akan menemanimu hari ini! OkayAish, aku benar-benar sudah gila!” Kris berteriak frustasi. Tangan bergerak mengacak kasar surai pirangnya.

Awalnya, Chanyeol sedikit bingung. Namun, ia sadar mengapa Kris melakukan semua itu. Ia terkekeh pelan. Chanyeol tak akan menyia-nyiakan kesempatan ini! “Baiklah. Karena kau sudah bilang begitu, ayo kita kencan!” teriak Chanyeol.

“Eh?!” Kris hanya bisa terbelalak. Oh, Park Chanyeol benar-benar merepotkan!

~ . ~

To be Continued

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Chapter 6, 7, and 8 for you who miss this story. Lol. *jika ada*

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
Plot ceritanya bagus!
can_tbeempty #2
Chapter 5: Lanjutin dooong
stressedouttt #3
really interesting..
LovelyMeyMey #4
Chapter 5: udah deh kris lupain tao kan udah ada chanyeol
AWPark #5
Oonie fighting ciayou ganbate.. keep writing. Cerita oonie DAEBAK!! ^-^
krisyeolcola
#6
Chapter 5: ouuuhh, poor kris TT
chanyeol: sini-sini aku temani XD
mr.kim... makasih dah buat kris sedikit (SEDIKIT) menyukai keberadaan chanyeol kkkkk
thanks for update, want more~
Syanamyun99 #7
nice story! lanjut ya min
krisyeolcola
#8
Chapter 4: udah lihat di wordpressnya untuk chapt ini hehehe
n aku terkekeh di bagian ini "Mr. Kim, saya tidak pendek!" XD
AWPark #9
Chapter 3: Next min... Greget nih..
krisyeolcola
#10
Chapter 1: hadduu, another taoris -_-
bhs formal terasa kaku, apa krn aku yg jrg bc fiksi dlm bahasa y? XD
foreword nya ngingetin aku sm salah satu krisyeol angst dsni dan ceritanya bgs bgt, cm bedanya ini ada humornya hmm
update soon :)