The Meeting

God who Falls in Love

Chanyeol merebahkan diri di ranjang empuknya. Dominasi merah menyala bermotif phoenix tergambar apik menutupi tempat ia berbaring. Uapan demi uapan terjadi. Entah, jika dihitung sudah berapa puluh kali ia menguap. Serangan rasa kantuk memang semakin tak terkendali belakangan ini.

Muka Chanyeol terlihat kusut dengan mata merah. Beberapa kali, air mata bahkan keluar. Tentu saja bukan karena ia menangis, namun karena efek kantuk yang semakin sulit untuk ditahan.

Berulangkali, ia berusaha mengerjapkan matanya dengan harapan bisa meredakan kantuk yang melanda. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Setiap kerjapan mata malah membuatnya semakin ingin menutup mata dan tidur. Chanyeol benar-benar ingin tidur pulas—namun, ia sadar ia tak boleh melakukannya. Belum saatnya. Ya, ia belum boleh tidur untuk saat ini.

Akhirnya, pemuda bertubuh jangkung itu menepuk-nepuk pipinya sambil bangkit berdiri. Kamar mandi adalah tujuan utamanya. Mungkin sergapan kantuk akan menghilang saat ia membasuh muka. Semoga saja.

~ . ~


~ . ~

-Flashback on-

"Kris—" Panggilan itu begitu lirih.

Chu

Dua bibir itu menempel.

Tak sampai lima detik, Tao menarik bibirnya menjauhi bibir Kris—membiarkan pemuda berambut pirang itu tercengang dengan tindakannya. Ditegakkan tubuh yang sempat ia bungkukkan saat mencium pacarnya itu. Ia menggoyang-goyangkan tangan yang pegal setelah menumpu tubuhnya yang tinggi.

Posisi ciuman tadi memang sangat tak romantis. Kris duduk di kursi dengan Tao yang berdiri di depannya—sedikit membungkuk. Sebuah meja memisahkan mereka. Karena itulah, mau tak mau Tao terpaksa mencondongkan diri demi merasakan bibir kekasihnya. Kris, seorang pemuda yang tenar karena kejeniusannya. Pacar Tao sejak seminggu yang lalu.

Kris bergeming. Sungguh, kejadian yang baru saja terjadi—Ia tak bisa memercayainya. Tao menciumnya secara mendadak? Astaga! Ini kali pertama Kris berciuman! Tao, siswa populer di sekolah karena bakatnya di bidang olahraga, baru saja menciumnya? Mereka baru saja seminggu berpacaran! Mengapa Tao melakukannya? Ayolah, Kris ingin ada yang mencubit dan menyadarkan dirinya bahwa kejadian barusan bukanlah mimpi.

Tao mendudukkan diri di kursi di depan meja Kris dengan muka tanpa ekspresi. Ia menguap. Ia memutar bola matanya malas sambil menopang kepala dengan tangan kanannya.

"Kris—Lebih baik kita putus," kata Tao datar tanpa memandang Kris.

Mendengar pernyataan Tao barusan, Kris terang saja terkejut. Padahal, ia belum sepenuhnya sadar akibat sudden kiss itu. "Eh? Putus?" Pertanyaan singkat yang tanpa sadar ia lontarkan—sebuah pertanyaan spontan karena Kris takut ia salah dengar.

"Eoh. Putus." Tao memandang Kris lekat dan menganggukkan kepala. "Hei, Kris. Pernahkah kau merasa iri dengan hubungan yang lain? Kurasa sangat menyenangkan bisa berkencan sekaligus bermain bersama kawan-kawan."

Kening Kris mengernyit. Ia tak begitu mengerti dengan perkataan Tao. "Apa maksudmu, Tao? Apa kau tak suka menemani di sini? Lalu, yang barusan tadi apa?" serang Kris meminta penjelasan.

"Ayolah, Kris. Aku anak populer di sekolah. Sebelum pacaran denganmu, aku selalu bebas menghabiskan waktu untuk bermain bersama yang lain. Namun, semenjak berpacaran dengan orang jenius sepertimu, kebebasanku terbatasi. Aku merasa terkekang. Apa orang jenius sepertimu tak bisa bersenang-senang?" Tao mendengus. "Tadinya, kupikir berpacaran denganmu akan terasa berbeda dan menantang. Ternyata aku salah." Tao mengalihkan pandangan ke luar jendela.

Sebuah senyum kecil tak percaya tampak menghiasi bibir Kris. Apa-apaan itu? Keterlaluan sekali. Pemuda bersurai pirang ini mengepalkan tangannya kuat-kuat. Sungguh—Apa Tao sedang bercanda?

Tao menghela napas panjang. Ia menautkan alis—seolah teringat sesuatu. "Ah, aku lupa masalah ciuman tadi. Aku hanya ingin mencoba ciuman denganmu, kok."

"Eh? Mencoba katamu!" teriak Kris. Matanya membelalak lebar.

Tao berdeham. Kembali diputar bola matanya malas. "Lagipula, setelah mencoba pacaran dan menciummu, ternyata—," Tao terdiam sejenak, menggaruk-garuk kepala, lalu melanjutkan, "Kris, kau itu membosankan."

-Flashback off-

~ . ~

~ . ~

Puk—

Lemparan Mr. Choi sempurna. Penghapus whiteboard itu tepat mengenai kepala Kris yang sedang terkantuk-kantuk di kelasnya. "Kris, kalau mengantuk, basuhlah mukamu! Kuberi waktu 5 menit untuk melakukan itu dan segera kembali ke sini! Sementara kalian semua yang mengantuk, enyah dari kelasku!" bentak Mr. Choi sebelum melanjutkan dengan nada yang lebih rendah. "Dasar kau ini, Kris Wu! Untung saja kau murid terpandai di sini. Kalau tidak, pasti kau sudah kuusir keluar. Basuh mukamu dan segera kembali! Sudah 15 detik berjalan dari 5 menit yang kuberikan padamu!"

Kris bangkit dari kursi dan berjalan begitu gontai melewati meja teman-temannya. Benar-benar tanpa semangat sedikit pun. Ia menunduk kecil pada sang guru sebelum melangkahkan kaki menuju kamar mandi untuk membasuh muka.

Kepalanya terasa sangat pening. Begitu sakit. Mengapa kejadian satu tahun lalu itu mendadak mengusiknya? Mengapa ia harus mengingat kejadian menyakitkan itu? Kejadian saat Tao memutuskan hubungan dengan dirinya seenaknya sendiri? Mengapa harus muncul lagi di benaknya?

Kris mengobrak-abrik rambutnya frustasi dan masuk ke ruangan dengan plang bertuliskan 'Toilet Pria'.

~ . ~


~ . ~

"Kalian tahu betapa mengerikannya badai semalam? Aku sungguh takut sampai-sampai aku berlindung di dalam lemari!" seru seorang siswa bermata bulat seperti bola, Kyungsoo.

"Iya, kau benar, Kyungsoo ya. Aku sungguh berpikir aku akan mati. Apalagi, padamnya listrik membuat suasana semakin mencekam! Sungguh, aku ketakutan setengah mati!" Kali ini, siswa berpipi bakpao, Xiumin, ikut angkat bicara.

Suho, sang ketua kelas, tak mau ketinggalan. "Aneh sekali. Padahal tak ada tanda-tanda akan badai. Bahkan Korean Meteorological Administration dibuat terkejut dengan kejadian semalam."

"Tapi, aku mengalami hal membahagiakan karena kejadian semalam. Saat itu, aku sedang di luar rumah bersama Sehun—melihat bintang bertaburan. Tiba-tiba saja, hujan dan angin besar terjadi—tanpa aba-aba. Kami segera menyelamatkan diri ke sebuah toko. Dan kalian tahu apa yang manis? Kami terus berpegangan tangan dan berpelukan dalam kondisi ketakutan. Bukankah itu romantis?" timpal Luhan sambil mencoba membayangkan kembali kejadian malam sebelumnya.

Perkataan Luhan itu jelas ditanggapi dengan pandangan 'apa kau sudah gila?' dari tiga siswa lainnya.

Ya, siang itu mereka memang tengah asyik membahas badai besar yang terjadi malam sebelumnya. Badai yang terjadi tiba-tiba—tanpa ada tanda-tanda. Namun, pada akhirnya, bahasan mereka berlanjut ke topik lain seperti kekasih dan sebagainya. Sesekali gelak tawa mewarnai obrolan itu.

"Minggir—Apa kalian tak bisa mencari tempat yang pas untuk mengobrol?" Suara Kris pelan dan dingin. Sebuah usaha dilancarkan untuk meminta jalan pada empat teman sekelasnya yang terlampau asyik bercerita. Tak tahu tempat.

Wajar jika Kris bersikap seperti itu. Memang benar, posisi mereka berempat memang menghalangi pintu keluar. Suho duduk di dekat pintu sambil men-charge ponselnya sambil sesekali mengutak-atiknya. Sementara, tiga orang lainnya berada di sisi pintu yang lain sambil terus mengobrol. Mereka terlalu sibuk dengan obrolan mereka, sampai-sampai tak sadar Kris sudah ada di situ. Menunggu untuk dibiarkan lewat. Dan parahnya, mereka sama sekali tak mendengar permintaan Kris.

Kris jengah. Ayolah, apa mereka tak tahu suasana hatinya sedang buruk? Apa mereka sengaja membuatnya semakin emosi? "KUBILANG MINGGIR!" teriak Kris dengan keras.

Ia benar-benar tak sabar. Ditendangnya sebuah meja di barisan paling depan. Kontan saja, empat teman sekelasnya itu terkejut setengah mati. Bahkan, Kyungsoo sampai jatuh dari kursi karena terlampau kaget.

Kris melewati mereka dengan dingin, diikuti dengan pandangan 'apa dia sedang PMS?' atau 'apa dia sudah tidak waras?' dari empat bersahabat itu.

Kyungsoo mengelus-elus pantatnya yang mencium lantai. Tentu, dengan cara yang sangat tidak elegan. "Apa Kris gila? Bisakah dia meminta baik-baik kalau mau lewat? Cih, dasar sombong!" umpatnya.

Ayolah, Kris tadi sudah meminta dengan 'baik-baik'.

Luhan angkat bicara. "Dia sosok yang mengerikan. Pintar namun galak dan emosional. Belum lagi, muka tanpa ekspresi itu. Padahal, yang kutahu dia tak seperti itu dulu. Kyungsoo ya, kau tak apa-apa?" Dibantunya Kyungsoo untuk berdiri dan kembali duduk.

Suho dan Xiumin hanya mengedikkan bahu masing-masing. Mereka tak mengatakan apa-apa—hanya melanjutkan apa yang mereka lakukan sebelumnya.

~ . ~


~ . ~

Kris terus saja berjalan sambil mendengarkan musik dari iPod kesayangannya. Telinga tertutup headphones putih. Seperti biasa, raut muka tanpa ekspresi ia pajang. Ia sudah tak peduli dengan bisik-bisik para siswa yang dilewatinya. Mereka pasti membicarakan betapa kasar atau mengerikan dirinya. Umpatan kasar sering dilemparkan pula, terutama jika Kris sedang marah dan tak bisa mengendalikan diri.

Ya, Kris sudah bosan dengan semua itu—mungkin bisa dianggap terbiasa. Ia menyadari bahwa dirinya memang menyebalkan. Ia sering melampiaskan kemarahan—apa yang terjadi padanya— pada lingkungan sekitar. Di mata orang, Kris hanyalah seorang yang arogan, galak, emosional. Pasti sangat menyebalkan.

Ia langkahkan kaki dengan gontai menuju rumah. Sebenarnya, tak begitu jauh dari sekolah, namun rupanya Kris memilih jalan memutar. Ia memang lebih suka berlama-lama di luar daripada menghabiskan waktu di rumah.

Kris menghentikan langkah kakinya saat melewati sebuah jembatan. Dilepaskan headphones yang sedari tadi menutupi telinganya.

Mendadak, pemuda dengan tinggi 187 cm itu memukul besi pembatas jembatan—tanpa alasan jelas. Suara keras terdengar. Sementara, punggung tangannya memerah. Kris bergeming, mengabaikan rasa sakit di tangannya—seolah mematikan indera perasanya. Ditatap bentangan langit biru sebelum berteriak. "ARGH! Menyebalkan! Sialan kau, Tao! Ini semua gara-gara dirimu!"

Tes—

Setitik air membasahi tangan Kris yang masih merah akibat pukulan tadi. Ia pandang lekat titik air yang menuruni tangan sampai akhirnya jatuh ke tanah. Air? Alisnya mendadak tertaut. Tunggu—Itu bukan airmatanya. Berarti—

"Eh, itu tak mungkin. Jangan-jangan—"

Terlambat!

Bres—

Hujan turun dengan derasnya tanpa aba-aba. Dengan cepat, tangan Kris meraih tas di punggungnya kemudian sibuk mencari benda yang sangat ia butuhkan saat ini. Payung. Di mana payung yang biasa ia bawa? Kris mendengus sebal. Sungguh sial. Benda bernama payung itu tak ia temukan dalam tasnya.

Seragam Kris sudah basah kuyup. Hujan semakin deras mengguyur. Dilemparkan tas sekolah itu ke samping. Genangan air di tanah yang dipijaknya terpercik saat tas itu terhempas keras. "Sialan! Kenapa aku sial sekali! Tao, ini semua gara-gara kau! Sialan kau! Kalau aku bertemu denganmu, kupastikan kau jadi makanan naga! Sial! Sial! Sial! Argh!"

~ . ~


~ . ~

Tak jauh dari situ, di jalan lengang dan mulai tergenang air, dua pemuda sebaya tampak berjalan bersama. Masing-masing memegang payung untuk melindungi tubuh dari guyuran hujan. Sebaya? Sepertinya, tak tampak seperti itu. Meskipun sulit dipercaya, itulah kenyataannya.

Pemuda pertama bertubuh tinggi dengan seragam hitam melekat pas di tubuhnya. Payung biru laut tampak menaunginya. Ditatapnya langit tanpa berkedip—tampaknya, ia merenungi sesuatu. Tak lama, ia alihkan pandangan pada sang sahabat yang asyik bermain dengan hujan.

Pemuda kedua dibalut seragam yang berbeda. Tampak jelas, mereka berdua bersekolah di tempat berbeda pula. Selain itu, pemuda kedua bertubuh jauh lebih kecil. Tak hanya memiliki ukuran tubuh kecil, ia juga bertingkah seperti anak kecil. Ia menggunakan payung putih bergambar anjing kecil. Tingkah kekanakannya itu membuat orang menggelengkan kepala—tak percaya kalau ia sudah SMA. Apalagi, jika melihat apa yang dilakukannya sekarang. Pemuda berwajah imut itu terus melompat-lompat di antara genangan air—membuat air tergenang terciprat. Ceria dan bahagia sekali. Tampak, ia benar-benar menikmati hujan yang datang tiba-tiba itu.

Tentu saja, meskipun perbedaan mencolok itu, mereka berdua itu benar-benar sebaya. Ah, sungguh sulit dipercaya, kan?

"Ya! Yeollie! Sampai kapan kau akan menurunkan hujan tiba-tiba seperti ini?" Sebuah pertanyaan ia lontarkan sembari membalikkan badan—melihat pemuda tinggi di belakangnya. Senyum manis tampak menghiasi bibirnya. Sungguh manis, tapi tampak mengerikan. Dan anehnya, ia masih saja asyik melompat-lompat di atas genangan air–membuat celana abu-abunya itu basah kuyub.

Pemuda pertama, Chanyeol, menanggapinya malas. Ia menguap. "Baekkie, aku sudah membuat keputusan. Hari-hari semakin membosankan. Aku juga semakin mengantuk. Jadi, aku akan tidur saja.Bye bye," kata Chanyeol tanpa menunggu respon sang sahabat. Ditinggalkannya, pemuda kecil yang sekarang sudah berhenti melompat-lompat di genangan air.

Air muka Baekhyun, pemuda bertubuh kecil, berubah saat mendengar perkataan Chanyeol. Ia segera berlari menyusul pemuda jangkung yang melangkah gontai. Hujan semakin deras—tak ada tanda-tanda akan berhenti. Tak butuh waktu lama, ia sudah berada di sisi Chanyeol.

"Kau bercanda dengan apa yang kaukatakan, kan? Sama sekali tak lucu. Ini bukan saatnya untuk tidur, Park Chanyeol! Dan, jangan katakan bye bye tapi ppai ppai. Itu terdengar jauh lebih imut." Baekhyun menatap Chanyeol lembut sambil menunjukkan senyuman penuh artinya. Begitu manis namun menakutkan.

Senyuman Baekhyun membuat Chanyeol bergidik ngeri. Ia alihkan pandangannya ke arah lain—berusaha mengabaikan Baekhyun. Mendadak, rasa kantuknya sedikit menghilang -garis bawahi: hanya sedikit-, akibat senyuman penuh arti dari sahabatnya. Namun, ia masih bersikeras dengan keputusan yang ia buat. "Tentu saja aku tak bercanda, Byun Baekhyun. Aku serius! Benar-benar serius! Aku tersiksa dan butuh tidur!"

Baekhyun menelengkan kepala. Tentu saja, masih dengan senyuman terpatri di bibirnya. Tapi, ia tak mengatakan apa pun. Rupanya, ia masih menunggu apa yang akan Chanyeol tambahkan.

Chanyeol menghentikan langkahnya. Payung berwarna biru langit ia putar-putarkan—memercikkan air hujan turun. "Kau tahu? Aku turun dari langit untuk datang menolong karena dunia ini akan segera berakhir. Kupikir kehadiranku bisa membuat perbedaan. Tapi, ratusan bahkan ribuan tahun aku di sini, hal yang manusia lakukan tetap sama. Semua itu sungguh membuatku bosan, Baekkie."

Chanyeol berhenti sejenak—menyunggingkan senyum sebelum melanjutkan kata-katanya. "Jadi intinya, kalau aku menyelesaikannya sekarang, bukankah itu lebih baik? Aku tak akan punya beban lagi. Semua akan terasa lega. Toh, mau sekarang atau besok, semua akan berakhir sama. Bukankah begitu? Dan, yang terpenting, aku bisa tidur nyenyak. Kau bisa lihat mukaku yang tampan ini mulai kusut karena kurang tidur. Ketampananku jadi berkurang karenanya. Jadi, aku akan tidur saja. Boleh, kan?" Ia mengedipkan mata sambil tertawa keras.

Baekhyun masih saja tersenyum penuh arti mendengar penjelasan Chanyeol. Dewa berkekuatan sempurna yang ditunjuk sebagai penentu apakah dunia ini masih perlu dipertahankan atau tidak. Pemuda berwajah sangat manis itu memilih menutup payung perlahan. Dibiarkan hujan membasahi tubuh kecilnya. Aura Baekhyun mendadak berubah. Menjadi lebih gelap, itu pun jika orang bisa melihatnya. Tapi, aura itu begitu kuat untuk dirasakan. Lalu, tanpa babibu

"Ya! Byun Baekhyun! Berhenti memukulku dengan payungmu itu! Sakit! Byun Baekhyun! Hentikan!"

Baekhyun terus saja melepaskan pukulan-pukulan maut menggunakan payung lucunya itu ke seluruh tubuh Chanyeol. Umpatan, makian, sumpah serapah dan teriakan kasar keluar dari mulutnya. Namun, senyuman masih saja tersungging. Sungguh, pemandangan yang terlalu mengerikan. "Park Chanyeol idiot! Kalau kau menutup matamu dan tidur, semua akan habis! Semua akan mati! Jika semua menghilang dari pandanganmu, semua akan hancur lebur! Tak akan ada yang tersisa dari dunia ini! Dasar, Park Chanyeol bodoh! Jangan pernah berpikir seperti itu! Mengerti? Ini belum saatnya untuk tidur!"

"Ya, ya, ya! Hentikan, Byuh Baekhyun! Sakit! Hentikan pukulanmu itu! Tubuhku bisa remuk! Baiklah, baiklah. Aku mengerti! Aku mengerti, Tuan Byun Baekhyun yang terhormat! Jadi, hentikan sekarang juga pukulanmu! Kau mau membuat ketampananku menghilang, eoh?" pinta Chanyeol frustasi. Ia sadar ia barusan cari mati. Harusnya, ia tak pernah mengatakan semua itu—terutama di depan Baekhyun.

Senyuman sudah menghilang dari bibir Baekhyun. Napasnya tersengal-sengal. Sungguh, ia kelelahan karena terlampau bersemangat mukul sang Dewa. Payung lucunya sudah tak terbentuk lagi. Ia mengerucutkan bibir—memandang Chanyeol memelas dengan puppy eyesnya. Berusaha meminta menggantikan payung yang rusak.

Si pemuda jangkung malah menjulurkan lidah—menolak permintaan tanpa kata itu. Oh, Park Chanyeol, kau sungguh-sungguh cari mati.

Tak mendapat respon yang ia inginkan, Baekhyun kembali memukulkan payung tak berbentuk itu pada Chanyeol, yang langsung berteriak kesakitan. Chanyeol akhirnya mengibarkan bendera putih. Ia menyerah demi mengakhiri tindak kekerasan yang dilakukan Baekhyun. Jika sudah melawan sahabat yang merangkap sebagai pengawalnya itu, Chanyeol memang tak akan bisa menang.

"Ya! Gara-gara belakangan kau tak menjalankan tugasmu dengan serius, terjadi hujan mendadak seperti ini. Badai, angin topan, dan gempa terjadi di sana sini. Kaukira berapa puluh ribu orang sudah jadi korban di seluruh dunia, eoh? Jadi, Park Chanyeol, berjanjilah untuk menjalankan tugasmu dengan baik atau kau akan mati di tanganku. Mengerti?" ancam Baekhyun.

"Baik—Baiklah, Baekkie. Cih, kau ini sungguh cerewet sekali. Menyebalkan. Mengapa kita harus peduli dengan manusia yang tak pernah berubah? Sungguh, masa bodoh dengan semua itu. Toh, semua akan berakhir sama saja. Lenyap—itu takdir mereka," ujar Chanyeol lirih. Ia memutar malas bola matanya.

Baekhyun menggertakkan gigi kuat-kuat. Pribadinya berubah drastis dari seekor puppy manis menjadi Rottweiler galak. Teramat galak. Ia tak bisa lagi menggunakan payungnya. Lalu, apa yang bisa digunakannya untuk menghajar dewa kurang ajar itu? Ah, tentu saja—kaki dan tangan. Jangan lupakan mulutnya.

Dan jelas saja, tanpa butuh waktu lama, Baekhyun mulai menyerang, memukul, menendang bahkan menggigit Chanyeol hingga babak belur. Jika dilihat, sang pengawal sudah menyerupai anjing gila yang perlu segera diberi vaksin. Apalagi, si korban. Tsk tsk, kasihan sekali Park Chanyeol mendapat pengawal mengerikan seperti itu.

~ . ~

~ . ~

Baekhyun dan Chanyeol sudah kembali berjalan beriringan di bawah naungan satu payung. Mereka kembali asyik mengobrol. Telah berdamai, rupanya.

Baekhyun sudah melupakan apa yang terjadi sebelumnya. Pribadinya sudah berubah menjadi seekor puppy yang manis, apalagi karena Chanyeol sudah berjanji membelikan barang yang ia inginkan. Sementara, Chanyeol memaksakan diri untuk terus mengobrol dan tidak membahas kejadian sebelumnya. Meskipun, sejujurnya, ia masih jengkel pada Baekhyun karena membuatnya babak belur. Mau bagaimana lagi? Ia masih terlalu sayang nyawanya. Tak ingin ia melihat sisi kejam Baekhyun yang nyaris memakannya hidup-hidup.

Dan, saat masih kesal dengan kejadian itu, Chanyeol melihatnya. Ya, pemuda itu. Seorang pemuda berambut pirang di tepi jembatan—berdiri dengan tubuh basah kuyup di bawah guyuran hujan. Seragamnya tampak sama dengan yang Baekhyun pakai. Ia tampak kesepian. Sendirian—menatap langit.

"Wah, kasihan sekali. Dia basah kuyup!" Segera, Chanyeol berlari menyongsong pemuda itu. Meninggalkan Baekhyun yang sempat menendang pantatnya. Maklum, Chanyeol membawa payung yang menaunginya—membuat dirinya kehujanan lagi.

"Ah, permisi. Mm—Apa kau mau pakai payungku? Berdiri di bawah hujan seperti ini, bisa-bisa kau masuk angin nanti," kata Chanyeol ramah sambil memberikan payung. Senyuman tersungging lebar.

Pemuda yang Chanyeol sapa itu –Kris- membalikkan tubuh, sambil memandang Chanyeol dengan tatapan dingin penuh kebencian. Dengan keras, ditepisnya payung yang disodorkan Chanyeol. Kris segera mengambil tasnya. Dengan cepat, ia meninggalkan Chanyeol yang tak bisa berkutik karena mendapat perlakuan seperti itu.

"Ya, Yeol! Mengapa kau tega meninggalkanku sendirian? Dan, bodohnya, kau membawa payungnya! Sialan." Baekhyun sudah berhasil menyusul Chanyeol. Ia mendengus sebal.

Mengganggu saja. Semua orang sama saja. Tertawa dan bersikap seenaknya. Berpura-pura baik dan peduli, tapi, dalam pikiran mereka, aku hanyalah manusia menyedihkan dan mengerikan. Aku benci! AKU BENCI!

Deg

Chanyeol membacanya. Ya, tanpa sadar ia membaca pikiran dan perasaan pemuda yang baru saja menepis payung dan menolak kebaikannya. Oh ayolah, belum pernah ada orang yang menolak Chanyeol, baik pria mau pun wanita sebelumnya. Nah sekarang?

"Baekkie! Baekkie! Jantungku rasanya mau meledak! Pemuda itu sungguh berbeda!" kata Chanyeol sambil memeluk Baekhyun. Matanya berkaca-kaca. Ia sungguh terlalu mendramatisir keadaan.

"Ya! Berhenti bertindak bodoh, Park Chanyeol! Sudahlah! Jangan ladeni pemuda tadi!" Baekhyun mencoba melepaskan pelukan Chanyeol. Ia tadi sempat melihat kalau sahabatnya itu berbicara dengan Kris—teman sekelasnya yang dingin dan menyebalkan.

"Baekkie—Aduh, mengapa? Mengapa perasaanku seperti ini? Sakit, Baekkie! Bagaimana ini? Baekkie, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan sekarang? Kalau demi pemuda itu, aku akan melakukan apapun! Serius!" Chanyeol menarik tubuhnya dari Baekhyun. Sambil menyeringai, ia mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke udara, seperti orang berdemo.

Mendadak, cuaca yang tadi hujan deras berubah cerah. Cerah sekali. Matahari bersinar terang dan pelangi muncul di sebelah timur.

"Tak seorang pun pernah menatapku dengan pandangan seperti itu. Belum pernah ada pria atau wanita yang menolak pesonaku. Ah, ini— ini—Baekkie, inikah yang namanya cinta?" Chanyeol menatap Baekhyun dengan pandangan berbinar-binar. Pandangan itu dibalas dengan tatapan horor dari Baekhyun. Park Chanyeol benar-benar sudah gila.

"Dasar bodoh! Idiot! Park Chanyeol sinting! Apa kau gila? Jatuh cinta dengan manusia? Oh, otakmu pasti sudah rusak parah, Yeol! Apa kau sadar apa yang kaukatakan itu tak masuk akal?" kata Baekhyun sambil menjitak kepala Chanyeol. Wajah sang Dewa tampak sangat merah.

"Aku—Tapi, ini pertama kalinya. Ini kali pertama aku merasakan hal seperti ini. Aku harus bagaimana, Baekkie?" Kini giliran Chanyeol yang melancarkan puppy eyes kepada Baekhyun. "Ah, pokoknya aku harus bertemu lagi denganya. Ya, dia! Kris, itu namanya! Kris! Kris!" teriak Chanyeol bersemangat seperti orang gila. Ia tahu nama pemuda itu karena membaca pikiran Baekhyun, rupanya.

Baekhyun sontak menjadi marah. "Ya, Bodoh! Berhenti jadi orang gila! Apa menariknya pemuda dingin seperti dia? Dan, kuperingatkan! Jangan membaca pikiranku seenakmu!"

"Ah, rupanya, dia juga satu kelas denganmu, ya? Baekkie, bantu aku ya, ya, ya?" Park Chanyeol yang mengeluarkan tingkah sok imutnya.

Baekhyun rasanya ingin muntah. Ia memang sering meminta Chanyeol sekali-kali bertingkah imut, tapi ia menyesal sekarang. Itu menjijikkan—membuatnya mual. Tsk tsk. Dengan setengah berlari, ia segera meninggalkan Chanyeol yang masih tersipu dan tersenyum.

Saat sadar dirinya ditinggal Baekhyun, dewa yang tadinya mengantuk itu langsung mengejar sang pengawal sambil terus berteriak. "Ya! Byun Baekhyun, aku suka dia! Kris, aku suka dia! Bantu aku! Ayolah, Baekkie!"

"Tidak! Hentikan, Yeol! Kau menjijikkan!" Baekhyun terus berlari menghindar.

Chanyeol terus saja mengejar sang sahabat. "Kris, aku datang! Tunggu aku!"

~ . ~

TO BE CONTINUED

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
chachamariditha
Chapter 6, 7, and 8 for you who miss this story. Lol. *jika ada*

Comments

You must be logged in to comment
Sky_Wings
#1
Plot ceritanya bagus!
can_tbeempty #2
Chapter 5: Lanjutin dooong
stressedouttt #3
really interesting..
LovelyMeyMey #4
Chapter 5: udah deh kris lupain tao kan udah ada chanyeol
AWPark #5
Oonie fighting ciayou ganbate.. keep writing. Cerita oonie DAEBAK!! ^-^
krisyeolcola
#6
Chapter 5: ouuuhh, poor kris TT
chanyeol: sini-sini aku temani XD
mr.kim... makasih dah buat kris sedikit (SEDIKIT) menyukai keberadaan chanyeol kkkkk
thanks for update, want more~
Syanamyun99 #7
nice story! lanjut ya min
krisyeolcola
#8
Chapter 4: udah lihat di wordpressnya untuk chapt ini hehehe
n aku terkekeh di bagian ini "Mr. Kim, saya tidak pendek!" XD
AWPark #9
Chapter 3: Next min... Greget nih..
krisyeolcola
#10
Chapter 1: hadduu, another taoris -_-
bhs formal terasa kaku, apa krn aku yg jrg bc fiksi dlm bahasa y? XD
foreword nya ngingetin aku sm salah satu krisyeol angst dsni dan ceritanya bgs bgt, cm bedanya ini ada humornya hmm
update soon :)