Distraction

Unrequited Love
Please Subscribe to read the full chapter

Aku tidak kembali ke gedung olahraga. Sebaliknya, aku berjalan tak tentu arah dengan menunduk di halaman sekolah. Tanpa pakaian hangat. Kubiarkan angin beberapa kali menyentuh kulitku yang terbuka. Dinginnya belum seberapa dengan rasa sakit dikhianati orang yang paling kau percaya.

Tubuhku menabrak tubuh seseorang. Karena tidak menjaga keseimbangan, aku termundur sedikit ke belakang. Tetapi orang itu menahan kedua lenganku.

“Sumpah, kau perempuan paling gila yang pernah kukenal,” katanya. Aku mendongak dan melihat wajah Chanshik. “Kemana mantelmu? Kau mau mati kedinginan?”

“Chanshik—“ Aku memutuskan omongan. Mendadak tenggorokanku melarangku untuk bicara. Mataku sudah berkaca-kaca.

“Oh, aku tahu,” kata Chanshik pelan. “Tadi, aku lihat mereka di parkiran.”

Tangisku akhirnya pecah. “Chanshik-a, kamu pernah bilang kan, jika aku berhasil jadi gurumu, kamu akan melakukan apa saja untukku?”

Chanshik diam.

“Hapuskan ingatanku.”

Tangan Chanshik menarik bahuku mendekat. Aku mulai terisak saat sudah berada di dekapannya. Kulingkarkan lenganku disekeliling tubuhnya, menaruh kepalaku di dadanya, merasakan kehangatan itu. Kurasakan sebelah tangannya dengan lembut membelai rambutku.

“Sssh, it’s okay,” bisik Chanshik saat aku tak kunjung berhenti menangis. “It’s okay, Yoon Bomi.”

Tidak ada yang baik-baik saja, Gong Chanshik. Tidak ada.

--

Chanshik mengantarkanku pulang ke rumah seorang diri. Sepanjang perjalanan pulang aku tetap menangis dan menggenggam tangannya. Aku tidak mau melepaskannya saat sudah sampai dirumah, jadi Chanshik mengikutiku sampai kamar.

Tangisku masih belum mereda saat sudah terduduk di atas tempat tidur. Chanshik duduk disisiku, menatapku dengan lemah.

“Berhentilah.” Dia mengelus punggung tanganku.

“Tidak bisa,” ucapku lirih. “Kalau kamu ingin pulang, pulang saja.”

“Tidak,” kata Chanshik tegas. “Aku akan menunggumu sampai berhenti menangis.”

Chanshik mencondongkan tubuhnya ke arahku. Dia sedang menjulurkan tangannya ke wajahku saat aku berkata, “Chanshik-a,” kataku. “Kurasa sekarang kita impas.”

“Maksudmu?”

“Kamu kehilangan ibumu, aku kehilangan sahabatku. Alasannya kelihatan sepele, padahal bagi kita itu besar sekali.” Aku mengalihkan pandangan ke jendela. “Rasanya, sekarang aku ingin membuang jendela itu jauh-jauh saja. Karena dengan melihatnya aku dapat teringat segalanya yang berkaitan dengan orang yang kucinta, juga sahabatku yang berkhianat.”

Kedua tangan Chanshik menangkup pipiku, menghapus sungai air mata disana dengan ibu jari. “Kamu perlu tidur.”

“Kamu meniru apa yang aku katakan saat kamu menangis?”

“Tidurlah.” Dia tidak mengindahkanku.

Tapi, aku tidak mau tidur. Mimpiku tetap tidak akan lebih indah dari kenyataan walaupun aku tertidur. Sekarang aku mengerti perasaan Chanshik.

“Yoon Bomi, demi Tuhan, perlukah aku menina-bobokanmu?”

Aku menyeringai aneh. “Coba saja.”

Chanshik membersihkan tenggorokan, sementara aku membaringkan tubuh. Dia menyanyi sambil menatapku.

“Baby don’t cry tonight, when the dark night lights up again
Baby don’t cry tonight, just act like it never happened
You will never become foam, do you not know?
So baby, don’t cry, cry
My love will protects you and won’t separate.”

Aku menutup mata.

--

Saat aku terbangun, tangan kami masih bertautan. Chanshik tertidur di kursinya. Sejenak, aku hanya menatap wajah tenangnya saat tertidur. Mengingatnya yang terus berada disisiku semalaman, menjagaku yang menangis, menyanyikan seluruh lirik lagu itu padaku sampai aku tertidur. Hal-hal itu membuatku tersenyum. Baru kali ini senyuman pertamaku di pagi hari bukan karena menatap Nam Woohyun.

“Terima kasih banyak, Chanshik-a.” Aku berbisik.

Beberapa saat kemudian, Chanshik akhirnya terbangun. Dia menguap lebar-lebar dan menutupnya dengan sebelah tangan yang tidak menggenggam tanganku.

“Selamat pagi.” Kata Chanshik serak.

Aku tertawa. “Pagi.”

“Sudah merasa lebih baik?”

Aku mengangguk.

“Jam berapa sekarang?” dia bertanya.

“Sekitar jam tujuh pagi,” jawabku. “Kamu mau pulang?”

“Biarkan saja,” ucap Chanshik. “Ayahku sedang ada di Sokcho, Minji menginap di rumah temannya.”

“Baiklah,” kataku. “Kamu tunggu dibawah, ya.”

Aku turun dari tempat tidur dan masuk ke kamar mandi, sementara Chanshik keluar dari kamar. Aku mengganti pakaianku, menghapus sisa makeup, dan membersihkan tubuh. Saat aku turun kebawah, Chanshik sudah melepas jas yang dia pakai untuk acara tadi malam—yang ujung-ujungnya tidak dia hadiri. Dia sedang menatap potret keluargaku di dinding.

“Kemana orang tuamu?” Chanshik bertanya tanpa mengalihkan pandangan.

“Sedang dalam perjalanan bisnis ke Asia Tenggara.”

Aku bersyukur karena hal itu. Kalau orang tuaku mengetahui semalaman ada laki-laki di kamarku, mereka pasti marah besar dan aku tidak akan bisa keluar rumah—kecuali ke sekolah—dalam sebulan.

“Bukankah ini gadis di wallpaper ponsel Daehyun?” Dia menunjuk wajah Bora.

Tawaku menyembur lagi. “Ya. Daehyun cinta mati padanya.”

Aku memutuskan untuk membuat sarapan dengan bahan seadanya di kulkas. Daging asap, telur orak-arik, sosis goreng, roti bakar berselai kacang, dan dua gelas susu. Kuhidangkan seluruhnya di meja makan dan memanggil Chanshik.

“Astaga, kau tidak perlu,” kata Chanshik sambil duduk di kursi. “Aku jadi merasa seperti pengantin baru.”

“Sekedar rasa terima kasihku saja karena kau sudah menemaniku.”

“Ah, begitu.” gumam Chanshik—kecewa?

Untuk menutupi rasa gugup, aku segera menjejalkan selapis roti bakar kedalam mulut.

“Apa kamu akan datang ke acara penutupan nanti malam?” tanya Chanshik.

“Tidak.” kataku cepat tanpa berpikir.

Chanshik mengangguk mengerti. Dia tahu perasaanku. Aku masih belum siap bertemu mereka berdua. Setidaknya untuk saat ini.

--

Malam itu juga, halaman me2day penuh dengan foto acara penutupan Homecoming. Salah satu dari foto itu adalah foto saat Woohyun menembak Minah. Disaat itu juga aku membanting ponselku ke samping bantal dan membenamkan wajahku disana.

Aku tertidur malam itu dengan penuh air mata, dihantui oleh kenangan-kenangan kami berdua. Berkali-kali aku berbicara pada diriku sendiri untuk tidak seperti ini, tapi aku hanya bisa memikirkan Woohyun dan Woohyun. Aku memeluk guling, tapi aku malah teringat l

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
tachibanarin #1
Chapter 1: it's so interesting ><
Yoonsa66
#2
Chapter 8: Bonus chapter pleasee!!! (T^T)
Really want to see bomi n gongchan wedding!!! ㅋㅋㅋㅋ
ara2712 #3
Chapter 8: aaaa so sweet bangeeet >< sequel juseyoooo
celaaar #4
Chapter 7: One more chapter? Yah udh mau abis doong?-_-
ara2712 #5
Chapter 6: awwww itu kalimat terakhirnya so sweet gilaaaaa /spazzing/
duh disini namu ngeselin pake banget sumpah. Sebutuh apa sih dia sama kepopuleran? Gedeg ih -_-
Lanjut juseyooo
ara2712 #6
Chapter 5: minah-woohyun ngeselin banget sumpah -_- awas aja kalo putus pada balik ke bomi.
Gongchan-bomi jadian juseyooo
auliazizaa #7
Chapter 4: waaaah udah ada next chapternya...
minah kok tega banget sih sama sahabatnya :''')
bomi sama gongchan aja~ sama daehyun juga gpp/? wkwkwk
next chap ditunggu authornim :')
bbomiya
#8
Chapter 1: bomi gongchan! walaupun mereka jarang ada moment nya tp kalo dipikir pikir lucu juga- hehe
first chapter was good. aku suka part pertama. bahasanya sederhana jadi enak di baca :3
walaupun alurnya udah biasa tp castnya gak biasa aku suka>_<
gak bisa komen banyak banyak aku bingung-
can't wait for next update. fighting authornim>_<)bbb
sunlight_ #9
Yeah gongchan and bomi. Update soon ~