Confused

Unrequited Love
Please Subscribe to read the full chapter

Saat aku turun dari bus, hujan masih turun dengan sangat deras. Aku menggigil kedinginan di bangku halte. Saat ini, aku hanya memakai jumper dengan kaus dibaliknya dan celana jins. Aku tidak membawa pakaian tebal karena hujan belum turun saat aku berangkat, dan langit belum mendung.

Kulirik arloji di tanganku. Lima menit lagi aku harus sampai di rumah Chanshik. Sebenarnya, sekarang aku sudah berada di halte bus dekat kompleks perumahannya. Tapi, hujan yang deras tidak memungkinkanku untuk berjalan. Jika naik taksi, aku tidak membawa uang lebih dan percuma saja, karena rumah Chanshik sudah dekat sekali dari sini.

Aku merogoh ponsel dari saku celana, hendak menelepon Chanshik. Sayangnya tidak ada sinyal. Aku menggerutu pelan sambil memasukkannya kembali.

Lima menit sudah berlalu. Aku sudah telat dengan janjiku. Orang tuaku selalu mengajarkanku untuk menepati janji dari kecil. Maka dari itu, aku berlari menembus hujan dengan nekat.

Dingin air hujan menggelitik kulitku, membuatku menggigil lagi. Tapi, aku menepis perasaan itu jauh-jauh. Aku tidak boleh terlambat datang ke rumah Chanshik.

Saat sudah sampai di dalam kompleks perumahan, aku tersandung tali sepatuku sendiri yang terlepas. Dahiku membentur aspal. Sambil menyumpah, aku berlutut dan mengikatnya dengan tergesa-gesa, sehingga tidak membentuk simpul yang sempurna. Aku memekik kesal lalu hanya mengencangkannya asal-asalan.

Aku berlari lagi. Untungnya aku sudah dapat melihat gerbang rumah Chanshik dari sini. Aku mempercepat lariku mendatanginya, lalu terjatuh kelelahan setelah menekan bel.

Salah satu asisten rumah tangga Chanshik yang sedang berada di pos satpam rumah ini menyadari keberadaanku. Dia langsung keluar dari tempatnya. Aku mengenali dia. Dia yang selalu mengantarkanku untuk menemui Chanshik.

Dia membantuku berdiri lalu membawaku menembus hujan menuju rumah utama. Rasanya senang sekali begitu aku sudah memasuki ruangan, terlebih lagi Chanshik sedang ada di ruang tengah.

“Ada ap—“ Chanshik langsung melompat dari sofa begitu melihat tubuhku yang basah kuyup. “Ya, Yoon Bomi, michingeoya? Kau hujan-hujanan? Kenapa tidak telepon biar aku bisa menjemputmu?”

“Nggak ada sinyal, tahu!” Aku cemberut.

“Keningmu luka!” Dia menangkup belakang kepalaku dengan satu tangan. Ibu jarinya yang lain menyentuh keningku. Ada darah disana.

Aku meringis. “Perih.” rintihku.

“Sini.” Chanshik merangkulku, menuntunku berjalan keatas, menuju kamarnya.

Di kamarnya, dia mendudukkanku di tempat tidurnya dan memakaikan handuk ke sekujur tubuhku yang kedinginan. Setelah itu, Chanshik mengambil kotak obat dari laci meja belajarnya. Dia duduk disampingku, mengobati lukaku dengan telaten.

“Lain kali jangan ceroboh.” Ucap Chanshik setelah menempelkan perban di keningku.

“Itu semata-mata supaya nggak terlambat datang. Mana tahu kan hujannya berhenti pukul berapa? Sampai sekarang saja masih deras.” Kataku, menunjuk jendela kamar Chanshik yang penuh rintik air.

Chanshik mengulum senyum, kemudian dia keluar kamar setelah menyuruhku untuk menunggunya. Tapi, yang kembali bukan dia, melainkan seorang gadis yang mungkin setahun lebih muda dariku. Rambutnya dikucir kuda.

“Halo,” Dia menyapaku. “Kamu pasti Yoon Bomi.”

Aku mengangguk kaku.

“Kenalkan aku Minji, adiknya Chanshik oppa,” Dia mengulurkan tangannya sambil tersenyum. Aku menyambutnya. “Bolehkah aku memanggilmu eonni?”

“Tentu.” Aku mengangguk.              

Minji tersenyum senang mendengarnya. Dia kemudian membantuku berdiri. “Chanshik oppa menyuruhku untuk membantumu berendam air hangat. Lumayan untuk menetralkan suhu tubuh eonni.”

Aku mengikutinya dengan patuh menuju kamar mandi. Disana, Minji menyiapkan air hangat di bak sementara aku menanggalkan seluruh pakaianku.

Aku merasa lebih nyaman saat tubuhku terendam dengan air hangat. Kutatap Minji. “Maaf sekali, ya. Aku merepotkan kalian.”

Minji menggeleng. “Nggak masalah. Kami selalu senang mendapatkan tamu. Di rumah sebesar ini, hanya ada kami berdua dan para pelayan yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing. Kami pun lebih sering mengurung diri di kamar daripada menghabiskan waktu bersama.”

“Apa itu berarti kalian tidak betah tinggal disini?”

“Yah, masih lebih baik rumah kecil dengan aura kekeluargaan yang sangat terasa daripada rumah besar tanpa ada sesuatu yang berarti.” Minji menundukkan kepala.

Aku ingin sekali bertanya. Aku sangat penasaran dengan cerita dibalik kekayaan keluarga ini. Tapi, aku tahu diri. Aku bukan siapa-siapa mereka. Privasi mereka tetap harus dihargai.

Minji meminjamkan bajunya padaku, dan untungnya muat. Setelah memakainya, entah kenapa kepalaku tiba-tiba pusing. Sambil memeganginya, aku terduduk di ranjang Chanshik. Aku jadi ngantuk berat. Pandanganku mengabur dan aku terjatuh ke alam mimpi.

--

Saat aku membuka mata kembali, aku merasakan kepalaku disandarkan pada bantal empuk dan tubuhku diselimuti sesuatu yang lembut. Aku berusaha duduk, lalu melihat Chanshik sedang duduk di atas karpet, menulis sesuatu di bukunya.

Chanshik menatapku dan bertanya. “Enak tidurnya?”

Karena merasa tidak enak, aku langsung turun dari sana, mengabaikan rambutku yang masih berantakan. Aku bergabung dengannya di karpet. “Chanshik-a, maaf banget ya, aku banyak merepotkanmu hari ini.”

“Nggak usah berpikir seperti itu.” Ucap Chanshik.

Bagaimana tidak bisa berpikir seperti itu? Aku sudah membasahi lantai rumahnya karena air yang menetes dari tubuhku, memakai kamar mandinya, memakai baju dari adiknya, dan sekarang aku malah tertidur di kamarnya. Aku sudah bertingkah seakan-seakan aku yang memiliki rumah ini. Memalukan sekali.

Tiba-tiba aku merasakan rambutku tertarik. Aku menoleh. Chanshik sedang menyisir rambutku dengan jemarinya. Dia melakukannya dengan lembut. Dia menyingkirkan poni sampingku yang sudah kepanjangan, lalu menjepitnya dengan jepitan yang entah datang dari mana.

Sejenak aku hanya bisa diam, menerima perlakuannya. Tapi, saat dia melepaskan tangannya, aku akhirnya bisa berkata. “Terima kasih.”

“Nggak apa-apa,” Kata Chanshik. “Kamu lucu kalau rambutnya berantakan, tapi akan lebih bagus jika rapi.”

Dia bahkan tidak mengataiku mirip singa marah.

--

Homecoming akan berlangsung selama tujuh hari. Dress-up days dilaksanakan selama lima hari, dan setiap hari beda tema. Aku sudah mendapat segala informasi sepulang sekolah Jumat lalu. Hari senin adalah Movie Day.

Aku menjadi Hermione Granger pada hari Senin. Kemeja putih, dasi merah-emas, jumper dan rok selutut hitam, stocking hitam telah terbalut sempurna di tubuhku. Merasa puas, aku menyambar jubah dan tas sekolah dari ranjang lalu keluar kamar.

Diluar, aku bertemu Bora. Dia juga sudah siap untuk kembali ke asrama kampusnya. Bora terheran melihat penampilanku.

“Mau kemana?”

“Sekolah.”

“Dress-up days?” Dia bertanya.

Aku mengangguk.

“Kok kamu nggak dandan, sih?” protes Bora. “Belum kelihatan seperti Hermione Granger kalau masih polos seperti ini. Mana dahimu masih lebam.”

“Tapi, eonni, aku nggak boleh terlambat!” seruku saat ditarik Bora ke kamarnya.

“Tenang saja. Dulu aku terlambat sepuluh menit dan ditoleransi.” Katanya sambil menyuruhku duduk di kursi meja rias.

“Pasti ditoleransi sama penjaga sekolah yang suka menggoda eonni, kan?”

Bora hanya terkikik geli. Beberapa saat kemudian, aku mendapati diriku sudah selesai didandani olehnya. Kutatap pantulan diriku di cermin. Untunglah, Bora tahu kalau aku tidak suka diberi makeup tebal-tebal. Riasan di wajahku saat ini masih terkesan natural. Hanya diberi bedak tipis, lipstik merah muda, blush, dan cat eyeliner yang kelihatan lucu. Rambut cokelatku dikeritingkan, sehingga menjadi mirip Hermione.

Untunglah, aku tidak telat karena Bora berkendara dengan gila di jalanan. Ketika aku sampai, gedung sekolah sudah seperti tempat penyelenggaraan sebuah festival. Tidak ada murid-murid yang memakai seragam. Semuanya berdandan ala karakter dari sebuah film.

Begitu aku menutup pintu mobil, aku dikagetkan oleh seseorang yang berdandan seram. Aku menjerit tertahan dan tersaruk ke mobil. Kudengar tawa Bora yang teredam.

Orang yang mengagetkanku tertawa. “Tak kusangka reaksinya akan seperti itu.”

Kutatap orang itu dengan sengit. Wajah orang itu dilapisi bedak yang sangat tebal, bagian di sekeliling matanya dihitamkan, bibirnya diberi lipstik merah darah sampai ke pipi. Dia memakai setelan jas ungu, dan terdapat kartu identitas siswa disematkan di dadanya.

Aku terkikik. “Spooky Day dilaksanakan hari Kamis, Chanyeol sunbae.”

Chanyeol menggaruk kepala. “Joker karakter film juga, kan?”

“Dengan dandanan seperti itu, sunbae lebih terlihat seperti sedang merayakan Halloween ketimbang berdandan ala karakter film.”

“Ah, biarkan saja. Aku bingung mau jadi apa selain Joker,” Kata Chanyeol. “Masuk bareng, yuk?”

Kami berjalan berdampingan menuju gedung sekolah. Chanyeol menatap dandananku. “Kamu jadi perempuan di Harry Potter itu, ya? Siapa namanya?”

“Hermione Granger.” Jawabku.

“Ah, ya, ya!” kata Chanyeol. “Dan kamu memakai make-up. Tumben sekali. Mau menarik perhatian Nam Woohyun?”

Aku melotot mendengar perkataannya. Bagaimana dia bisa tahu?

“Kelihatan jelas dari caramu menatapnya,” Kata Chanyeol tanpa menungguku berbicara. “Tenang, aku sangat pandai menjaga rahasia, kok.”

“Aku bingung, sunbae,” Kataku tiba-tiba. “Kenapa kepopuleran membuat Nam Woohyun jadi berubah seperti ini? Dulu waktu SMP kami selalu bertukar sapa bahkan mengobrol lama dimanapun dan kapanpun, sekarang dia hanya kadang-kadang menyapaku. Melewatiku begitu saja tanpa melihat pun pernah, entah benar-benar tidak melihat atau hanya pura-pura.”

Chanyeol diam.

“Sebenarnya, ini salah dia, salah cewek-cewek itu, atau bahkan salahku? Salah dia karena membuatku menderita karena perasaanku sendiri begini, salah cewek-cewek itu karena membuatnya hampir melupakanku, atau salahku karena aku tidak pernah menyatakan perasaanku?”

“Kepopuleran bisa membuat seseorang buta,” kata Chanyeol. “Dia tidak sadar kalau ada perempuan yang perhatian dengannya lebih dari perempuan yang lain.”

“Kamu harus mengingat kalau kamu punya hal-hal yang tidak dimiliki perempuan-perempuan itu,” lanjutnya. “Kamu menyayanginya sepenuh hati, kamu selalu ada buat dia. Yang lain? Boro-boro.”

“Kenapa sunbae bilang begitu?”

“Begini, ya. Apa kamu benar-benar yakin mereka menyayangi Nam

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
tachibanarin #1
Chapter 1: it's so interesting ><
Yoonsa66
#2
Chapter 8: Bonus chapter pleasee!!! (T^T)
Really want to see bomi n gongchan wedding!!! ㅋㅋㅋㅋ
ara2712 #3
Chapter 8: aaaa so sweet bangeeet >< sequel juseyoooo
celaaar #4
Chapter 7: One more chapter? Yah udh mau abis doong?-_-
ara2712 #5
Chapter 6: awwww itu kalimat terakhirnya so sweet gilaaaaa /spazzing/
duh disini namu ngeselin pake banget sumpah. Sebutuh apa sih dia sama kepopuleran? Gedeg ih -_-
Lanjut juseyooo
ara2712 #6
Chapter 5: minah-woohyun ngeselin banget sumpah -_- awas aja kalo putus pada balik ke bomi.
Gongchan-bomi jadian juseyooo
auliazizaa #7
Chapter 4: waaaah udah ada next chapternya...
minah kok tega banget sih sama sahabatnya :''')
bomi sama gongchan aja~ sama daehyun juga gpp/? wkwkwk
next chap ditunggu authornim :')
bbomiya
#8
Chapter 1: bomi gongchan! walaupun mereka jarang ada moment nya tp kalo dipikir pikir lucu juga- hehe
first chapter was good. aku suka part pertama. bahasanya sederhana jadi enak di baca :3
walaupun alurnya udah biasa tp castnya gak biasa aku suka>_<
gak bisa komen banyak banyak aku bingung-
can't wait for next update. fighting authornim>_<)bbb
sunlight_ #9
Yeah gongchan and bomi. Update soon ~