Going Home

2PM "Crying Challenge"
Please Subscribe to read the full chapter

 Going Home 

( oochii )

Cast: Wooyoung, Junho, Chansung

 

Salju tipis turun sejak tadi malam, sedikit demi sedikit menutup Seoul dengan lapisan tipis kristal es putih. Memasuki pertengahan Desember, udara semakin dingin. Namun penampilan Seoul justru terlihat semakin menghangat dengan berbagai macam hiasan natal yang mulai terpasang di berbagai sudut kota. Lagu natal sayup-sayup berkumandang dari beberapa toko, memanjakan telinga para pengunjung dan pejalan kaki di sekitar.

Wooyoung berjalan pelan di antara barisan manusia yang memenuhi jalanan utama di pusat pertokoan Gangnam. Matanya menatap lurus pada sebuah pohon natal raksasa yang baru saja didirikan beberapa meter di depannya. Pandangannya terpaku pada sebuah bintang di puncak pohon, sebuah hiasan yang lebih menyerupai kristal es raksasa yang memantulkan warna pelangi hasil ekstraksi berbagai spektrum warna yang menimpanya. Bintang yang indah, sangat cocok untuk berada di puncak.

"Umma, hyung jahat! Dia bilang santa tidak akan datang saat natal nanti."

Sebuah rengekan khas anak kecil tiba-tiba membuyarkan lamunan Wooyoung, menariknya untuk mengalihkan perhatian dari puncak pohon natal ke arah tiga sosok yang tengah berjalan di sampingnya. Sekitar satu meter dari tempatnya berada, seorang wanita muda yang mungkin tak jauh lebih tua darinya tengah tersenyum dan berbicara pada anak lelaki yang digandengnya.

"Santa akan datang kalau Minnie jadi anak baik," ucap wanita itu sambil tersenyum, membuat si anak ikut tersenyum lebar dan menatap seorang anak lelaki lain yang berdiri di sisi kirinya.

"Dengarkan itu hyung. Minnie anak baik, jadi Santa pasti datang. Kalau hyung anak nakal karena tidak percaya Santa, jadi siap-siap saja tidak dapat hadiah," ucapnya penuh kemenangan. Bocah lelaki yang dipanggil hyung itu bukannya marah, tapi justru ikut tertawa dan mencubit pipi gembul si adik.

Di tempatnya, Wooyoung hanya terpaku sambil menyaksikan adegan yang sangat familiar baginya. Otaknya tiba-tiba bekerja untuk memutar kembali sebuah memori dari masa lalu. Di suatu natal beberapa tahun yang lalu, ia ingat jika ia pernah mendebatkan hal yang sama dengan sang adik. Wooyoung tidak percaya keberadaan Santa, sedangkan Junho hidup dengan berpegang teguh pada kepercayaan bahwa Santa ada. Demi membuktikan pendapat masing-masing, mereka bahkan pernah mencoba begadang di malam natal untuk menangkap basah sang Santa. Tapi pada akhirnya hanya Wooyoung yang masih terjaga untuk mendapati ayahnya meletakkan hadiah di kaki tempat tidur mereka.

"Memang Minnie mau hadiah apa?" ternyata telinga Wooyoung masih menangkap percakapan kakak beradik tadi.

"Umm, tahun ini Minnie ingin bertemu dengan Santa saja."

"Eh kenapa?" Di dalam hati, Wooyoung ikut bertanya, ia pun penasaran sama seperti si kakak.

"Minnie mau minta suatu hal, dan itu rahasia."

Dari sudut matanya, Wooyoung bisa melihat si adik tersenyum lembut penuh arti sambil mempererat gandengan tangannya dengan sang kakak. Melihat itu semua, senyum tipis ikut tersungging di bibir Wooyoung. Rasanya ia tahu apa yang akan diminta si adik pada Santa tahun ini.

 

"Kalau kamu bertemu Santa, apa yang akan kamu minta Junho?"

"Aku akan minta pada Santa agar aku bisa terus bersama Wooyoung, selamanya."

 

Ketika memori lain terputar di benaknya, senyum tipis Wooyoung perlahan berubah menjadi senyum getir.

Selamanya...

Junho menginginkan mereka bersama selamanya. Namun pada kenyataannya, tak ada kata selamanya bagi mereka karena pada akhirnya santa tidak pernah datang. Saat itu Junho hanya bisa memandang kosong salju di luar jendela sembari menunggu malam natal berakhir. Di usia 10 tahun, Junho akhirnya sadar bahwa Santa tak pernah ada. Ia tidak pernah bisa bertemu Santa dan mengungkapkan permintaanya. Dan jauh di benak Wooyoung, ia masih ingat dengan jelas raut kecewa di wajah Junho serta airmata kekecewaan yang menggenang di sudut matanya.

Malam natal tiga belas tahun yang lalu, Santa tak datang. Tapi saat itu, diam-diam Wooyoung pun berdoa demi sebuah selamanya bersama Junho. Sebuah selamanya yang tak pernah menjadi kenyataan ketika waktu kembali berjalan.

 

***

 

Salju mulai berhenti turun ketika Wooyoung sampai di depan pagar rumahnya. Ia berhenti sejenak untuk membersihkan salju di rambut dan pundaknya. Ditatapnya rumah dua lantai bercat putih tersebut. Rasa rindu perlahan menyelinap keluar. Setelah dua tahun, ia akhirnya kembali berdiri di depan rumah itu. Sebuah rumah dimana ia menghabiskan 20 tahun hidupnya, sejak lahir sampai dewasa, hingga ia memutuskan untuk menikah dan memulai hidup baru di bersama orang lain.

Ketika kakinya akhirnya berhenti di depan daun pintu berwarna cokelat tua, Wooyoung tiba-tiba merasa canggung dan gugup. Entah kenapa ada sedikit keraguan di hatinya untuk menekan bel yang terpasang disana. Beberapa menit ia berdiri dalam diam.Setelah tiga kali tarikan nafas panjang, akhirnya tangan Wooyoung bergerak untuk menekan bel. Sekali, dua kali, dan sebuah suara yang familiar pun terdengar dari interkom.

"Siapa?" itu ibunya.

Menggigit bibir bawahnya canggung, Wooyoung akhirnya menjawab, "Umma, ini Wooyoung."

Tak berapa lama pintu pun terbuka, menampilkan wajah renta sang ibu yang menatapnya dengan senyum seadanya.

"Ah, tumben kamu mampir nak. Ada apa?" Sebuah basa-basi yang datar bagi seorang ibu yang baru bertemu putranya lagi setelah dua tahun lamanya. Wooyoung hanya tersenyum kecut.

"Aku hanya ingin pulang umma. Sebentar lagi peringatan, dan tahun lalu aku tidak bisa datang. Jadi kali ini aku sengaja datang lebih awal karena luang," ujar Wooyoung pelan. Ia melangkah masuk, lalu berdiri sejenak untuk menunggu sang ibu menutup pintu.

Mendengar kata peringatan, raut wajah ibu Wooyoung terlihat mengeras. Senyum tipis yang tadi terukir di bibir wanita itu telah menghilang saat ia menatap Wooyoung, digantikan sebuah ekspresi dingin bak patung.

"Ah benar," ia menggumam pelan, matanya kini lurus menatap tembok di belakang putranya, bukan pada dua manik hitam Wooyoung. "Kalau begitu istirahatlah di kamar. Kamu pasti lelah."

Setelah kalimatnya selesai, wanita paruh baya itu melangkah pergi, meninggalkan Wooyoung yang hanya bisa menatap punggungnya dengan senyum getir.

"Selalu begini, sambutan yang dingin," batin Wooyoung.

Mencoba tak mengacuhkan rasa sakit dan kecewa di dadanya, Wooyoung pun melangkahkan kakinya untuk menaiki tangga. Rumah itu masih sama seperti tiga tahun yang lalu. Perabotnya masih tertata di tempat yang sama, bahkan foto-foto yang tergantung di dinding sepanjang sisi tangga masih sama persis. Tidak berkurang tapi juga tidak bertambah.

Di anak tangga kesepuluh Wooyoung berhenti sejenak. Dipandangnya sebuah potret dua bocah lelaki gembul yang tengah memakai topi pesta dan tersenyum lebar ke arah kamera. Wajah mereka mirip, ukuran tubuh mereka pun sama. Yang berbeda hanya satu bernama Junho, sedangkan yang lain bernama Wooyoung.

"Junho ya, apa kabar?"Wooyoung berbisik pelan pada salah satu bocah di potret tersebut. Tentu saja tak ada jawaban, dan Wooyoung pun tidak membutuhkan jawaban. Ia tersenyum saat ingat potret tersebut diambil pada ulangtahun kedelapan mereka. Wajah Junho tampak belepotan karena krim kue, sedangkan wajahnya sendiri tampak sembab seperti habis menangis. Namun ia tak ingat kenapa saat itu ia menangis.

"Aku pulang Junho-ya,"Wooyoung kembali berbisik. Matanya masih tertuju pada potret si bocah."Aku akan pulang.” Seolah berusaha meyakinkan, senyum di bibir Wooyoung pun mengembang diikuti oleh sebuah helaan nafas panjang dan gumaman pelan, “Ya, pulang.”

Perlahan, Wooyoung pun beranjak. Ia kembali menaiki tangga dan berjalan menuju kamarnya. Pemandangan di lantai dua masih sama. Di lorong itu, dua pintu terlihat berhadapan satu sama lain. Entah halusinasi atau apa, Wooyoung merasa kedua pintu itu terbuka, menampilkan dua sosok remaja berseragam sekolah. Wooyoung yang terlihat mengucek matanya dengan ekspresi masih mengantuk, dan Junho yang tersenyum riang sambil mengucapkan ‘selamat pagi’.

Ahh rasanya sudah lama sekali, batin Wooyoung.

Ketika bayangan dua remaja itu menghilang, Wooyoung kembali melangkahkan kakinya. Seharusnya ia membuka pintu sebelah kanan dan masuk ke kamarnya, tapi ia justru memilih pintu sebelah kiri dan membukanya perlahan. Matanya terpaku pada isi kamar tersebut.

Ruangan itu masih sama seperti 5 tahun yang lalu. Masih bersih dan tertata, seolah sang pemilik masih rajin tidur di sana setiap malam. Wooyoung mengedarkan pandangan. Tidak ada yang berubah. Kolase foto masih menempel di dinding, hasil jepretan kamera Junho yang pernah berkeinginan menjadi fotografer profesional. Jersey klub baseball favorit adiknya itu pun masih tergantung rapi di dinding di samping kasur, hadiah ulang tahun dari Wooyoung ketika mereka kelas satu SMA. Di rak buku dan meja belajar Junho, beberapa benda kenangan masih tergeletak rapi. Komik-komik, ensiklopedi, album CD, ratusan bangau kertas dalam botol hasil karya mereka berdua pun masih ada di sana.

“Sepertinya umma masih rajin membersihkan kamar ini,” Wooyoung kembali tersenyum.

Ia pun melangkah masuk. Suara pelan terdengar ketika pintu tertutup di belakangnya. Dengan mata masih terpaku pada isi ruangan, Wooyoung meletakkan ranselnya di lantai, sebelum kemudian merebahkan diri di kasur bersprei merah, warna favorit Junho. Suasana kamar itu memang masih sama, tapi ternyata ada satu hal yang hilang. Wooyoung sadar, tak ada lagi wangi sampo Junho di bantal yang kini dipeluknya.Kamar itu beraroma bersih, tanpa ada wangi khas sang pemilik, seolah mengingatkan pada setiap orang yang masuk jika kamar itu memang telah lama ditinggalkan pemiliknya.

"Junho-ya," bisik Wooyoung sembari menenggelamkan wajahnya di bantal. “Aku merindukanmu,” pundaknya bergetar pelan. Dalam keheningan kamar Junho, ditemani semua kenangan, Wooyoung pun mulai menangis.

 

***

 

Entah sejak kapan hidup Wooyoung mulai berubah. Atau mungkin sejak awal hidupnya memang telah menyedihkan dan ia hanya belum menyadarinya karena faktor usia. Tapi satu hal yang pasti, sejak awal Wooyoung telah paham jika meskipun mereka terlahir sebagai anak kembar, namun ia dan Junho berbeda. Wooyoung dan Junho bagaikan dua sisi mata koin, saling bertolak belakang walaupun terikat satu sama lain. Jika Wooyoung adalah malam, maka Junho adalah siang. Wooyoung hanyalah bulan yang bersinar karena memantulkan cahaya matahari, dan sang sang matahari itu adalah Junho. Andai bisa, ia berharap ia menjadi bintang saja, yang walaupun redup tapi masih bisa memancarkan sinar sendiri. Tapi itu bukan takdirnya. Takdir Wooyoung adalah menjadi kakak kembar Junho, lahir dan besar bersamanya, serta harus rela dibandingkan dengan sang adik yang luar biasa.

Tabir hidup Wooyoung dan Junho perlahan semakin terbuka sejak mereka memasuki masa sekokah dasar. Junho yang lebih ceria dan cerdas mampu menarik hati guru-guru di sekolah mereka. Ketika Junho mulai bersinar semerlang, para guru dan anak-anak yang lain mulai hanya melihat Junho. Sedangkan Wooyoung, ia tak lagi dikenal sebagai Jang Wooyoung, tapi sebagai Wooyoung, kakak kembar Junho.

Memasuki masa SMP, perbedaan semakin tampak nyata. Orang tua mereka tak bisa menyembunyikan kebanggaan ketika Junho diterima di sekolah elit karena beasiswa. Mengesampingkan Wooyoung yang telah berjuang keras demi masuk sekolah yang sama lewat jalur tes yang rumit dan penuh persaingan. Namun Wooyoung tidak mengeluh. Ia tetap berusaha memahami, karena baginya, itu adalah pertama kalinya ia berjuang keras demi bisa bersama Junho dan senyum bahagia Junho ketika tahu jika mereka bisa satu sekolah lagi sudah cukup untuk menghapus rasa kecewa di hatinya. Mereka telah berjanji untuk terus bersama, jadi sedikit perjuangan tidaklah masalah. Walaupun pada akhirnya, perlakuan yang sama ia dapatkan disana. Siswa lain dan para guru mengenalnya sebagai kembaran Junho. Wooyoung bersinar dengan memantulkan cahaya dari Junho. Jauh di lubuk hatinya, Wooyoung merasa hidupnya begitu palsu.

Perlakuan berbeda dari orang tua mereka semakin terlihat jelas seiring berjalannya waktu. Junho adalah prioritas, sedangkan Wooyoung tak lebih dari kewajiban yang mengikuti prioritas. Ia tetap mendap

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Nunneo74
#1
Chapter 3: ♦♦ : angst klise, tapi setidaknya bisa membuat saya merasakan sakit hati si tokoh
Mrs_Jang #2
Chapter 3: ◆◆◆
Uyounggie
#3
Chapter 5: Cup yg ini.. dibuat panjang donk...!! Sedihhh bangettt
vickywahyu #4
Chapter 11: Udah diumumin ya/? Humm
Bikin lagi donk admin semuanya. Seru lhoo :D
Hehe~ #peace
ShinPM98
#5
Chapter 5: Super angst for me...i want a sequel ㅠ.ㅠ
cnl_keykhun40
#6
Chapter 7: ♦♦
Jadi.. si nichkhun gak tahu kalau Wooyoung suka sama dia? astaga~ dia selalu kasihan :(
bisa gak gantian Nichkhun yang sengsara? kebanyakan Woo yang menderita. kan kasihan :(
cnl_keykhun40
#7
Chapter 6: ♦♦ Ohh.. wooyoungie kasihan :( kok kebanyakan wooyoung yang tersakiti ><
cnl_keykhun40
#8
Chapter 5: ♦♦
ahh.. gantung sekali >< pengen ada sequel. kasihan banget si woo.. khun gak peka, nyebelin.. Oh.. jadi galau ><
cnl_keykhun40
#9
Chapter 4: ♦
mianhae.. sebenarnya idenya bagus dan sedikit ekhm.. , aku tidak terlalu suka. gak nge feel ._.
cnl_keykhun40
#10
Chapter 3: ♦♦♦
Gak hampir nangis sih.. Tapi hatiku hampir remuk kayaknya/?
Nice story..
Kasian banget si wooyoung. Harusnya ada nichkhun disana yang akan jadi bintang untuk menemani woo yg menjadi bulan. Ohh.. Pasti lebih sweet..
But its good job..