A Week to Forever

2PM "Crying Challenge"
Please Subscribe to read the full chapter

A Week to Forever

( teru_neko )

cast: Nichkhun, Wooyoung

            Satu minggu...

            Kalimat pendek itu yang terus terngiang di kepala Wooyoung, mengiringi setiap jengkal langkahnya dan kepergiannya.

            Wooyoung tidak menyangka hari ini akan datang. Hari yang tak pernah ia kira akan datang sejak puluhan tahun silam. Dia telah membuang harapan akan datangnya hari ini secepat harapan itu muncul. Namun, di sinilah ia. Berdiri di antara puluhan orang yang akan menaiki sebuah pesawat yang akan mengantarkannya dalam perjalanan udara 7 jam lamanya. Membawa koper berukuran sedang, tubuh rentanya dengan tenang berdiri mengantre.

            “Tunggu aku...” batinnya.

 

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

 

Flashback...

 

            Telepon rumah berdering tak henti-hentinya. Di luar, langit masih gelap dan dihiasi bayang bintang-bintang yang hampir meredup tergantikan matahari. Udara dingin Seoul tidak berteman baik dengan tubuh renta Wooyoung yang masih bergelung selimut di pagi buta itu. Tubuh Wooyoung hanya bergerak sedikit, menggerakkan otot-ototnya yang kaku dan sudah tidak bisa bergerak lincah itu. Bukan sekedar usia yang merontokkan fungsi ototnya, tapi juga keinginan hidupnya yang telah luntur sejak Nichkhun tidak lagi bisa menemaninya.

            Wooyoung memaksa tubuhnya untuk terduduk. Mata tuanya melirik ke kanan dan ke kiri mencari kacamata, tidak lagi mencari sosok Nichkhun seperti yang ia lakukan saat usianya belum setua ini.

            Perlahan Wooyoung meraih kacamata dan memakainya. Tidak perlu terburu-buru mengangkat telepon, begitu pikirnya. Toh bisa saja itu hanya salah sambung. Siapa yang mau menelpon pagi buta begini?

            “Mmm, selamat pagi,” suara seorang wanita tak dikenal menyapa telinga Wooyoung. Bahasa koreanya pun terdengar ragu-ragu.

            “Selamat pagi,” jawab Wooyoung malas, tidak menyembunyikan kantuk dan rasa sebalnya.

            “Oh, Sorry,” suara di seberang terdengar refleks menjawab. Kening Wooyoung semakin berkerut.

            “Siapa ini?” tanyanya dalam bahasa inggris yang mungkin terdengar canggung karena ia telah lama tidak menggunakannya.

            “Jang Wooyoung-ssi?” wanita di seberang balik bertanya.

            “Ya, ini aku,” balasnya sedikit jengkel.

            “Ah,” wanita itu terdengar menghembuskan nafas lega. “Aku Yanin,” lanjut wanita itu. “Semoga kau masih ingat.”

            Bahasa inggrisnya terdengar sangat lancar, tapi bukan itu yang membuat Wooyoung membeku, mematung sambil memegangi gagang telepon yang hampir merosot dari genggamannya. Suara wanita itu masih terdengar lembut dan ramah di telinganya. Hanya sedikit serak, mungkin termakan usia. Namun bukan suara wanita itu yang membuat Wooyoung tertegun.

            “Wooyoung-ssi?” wanita bernama Yanin itu menarik kesadarannya.

            “Y-ya?”

            “Kau masih ingat aku, kan?”

            Wooyoung tidak mungkin melupakan wanita itu. Senyumnya yang mirip sekali dengan senyum Nichkhun hingga nyaris meninggalkan luka perih di hati Wooyoung saat ia harus mengantar kepergian Nichkhun yang tidak lagi bisa tersenyum padanya.

            “Tentu saja,” jawabnya bersamaan dengan hembusan nafas.

            “Syukurlah. Bagaimana keadaanmu?”

            Wooyoung berpikir cukup lama. Bagaimana keadaannya saat ini? Renta, retak, rapuh, dan... merindukan seseorang. Selalu. Tidak ada jawaban pasti yang bisa ia berikan setiap kali orang menanyakan keadaannya. Tak bisakah mereka melihatnya sendiri?

            Demi menghilangkan kekhawatiran orang lain, Wooyoung hanya akan menjawab, “Baik.”

            Lama tidak terdengar sahutan dari Yanin. Wooyoung balas bertanya, “Bagaimana kabarmu?”

            “Aku juga baik.” Wooyoung bisa membayangkan Yanin tersenyum sambil mengatakannya.

            “Apa kau ingin menyampaikan sesuatu? Kau tidak mungkin menghubungiku pagi buta begini hanya untuk menanyakan kabar.” Setelah sekian lama kau tidak menghubungiku, lanjut Wooyoung dalam hati.

            “A-ah itu. Sepertinya memang tidak ada gunanya berbasa-basi. Mungkin lebih baik aku langsung ke intinya saja.” Kening Wooyoung yang sudah berkerut semakin berkerut. “Apa besok kau ada urusan?”

            Wooyoung mulai khawatir. Pertanyaan yang dilontarkan Yanin pasti akan menjurus pada sebuah pertemuan penting yang tidak ingin Wooyoung datangi. Tapi menolaknya pun tidak akan bisa Wooyoung lakukan tanpa memberi alasan yang membuatnya semakin dicurigai.

            “Tidak,” jawabnya singkat.

            “Bolehkah aku memintamu berangkat ke Thailand besok?”

            “B-buat apa??!!”

            Setelah bertahun-tahun ia dibuang dan dianggap tidak ada, kenapa sekarang keluarga Horvejkul memintanya pergi ke tanah kelahiran mereka?

            “Kak Nichkhun...”

            Wooyoung terkesiap. Mendengar nama itu membuatnya tiba-tiba gelisah. Sudah bertahun-tahun ia dikondisikan untuk berpikir bahwa Nichkhun telah tiada, menerima nasibnya bahwa  Nichkhun tidak akan bisa menemani hari tuanya. Nichkhun tidak akan pernah menganggapnya ada lagi. Tapi kenapa sekarang...

            “Kumohon...” Yanin tidak melanjutkan kata-katanya yang sebelumnya. Wanita itu sepertinya cukup tahu Wooyoung bisa menangkap situasi apa yang terjadi hanya dengan menyebut nama itu.

            Pada akhirnya, Wooyoung mengabulkan permintaan Yanin.

 

*****

 

 

            “Aku harap aku tidak mengganggu kegiatanmu, Wooyoung-ssi,” ucap Yanin sembari mengendarai mobil yang menjemput Wooyoung dari bandara.

            Wooyoung hanya menggeleng pelan. Bukannya ia tidak lancar menggunakan bahasa inggrisnya, ia hanya sedang dilanda gugup dan kecemasan. Keluarga Horvejkul masih seramah yang ia ingat dulu. Yanin pun masih menganggapnya seperti kakak iparnya–meski ia belum sempat resmi menjadi kakak iparnya. Walaupun kini hubungan mereka berubah sedikit canggung setelah insiden yang terjadi pada Nichkhun.

            “Bagaimana keadaannya?” Wooyoung sengaja tidak mengatakan subjek dari pertanyaannya. Suasana ceria yang coba Yanin munculkan berubah tegang. Wooyoung bisa melihat bagaimana jemari Yanin meremas kemudi lebih erat dan hanya senyum tipis yang mengembang di wajahnya.

            “Untuk itulah aku memintamu datang ke sini. Aku ingin kau yang melihatnya sendiri.”

            Wajah Yanin memang sudah tidak semulus yang ia ingat terakhir kali mereka bertatap muka dulu. Rambutnya pun sudah tidak sepenuhnya hitam, belum juga sepenuhnya putih. Namun, senyum yang merekah di wajahnya tetap secantik dulu, penuh misteri tapi sarat akan kebahagiaan.

            Kaki Wooyoung sedikit gemetar saat menjejakkan kakinya keluar dari mobil. Rumah keluarga Horvejkul yang ditinggali Yanin memang sudah tidak sama seperti saat ia terakhir kali diajak Nichkhun untuk diperkenalkan sebagai kekasihnya. Dulu ada banyak sanak saudara Nichkhun yang akan menyambut mereka. Sekarang, Wooyoung tidak melihat siapapun yang menyambutnya di depan pintu.

            “Mereka ada di dalam,” ucap Yanin seolah bisa menebak apa yang baru saja dipikirkannya.

            Wooyoung semakin gugup. Yanin tidak menjelaskan siapa saja ‘mereka’ yang ia maksud. Apa Wooyoung akan bertemu dengan orang itu? Apa yang harus Wooyoung lakukan jika kejutan yang menantinya di dalam bukanlah kejutan yang bagus?

            Yanin mengusap pelan lengannya seolah mencoba menghilangkan kegugupannya. Yanin tersenyum. Mungkin ia ingin mengatakann bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Tapi, Wooyoung tetap tidak bisa mengenyahkan rasa cemas dan gugupnya. Seakan perasaan yang ia buang selama 30 tahun ini kembali menghampirinya dalam sekali hentakan dan hatinya yang rapuh tidak bisa begitu saja mengusir perasaan itu dalam sekali hentakan juga. Ia butuh waktu.

            Dari pintu masuk, ia bisa mendengar suara anak kecil tertawa terkikik-kikik digelitiki dan ada suara lelaki yang berbicara dalam bahasa thailand yang tentu saja tidak bisa Wooyoung mengerti.

            Yanin setengah berteriak, memancing perhatian seorang lelaki muda yang mungkin berumur 30-an dan seorang bocah perempuan dalam pangkuan seorang lelaki yang rambutnya sudah beruban semua.

            Gadis kecil itu berteriak dan berlari, menghamburkan diri ke pelukan Yanin. Seorang wanita yang usianya kurang lebih sama dengan lelaki muda tadi muncul entah dari mana masih mengenakan apron merah kotak-kotak dan membelalakkan mata saat beradu pandang dengan Wooyoung.

            “Wooyoung-ssi, perkenalkan, ini cucuku.” Yanin menyebutkan sebuah nama yang tidak bisa ia lafalkan dengan lancar. Gadis kecil itu adalah cucu pertama Yanin, dan laki-laki serta perempuan muda yang Wooyoung lihat di depannya adalah anak dan menantu Yanin. Sedangkan lelaki beruban yang sampai detik ini belum menolehkan wajahnya sekalipun adalah...

            “Hampiri dia,” Yanin berbisik. “Dia sedikit canggung dengan... orang baru.”

            Wooyoung terkekeh, “Kembali seperti dirinya yang dulu, heh?” Yanin hanya tersenyum. Wooyoung tidak membuang waktu sedikitpun untuk segera melangkahkan kakinya menghampiri lelaki tua yang sesekali menolehkan kepalanya mendengar langkah kaki Wooyoung semakin dekat.

            Akhirnya Wooyoung sampai di hadapan lelaki tua itu. Wajahnya penuh keriput, usianya pasti 64 tahun sekarang, setahun lebih tua dari Wooyoung. Lelaki itu memberinya senyum canggung dan Wooyoung yakin ia bisa berlutut saat itu juga sambil menangis. Senyum canggungnya masih sama seperti saat mereka pertama kali bertemu. Saat Wooyoung belum melihat masa depan apa yang akan dibawa lelaki di depannya itu. Wooyoung merasa diteleportasi ke puluhan tahun silam... saat seorang Jang Wooyoung bertemu dengan lelaki bernama Nichkhun Buck Horvejkul.

 

***

 

            “Annyeong haseyo. Annyeong haseyo,” seseorang terdengar mengucapkan salam terlalu ceria. Wooyoung mencibir, mengatai orang itu anak kecil yang baru bisa bicara dan mengucapkan kalimat itu berulang kali karena hanya kalimat itu yang bisa diingatnya. Aksennya memang terdengar aneh, pikir Wooyoung setelah ia mendengar salam itu entah untuk ke berapa kalinya.

            “Wooyoung-ssi, dialah orang yang ingin kuperkenalkan padamu,” ucap orang yang membawa lelaki berwajah asing dengan alis tebal dan senyum yang mengembang seadanya dan mata yang menatap Wooyoung gugup. “Dia yang akan menjadi ilustratormu untuk novelmu yang selanjutnya.”

            “Oh...” komentar Wooyoung sekenanya. Belum 5 detik berlalu dan ia sudah bosan dengan orang beralis tebal itu.

            “Namaku Nichkhun Buck Horvejkul. Panggil saja Khun.” Lelaki bernama Khun itu lagi-lagi tersenyum, namun kali ini senyumnya terlihat lebih yakin dan lebih... mempesona–oh, tidak. Wooyoung menggeleng dan begitu ia bisa mengembalikan kewarasannya, Wooyoung mendapati Nichkhun sedang menatapnya dengan kening berkerut.

            “Jang Wooyoung, panggil saja Wooyoung,” balasnya sambil menjabat tangan Nichkhun yang besar dan hangat. Nichkhun tersenyum lega, tapi detik itu juga rasanya Wooyoung harus pergi jauh dari Nichkhun dan membutuhkan bantuan tabung oksigen.

 

***

 

            Sekarang situasinya berbeda. Wooyoung justru ingin memeluk makhluk di depannya dan tetap membutuhkan bantuan tabung oksigen karena ia yakin rasa rindu yang meluap di dadanya sudah mengempiskan paru-parunya dan ia siap pingsan sewaktu-waktu. Kali ini Wooyoung yang mengulurkan tangannya terlebih dahulu, Wooyoung yang memberikan senyuman paling hangat yang ia miliki pada lelaki di depannya, dan Wooyoung pula yang menyapanya terlebih dahulu.

            “Hai... Lama tidak berjumpa,” sapanya dalam bahasa korea.

            Alis lelaki di depannya terangkat sebelah. Ia menoleh ke lelaki muda di sebelahnya, seperti meminta bantuan. Ia juga mengucapkan beberapa patah kata pada lelaki itu dalam bahasa thailand. Kemudian lelaki muda itu menoleh pada Wooyoung dengan tatapan bersalah.

            “Maaf, dia sudah tidak bisa berbahasa korea lagi,” ucap lelaki itu dalam bahasa inggris.

            Satu goresan kecil tertoreh di hatinya. Wooyoung hanya bisa tersenyum tipis. “Apa dia bisa berbahasa inggris?” lelaki itu mengangguk dan datang sebuah jawaban dari Nichkhun, “Ya, aku bisa.”

            Wooyoung tersenyum lega. Bahasa korea yang diajarkannya mungkin memang sudah tidak akan bisa mereka gunakan lagi untuk berkomunikasi. Tapi bahasa inggris yang Nichkhun ajarkan, akan sangat membantu di saat-saat seperti ini.

            “Syukurlah. Apa kau masih mengingatku?”

            “Oh? Apakah kita pernah bertemu sebelumnya?”

            Wooyoung tertegun. Bibirnya masih terkembang oleh senyum, tapi senyum itu kini bertambah dengan rasa syok. Wooyoung seharusnya sudah menduga itu akan menjadi jawabannya. Dan Wooyoung juga telah mendengarnya bertahun-tahun silam. Tapi kedatangannya kali ini tidak untuk mendengarnya dua kali, dengan wajah yang sama, dan ekspresi kepolosan yang sama. Kalimat sederhana itu seharusnya tidak membawa rasa syok yang begitu besar bagi Wooyoung, tapi mendengarnya dari orang yang pernah–dan masih–dicintainya tentu saja membawa efek yang berbeda.

            “Ya, kita pernah bertemu,” jawabnya lembut.

            “Ah, maaf. Otakku yang tua ini memang sudah susah untuk mengingat,” Nichkhun terkekeh kekanakan.

            Wooyoung ikut terkekeh, tapi kekehannya berlanjut lebih lama dari Nichkhun. Nichkhun sampai berhenti terkekeh dan menatap Wooyoung bingung. Satu rahasia kecil yang tidak ingin Wooyoung katakan pada Nichkhun di awal mereka berjumpa saat ini adalah bulir-bulir kecil air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.

            Wooyoung mengusapnnya pelan dan masih terkekeh, berharap Nichkhun mengira air mata itu adalah efek tertawa terlalu lama.

 

***

 

            “Aku masih belum menangkap maksudmu,” ucap Wooyoung seusai mengantar Nichkhun ke kamarnya setelah meminum obat. Wooyoung tidak melihat kemajuan apapun pada Nichkhun. Wajahnya tetap seceria bocah. Sifatnyapun tetap kekanakan. Dan ia... tetap tidak mengingat Wooyoung.

            “Aku juga sebenarnya kaget,” sahut Yanin. “Aku kira, dengan bertatapan langsung denganmu kejadian beberapa hari yang lalu akan terulang.”

            Wooyoung menoleh kaget. “Kejadian apa?”

            Yanin mengedikkan bahu. “Hanya kejadian kecil. Ia menyebutkan namamu ketika cucuku meminta boneka anak ayamnya dinamai oleh Kak Khun.”

            “Apa yang dia katakan?”

            “Youngie. Bukankah itu nama kesayangannya untukmu?”

            Wooyoung mengangguk dengan mata menerawang mengingat kembali kapan Nichkhun memutuskan untuk menggunakan nama itu. “Tapi, bisa saja itu tidak berhubungan denganku,” ucap Wooyoung lirih dan terdengar putus asa.

            “Suamiku juga berkata seperti itu sebelumnya. Mungkin hanya kebetulan. Tapi aku yakin ini sebuah pertanda dia bisa kembali mengingatmu. Karena itu aku memintamu untuk datang. Setidaknya selama seminggu ini, bantulah dia.”

 

***

 

            Bukanlah tugas yang mudah. Menemani Nichkhun mengobrol, berbicara sedikit canggung seolah mereka baru saja bertemu. Wooyoung tidak bisa menahan kotak pandora memorinya untuk tidak terbuka selama ia menemani Nichkhun. Semua memori itu menyerangnya tanpa ampun. Hanya Nichkhun yang tidak terjamah oleh memori-memori itu.

            Wooyoung harus sanggup menahan tangisnya jika Nichkhun dengan semangat menceritakan sesuatu, seperti bocah, tanpa sadar dengan penyakit yang dibawanya saat ini. Hari ini mungkin Nichkhun akan mengingat seorang teman bernama Jang Wooyoung, tapi esok atau beberapa hari ke depan, Wooyoung tidak yakin namanya akan tetap tersemat dalam otak Nichkhun yang semakin mengecil itu.

            “Hei, Yanin bilang, kau adalah seorang novelis. Apa kau membawa salah satu karyamu?”

            Wooyoung tersenyum dan menggeleng. “Kalaupun aku membawanya, kau tidak akan bisa membacanya.”

            “Ah, benar juga. Tapi aku sangat ingin membaca novelmu.” Nichkhun mengerucutkan bibirnya sesaat sebelum matanya melebar oleh sebuah ide. “Bagaimana kalau kau menceritakannya secara lisan? Kau tidak mau aku minta menceritakan masa lalu kita, bukan?”

            Ya, memang benar. Memori mereka terlalu beresiko untuk diceritakan. Wooyoung tidak mau membuat Nichkhun syok dengan setiap memori yang ia ingat. Untuk saat ini, Wooyoung masih bertahan mengaku sebagai teman Nichkhun.

            Wooyoung menghela nafas. “Baiklah. Tapi jangan protes dengan cerita apa yang akan aku ceritakan.”

            Nichkhun menggeleng mantap. “Aku janji.”

            Wooyoung berpikir sejenak. Ia sudah lama tidak melarikan jarinya di atas keyboard laptopnya. Novel terakhir yang diterbitkannya berkisah tentang cerita hidupnya bersama Nichkhun. Apa ia harus menceritakannya?

            Seseorang mengetuk pintu menuju patio tempat ia dan Nichkhun bercakap-cakap. Pintu kaca geser itu tidak sepenuhnya tertutup. Sudah pasti orang yang mengetuk pintu itu bisa mendengar apa yang diobrolkannya dengan Nichkhun.

            Yanin menghampirinya dan meletakkan sebuah novel di atas meja. Mata Wooyoung membulat dan kepalanya langsung menoleh ke arah Yanin.

            “Ini...”

            “Aku membelinya secara online,” jawab Yanin disusul dengan meletakkan jari telunjuknya di bibir, mengatakan bahwa ini hanya rahasia mereka berdua. Setelah Yanin pergi, Wooyoung memegang buku itu dan tersenyum penuh arti. Bukunya sudah tidak dalam keadaan baru. Sepertinya Yanin mencoba membacanya meski dalam bahasa korea.

            “Buku apa itu?” Nichkhun mencoba melirik isi buku itu.

            “Novel terakhirku.”

            “Ah! Tepat sekali. Ceritakan saja isi novel itu padaku,” ujar Nichkhun antusias.

            Wooyoung melirik Nichkhun ragu. Mata bulatnya menggoda Wooyoung untuk menuruti permintaannya.

            Wooyoung tidak membutuhkan novel itu s

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Nunneo74
#1
Chapter 3: ♦♦ : angst klise, tapi setidaknya bisa membuat saya merasakan sakit hati si tokoh
Mrs_Jang #2
Chapter 3: ◆◆◆
Uyounggie
#3
Chapter 5: Cup yg ini.. dibuat panjang donk...!! Sedihhh bangettt
vickywahyu #4
Chapter 11: Udah diumumin ya/? Humm
Bikin lagi donk admin semuanya. Seru lhoo :D
Hehe~ #peace
ShinPM98
#5
Chapter 5: Super angst for me...i want a sequel ㅠ.ㅠ
cnl_keykhun40
#6
Chapter 7: ♦♦
Jadi.. si nichkhun gak tahu kalau Wooyoung suka sama dia? astaga~ dia selalu kasihan :(
bisa gak gantian Nichkhun yang sengsara? kebanyakan Woo yang menderita. kan kasihan :(
cnl_keykhun40
#7
Chapter 6: ♦♦ Ohh.. wooyoungie kasihan :( kok kebanyakan wooyoung yang tersakiti ><
cnl_keykhun40
#8
Chapter 5: ♦♦
ahh.. gantung sekali >< pengen ada sequel. kasihan banget si woo.. khun gak peka, nyebelin.. Oh.. jadi galau ><
cnl_keykhun40
#9
Chapter 4: ♦
mianhae.. sebenarnya idenya bagus dan sedikit ekhm.. , aku tidak terlalu suka. gak nge feel ._.
cnl_keykhun40
#10
Chapter 3: ♦♦♦
Gak hampir nangis sih.. Tapi hatiku hampir remuk kayaknya/?
Nice story..
Kasian banget si wooyoung. Harusnya ada nichkhun disana yang akan jadi bintang untuk menemani woo yg menjadi bulan. Ohh.. Pasti lebih sweet..
But its good job..