Closed Memories

2PM "Crying Challenge"
Please Subscribe to read the full chapter

Closed Memories

( teru_neko )

cast: Nichkhun, Wooyoung

 

 

            “Mungkin lebih baik kita memikirkan ini semua kembali...”

 

            Tentu kau tidak akan mau menemukan secarik kalimat itu di awal cerita sebagai pembuka. Aku pun tidak. Aku akan segera meletakkan buku itu kembali ke rak jika kalimat pembukanya saja sudah menunjukkan kesuraman isinya. Namun beda lagi jika kau lah yang menjadi tokoh dalam cerita itu. Mau tidak mau kau harus menjalaninya, menggelutinya, dan menemukan solusinya sendiri. Begitulah aku saat ini.

 

            Tidak terlalu buruk... aku kira.

 

            Hampir setahun menjalaninya dan aku belum sampai depresi hingga berniat bunuh diri. Tidak terlalu buruk, bukan? Aku hanya terjebak dalam rutinitas yang sama. Monoton tanpa warna meski cat jenis apapun telah aku coba untuk menghias kehidupanku sendiri yang entah sejak kapan telah menjadi hitam putih, abu-abu suram. Aku harap aku– dia  bisa menyadari sesuatu dengan warna palsu kehidupan yang aku tunjukkan, tapi dia seolah tak peduli dan aku memutuskan “Ya sudahlah.”. Diam. Membiarkan semuanya berlalu dalam bayangan hitam putih yang tersodor di depan mataku.

 

 

 

            2 am.

 

            Waktu yang aku paling benci sejak aku menyadari warna abu-abu lah yang selalu menghiasi kehidupanku. Kemanapun aku memandang, bahkan ke langitpun yang aku lihat hanya mendung dan tetesan hujan. Dan tanpa sadar aku akan pulang dalam keadaan basah kuyup.

 

            Apa yang membuatku membencinya? Tidak spesial. Bukan tetangga yang ribut. Bukan pekerjaan yang menyita waktu tidurku. Bukan juga insomnia bawaan dari masa kuliah. Bukan juga stres yang diakibatkan orang-orang yang menganggapku gila. Alasanku sepele; hanya karena benda yang teronggok debu di pojok ruangan dekat lemari pakaianku. Yang aku lakukan juga sepele; hanya menatapi benda itu sehingga terkadang tanpa sadar aku tertidur dengan wajah menghadap ke arah yang sama dan bekas air mata yang disebabkan oleh hal yang sama pula.

 

 

 

            Tik tok tik tok tik tok.......

 

            Demi Tuhan, aku tidak tahu dari mana asalnya ketukan jam itu. Aku hanya memiliki jam digital, yang akan berdering hanya jika aku mengatur alarmnya. Tapi percaya atau tidak, bunyi itulah yang selalu menemaniku menatapi benda berdebu yang tergeletak di pojok kamar. Mungkin jika benda itu berpindah tempat, kemanapun benda itu berpindah mataku akan tetap menatapnya, setiap jam 2 pagi. Yah, mungkin itu akan terjadi. Mungkin? Yah, karena aku memang tidak pernah memindahkannya. Tidak punya nyali hanya sekedar memindahkannya. Bahkan menyentuhnya pun aku akan memiliki seribu macam alasan untuk menghindari benda itu.

 

            Benda itu hanyalah sebuah kotak berukuran 60 x 60, berwarna biru polkadot, tentu saja tanpa pita atau manik-manik lainnya. Hanya kotak tua yang tertinggal sejak dia mengubah hidupku menjadi abu-abu.

 

            Kotak itu tidak berharga. Tidak spesial. Namun jika hilang, mungkin aku akan seperti orang gila yang baru saja kecurian emas dan permata.

 

 

 

            Tanpa sadar aku telah berada di sebuah lift kantor penerbitan majalah tempat aku dan dia  bekerja. Kami berpapasan tepat di depan lift saat akan masuk. Dia tersenyum tipis, ragu untuk menyapa seolah aku adalah seorang atasan yang akan melahapnya hidup-hidup jika ia salah bicara. Dia patut bersyukur karena aku bukan atasannya dan aku memang tidak berhak melahapnya, secara harfiah.

 

            Saat kami terpisah jalan pun yang dia lakukan hanya gelisah antara mengucapkan “Selamat bekerja hari ini” atau melarikan diri tanpa mengucapkan apa-apa. Aku bersyukur setidaknya ia sempat bertanya meski pertanyaan itu sudah cukup jelas jawabannya.

 

            “Sibuk dengan deadline?”

 

            Dalam hati aku ingin menjawab, “Tentu saja. Hei, artikelku seharusnya terbit dalam beberapa hari.” Namun lidahku tertempel ke langit-langit rongga mulutku dan yang aku lakukan hanya dengan bodoh menatap bibirnya berkedut kikuk. Matanya tidak sekalipun berani menatapku lurus. Aku bisa menangkap dari matanya bahwa ia ingin mendapat jawaban, apapun itu. “Just say something!” matanya jelas berteriak. Jakunnya bergerak naik dan turun perlahan seperti menelan teriakan itu mentah-mentah.

 

            “Oke, selamat berjuang.” Dia melarikan diri. Dan aku tidak mengejarnya– tidak bisa bergerak untuk mengejarnya dan memberinya jawaban. Setidaknya itulah yang otakku ingin lakukan tapi tidak mendapat respon baik dari ototku. Sialan.

 

 

 

 

 

***

 

 

 

 

 

            “Hei, kau tidak makan siang?” tanya salah seorang kolegaku. Aku hanya menggeleng. Tidak bernafsu untuk menikmati makan siang dan beralasan ingin menyelesaikan pekerjaanku yang mendekati deadline. Dengan senyum merekah kolegaku memberikan semangat dan berjanji akan membelikanku sesuatu dari kantin. Aku tidak yakin akan memakannya. Tidak yakin pula berniat untuk menelan sesuatu selain air putih. Pekerjaan yang semula kujadikan alasan kini hanya tergeletak di atas meja.

 

            Aku terdiam, terbengong menatapi langit-langit kantorku. Di luar langit bergemuruh dihiasi awan kelabu. Aku hanya tersenyum, meski aku sadar aku tidak membawa payung– dan seharusnya aku akan mengeluarkan sumpah serapah karena jika aku tidak membawa payung, itu artinya bukan hanya aku yang akan pulang basah kuyup, tapi juga dia. Itu dulu.

 

            Kutarik laci mejaku. Sebuah frame foto tergeletak terbalik dengan tulisan tangan di bagian belakangnya.

 

            “Maafkan aku...” suaraku tercekik, terbelit oleh kenangan masa lalu yang mendadak menyerang pengelihatanku hingga sebulir air mata mengalir dengan sendirinya. Hanya satu kalimat pendek yang bisa aku ucapkan menggambarkan seluruh kalimat yang sebenarnya ingin kukatakan padamu.

 

 

 

***

 

 

 

            It’s raining...

 

            Hujan turun dengan deras. Kita duduk berhadapan di lobi bersama segelintir orang yang lupa membawa payung ataupun menunggu taksi untuk melawan hujan di luar sana. Satu persatu mereka pergi meninggalkan kita berdua. Duduk dalam diam. Sibuk bermain dengan jari-jemari masing-masing. Sibuk dengan ponsel masing-masing. Kita duduk berhadapan tanpa mengatakan apapun. Hanya berusaha menekan sakit hati masing-masing.

 

            Anggap aku tidak ada sesukamu. Anggap aku hanya orang asing yang tak kau kenal sesukamu. Aku bersyukur karena hujan tampaknya tidak akan reda dalam waktu dekat. Jika hujan reda, kau akan meninggalkanku. Be with me a little longer... Please... I’m still–

 

            “Lupa membawa payung?” aku membuka percakapan. Mengenyahkan jauh-jauh kata yang hampir meluncur dari ujung lidahku. Aku menelannya dalam-dalam dengan susah payah.

 

            Dia terkejut. Menoleh ke kanan dan ke kiri, tak percaya bahwa dialah yang aku ajak bicara. Kegugupanmu mengingatkanku akan waktu di mana untuk pertama kalinya aku kehilangan harapan untuk merengkuhmu. This is the end. Seperti langit di luar sana, sinar matahari yang terang benderang berubah menjadi kegelapan yang dingin.

 

            Kau hanya tersenyum tipis dan mengangguk malu menanggapi pertanyaanku.

 

            Beberapa puluh menit berlalu dan hujan tak kunjung reda. Tubuhmu bergerak gelisah memandangi hujan yang tak kunjung berubah menjadi sekedar rintik-rintik. Aku hanya dengan santai membaca majalah. Alih-alih membacanya dengan serius, aku menjadikannya kamuflase agar aku bisa memandangimu.

 

            Langit tahu apa yang sedang kurasakan. Aku membutuhkan waktu untuk bersamamu lebih lama. Aku ingin memandangi wajahmu lebih lama, mata yang melihatku lebih dalam, senyum yang kau berikan setiap kali kita bertemu. Aku merindukan semuanya. Merindukan setiap detail memori yang hanya bisa kuputar ulang di dunia khayalku.

 

            Kau berdiri. Dan aku berusaha sedemikian rupa untuk tidak membelalakkan mata, terkejut.

 

            Tidak. Jangan pergi. Terakhir kali melihat bayanganmu menghilang bersama derasnya hujan tidak menimbulkan efek yang baik bagiku. Aku tidak mau mengalaminya untuk yang kedua kali.

 

            Mulutmu bergerak, mengatakan sesuatu. Berpamitan? Tapi aku tidak mendengarnya. Tidak pula menjawabnya. Dia terlihat ragu sesaat sebelum keluar menembus hujan. Sosoknya yang memilih menembus hujan daripada harus berlama-lama denganku membuatku marah... dan sedih. Otakku kosong seketika dan bergerak menuruti hatiku.

 

            Dia berada beberapa meter di depanku. Berjalan seperti zombie dengan kepala tertunduk dan bahu yang bergetar. Ia jelas kedinginan, tapi sesuatu telah membuatnya urung untuk segera sampai ke tempat tujuannya. Ia lebih memilih menikmati hujan dan aku juga melakukan tindakan yang sama.

 

            Dia berhenti. Ia menenggelamkan wajahnya ke kedua telapak tangan. Bahunya bergerak naik turun mengikuti irama tangisannya.

 

            “Wooyoung...” bisikku dalam derasnya hujan. Percaya atau tidak, aku mendengarnya membalas panggilanku. Menyebut nama panggilan khususku yang selalu ia pakai untuk memanggilku, yang akhirnya menjadi olok-olok di kalangan teman sekantor.

 

            Pejalan kaki hanya melewatinya sembari menyembunyikan diri dalam mantel tebal mereka di bawah lindungan payung. Tak satupun dari mereka yang meluangkan waktu cukup lama untuk melihat kerapuhannya di bawah guyuran hujan. Mataku lebih menyipit lagi untuk melihat siluetnya di antara kabut putih guyuran hujan. Ia mengusap pipinya dengan kasar, seperti anak kecil yang mengusap air matanya dengan punggung tangan, marah.

 

            Kakiku melangkah berat mendekatimu. Punggungmu yang terlihat sendu itu menarikku selangkah demi selangkah mendekati sosokmu yang seharusnya kujauhi. Akankah hari ini menjadi hari di mana kau akan menyesali keputusanmu dan mengakui perasaan yang selama ini kau anggap tidak bisa tumbuh itu?

 

            “Woo–..” Kau berlari. Tanganku dengan lemas telah terangkat ke udara untuk menggapaimu, tapi sepertinya nasib belum memihakku. Kau hilang, lenyap bersama derasnya hujan, meninggalkan luka abu-abu baru dalam diriku.

 

 

 

            Dan di sinilah aku. Ditemani bunyi detak jarum jam imajiner pada pukul 2 dini hari, kembali menatapi– meratapi kotak itu. Memikirkan semua kesalahan yang telah aku perbuat dan semua penyesalan yang aku rasakan. Ujung jari telunjukku menarik garis khayal mengikuti bentuk kotak itu, sembari berharap bisa mengulang waktu–waktuku denganmu–menarik semua memori buruk yang telah terjadi dan mendapatkan kembali waktu yang kubuang sia-sia memimpikan masa depan dan semua memori yang belum sempat kita buat.

 

            “Sampai kapan kau akan membuatku seperti ini, Jang Wooyoung?”

 

 

 

 

 

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Nunneo74
#1
Chapter 3: ♦♦ : angst klise, tapi setidaknya bisa membuat saya merasakan sakit hati si tokoh
Mrs_Jang #2
Chapter 3: ◆◆◆
Uyounggie
#3
Chapter 5: Cup yg ini.. dibuat panjang donk...!! Sedihhh bangettt
vickywahyu #4
Chapter 11: Udah diumumin ya/? Humm
Bikin lagi donk admin semuanya. Seru lhoo :D
Hehe~ #peace
ShinPM98
#5
Chapter 5: Super angst for me...i want a sequel ㅠ.ㅠ
cnl_keykhun40
#6
Chapter 7: ♦♦
Jadi.. si nichkhun gak tahu kalau Wooyoung suka sama dia? astaga~ dia selalu kasihan :(
bisa gak gantian Nichkhun yang sengsara? kebanyakan Woo yang menderita. kan kasihan :(
cnl_keykhun40
#7
Chapter 6: ♦♦ Ohh.. wooyoungie kasihan :( kok kebanyakan wooyoung yang tersakiti ><
cnl_keykhun40
#8
Chapter 5: ♦♦
ahh.. gantung sekali >< pengen ada sequel. kasihan banget si woo.. khun gak peka, nyebelin.. Oh.. jadi galau ><
cnl_keykhun40
#9
Chapter 4: ♦
mianhae.. sebenarnya idenya bagus dan sedikit ekhm.. , aku tidak terlalu suka. gak nge feel ._.
cnl_keykhun40
#10
Chapter 3: ♦♦♦
Gak hampir nangis sih.. Tapi hatiku hampir remuk kayaknya/?
Nice story..
Kasian banget si wooyoung. Harusnya ada nichkhun disana yang akan jadi bintang untuk menemani woo yg menjadi bulan. Ohh.. Pasti lebih sweet..
But its good job..