2/8

[Dramafiction] Z A T E M N A Episode 01

Pantai memang Indah. Apalagi pemandangan salah satu Pantai di Manchester, Inggris, Lautnya Biru, Walaupun malam Keindahan Pantainya tetap indah. Angin sepoi-sepoinya membuat tambah Dingin sekitar Pantai. Tak jauh dari Pantai terdapat komplek Villa berwarna Krem yang berpadu dengan corak Cokelat yang senada, serasi dengan suasana dan pemandangan sekitar Pantai. Diujung jejeran Villa itu ada sebuah Villa yang terlihat lebih besar dari Villa lainnya yang berada disekitarnya. Lihat saja di puncak Villa itu ada sebuah Halaman dengan Kolam, dan Kursi malas berada di tepi kolam. Ada 2 buah meja yang berada di sudut Pagar pembatas halaman dengan Payung yang mengembang di tengahnya dan 2 Kursi duduk yang berada di kanan dan kiri masing-masing meja. Halaman itu juga diperindah dengan desainnya seperti halaman yang berada di belakang rumah ada rerumputan Hijau yang berada di setiap sisi Pagar dan susunan pot tanaman yang sempurna membuat halaman itu begitu enak untuk menjadi tempat bersantai. Lampu-lampu yang berada di sekitaran Taman membuat Taman begitu Indah saat malam, terasa nyaman,

Dari Atas Villa kita dapat melihat indahnya pemandangan pantai pada malam Hari dengan orang-orang yang berada di tepi pantai beraktifitas bersama keluarga atau kekasih. Ada juga yang bersama dengan teman-temannya, mereka membuat Api unggun kecil di tepi pantai. Wajah laki-laki terlihat jelas bukan orang Inggris, terlihat dari kulit Kuning langsatnya ia adalah orang Asia. Orang Korea, Kim Myung Soo, dia adalah anak Pertama pengusaha Kim Hyun Sol. Datang seorang lelaki mendekati kursi yang berada di dekat Kim Myung Soo, lelaki itu adalah Kim Woo Hyun, adik laki-laki dari Kim Myung Soo.

Woo Hyun duduk kursi yang berda di dekat Kim Myung Soo. “Hyung?”

“hmm?” Sahut Myung Soo tanpa menoleh kea rah Woo Hyun.

“Hyung kan sudah menyelesaikan pendidikanmu, mengapa tak ada niat untuk pulang kembali ke Korea?” Tanya Woo Hyun.

“Memangnya aku mau melakukan apa disana?” Myung Soo bertanya balik.

“Pastinya hyung bekerja disalah satu perusahaan Ayah. Kau adalah Kim Myung Soo, anak seorang Presdir Kim, pasti dapat Jabatan tinggi.” Jawab Woo Hyun.

Mendengar jawaban seperti itu Myung Soo diam sejenak, perlahan menutup matanya. Ia berusaha menjaga perasaannya yang selama ini ia pendam tetap pada dasar hatinya. Myung Soo membuka matanya lalu menarik nafas. “Sepertinya aku akan menetap disini. Ayah belum membutuhkan aku di Perusahaannya. Atau bisa dibilang, Dia tidak membutuhkanku disana.”

Woo Hyun menatap bingung Myung Soo, kakak laki-lakinya yang tampan, tinggi dan juga pintar itu. “Pasti Ayah akan memanggilmu kembali ke Korea. Apalagi melihat pendidikanmu yang tinggi dan juga cerdas.”

Myungsoo menatap langit sambil tersenyum kecil. Matanya memiliki Smile Eyes. Dan Senyuman Myung Soo sangat khas, ia memang sangat pelit tersenyum sehingga jika tersenyum  ia hanya menarik salah satu sisi bibir. “Ya, Mungkin. Tapi itu setelah kau mendapatkan salah satu Jabatan yang tinggi di perusahaan. Ayah selalu mengutamakanmu.”

Woohyun tertawa geli, padahal hatinya merasa sangat heran. “Tidak mungkin. Hyung adalah Putra pertama Ayah.”

Senyuman kecil di bibir Myung Soo perlahan menghilang. Ia menatap lurus kearah laut berwarna biru yang gelap, dan menghela nafasnya. “Dalam hidup Ayah, aku bukanlah Putra Pertamanya. Malah ku rasa Ayah tak menganggapku sebagai Putra Kandungnya.”

Sekarang giliran Woo Hyun yang terdiam, perih didalam hatinya tiba-tiba melonjak ingin keluar. Tiba-tiba suasana hening semetara. Woo Hyun tertunduk menutup kesedihan dalam wajahnya, “Ibu juga tak pernah menganggapku Putranya. Dimatanya hanya ada dirimu,”

Woo Hyun Berdiri dari duduknya dan berjalan ke samping Myung Soo, sejenak ditatapnya wajah datarnya kakaknya. Woo Hyun kembali menunduk, dipejamkan matanya sambil menarik nafasnya dalam-dalam. Entah apa yang membuat Hatinya perih, seakan ada sebuah pisau yang sangat tajam tertancap keras di hatinya. Ia ingin menangis karena tak sanggup menahan rasa sakit itu.

“Ku rasa hyung masih beruntung. Ibu masih ada disampingmu, selalu menyayangimu dan perduli padamu, hyung. Selama ini aku tak pernah merasakan bagaimana kasih sayang seorang Ibu dan kehangatannya. Hanya Ayah yang peduli padaku. Tapi aku rasa itu belum cukup.” Woo Hyun mencurahkan perasaannya kepada Myung Soo.

Myung Soo hanya terdiam saat mendengar pernyataan Woo Hyun.

Woo Hyun memasang seulas senyuman kecil untuk menutupi dukanya, “Hyung tau kan bagaimana Ayah itu? Dia satu-satunya yang perduli padaku, tetapi karena kesibukannya aku tak merasakan apapun. Ku rasa dirimu masih beruntung.”

Myung Soo menghela nafasnya perlahan. “Ayah tak pernah bangga ataupun puas dengan apa yang selaman ini ku kerjakan. Aku dari dulu berusaha sebisa mungkin untuk mendapatkan nilai terbaik disekolah, untuk membuatnya terkesan padaku sekali saja. Tapi, selalu saja, tanggapan Ayah hanya mengatakan bahwa semua itu masih kurang,” Ia tersenyum kecil, “Sedangkan kau? Tidak sepenuhnya mendapatkan nilai baik selalu dipuji oleh Ayah.”

Woohyun terdiam, ia tak pernah tau bahwa kakaknya juga punya sebuah perasaan yang tak mengenakkan, seperti yang ia punya.

Myung Soo menoleh ke arah, “Woo Hyun, Kau tau? Semua yang kulakukan itu sia-sia! Aku merasa depresi pada awalnya. Hanya karena Ibu yang selalu memberikan senyumannya padaku, aku berubah pikiran. Aku akan melakukan yang terbaik demi Ibu. Bukan untuk Ayah lagi! Karena itu aku meminta untuk melanjutkan pendidikan SMA di Luar Negeri, itu semua agar aku terbebas dari Ayah dan semua Respon buruknya.”

Woo Hyun terdiam. Perasaan sakit itu masih ada. Malah tambah menjadi. Woo Hyun merasa pedih yang dalam karena kesedihan yang Kakaknya rasakan selama ini. Tetapi ia juga tak bisa sanggup dengan kesedihan yang ia rasakan. Woo Hyun Menatap wajah Myung Soo yang memancarkan kesedihan, kekecewaan dan kesakitan yang sama seperti yang ia rasakan. Woo Hyun kembali menatap Birunya air Pantai, ia ingin membuang semua kesakitan yang ada pada dirinya ke Laut. Dan memang saat ia menatap indahnya laut semua pedih dan perihnya hilang, seakan semuanya hilang tenggelam ke dasar Laut.

“Hyung?” Panggil Woo Hyun lirih. “Apa kau tau? Aku selalu iri padamu.” Kata Woo Hyun.

Myung Soo menoleh kearah adik laki-lakinya. Wajahnya tetap saja datar, walaupun sebenarnya ia merasa kaget dan juga sedih.

“Aku selalu iri padamu yang selalu mendapatkan nilai sempurna. Kau juga tampan, banyak sekali gadis menyukaimu,” Woo Hyun tersenyum. “Aku selalu bertanya mengapa aku tak mendapatkan semua itu? Aku semakin dewasa dan semakin mengerti posisiku yang semakin kalah dibandingkan dirimu.”

Myung Soo tak bisa berkata apa-apa untuk menyahut cerita sedih Woo Hyun. Ia hanya bisa diam dan menatap luruh kearah laut yang berombak.

“Dulu, saat aku masih berumur 7 Tahun aku pernah menangis karena perbedaanku denganmu dan saat itu Ayah memergokiku menangis. Ia menghampiriku dan kucurahkan semua iri dan cemburuku padanya. Saat itu Ayah berjanji, dia akan selalu menyemangatiku walaupun aku memang tak pernah sesempurna dirimu. Aku merasa bersalah sekarang, Ayah melakukan itu padamu karena aku…”

“Aku tau itu bukan demi dirimu!” Sahut Myung Soo memotong cerita Woo Hyun. “Dia memang menyayangimu. Sejak kau baru didalam kandungan, Ayah begitu bahagia dan aku di abaikan. Sebelum itu juga, Ayah memang sudah selalu mengabaikanku, ku pikir itu karena kesibukannya. Semenjak kau ada,  aku tambah tak dipedulikannya! Hanya kau yang diperdulikan oleh Ayah.” Myung Soo tertunduk, “Itu membuatku sadar.”

Suasana hening seketika, yang terdengar hanya suara desir ombak.

“Tetap saja kau beruntung, hyung.” Kata Woo Hyun lirih. “Jika Ayah sudah tiada, siapa yang memperdulikanku?” Woo Hyun terdiam sejenak, ditatapnya Myung Soo, “Ibu sama sekali tak menganggapku.”

Myung Soo terdiam sejenak ia menatap wajah Woo Hyun yang terlihat sedang menahan kesedihan, yang sama seperti yang ia rasakan.

“Dan entah mengapa, akhir-akhir ini aku selalu merasa ketakutan.” Kata Woo Hyun, ia terlihat menahan tangis. “Aku selalu terpikir akan hal itu, padahal aku tak mau memikirkannya. Aku selalu ketakutan sangat takut, seakan hal itu benar-benar terjadi.”

Suasana kembali menjadi Hening. Hanya suara ombak yang terdengar. Seketika tiupan Angin mejadi dingin sampai menusuk tulang. Biasanya Tiupan Angin pantai pada sore hari begitu sejuk, mengapa berbeda?

Tiba-tiba terdengar suara Ringtone Ponsel Woohyun berbunyi. Nomor tak dikenal.

Woo Hyun mengambil Ponselnya dan memencet tombol jawab. “Halo?”

Tak ada sahutan dari penelpon. Tak berapa lama, Tut Tut Tut. Panggilan berakhir.

Myung Soo menatap datar kearah Woo Hyun, sebenarnya ia merasa heran. “Siapa?”

Woo Hyun yang juga tak mengenal siapa yang barusan menelpon langsung mengangkat bahunya, “Tidak tahu.” Ia masih menatap Layar Ponsel karena sudah sangat penasaran dengan nomor tersebut. “Sebelum naik kesini, nomor ini sudah menelponku beberapakali.”

Wajah datar Myung Soo, matanya agak disipitkan dan ia menarik sebelah bibirnya sehingga terbentuklah senyuman khasnya, “Mungkin itu seorang teman perempuan disekolahmu yang menyukaimu, jadi dia iseng-iseng Misscall. Zaman sekarang para Perempuan suka begitu.” Katanya sembari tertawa geli sambil menatap Woo Hyun dengan tatapan menggoda. Ia berusaha menghibur Woo Hyun. Mendengarkan penderitaan batin adiknya itu, ia merasa iba dan juga merasa sangat bersalah.

Tiba-tiba saja Woo Hyun tersentak, “Ini bukan teman sekolahku!” Masih ditatapnya baik-baik sebuah nomor ponsel dilayar ponselnya. Ia menyodorkan layar ponselnya kehadapan Myung Soo. Myung Soo pun menghentikan tawa gelinya dan melihat ke layar ponsel Woo Hyun. “Lihat nomor Ponselnya! Kode nomor Negara Korea.” Kata Woo Hyun.

Myung Soo masih memperhatikan baik-baik nomor itu, dan ia terkejut karena angka yang berada di depan deretan nomor ponsel itu adalah kode untuk Negara Korea Selatan. Tak berapa lama wajah datar Myung Soo kembali dan menatap Woo Hyun, “Mungkin temanmu di Korea.” Ia menegakkan tubuhnya, “Atau itu Ayah! Ia menggati nomor Ponselnya.”

Woo Hyun menatap layar ponselnya lalu menatap kakaknya, “Kalau teman, masih ada kemungkinan. Tapi teman-temanku selalu berhubungan denganku melalui Social Media atau E-Mail.” Ia kembali berpikir sejenak. “Dan juga, kalau ini nomor Ayah. Tak mungkin Ayah hanya miscall, kau tau sendiri, hyung, Ayah tak mungkin sekonyol itu!”

Suara Ringtone ponsel terdengar lagi mengejutkan mereka berdua yang sedang penasaran. Tapi, sekarang suara ponsel itu bukan dari ponsel Woo Hyun melainkan dari ponsel Myung Soo yang berada didalam kantong celananya. Myung Soo segera mengambil ponselnya dan melihat layar, dari Ibu!

Ditempelkannya ponsel ke telinga kirinya. “Iya Ada apa, bu?”

Woo Hyun heran sekaligus terkejut dengan perubahan ekspresi wajah Myung Soo yang perlahan berubah kaget. Tiba-tiba saja perasaannya tidak Enak, darahnya seakan berhenti bergerak. Ia merasa sesak seketika, dan serasa sudah tak bernyawa.

Ada apa denganku? Mengapa perasaanku tiba-tiba tak enak?”

Setelah perbincangan putus, Myung Soo menatap Woo Hyun dengan wajah yang mengerikan. Tubuhnya terlihat memucat, badannya bergetar.

“A-Ada apa? Hyung! Kenapa? Apa yang dikatakan Ibu?” Tanya Woo Hyun mulai panik. “Katakan, Hyung!”

Lidah Myung Soo serasa kelu, tak berani ia menjawab pertanyaan Woo Hyun.

“Hyung! Cepat katakan padaku!” Seru Woo Hyun.

“A….” Myung Soo berusaha menjawab. “A-A-Ayah…”

Sesuatu telah memukul kepala Woo Hyun sehingga ia merasa kepalanya begitu sakit.

Apakah perasaan tak enakku karena Ayah?! Tapi mengapa aku merasa begitu takut?”

“Ayah masuk Rumah sakit, Woo Hyun!” Akhirnya Myung Soo sanggup mengucapkan kalimat tersebut.

Seperti yang Myung Soo sangka, wajah Woo Hyun tiba-tiba memucat terlihat semakin lemah dan tak bernyawa. Mata Woo Hyun sudah mulai berkaca-kaca, ia membatu. Dan Myung Soo juga tak tahu mau berbuat apa sekarang, sesuatu mengahantam dadanya.

Ayah!!”

****

 

Terkadang kesusahan seseorang bisa menjadi keuntungan. Buktinya saja Wartawan. Baru saja Mendengar berita Presdir Kim Roboh karena mendadak serangan jantung dan dilarikan ke  Rumah Sakit, mereka sudah ramai berada di depan pintu Rumah Sakit untuk meliput dan mencari info disana.

“Saya sudah berada di depan Rumah Sakit JungJunJu, dimana Presdir Kim Hyun Sol, pemilik Perusahaan terbesar di Korea Selatan, Infinitize, di rawat. Dikabarkan, bahwa Beliau terkena serangan jantung saat akan pulang dari Kantornya. Ia ditemukan oleh seorang pegawai yang kebetulan berada di sekitar ruangannya.” Kata seorang Reporter wanita dihadapan sebuah Kamera.

Di dekat situ, juga ada beberapa Reporter lainnya yang sedang meliput berita tentang Presdir Kim.

“Pegawai yang tak ingin memberikatahukan Namanya itu mengatakan ingin memberikan data ke Presdir Kim Hyun Sol, dan saat ia berada di depan pintu ia mendengar suara teriakan Presdir Kim. Apakah benar ini adalah murni sakit dari tubuh atau ada orang lain?”

“Dalam kesaksiannya, tak ada orang lainnya yang mengakibatkan serangan jantung Presdir Kim. Dari konfirmasi yang baru diresmikan oleh pihak rumah sakit, ini memang murni serangan jantung karena kecapekan.”

Di sebuah rumah yang sangat jauh dari Rumah sakit JungJunJu. Ringtone Ponsel lelaki yang bernama Lee Ho Won berbunyi. Ho Won yang masih ngantuk itu pun perlahan mulai bergerak mengeluarkan tangannya dari selimut dan meraba lantai mencari ponselnya. Setelah mendapatkannya, langsung ditempelkannya ke telinga. Ia Mengucek-ngucek matanya seraya menguap lebar. “hoaamm?”

Entah apa yang dibicarakan di ujung percakapan, itu membuat Ho Won langsung bangkit dengan cepat. Ngantuknya lenyap seketika. “Apa?”

Dengan cepat Howon berdiri, ponselnya dibiarkannya saja di tempat tidur. Ia dengan cepat berlari keluar kamar lalu pergi ke kamar mandi, mengambil air dengan gayung dan menyiram wajahnya. Ho Won segera keluar dari kamar mandi dengan cepat dan kembali ke kamarnya, mendekati lemari pakaiannya. Ia mengambil salah satu pakaiannya dan mengelapkan wajahnya yang basah dengan kaos berwarna Biru tua itu.

Dengan hitungan jari ia membuka kaos putih polosnya lalu menggantinya dengan Kaos Biru tuanya yang ia ambil tadi. Ia sangat terburu-buru, dalam sekejab Ho Won sudah mengenakan jaket. Ia mengambil kamera kesayangannya lalu segera pergi ke depan rumah, mengambil sepatu dan memakainya. Begitu sibuk kehidupan wartawan.

Suara gerabakan yang timbulkan oleh Ho Won rupanya membangunkan seseorang. Orang itu pun segera keluar kamar dan mengambil sebuah sapu yang bertengger didepan kamarnya, ia pikir ada Maling dirumahnya. Dengan perlahan ia berjalan menuju pintu depan.

“Yah, Hyung! Rupanya kau. Malam-malam begini.” Kata Dong Woo, adik sepupunya Ho Won. “Ada berita?” Ia menguap lebar.

“Ya biasalah!” Jawab Ho Won.

“Pasti berita heboh ya?”

“Ya apalagi yang membuatku terbangung Tengah malam seperti ini.” Ho Won membuka pintu.

“Ya, aku tahu! Siapa lagi sekarang yang membut berita hebohnya?”

“Kau tau Presdir Kim Hyun Sol?”

Dong Woo berpikir sejenak, ia memikirkan sebuah nama yang sama sekali belum pernah ia dengar. Dong Woo menggeleng lugu dengan wajah ngantuknya.

“Presdir sekaligus pemilik perusahaan Infinitize. Tahu?”

Dong Woo mengangguk. Padahal ia sama sekali tak tahu menahu. Hanya menganggukkan kepala saja, agar kakaknya tak sebal padanya.

“Sejam yang lalu, ia masuk Rumah sakit. Aku harus segera pergi ke Rumah Sakit itu.”

“Dengan apa kau kesana? Motormu kan dipinjam paman sebelah.”

“Apa susahnya, mencari bus malam. Sudah ya. Aku harus cepat!” Katanya lalu ngeloyor keluar dari rumah dan menutup Pintu dari luar.

“Carikan aku kue ya!” Teriak Dong Woo.

“Iya!!” Sahut Ho Won dari luar.

“Dasar Wartawan! Dia itu bodoh atau gila?” Desisnya pelan. Dong Woo menggeleng seraya mendecak. Ia berjalan kembali ke kamarnya dan kembali melanjutkan tidurnya yang terganggu oleh Ho Won.

****

 

Keesokkan harinya.

 

Myung Soo dan Woo Hyun baru saja sampai di Bandara Incheon, dan mereka segera meluncur ke Seoul. Setelah mereka sampai sudah ada supir  yang menunggu untuk menjemput mereka. Dalam perjalanan Woo Hyun begitu cemas, sedangkan Myung Soo begitu tenang dengan wajah datarnya. Sangat terlihat kecemasan menghantui Woo Hyun, wajahnya sudah terlihat seperti sudah mati, kulitnya pucat pasi.

Myung Soo sangat tak tega melihat kondisi adiknya yang semakin lama semakin memburuk. Kekhawatirannya terhadap Ayahnya lenyap sekarang, ia lebih mencemaskan Woo Hyun. Dengan wajah datarnya ia menatap Woo Hyun, “Sudahlah Woo Hyun, semua akan baik-baik saja.” Ia berusaha menenangkan Woo Hyun.

Woo Hyun tak menyahut, dan Myung Soo bingung mau berkata apalagi kepada Woo Hyun. Ia rasa semua kata-katanya hanya akan sia-sia sekarang.

“Entah mengapa aku semakin takut.” Kata Woo Hyun akhirnya, tenaganya seperti hilang, suaranya terdengar sangat lirih. Membuat siapa saja ingin menangis karena iba saat mendengarkan suara Woo Hyun. “Semua bayanganku mendekatiku dan semakin membuatku takut. A-A-Aku…” Air matanya mengalir keluar dari kedua matanya.

Myung Soo sebenarnya ingin menangis saat menyaksikan adik laki-lakinya menangis. Ia berdoa agar Woo Hyun ditabahkan, tetapi percuma saja, Woo Hyun masih terlihat belum tabah dengan semua yang saat ini terjadi. “Itu semua hanya bayangan semata.” Kata Myung Soo. “Jangan terus dipikirkan.”

Waktu semakin berlalu, akhirnya mereka sampai di depan Rumah Sakit dimana Presdir Kim dirawat. Di depan pintu Rumah sakit penuh dengan Wartawan. Melihat mobil yang dinaiki oleh Myung Soo dan Woo Hyun, para Wartawan itu langsung mendekati. Petugas pengamanan mendekati mobil Hitam itu. Myung Soo dan Woo Hyun keluar dari mobil dengan kawalan penjaga.

Seorang Wartawan Mendekatkan sebuah alat perekam ke depan wajah Woo Hyun, “Bagaimana perasaan kalian mendengar Presdir masuk Rumah Sakit?”

Dan semua Wartawan memasang segala macam perekam kedepan wajah Kim Myung Soo maupun Woo Hyun, dan menyerbu mereka dengan beribu-ribu pertanyaan dan semakin menjatuhkan perasaan Woo Hyun.

Myung Soo juga Woo Hyun sama sekali tak ada yang mengeluarkan sepatah kata apapun untuk menjawab bermacam pertanyaan yang dilontarkan para Wartawan. Akhirnya mereka masuk ke lobi Rumah sakit, dengan cepat mereka mencari ruangan Ayah mereka yang berada di ruangan VVIP. Setelah menemukannya mereka segera masuk ke Ruangan tersebut. Saat membuka pintu, sudah terlihat tubuh Presdir Kim terbaring lemas dengan mata yang tertutup. Nyonya Kim melihat kedatangan mereka, wajahnya terlihat sangat lelah dan matanya sembab. Myung Soo tau Ibunya pasti habis menangis seharian, Ia mendekati Ibunya yang berada di kanan Presdir Kim.

Saat melihat tubuh Ayahnya yang terbaring di atas tempat tidur, nyawa Woo Hyun serasa tercabut, kakinya lemas seakan lumpuh. Woo Hyun berjalan lunglai mendekati sebelah Kiri Presdir Kim.

Melihat Myung Soo datang mendekati dirinya, Nyonya Kim langsung memeluk Myung Soo dan menangis sejadi-jadinya. “Akhirnya Kalian datang.” Ia terisak. Hati Myung Soo perih dan semakin perih.

Myung Soo memeluk erat Ibunya yang menangis, “Tenang, bu. Semua akan baik-baik saja.” Ia hanya bisa mengulang perkataan itu, tak ada kata-kata lain yang ia rasa tepat untuk diucapkan sekarang.

Woo Hyun hanya menatap Tubuh Ayahnya lalu memegangi tangannya yang dingin.

Malamnya, Presdir Kim belum juga membuka matanya. Seorang Dokter sedang memeriksa tubuh Presdir Kim. Ia mengambil sebuah kertas yang disodorkan oleh perawat, dan ia membacanya. Ia menggeleng, wajahnya terlihat bingung. “Kondisinya semakin memburuk.” Sebuah kata yang menyakitkan tetapi itulah kebenarannya. “Jantungnya melemah. Saraf otaknya juga sudah banyak yang tak berfungsi dengan baik. Dia juga belum siuman sampai sekarang.”

Mendengar perkataan itu Nyonya Kim sangat sangat dan sangat terpukul. “Apakah ada kemungkinan untuk kembali sehat?”

Dokter itu menggeleng, “Sebenarnya ada, tapi kemungkinannya itu sangat kecil. Sekitar 5% saja. Jika selamat, itu adalah sebuah mukjizat.”

Nyonya Kim menunduk, dan mulai kembali menangis. Ia sudah tak bisa merasakan seluruh tubuhnya.

Woo Hyun juga seperti itu, ia berusaha kuat untuk menangis membuat tenggorokannya sakit. “Apa yang bisa kami lakukan untuk Presdir?” Tanya Woo Hyun dengan suara yang serak.

Dokter menggeleng lagi, “Sudah tidak ada. Mungkin Tuan Kim bisa dipindahkan ke Rumah Sakit luar negeri, tapi bisa dipastikan hasilnya sama. Sarafnya semakin lama semakin banyak yang mati. Saya minta maaf, Kalian hanya bisa berdoa dan menunggu.”

Woo Hyun meremas tangannya berusaha untuk menahan Air matanya yang memaksa untuk keluar. Tak sudah tak bisa mengeluarkan sepatah katapun, ia hanya bisa menatap tubuh Ayahnya yang terbaring kaku seperti orang mati di atas tempat tidurnya.

Myung Soo duduk di sofa yang berada disebelah jendela, ia menatap gelapnya langit malam saat itu. Ia sedih, dan ingin menangis, entah mengapa ia tak bisa. Ia merasa begitu sakit karena kesedihan Ibu dan Woo Hyun yang begitu besar, mereka terlihat kurang sehat, justru itu yang ia sedihkan, justru itu yang khawatirkan sekarang.

“Kalau begitu saya permisi dulu, Nyonya, Tuan.” Dokter itu pergi keluar kamar disusul oleh seorang perawat wanita yang sebelum keluar ia tersenyum manis dan membungkuk dihadapan Nyonya Kim.

Waktu semakin berlalu, kamar rawat Presdir Kim begitu sepi dan hening. Hanya ada sesekali percakapan jika ada teman sesama pengusaha datang membesuk. Myung Soo dan Woo Hyun juga tak saling bicara.

Tiba-tiba suasana berubah karena Alat deteksi detak jantung menunjukkan sesuatu yang mengejutkan. Garis-garis yang tergambar turun dan naik. Badan Presdir juga bergerak seperti kejang, dadanya kembang kempis dengan cepat, tapi matanya sama sekali tak terbuka, dan tak ada tanda-tanda ia siuman.

Woo Hyun berdiri dari duduknya. Ia begitu terkejut dengan kondisi Ayahnya yang tiba-tiba kejang. “A- A-Ayah?”

Nyonya Kim kembali menangis lalu ia berjalan perlahan mendekati Presdir.

Melihat kondisi kedua orang itu Myung Soo berlari mendekati alat pemanggil dan memencetnya. “Ke kamar VVIP 03! SEGERA!!”

Woo Hyun memegangi Tangan Presdir, sembari menangis. “Ayah! Ayah! Sadarlah Ayah!”

Dua orang pengawal masuk ke dalam kamar.

“Ada apa Dengan Presdir?” Tanya salah satunya.

“Tak ada apa-apa. Dokter akan segera datang.” Jawab Myung Soo. Myung Soo Menatap tubuh Ayahnya yang seperti Orang Sesak nafas.

Tangan kanan Presdir yang dipegangi Woo Hyun bergerak. Nafasnya kembali mulai teratur. Matanya terbuka secara perlahan. Ia menoleh kearah Woo Hyun dan tersenyum lemah.

Melihat kondisi Ayahnya yang sudah siuman, Woo Hyun merasa lega. Ia tersenyum lebar, “A-Ayah? Ayah sudah siuman!”

Myung Soo Berlari menghampiri Ayahnya, wajahnya juga terlihat sedikit lega.

Nyonya Kim tersenyum lega melihat Suaminya yang sudah Siuman dan sudah bisa tersenyum. “Syukurlah! Butuh Minum?”

Presdir Kim Hyunsol Menoleh kearah Nyonya Kim yang menawarinya Minum secara perlahan. Tuan Kim menggeleng lemah.

Nyonya Kim tersnyum manis, “Baiklah, sayang.”

Myung Soo diam dan hanya menatap wajah Ayahnya yang pucat dan begitu lemas. Wajahnya tetap datar dan tak ada perubahan sedikitpun. Tetapi tadi mimiknya terlihat ia mengkhawatirkan Ayahnya yang terbaring lemas, dan sekarang ia sudah lega.

Woo Hyun masih tersenyum lebar kearah Ayahnya, “Aku senang Ayah sudah Siuman.” Woo Hyun berusaha tersenyum tegar sambil menyeka air matanya yang sempat jatuh.

Presdir Kim menoleh kearah Woohyun. Dadanya kembali kembang kempis.

Nyonya Kim terkejut, “Sayang! Kenapa? Kemana Dokternya?” Ia menoleh kearah Penjaganya yang juga terlihat panik seperti dirinya. “Panggilkan segera Dokternya!”

Woo Hyun kembali shock dan sekarang tambah shock, ia kembali menagis. “Ayah? Ayah kenapa? Ayah?”

Presdir Kim Tersenyum pada Woo Hyun. Tangannya memegangi Tangan Woo Hyun, tangannya dingin dan seperti sudah tak bernyawa. Perlahan Ia kembali normal. “Woo… Woo… Woohyun…”

“Ya Ayah? Katakan saja apa yang ingin kau katakan, Ayah…” Airmatanya berjatuhan deras.

“Woo-Hy-hyun, a-aku bu-buk-a-an A-Ay………………..” Senyumannya menghilang perlahan. Genggangman tangan Tuan Kim mengendur mengiringi tertutupnya mata.

Serasa ada benda yang sangat berat yang menimpa hati Woo Hyun, Ia sudah tak bisa menahan Tangisnya, “Ayah!! Ayah!! Sadarlah Ayah!! Ayaaaaah!!”.

Tangan Tuan Kim terasa semakin dingin, tak ada pergerakkan pernafasan dari tubuh Presdir yang mulai memucat. Tangisan mulai terdengar dari Nyonya Kim menemani tertutupnya mata Tuan Kim. Myung Soo hanya bisa melihat kesedihan yang tumpah dari Ibu dan Adiknya, tanpa bisa merasakannya. Myung Soo menunduk, ada sebuah perasaan sedih di lubuk hatinya tapi tak bisa menangis. Ia juga merasa sangat terpukul dan sakit di bagian hatinya, karena itu ia memegangi dadanya.

“Selamat Tinggal Ayah”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
evilod
Hello, aku punya cerita Dramafiction dengan cast semua member INFINITE.. Bahasa Indonesia sub here---> https://www.asianfanfics.com/story/view/703013/

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet