5/8

[Dramafiction] Z A T E M N A Episode 01

4 Hari sudah berlalu, Keluarga Kim yang baru saja kehilangan sosok Presdir Kim sudah mulai bisa lapang dada menerima kenyataan. Nyonya Kim sudah bisa tersenyum, begitu juga Woo Hyun. Kim Myung Soo masih seperti biasa, tak ada yang berubah secara spesifik di dirinya sejak Ayahnya meninggal, hanya lebih pendiam dari biasanya, tatapannya juga sudah mulai berubah. Semakin dingin dan semakin datar.

Myung Soo dan Woo Hyun harus kembali ke Manchester, Inggris. Woo Hyun harus melanjutkan kuliahnya dan Myung Soo tetap dengan alasan awalnya, ia masih ingin tinggal disana. Tapi ia mengatakan hal lain saat Ibunya bertanya mengapa ia ingin kembali ke Inggris.

“Myungsoo? Apakah benar kau tak mau tinggal lebih lama di Korea?” Tanya Sang Ibu.

“Kan Aku sudah bilang kalau aku masih ingin menyelesaikan Karya sastra ku, Ibu. Ceritaku berlatarkan Inggris, jadi aku ingin mencari Inspirasi disana. Jika sudah selesai aku akan segera kembali.”

Woo Hyun menatap Myung Soo dengan bingung, ia heran kapan Myung Soo menulis karya sastra? Dan kapan ia berkata seperti itu ke Ibu? Ia meneliti raut wajah Myung Soo dan ia tau bahwa yang kakaknya katakan kepada Nyonya Kim hanya bohong. Woo Hyun tau bahwa Myung Soo tidak terlalu suka dengan suasana di Korea karena Mendiang Tuan Kim, walaupun beliau sudah meninggal tetap saja Myung Soo masih belum bisa senang dengan suasana di Korea. Ia tau betul sifat kakaknya itu.

Mereka sudah bersiap dengan barang bawaan mereka. Woo Hyun dan Myung Soo masuk kedalam mobil setelah mengucapkan salam perpisahan kepada Ibu mereka berdua. Mobil melesat keluar dari perkarangan rumah Keluarga Kim yang luas dan besar. Dalam perjalanan dari rumah menuju bandara tak ada percakapan antara Myung Soo dan Woo Hyun. Hanya Woo Hyun masih berkomunikasi kepada supir yang mengantar mereka, sedangkan Myung Soo tidak mengeluarkan sepatah kata sama sekali. Terakhir berbicara saat mengucapkan salam perpisahan kepada Ibunya dirumah tadi.

Ibunya tak dapat mengantar mereka ke Bandara karena merasa kurang sehat untuk keluar Rumah. Rencananya mereka ingin lama di Korea, tapi Ibu mereka menyuruh mereka kembali mengurus urusan mereka di Inggris. Karena Myung Soo beralasan ia sedang membuat karya sastra kemarin saat Ibunya memaksanya untuk tetap tinggal dengan hati terpaksa  Nyonya Kim mengizinkannya.

Setelah sampai dibandara mereka segera pergi ke ruang tunggu. Tak berapa lama masuk ke Ruang tunggu, Panggilan Boarding mengatakan bahwa pesawat yang akan Mereka tumpangi akan membuka Gate keberangkatan. Mereka berjalan dengan manarik sebuah koper memasuki lorong yang menghubungkan dengan pintu pesawat. Mereka berada di bagian VIP, saat itu hanya ada mereka berdua yang ada disana. Tak berapa lama, pesawatpun terbang meninggalkan Korea.

Myung Soo menatap keluar jendela memperhatikan birunya laut, yang berubah menjadi putihnya awan. Entah mengapa tiba-tiba ia teringat Lee Sung Jong, lelaki berwajah polos, lugu dan juga terlihat layaknya seorang perempuan itu. Ia merasa yakin itu bukanlah wajah aslinya, itu hanya topeng untuk menyembunyikan wajah aslinya yang begitu misterius.

Mengapa wajahnya terpikir olehku? Apakah dia ada hubungannya dengan semua ini?”

Myung Soo mengepalkan tangannya kuat-kuat, rasanya ingin memukul siapa saja yang ada atau benda apapun yang berada dipengelihatannya untuk melampiaskan semua emosinya. Dia begitu marah. Dia begitu jengkel dengan semuanya.

Woo Hyun yang duduk dibangku yang berbeda dengan Myung Soo melihat perubahan wajah kakaknya. Ia begitu ngeri melihat Myung Soo yang terlihat begitu marah, tangannya mengepal kuat.

Kakak? Apa yang kau pikirkan? Kenapa kau sekarang sedikit berbeda dari Myung Soo yang selama ini kukenal?”

“Pemilik Rahasia! Suatu saat kau akan memberikan Rahasia yang kau simpan itu kepadaku!”

****

 

Keesokan harinya.

Kim Myung Soo keluar dari kamarnya dan menuruni tangga menuju lantai satu. Di lantai satu hanya ada sebuah ruangan begitu luas dengan sofa, tv, dan dapur beserta meja makan. Ia merasa begitu bosan, tak ada yang bisa ia lakukan. Akhir-akhir ini Myung Soo merasa isi kepalanya sudah penuh, dia cepat bosan dan sering kali diam tak bersuara seharian. Ia berjalan ke pintu rumahnya dan keluar, ia berjalan menelusuri jalan setapak. Dengan menggunakan sweater berwarna Biru, ia berjalan-jalan dihalaman rumahnya. Ia terus berjalan mengelilingi taman depan rumahnya beberapa kali, sehingga rasa bosan dalam hatinya kembali mengebu-ngebu ingin keluar lagi. Otak Myung Soo langsung memberikan solusi, yaitu jalan-jalan dipantai.

Sejak kematian Ayahnya ia sudah banyak pikiran, entah apa yang membuatnya selalu terjaga setiap malam, termenung sepanjang hari dan melamun disaat memakan, membaca ataupun hanya duduk di sofa. Angin pantai nan dingin dan juga sejuk sudah mulai terasa saat Myung Soo baru keluar dari gerbang rumahnya. Aroma asin dari air laut juga sudah tercium, membuat hatinya mulai membaik.

Ia terpikir masa lalunya, dimana saat ia baru saja mendapatkan Adik laki-laki.

 

“Adikku lucu ya!”

Myung Soo yang masih berumur sekitar 4 tahun tertawa bahagia melihat bayi mungil terbugkus selimut kecil di atas tempat tidur kecil. Bayi itu masih tertidur kulitnya masih merah, matanya juga masih tertutup rapat. Dielusnya pipi halus Adik laki-lakinya itu.

Myung Soo kecil menatap Ibunya dengan tatapan lugunya. “Namanya siapa, Bu?”

 

“Kim Woo Hyun” Ia masih teringat suara Ibunya saat menyebutkan nama Woo Hyun. Myung Soo juga masih teringat senyuman Ibunya melihat begitu bahagianya dirinya mendapatkan seorang adik.

Saat itu pada Malam hari, Ayahnya, Tuan Kim, baru saja pulang dari kerjanya. Ia menggendong bayi Woo Hyun. Begitu bahagianya ia saat menatap bayi mungil didepannya. Myung Soo kecil menatap wajah bahagia Ayahnya saat melihat Woo Hyun, adik laki-lakinya. Myung Soo kecil tersenyum bahagia, karena Ayahnya tersenyum, ia sudah lama tak melihat senyuman dari wajah tegas Ayahnya. Myung Soo melangkah mendekati Ayahnya.

“ Ayah! Aku juga mau menggendong Woohyun.” Pintanya polos.

“Kau masih kecil, Myung Soo. Nanti bisa Woo Hyun jatuh.”

Wajah Myung Soo tak terlihat kecewa mendengar kata-kata dari Ayahnya.

“Kalau begitu, Ayah duduk agar aku dapat menyentuh Woo Hyun.”

“Kulit Woo Hyun masih sensitif, tidak bisa disentuh sembarangan.”

“Aku sudah mencuci tanganku. Tadi Ibu memperbolehkan aku menyentuh Woo Hyun.”

“Ibumu salah. Lain kali jangan dilakukan lagi!” Kata Ayahnya dengan tegas dan keras.

Myung Soo ngeri dengan intonasi Ayahnya berbicara. Ayahnya melarangnya untuk menyentuh Woo Hyun, Adiknya sendiri, apalagi Ayahnya sama sekali tak menatapnya selama menyahuti permintaan Myung Soo.

 

Myung Soo berjalan dengan kedua tangan masuk kedalam saku celana. Ia berjalan menunduk, ia masih mengenang masa lalu yang begitu pilu.

Ia teringat masa-masanya saat ia masih duduk di bangku SMP. Myung Soo sekolah di sekolahan yang elit, penuh dengan anak Kaya dan juga Anak pintar. Disekolahnya, terbagi dua golongan kelas, Kelas bintang, yang isinya anak-anak orang kaya dan kelas biasa yang isinya anak-anak dengan ekonomi menengah dan kurang mampu tapi berprestasi. Dikelas Bintang sangat gampang naik kelas walaupun murid-muridnya selalu mendapatkan nilai jelek sekalipun, sedangkan di kelas biasa siswanya harus belajar keras untuk bisa naik kelas.

Tapi sistem Rangking tetap menggabungkan semua kelas, biasa maupun kelas bintang. Biasanya nama-nama siswa kelas Bintang selalu berada terbelakang rengking, berada di tengah rengking itu sudah termasuk tinggi bagi anak kelas Bintang. Tapi sejak Myung Soo bersekolah disitu, namanya selalu berada di peringkat pertama.

Teringat saat pembagian nilai akhir semester, ia selalu memamerkan ke Ayah dan Ibunya. Ibunya selalu tersenyum bangga melihat nilai-nilai Myung Soo. Tetapi Ayahnya…

“Ayah! Lihat nilai-nilaiku!” Seru Myung Soo berlari mendekati Ayahnya.

Tuan Kim mengambil rapot Myung Soo dan melihat hasil-hasil yang tertera didalamnya. “Masih kurang bagus.” Katanya begitu saja.

Myung Soo terkejut mendengar respon dari Ayahnya, begitu dingin. “Aku sudah belajar keras untuk ini, Ayah.”

“Kalau begitu, kau masih kurang keras belajar.” Tuan Kim tak menatap Myung Soo sama sekali. Matanya masih dan selalu terfokus kepada Komputer kerjanya.

“tapi…”

“Dengarkan aku, Kim Myung Soo. Aku adalah salah satu pemberi dana disekolahmu. Dan nilai-nilaimu itu adalah tanda terima kasih mereka, para guru-gurumu, untukku. Jadi jangan bangga dengan nilaimu, itu hanya rekayasa Guru. Dan sangat jelas mengada-ngada, Aku takkan pernah percaya.”

Myung Soo hanya bisa diam mendengar respon dingin Ayahnya.

Tuan Kim akhirnya menoleh dan menatap Myung Soo. “Dunia memang seperti itu, Kim Myung Soo. Biasakanlah dirimu, menghadapi keegoisan manusia.”

“Tapi Ayah. Aku bersungguh-sungguh, itu nilai hasil belajarku sendiri!” Seru Myung Soo, ia ingin membuat Ayahnya percaya dengan nilainya.

“Kim Myung Soo! Keluarlah! Aku sedang sibuk dengan kerjaanku!” Seru Tuan Kim marah.

Myung Soo begitu sakit hati saat Ayahnya berkata demikian. Hatinya lebih sakit, pada hari itu juga, Woo Hyun memamerkan nilai-nilainya kepada Ayahnya. Tak begitu bagus dibandingkan nilainya, dan itu memang benar. Tapi Ayahnya memancarkan wajah bahagia dan bangga saat melihat deretan Nilai Woo Hyun yang nyatanya memang bagus tetapi lebih jelek dari nilai-nilai Myung Soo. Sejak itu ia begitu terpukul dan saat itu juga ia mulai membenci Ayahnya. Ayahnya tak pernah bangga padanya walaupun ia sudah berusaha keras berbuat apapun yang akan bisa membuat Ayahnya bangga padanya, Kim Myung Soo, Putranya! Sedangkan Woo Hyun dengan gampangnya mendapatkan pujian dari Ayahnya, padahal ia tidak pernah berbuat apa-apa, ia hanya melakukan apa saja yang ia mau, apa saja yang dapat menyenangkan dirinya sendiri.

 

“Mengapa Ayahnya tak pernah tersenyum bangga padaku dari dulu sampai ia Meninggal?” Terbesit pertanyaan itu, ia menatap ke Laut yang Biru, sambil terus memikirkan jawabannya atas pertanyaannya.

“Saat ia akan meninggalpun, Ia hanya tersenyum pada Woo Hyun! Apa salahku? Selama ini, Aku selalu berusaha untuk hal yang sia-sia!”

Myung Soo mengepalkan kuat tangannya. Matanya berkaca-kaca, tapi memancarkan kebencian yang begitu besar. Entah kebencian terhadap siapa? Ayahnya? Atau, Kim Woo Hyun? Sampai sekarang ia juga belum tau.

“kepada siapa aku harus marah? Siapa yang seharusnya yang aku benci? Siapa yang salah selama ini?”

Pertanyaan yang selalu Myung Soo tanyakan dalam hatinya, tetapi selalu tak pernah bisa ia jawab. Dan juga tak ada yang bisa menjawabnya.

“Siapa?”

****

 

Tok! Tok! Tok!

Seseorang mengetuk Pintu depan rumah. Seorang anak laki- laki berumur sekitar 10 tahun mendekati pintu dan membikakannya untuk orang yang baru saja mengetuk pintu rumahnya. Terlihat 2 laki-laki dengan pakaian serba hitam, mereka tinggi dan berkulit putih. Bocah itu tertegun saat melihat dua laki-laki besar dihadapannya, seperti peran detektif kesukaannya.

“ Apa benar ini rumah Tuan Lee Kwok Shik?”

“Iya, itu Kakekku.”

“Kami datang untuk menemuinya.”

“Kakek…”

“Kenapa? Dimana Kakekmu?”

“Siapa itu, Howon?”

 

Ho Won masih teringat Kejadian yang menimpanya 18 Tahun lalu. Ia sedang berjalan di halaman Kantor redaksi Koran dimana ia bekerja. Ia masih ingat betul wajah Kakeknya disaat terakhir ia melihatnya masih tersenyum padanya. Tetapi ia tak bisa ingat siapa kedua Laki-laki yang saat itu datang. Ia mengepal tangannya erat, Ia benci kedua orang itu. “Orang yang tak punya perasaan!”

“Aku tidak tau, Kakek. Mereka ingin bertemu Kakek.”

Lee Kwok Shik, seorang Pria berumur sekitar 70’a Berjalan mendekati bocah berumur 10 tahun itu, Lee Ho Won, cucunya. “Silahkan masuk.”

Ho Won melihat Kakeknya yang menyilakan kedua orang Misterius dengan setelan serba hitam itu masuk. Lee Kwok Shik membawanya masuk kedalam ruangannya. Sebelum masuk, Lee Kwok Shik tersenyum pada Ho Won. “Ho Won! Tolong, belikan makanan kecil. Nanti Tamu kita kelaparan.”

Ho Won mengangguk polos, “Baiklah, Kakek!”

Saat itu Ho Won sedang libur sekolah, sedangkan Dong Woo yang masih berumur 8 Tahun saat itu sedang sekolah. Karena itu Ho Won hanya berdua dengan Kakeknya. Dalam perjalanan Pulang, Ho Won bertemu Dong Woo yang baru saja pulang sekolah.

“Kakak! Kau darimana?”

“Kakek menyuruhku membeli makanan kecil.” Jawab Ho Won seraya memperlihatkan bungkusan yang dipegangnya.

“Oh. Kalau begitu kita jalan pulang bareng.”

Kedua anak laki-laki itu berjalan pulang bersama. Mereka terkejut saat melihat kondisi rumah mereka berantakkan. Ho Won teringat Kakek dan Kedua Laki-laki dengan setelan Serba Hitam itu.

“Kakek!” Teriak Ho Won sambil berlari memasuki ruangan Kakekknya, dan didalamnya juga berantakkan. Ho Won keluar dari rumah dan menoleh ke segala Arah dengan wajah cemas.

“Kakek!”

Di kanan kiri rumah mereka tak ada Tetangga, rumah para tetangga sedikit jauh dari rumah mereka sehingga tetangga mereka pasti tidak mengetahui tentang perihal Kakek dan Kedua Laki-laki tadi. Hati Ho Won begitu cemas, ia begitu takut. Dimana Kakek?

“Aaaaa!! Kakeeeeeeeeeeeeee!!!”

Teriakan Dong Woo mengejutkan Ho Won. Ia segera berlari ke Ruangan Kakekknya, dimana Dong Woo berada.

“Dong Woo! Ada ap….”

Belum ia sempat bertanya, ia sudah tau apa jawabannya. Kakek mereka, Lee Kwok Shik terbaring dengan penuh darah keluar dari pelipisnya. Darah berwarna merah membasahi wajahnya. Tak ada gerakan dada yang sedang bernafas, mata Lee Kwok Shik juga terbuka. Menandakan Kakek mereka sudah tak bernyawa lagi.

Jantung Ho Won seakan berhenti, darahnya seakan berhenti mengalir, badannya terasa panas, dadanya kembang kempis. Air matanya mengalir, Ia menangis mengikuti Dong Woo yang sedari tadi sudah menangis di samping Jasad Lee Kwok Shik.

“Ka.. Ka..kek!” Ia berlutut disamping tubuh tak bernyawa Kakeknya. “Kakek!!”

 

Ho Won tak sanggup menahan rasa yang berkecamuk di dalam hatinya. Dia begitu Sedih dan Marah. Dia selalu Marah jika mengingat kematian Kakeknya. Siapa Kedua Laki-laki itu? Selalu itu yang ia tanyakan. Ia menggertakkan giginya.

 

Ho Won sambil menangis dan memeluk badan Kakekknya yang mulai mendingin.

“Kakek! Aku berjanji akan mencari Kedua Laki-laki itu!” Serunya seraya menangis.

“Seperti yang aku janji kan, Kakek! Akan aku cari siapa yang harus bertanggungjawab atas semua ini. Akan ku perlakukan seperti yang Mereka lakukan kepadamu Kakek! Aku berjanji!”

 

“Ho Won! Jika kau berjanji kau harus menepatinya. Karena kau seorang Laki-laki.” Kata Lee Kwok Shik lalu tersenyum.

Ho Won memperhatikan senyuman Kakeknya saat mengatakan hal itu. Kata-kata yang selalu melekat di hatinya setelah Kakeknya Meninggal. Karena ia sudah berjanji akan Mencari siapa kedua laki-laki yang membunuh Kakeknya.

 

“Akan ku tepati! Karena aku seorang Laki-laki!”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
evilod
Hello, aku punya cerita Dramafiction dengan cast semua member INFINITE.. Bahasa Indonesia sub here---> https://www.asianfanfics.com/story/view/703013/

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet