3/8

[Dramafiction] Z A T E M N A Episode 01

Keesokan hari, di pagi hari, di tempat yang berbeda.

Sebuah mobil berwarna putih memasuki perkarangan sebuah rumah yang terlihat masih Tradisional, terbuat dari kayu dan tak besar juga tak kecil. Halaman perkarangan depan rumahnya begitu luas, dan dibelakang rumah itu tersusun tancapan gelondongan pohon tinggi berdiameter 15cm menjadi pagar besar yang menutupi halaman belakang. Memang didalam pagar gelondongan pohon yang tinggi itu terdapat halaman belakang. Disana terdapat tempat latihan tembak, terdapat sebuah gubuk kecil tempat penyimpanan senjata api dan peluru. Terlihat banyak papan sasaran berdiri tegak di sekitaran halaman yang luas itu, ada juga sebuah rumah beton kedap suara, tempat untuk latihan tembak menggunakan senjata-senjata besar.

Di halaman itu terlihat seorang gadis, dialah Jang Hyo Ra, ia sedang berdiri ditengah-tengah lingkaran yang disetiap garis terdapat papan sasaran berbentuk rusa dengan gambar X berwarna merah di kakinya, semuanya berjumlah 11 papan sasaran. Ia berdiri dengan tegap, gadis itu memakai celana jeans hitam panjang dan tubuhnya dibaluti baju kaos polos berwarna hitam. Hyo Ra memakai topi berwarna hitam, rambut panjangnya diikat ekor kuda. Dengan memegang senapan panjang yang biasa dipakai untuk berburu hewan dihutan, ia mulai mengeker target.

Dor! Sehabis menebak ia menarik peletuk senapan. Dan…

Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor! Dor!  Ia terlihat gagah layaknya seorang tentara di medan perang. Semua tembakan tepat mengenai tanda X merah dikaki papan sasaran berbentuk Rusa itu.

Semua sasaran sudah ditembak Hyo Ra. Ia segera kembali berdiri tegap lalu menarik nafas. Ia menarik bibir dan membuat sebuah senyuman lebar, senyuman bangga. “Semakin cepat!’

Sementara diluar.

Keluarlah seorang Pria berjas dari mobil putih itu dari kursi pengemudi disusul seorang Wanita dengan kacamata hitam besar bertengger dimatanya. Wanita itu mengenakan Blouse warna putih dipadukan Blazer warna Putih dengan Rok selutut berwarna putih, Heel hitam dengan tinggi 7cm menambah anggun penampilan wanita itu. Wajahnya terlihat cantik.

Paman Do Kwang keluar dari rumahnya, ia tersenyum lebar saat melihat kedua orang itu turun dari mobil. Segera ia mendekati kedua orang itu dengan tangan terbuka. “Selamat datang Kakak Ipar!” Dipeluk Pria berjas itu sebentar lalu ia melepaskan pelukannya. Di tatapnya Pria tinggi yang berdiri didepanya. “Apa kabarmu?”

Pria tinggi berjas itu adalah Tuan Jang, salah satu pemilik perusahaan terbesar di Korea Selatan. “Seperti biasa. Baik tapi sibuk. Hahaha…” Ia tertawa, wajahnya terlihat seperti Hyo Ra.

Paman Do Kwang ikut tertawa, “Ya. Ya. Aku mengerti! Aku mengerti! Seperti biasa.”

Bibi Ga Ni mendekati Wanita anggun itu. Sekilas wajah mereka terlihat mirip. “Lama tak jumpa, Eonni!”

Nyonya Jang memeluk Bibi Ga Ni erat, ia melepaskan semua kerinduannya kepada adik perempuannya.

 “Kesibukanmu luar biasa, ya?” Tanya Bibi Ga Ni dengan senyuman manis.

Setelah kerinduannya terbayar dengan pelukan erat, Nyonya Jang melepaskan pelukannya. Ia lalu membalas tersenyum manis kepada adiknya. “Iya. Maaf kan aku, karena hal itu aku jarang berkunjung.”

“Ya Tak apa.”

Mendengar suara senapan beruntun yang berasal dari halaman belakang, membuat mereka berempat terkejut.

Nyonya Jang membuka kacamatanya saat mendengar suara keras tersebut. Matanya cantik, sama seperti mata yang dimiliki Hyo Ra. “Astaga! Suara apa barusan?”

Paman Do Kwang tertawa geli, “Suara senapan. Apa lagi?”

Tuan Jang menatap Paman Do Kwang dengan tatapan penuh penasaran. “Apakah itu berasal dari gadis kecilku?”

“Siapa lagi yang selalu memegang senapan dirumah ini?!” Bibi Ga Ni menyusul tertawa.

Nyonya Jang juga ikut tertawa kecil, “Ya ampun! Apa dia selalu berlatih?” Tanya Nyonya Jang, ditatapnya Bibi Ga Ni.

“Selalu semangat berlatih, dan tiap hari ia berlatih.” Jawab Bibi Ga Ni.

Tuan Jang tertawa, “Gadis kecilku sudah banyak berubah selama ini.”

“Sebulan yang lalu sudah aku peringatkan untuk berhenti latihan. Tapi, tetap saja ia berlatih.” Cerita Paman Do Kwang.

“Dia memang gadis yang keras kepala!” Sahut Tuan Jang seraya tertawa kecil.

“Seperti Ayahnya!” Sahut Nyonya Jang.

“Padahal sudah dari setahun yang lalu untuk tidak latihan setiap hari. Tapi, setiap pagi, siang dan sore aku masih saja mendengar suara senapan. Malahan Akhir-akhir ini ia semakin rajin latihan.” Kata Paman Do Kwang.

“Semangat sekali ia berlatih, aku jadi khawatir.” Kata Nyonya Jang.

“Tenang saja, itu tidak akan membuatnya sakit kecuali jika ia sangat letih berlatih. Atau memaksakan diri berlatih malam-malam.” Kata Bibi Ga Ni menenangkan Kakaknya yang berwajah mirip dengannya. “Ah! Ayo silahkan masuk!”

Mereka berempat berjalan mendekati rumah sederhana serba kayu itu. Suasana rumah itu terlihat begitu klasik. Dinding berwarna cokelat kayu dengan hiasan dinding seperti lukisan pemandangan perdesaan, beberapa jenis senjata dan beberapa foto.

“Silahkan duduk.” Paman Do Kwang mempersilakan kedua tamunya untuk duduk. Ia menoleh kearah Istrinya, “Ga Ni tolong buatkan tamu kita minuman hangat.”

Bibi Ga Ni tersenyum manis, “Baiklah.”

Tuan Jang duduk di sofa disusul oleh Nyonya Jang yang duduk di sebelah suaminya. Paman Do Kwang duduk di sofa yang berada dihadapan Tuan dan Nyonya Jang.

“Ah, Tidak usah repot-repot membuatkan minuman.” Kata Tuan Jang.

“Iya. Kami hanya ingin berkunjung sebentar.”

“Tidak apa-apalah. Santai-santai sebentar saja sambil minum secangkir the hijau hangat. Cuaca diluar agak dingin sangat bagus untuk minum segelas Teh hijau.” Kata Paman Do Kwang.

Tuan Jang tertawa, “Benar! Benar sekali!” Sahut Tuan Jang masih tertawa. “Ya tak apalah bersantai disini sebentar.”

“Kapan kalian akan membawanya Pulang ke Seoul?” Tanya Paman Do Kwang.

“Minggu depan.” Jawab Tuan Jang. “Kami memberikannya waktu untuk mengucapkan salam perpisahan dengan rumahnya ini.” Ia menatap Nyonya Jang. “Dia yang memintanya.” Tambah Tuan Jang.

“Iya aku mengerti.” Sahut Paman Do Kwang seraya mengangguk pelan. “Alasan ia sering latihan lebih lama akhir-akhir ini, karena ia mau mengucapkan salam perpisahan.”

Bibi Ga Ni datang dengan membawa nampan yang diatasnya terdapat 5 gelas berisi the hijau hangat, ia mendekati meja ruang tamu dan menaruh nampan itu dengan lembut diatasnya. “Silahkan diminum tehnya.”

Paman Do Kwang menoleh kearah Bibi Ga Ni yang berdiri disebelahnya. “Tolong Panggilkan Hyora. Suara senapan sudah tak ada, sepertinya ia berada di rumah pribadinya.”

Bibi Ga Ni mengangguk paham, ia tersenyum manis pada Tuan dan Nyonya Jang lalu pergi meninggalkan ruang tamu.

Di halaman belakang rumah Paman Do Kwang. Halaman tanah yang Begitu luas dan penuh dengan papan-papan kayu yang tertancap di tanah, dan kebanyakan sudah tak berbentuk. Tak jauh dari situ ada sebuah pohon yang besar dan rindang, terdapat rumah pohon diatasnya, rumah kecil yang terbuat dari kayu. Bibi Ga Ni mendekati pohon tersebut, terdapat sebuah tali yang menjuntai kebawah pohon. Ditariknya tali itu sehingga terdengarlah suara lonceng di rumah pohon. Muncul kepala Hyora dari Jendela rumah pohon itu. “Ada apa, bi?”

“Segeralah turun! Ayah Ibumu ingin bertemu denganmu!” Seru Bibi Ga Ni dari bawah.

Hyo Ra keluar dari rumah pohon dan menuruni tangga dengan semangat.

Bibi Ga Ni tersenyum dengan tingkah Hyo Ra yang selalu semangat seperti itu. “Ayo cepatlah. Ayah dan Ibumu tak berlama-lama disini.”

Mereka berdua berjalan menusuri halaman dan memasuki pintu belakang rumah

“Ayah! Ibu!” Seru Hyo Ra saat melihat kedua orang tuanya sedang duduk di sofa di ruang tamu.

“Hyo Ra! Putriku!” Seru Nyonya Jang tak kalah semangatnya dengan anaknya.

Hyo Ra berjalan mendekati Nyonya Jang lalu memeluknya erat. Nyonya Jang membalas memeluk anaknya dengan erat. Tuan Jang berdiri di sebelah dua perempuan itu, dibelainya rambut hitam milik Hyo Ra.

“Kamu tambah cantik Hyo Ra.” Puji Sang Ayah dengan senyuman.

Hyo Ra melepaskan pelukan eratnya lalu menoleh ke Ayahnya. Ia membalas tersenyum manis. “Padahal kita baru bertemu 2 minggu yang lalu.”

Nyonya Jang menempelkan telapak tangannya ke pipi Hyora sambil menatap lekat mata Hyo Ra yang sama dengan mata yang ia miliki.

Tuan Jang tertawa melihat gelagat polos putri semata wayangnya, ia lalu duduk kembali disusul Nyonya Jang dan Hyo Ra.

“Hyo Ra?” Panggil Paman Do Kwang. “Apa kau sudah mengemasi sebagian barang-barangmu?” Tanyanya.

Hyo Ra mengangguk semangat. “Sudah, Paman!” serunya.

Tiba-tiba saja Ponsel Tuan Jang berbunyi. Ia mengambilnya lalu menempelkannya ditelinganya. “Halo? Ya?” Sahutnya. Ia mendengarkan seseorang yang diseberang percakapan, wajahnya terkejut karena sesuatu. “Benarkah itu? Iya baiklah, aku akan segara kesana.”

“Ada apa?” Tanya Paman Do Kwang penasaran.

Wajah Tuan Jang masih terlihat terkejut dan agak sedih. “Presdir Presdir Kim Hyun Sol meninggal.” Jawabnya.

Paman Do Kwang terkejut. “Apa?” Ia mengenal Presdir Kim yang baik hati itu.

“Astaga!” Seru Nyonya Jang terkejut.

“Aku dengar di berita ia sakit. Sebenarnya ia sakit apa?” Tanya Bibi Ga Ni.

“Dia mendadak terkena serangan jantung kemarin malam.” Jawab Tuan Jang.

“Jadi kapan jenasah Presdir disemayamkan?” Tanya Nyonya Jang.

“Apakah beliau punya anak?” Tanya Hyo Ra ikut berbicara.

“Ada.” Jawab Paman Do Kwang. “Bukannya kedua putra Presdir Kim sekolah di Inggris?” Tanya Paman Do Kwang.

"Berarti menunggu putra-putranya datang?” Tanya Bibi Ga Ni.

“Saat kita datang, kedua Putra Presdir ada di kamar Rawat. Berarti mereka sudah ada di Korea.” Kata Nyonya Jang mengingat-ingat.

“Mungkin jenasahnya akan disemayamkan hari ini juga.” Kata Tuan Jang. Wajah

“Sebenarnya siapa yang meninggal?” Tanya Hyo Ra polos.

“Rekan kerja Ayah, sayang.” Jawab Tuan Jang. Ia menatap Hyo Ra penuh permintaan maaf, “Maaf kami tidak bisa berlama-lama, dari sini ke Seoul membutuhkan 2 jam. Ayah dan Ibu harus cepat.” Kata Tuan Jang, ia segera berdiri.

“Kemasi lagi barang-barangmu segera ya, sayang. Minggu depan kamu akan dijemput untuk pulang.” Kata Nyonya Jang seraya tersenyum manis pada Hyo Ra.

Gadis itu pun tersenyum lebar membalas senyuman Ibunya. “Baiklah Ibu!”

****

 

Hari sudah semakin menjelang sore, setelah disemayamkan di Rumah duka Jenasah Presdir Kim di bawa ke pemakaman. Pemakaman yang akan menjadi tempat terakhir Presdir Kim, dipenuhi oleh banyak orang-orang bersetelan serba hitam. Nyonya Kim terlihat duduk tepat disebelah Nisan yang bertuliskan nama Suaminya, didepan Nisan itu ada foto Presdir dengan Senyumnya ia begitu terpukul melihat foto itu, ia terus menangis. Disisinya terdapat Kim Myung Soo dan Kim Woo Hyun yang berusaha menegarkan Ibu mereka. Semakin lama para pejiarah berkurang, mereka menyalami Nyonya Kim dan Myung Soo dan juga Woo Hyun dan mengucapkan kata-kata turut berduka.

Nyonya Kim memegang dadanya sambil terus menangis, Ia mengelus wajah suaminya yang tampak pada foto. Myung Soo memegangi pundak Ibunya berusaha menenangkannya.

Waktu semakin berlalu, pemakaman sudah mulai sepi.

“Ibu, sudah waktunya pulang.” Ia berbisik kepada Ibunya.

“Ibu serasa mau disini selamanya.” Sahut Nyonya Kim lemas. Suaranya begitu lirih dan serak, begitu menyakitkan hati Myung Soo saat mendengarkannya.

“Jangan begitu Ibu!” Seru Myung Soo tapi tak terlalu keras. “Ayah sudah beristirahat dengan tenang disana. Kalau Ibu disini, Ayah akan mengkhawatirkan Ibu.”

Datang seorang pengawal dengan setelan serba hitam. “Sudah waktunya pulang, Nyonya.” Katanya pelan. “Hari sudah mulai gelap.”

Nyonya Kim langsung memakai kacamata Hitam yang ia ambil dari dalam tas kecilnya, lalu berjalan menuju tempat dimana mobil mewahnya terparkir.

Woo Hyun memperbaiki foto Ayahnya yang tersender di Nisan. Myung Soo terdiam menatap wajah Ayahnya yang tersenyum hangat di foto itu.

“Tuan muda tidak pulang?” Tanya pengawal itu pada Myung Soo.

“Tidak. Kami akan menyusul.” Jawab Myung Soo.

“Baiklah.” Sahutnya seraya membungkuk dan pergi menjauhi Myung Soo yang sedang melihat Adiknya yang menatap Foto yang tersender di Nisan Ayahnya.

“Apa yang aku takutkan telah terjadi. Ayah benar-benar pergi.” Kata Woo Hyun, ia memegangi nama Ayahnya yang terukir di Batu nisan itu.

“Aku tak tau harus berbuat apa.” Kata Myung Soo datar, seperti biasa.

Woo Hyun terdiam.

“Serasa ada sesuatu yang membuatku terasa tertekan. Ada bagian dalam tubuhku yang terasa sakit, tapi aku tak tau itu dimana?” Myung Soo memegangi Dadanya.

Woo Hyun berhenti mengelus Nama Ayahnya, ia menatap foto Presdir Kim. “Hyung? Kau juga menyayangi Ayah.”

Myung Soo terdiam, mencoba mencerna kata-kata Woo Hyun barusan. Ia menggeleng lemas lalu memakai kacamata hitamnya dan berjalan menjauhi Woo Hyun. “Ayo pulang, Langit sudah mulai gelap.”

Woo Hyun bingung dengan sikap Kakaknya. Ia pun berdiri dan berjalan mengikuti setiap langkah Myung Soo sambil memaksa otaknya agar berhenti memikirkan wajah Ayah tersayangnya.

Mereka berjalan menulusuri jalan setapak. Ditengah perjalanan mereka bertemu dengan seorang Laki-laki berjas Hitam. Wajahnya manis seperti seorang perempuan, matanya memiliki garis yang cantik membuatnya semakin terlihat seperti perempuan, tapi ia memiliki garis dagu, membuatnya sedikit tampak  seperti laki-laki. Tubuhnya juga tegap  dan Tinggi, malah lebih tinggi dari Myung Soo.

Laki-laki cantik itu berjalan melewati Myung Soo dan berhenti tepat didepan Woohyun, lalu tersenyum. “Tuan Kim Woo Hyun, apa kabar?”

Woo Hyun menatap laki-laki itu datar. “Apakah aku harus menjawab baik-baik saja saat ini?” Tanyanya dengan nada yang dingin, sudah seperti Kakaknya.

Kata-kata Woo Hyun yang terdengar sedikit dingin, sedingin hatinya yang sedang berduka itu tak membuat senyuman laki-laki itu menghilang, ia tetap saja memasang senyuman termanisnya. Membuat Woo Hyun agak takut dengan laki-laki itu.

“Ya, Aku mengerti.” Kata laki-laki bernama Sung Jong itu, ia mengangguk pelan lalu menatap sejenak langit yang menggelap dan kembali menatap Woo Hyun. “Tenang saja Tuan, Sesuatu yang tersembunyi tak akan berlama-lama bersembunyi. Ingatlah suatu saat nanti, itu akan terlihat. Suatu saat.” Katanya tetap dengan senyuman manisnya.

Myung Soo berbalik menghadap laki-laki yang berbicara pada Woo Hyun. Ia meneliti Wajah laki-laki yang begitu asing dimatanya. Wajahnya terlihat cantik, rambutnya pedek, tapi ia masih terlihat gagah karena tubuhnya yang tegap dan tinggi. Myung Soo mencoba membuka memori, apakah ia mengenal laki-laki berwajah seperti perempuan itu? “Apa yang kau bicarakan? Dan kau siapa?” Tanyanya dengan nada andalannya, dingin dan judes.

Sung Jong berbalik dan  melihat ke Myung Soo dengan matanya yang bulat dan tajam, ia lalu tersenyum manis pada Myung Soo. “Terkadang membahagiakan, tapi di lain sisi akan menyakitkan. Itulah rahasia hati, Tuan Kim Myung Soo.” Laki-laki cantik itu memalingkan wajahnya kedepan dan mulai melangkah dan menjauh dari Woo Hyun dan Myung Soo.

Myung Soo melihat kepergian Sungjong dengan tatapan bingung. “Lee Sung Jong.” Desisnya perlahan.

Woo Hyun menatap Myung Soo penuh tanda Tanya, “Kakak mengenalnya?”

Myung Soo menggeleng dengan tatapan tak berpindah dari laki-laki misterius bernama Lee Sung Jong itu, “Tidak!” Ia tadi tak sengaja melihat Tag Name milik laki-laki tadi. Tiba-tiba saja ia berbalik dan melanjutkan langkahnya meninggalkan Woo Hyun yang masih berusaha mencari arti kata-kata laki-laki yang bernama Lee Sung Jong itu.

“Apa maksud laki-laki cantik tapi aneh itu?” Tanya Woo Hyun pada Myung Soo yang berjalan semakin menjauhinya.

“Apa maksudnya? Apakah ada hubungannya dengan Kematian Ayah? Ya, aku mengerti. Suatu saat akan terlihat. Aku akan menunggu sampai rahasia itu terliha suatu saat nanti.”

Woo Hyun Menoleh ke belakang mencari sosok laki-laki tadi, ia menemukannya, terlihat masih berjalan santai.

”Siapa dia?”

****

 

Keheningan dan Kesunyian tergambar pada suasana rumah Keluarga Kim yang sedang berduka. Sebenarnya rumah mereka masih saja ramai karena kedatangan banyak para pegusaha kerabat Prsedir Kim yang terkenal ramah itu. Tetapi tetap saja suasana sunyi. Semua datang membawa kata-kata bela sungkawa kepada Keluarga Kim, disana ada sebuah meja bertaplak hitam dengan foto presdir Kim terpajang disana.

Nyonya Kim dan Woo Hyun begitu terpukul kehilangan sosok Presdir Kim, wajah mereka memperlihatkan begitu sakitnya hati mereka saat ini. Mereka juga terus-terusan menangis tak berhenti. Hanya Kim Myung Soo yang tenang, ia hanya berdiam tanpa ekspresi sejak Ayahnya meninggal kemarin . Sebenarnya ia begitu sedih didalam hatinya, hatinya sebenarnya sedang menangis, raut wajahnya menunjukkan bahwa ia juga merasa kehilangan, sungguh merasa kehilangan. Tapi itu semua tak bisa tampak, walaupun ia sudah berusaha keras.

Ia begitu risau saat ini, ia bingung harus bersikap seperti apa, ia tak terlalu merasa sedih karena Ayahnya meninggal, tapi dirinya seakan kehilangan sesuatu yang sungguh diidam-idamkannya.

Tiba-tiba sebuah tangan menepuk lembut pundak Myung Soo, Ia pun berbalik. Ia melihat seorang laki-laki yang lebih tinggi 1-2cm darinya, badanya besar dan kulitnya putih mulus. Laki-laki itu tersenyum, begitu manis, wajahnya tampan dan terkesan imut. Tapi wajah itu sangat familiar dimata Myung Soo. Ia termenung sesaat berpikir dimana ia bertemu laki-laki ini.

Laki-laki itu memerengkan kepalanya sambil menatap Myung Soo dengan mata hitam pekatnya seperti anak Kucing yang keheranan. “Apakah Tuan Myung Soo baik-baik saja?” Tanya Sung Jong, laki-laki manis itu.

Suara Lembut itu menyadarkan Myung Soo yang melamun, ia juga tersentak kaget saat pengeliatannya kembali normal dan ia tau siapa laki-laki yang dihadapannya. Laki-laki yang di temuinya di pemakaman Ayahnya kemaren.

“Terkadang membahagiakan, tapi di lain sisi akan menyakitkan. Itulah rahasia hati, Tuan Kim Myung Soo.”

Terbesit kata-kata laki-laki bernama Lee Sung Jong yang ia ucapkan kemarin pada Myung Soo dan Woo Hyun. Ia memandang Sung Jong dalam, seakan ingin menelusuri mata hitamnya yang memancarkan kepolosan tetapi sangat misterius. Tapi, matanya hanya memancarkan kepolosan dan seakan tak mengizinkan Myung Soo untuk memasuki pikiran terdalamnya yang ia sembunyikan.

“Tuan baik-baik saja?” Tanya Sung Jong lagi.

“Aku tidak apa-apa!” Sahut Myung Soo datar.

Sung Jong tersenyum, “Tapi wajah Tuan seakan mengatakan tidak.”

Myung Soo kembali menyerngitkan wajah seperti biasa. “Apa maksudmu?” Bentak Myung Soo.

Senyuman Sung Jong perlahan pudar lalu berbalik ingin pergi dan melangkah selangkah. “Jangan ditunggu Tuan. Biarkan sesuatu itu datang sendiri.” Katanya pelan dan terdengar sangat dingin, ia pun melangkahkan kakinya menjauhi Myung Soo.

Myung Soo termenung melihat kepergian Sung Jong yang berbeda dari kemaren. Kata-katanya begitu dingin tadi, dan senyuman manisnya tak lagi manis, ia terlihat seperti laki-laki asli tadi. Karena begitu penasaran Ia pun akhirnya mengikuti Sung Jong. Laki-laki itu berjalan menuruni Tangga, Myung Soo berada 6 meter dibelakang Sung Jong. Sung Jong melangkah keluar dari rumah besar milik keluarga Kim, ia berbelok ke kanan menyusuri jalan setapak yang akan membawanya ke sebuah taman yang luas. Tak beberapa lama, Sung Jong akhirnya berhenti didepan sebuah kolam ikan yang didesain seperti sungai kecil dengan air terjun. Myung Soo yang bersembunyi disemak-semak yang tak jauh dari laki-laki itu, mengamati gerak-geriknya.

Beberapa lama mereka berdua masih berada di posisi semula, tak ada pergerakkan, Myung Soo hanya duduk melihat Sung Jong dan Laki-laki manis itu hanya berdiri menatap miniatur air terjun.

Myung Soo bingung, apakah Sung Jong tau kalau diawasi oleh dirinya? Sung Jong tak bergerak sama sekali. Tapi, tiba-tiba saja Sung Jong menunduk, Myung Soo tak dapat melihat ekspresinya karena Myung Soo mengawasinya dari belakang.

Apa sih yang sedang ia pikirkan?”

Hening seketika.

“Tuan Kim?” Akhirnya Sung Jong berbicara.

Myung Soo terkejut saat Sung Jong memanggil nama Ayahnya.

Ada apa diantara mereka? Apa yang ia sembunyikan tentang Ayah?”

“Apakah aku diam adalah jalan terbaik? Apakah seperti ini yang anda inginkan?” Tanya Sung Jong. Wajahnya berubah, terlihat seperti orang yang menderita, sangat menderita.

Suasana kembali hening, yang terdengar hanya suara air turun dari bebatuan buatan seperti air terjun. Tatapan Myung Soo maupun Sung Jong sama-sama kosong, sama-sama memikirkan sesuatu yang mereka juga tak mengerti apa yang mereka pikirkan.

Sung Jong berbalik.

Deg!

Jantung Myung Soo berdegub semakin cepat. Entah mengapa ia merasa begitu takut pada laki-laki bernama Lee Sung Jong itu.

 Sung Jong masih berdiri sambil menatap tanah. Ekspresi datar, berbeda dengan yang ia lihat saat Sung Jong menyapanya kemarin. Sung Jong mengangkat kepalanya berusaha tegar, ia menoleh ke kanan dan ke kiri lalu berjalan meninggalakan taman. Sung Jong tetap berjalan tanpa berhenti atau menoleh kembali kearah taman.

Setelah Sung Jong hilang dari pandangan, Myung Soo pun berdiri lalu menatap ke arah kolam. Ia berjalan mendekati kolam itu, dan berdiri tepat dimana tadi Sung Jong berdiri. “Ayah?” Panggilnya. “Rahasia apa yang kau berikan kepada laki-laki itu?”

Myung Soo berdiri mematung. Ia hanya mendengar suara air dan deru angin yang mengenai tubuhnya yang saat itu hanya memakai kemeja putih tanpa Jas. Dari dulu ia selalu dimarahi oleh Ayahnya jika dirinya hanya memakai kemeja tanpa Jas  atau Blazer dan Dasi jika dirumahnya sedang kedatangan tamu. Ia sekarang merasa bebas bisa melakukan segala hal yang dulu dilarang keras oleh Ayahnya. Tapi, sebenarnya ia bukan tipe laki-laki yang pemberontak. Dia hanya laki-laki yang ingin menjadi dirinya sendiri tanpa diatur.

Myung Soo berbalik dan melangkah pelan menjauhi kolam. Ia tak melanjutkan langkahnya ia berdiam sejenak. Myung Soo memalingkan wajahnya menoleh ke kolam. “Mengapa Ayah tak pernah mempercayaiku?” Tanyanya lirih.

Tiba-tiba saja angin bertiup pelan tapi sangat dingin. Karena hanya memakai Kemeja tanpa jas, ia merasakan angin yang dingin menusuk kulitnya. Ia merinding kedinginan. Tiba-tiba ia tersadar akan sesuatu. Perlahan tersenyum kecil seakan mengerti maksud tiupan angin. “Sekarang aku tau mengapa kau melarangku hanya memakai kemeja tanpa jas.” Katanya sambil tersenyum kecut. “Ayah tak ingin aku kedinginan, kan?” Perlahan air matanya berlinang jatuh dari kedua matanya. Myung Soo pun akhirnya bisa menangis, airmatanya mengalir deras.

“Mengapa Ayah begitu Konyol seperti itu?”

Air mata Myung Soo mengalir indah di kedua Pipinya dan terjatuh ke Tanah. Ia tak sanggup menahan sesuatu yang mencengkram Hatinya. Myung Soo merasa perih, ia tak hanya merasakan Kehilangan tapi juga merasa kesepian dan kedinginan. Ia merasa sedih sekarang. Sedih kehilangan Ayahnya.

“Terkadang membahagiakan, tapi di lain sisi akan menyakitkan. Itulah rahasia hati, Tuan Kim Myung Soo.”

Myung Soo tersadar dari tangisannya. Suara Sung Jong saat dipemakaman Ayahnya masih dan selalu terngiang didalam pikirannya.

Lee Sung Jong! Kau adalah kunci agar aku dapat bertemu dengan sesuatu yang tersembunyi itu! Tidak! Kau Bukan. Kau bukan kunci melainkan, si Pemilik Rahasia itu sendiri!”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
evilod
Hello, aku punya cerita Dramafiction dengan cast semua member INFINITE.. Bahasa Indonesia sub here---> https://www.asianfanfics.com/story/view/703013/

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet