-06- L.O.V.E Pt.III

Magic Fingers

Jari manis: cinta (part 3)

Lay, debutan sensasional tahun 2012 di jagad musik daratan Cina. Penampilan memukau, kemampuan dance di atas rata-rata, dan tembang ear cahtching adalah faktor-faktor pemulus yang mempercepat penerimaan dirinya di hati penikmat musik. Tidak hanya kaum muda, kaum berusia menengah ke atas dibuat kagum dengan sikap membuminya dan pesona yang menghangatkan suasana.

Lay adalah Zhang Yi Xing. Lay, nama beken kala pemuda berlesung pipit sebelah kanan itu mempertunjukkan musikalitasnya. Di belakang panggung, ia tetaplah Yi Xing, rekan sekolah dasar Do Kyungsoo dan Kim Jongin. Penginspirasi Jongin.

Di tahun 2013 ini, ia berniat merilis album kedua pun merealisasikan mimpinya debut di Korea, negara yang pernah dijajakinya kala menuntut ilmu sebelum kembali ke negara asal. Penguasaan bahasa dan efek hip dari beredarnya foto-foto menawannya di situs internet sejak bertahun-tahun lalu makin mempermudah jalannya. Terkait rencana debut di Korea itu, manajemen berencana merekrut staf yang berkarakter, asli Korea Selatan, dan berusia muda, termasuk backdancer yang kompeten dan sesuai karater dinamis Lay. Mereka akan mengawal promosi di Cina sebelum nanti dibawa saat promosi di Korea. Sejumlah video demo disodorkan, salah satunya kebetulan milik Jongin. Teringatlah ia akan wajah dan nama itu. Lay sangat-sangat berminat memakai jasanya.

Sebelum sempat menghubungi secara pribadi, di hari yang sama, manajemen mengenalkan seorang mahasiswa fashion yang tergabung dalam tim stylist, Byun Baekhyun, yang katanya mengenal Kim Jongin yang dicarinya. Lay disarankan menghubungi nomor Do Kyungsoo. Peluang menemukan Jongin akan bertambah dibanding menghubungi lewat nomor yang tertera di file profil. Usut punya usut, sebenarnya itu siasat mendekatkan kembali Kyungsoo dan Jongin. Mana mungkin Kyungsoo bakal diam dan menyimpan sendiri beritanya, kan? Mau tak mau ia harus mencari Jongin.

Tampaknya Byun Baekhyun belum bersedia menanggalkan tren kepahlawanannya namun menginginkan peran anonim di sana.

***

Jongin menahan tertutupnya daun pintu otomatis dengan bahunya, sebentar mengamati seorang gadis yang tengah berdiri di halte seberang jalan. Rok lipit sebetis bercorak gipsi dan atasan denim itu... kalau tidak salah...

Pengamatan terpaksa dihentikan karena gadis itu naik ke bis bersama penumpang lain.

“Tadi Jia ke sini?” tanya Jongin menyoal tebakannya. Mustahil ia salah mengenali adik sendiri.

Kyungsoo yang sedang menyeruput capuccino mengangguk kemudian tersenyum sambil menyeka foam busa di bibirnya. Membenarkan tanpa usaha menutup-nutupi. Toh Jia sendiri tidak mensyaratkan soal tutup mulut.

Sebentar Jongin menepis dugaan telah terjadi sebuah konspirasi terselubung menyangkut dirinya dan menempati bangku dengan posisi menyerong menghadap papan display menu di belakang konter pemesanan. “Lihat apa yang bisa kupesan~ Mm, capuccino juga atau...”

Uh, tidak tanya apa yang kami bicarakan?” tanggap Kyungsoo penasaran atas peralihan topik. “Tidak penasaran?”

Jongin mendecak lidah menepis dugaan itu. “Sedikit.”

“Sedikit? Sedikit tapi ekspresimu berkata lain. Baik, kuberitahu. Tidak seperti ini merupakan hal penting.”

“Jadi menurutmu hal menyangkut diriku tidak sepenting itu?”

Kyungsoo memutar mata menangkap kontradiksi yang kentara. “Jia mendoakan kebahagiaan kita.”

Mata yang membelalak dan mulut yang menganga seolah mengekspresikan betapa sulit Jongin menerima kenyatataan itu. Mwo? Jia apa?

“Ia mengharapkan yang terbaik bagimu, bagi kita.”

Tambahan itu membuat tingkat keterkejutannya bertambah parah. Punggung Jongin melandas perlahan ke sandaran kursi. Mulut komat-kamit tiada henti. Inikah sebabnya Jia bolak-balik menanyakan kabar Kyungsoo? Sejak kapan adiknya mengendus soal ini?

Mana bagian yang tidak penting?

“Tenang. Jia janji menyimpan rahasia ini dari siapa pun sebelum dirimu sendiri yang bicara. Bersumpah atas nama Moon Jongup, katanya,” tambah Kyungsoo coba menenangkan kekhawatiran Jongin.

Moon Jongup, seorang yang begitu berharga bagi Kim Jia, jadi tingkat kepercayaan sumpah tersebut dapat dijunjung tinggi. Atau Jia sepertinya berencana menyiapkan kesepakatan terselubung. Kusimpan punyamu, kau simpan punyaku.

“Sebagai langkah antisipasi kau menyimpulkan yang macam-macam, Jia menitip maafnya, juga kalau kedatangannya ini membuatmu merasa terganggu. Ia tidak bermaksud apa pun dan bahagia untuk oppa­-nya.”

“Dasar anak itu. Apa salahnya bicara langsung padaku, uh?” gerutu Jongin, tak habis pikir mengapa Jia yang lebih dari 12 jam bersamanya lebih nyaman mengutarakan isi hatinya pada orang lain yang jarang ditemuinya. Mengingat poin utamanya, pantaslah jika ia merasa tersanjung. Satu orang terdekatnya telah menunjukkan dukungan. Meski begitu, terlalu naif menyimpulkannya sebagai reaksi keseluruhan.

Apa pun itu. Sebagai perwujudan rasa terima kasihnya, Jongin tahu pasti siapa yang pertama berhak diapresiasi. Ia pun menghubungi satu nomor untuk mengucap terima kasihnya. Begitu terdengar sapaan halo, Jongin segera buka mulut. “Moon Jongup-sshi, mulai sekarang, aku janji tidak akan mencampuri atau mempermasalahkan hubunganmu dengan Jia. Aku biarkan kalian melakukan yang kalian mau asalkan sesuai jalur. Sebagai kakak, kumohon bahagiakan Jia, perlakukan dia sebaik-baiknya, dan terima kasih,” bebernya di satu tarikan napas. Tidak ada peluang bertanya bagi Jongup yang ketar-ketir di seberang sana karena sambungan langsung dimatikan. Kelihatan benar Jongin gengsi memberi penghargaan yang tepatnya ditujukan ke Jia.

“Kau meninggalkannya bertanya-tanya. Bagimana kalau ia langsung mencapmu hyung yang aneh.”

“Menurutmu lebih baik aku mendatanginya?”

Kyungsoo melayangkan penolakan lewat silangan kedua tangan.

***

“Haruskah aku minta kompensasi waktu?”

Jongin bertanya ketika keduanya duduk di atas atap samping beranda kamarnya, menikmati suasana malam. Kemiringannya yang landai menyamankan duduk mereka.

“Tiket pesawatmu sudah dibeli, show pertamamu sudah dijadwalkan, kita sudah menggelar pesta perpisahan. Tidak cukup alasan bagimu untuk berubah pikiran. Apalagi dari gelagat ketertarikan Lay, kurasa ia akan datang langsung menjemputmu ke sini kalau kau menolak,” Kyungsoo di sampingnya menjabarkan secara eksplisit alasan mengapa Kim Jongin harus meninggalkan Seoul dalam waktu empat hari ke depan.

Tiga hari saja tersisa.

Jongin melepas tawa nyaring tanpa cemas akan respon dari dalam. Keluarga Kim seluruhnya sedang menginap di rumah saudara. “Ketertarikan Lay katamu? Terdengar seperti seorang maniak,” candanya meski tidak sulit mengamini seberapa besar hasrat Lay menjadikannya salah satu kompatriot backdancer. Sejumlah rekaman dan CD dikirim ke alamat keluarga Kim sehari sesudah persetujuan via telepon disepakati, beserta kontrak dan sekotak sepatu yang rasanya tidak diterima penari pemula macam dirinya. Aneh, tapi kurang enak menanyakan apakah anggota backdancer lain diperlakukan serupa.

Ia siap membuktikan sendiri nanti ketertarikan Lay itu bukan bias semata namun benar-benar dari performanya. Karenanya tanpa lelah Jongin melatih gerakan-gerakan dan memonitor hasilnya dari rekaman. Manajemen memberinya waktu dua minggu untuk menyiapkan diri sebelum diterbangkan ke Changsa. Sepanjang itu tidak lupa ia sedikit memahami lirik-lirik lagu Lay yang berbahasa mandarin dalam rangka memperkaya informasi. Siapa tahu ditanyakan pendapatnya soal karya musik Lay. 

Jongin melipat kakinya ke atas sembari memutar hadap arah duduk. Ditatapnya lekat-lekat wajah Kyungsoo. “Sebegitu yakinnya dirimu untuk melepasku? Asal kau tahu, aku akan tinggal kalau kau memintaku tinggal.”

“Sulit membayangkan diriku mengatakan itu. Ayolah, Jongin-ah. Tiga bulan, kan?”

“Tentatifnya. Permanennya, entahlah. Kau mengijinkanku pergi lebih lama dari itu?”

“Tentu.”

Jongin mengerang mendapati betapa ringannya Kyungsoo menanggapi kepergiannya. Berbeda darinya yang membayangkan banyak kemungkinan (baik-buruk), termasuk tentang mereka. “Yah, aku pergi bukan sehari dua hari. Dipanggil pun mustahil aku langsung datang. Butuh waktu lama menyusun dokumen-dokumen.”

Gelagat Jongin terbaca sebagai sikap insecure di awal hubungan. Mengkhawatirkan segala macam dan mengombang-ambingkan keyakinan. Kyungsoo—atau Jongin juga—mengira-ngira apa jadinya andai insiden di tahun baru itu tidak terjadi. Anggap terhindarkan dan rencana berakhir sukses. Tentu perang dingin selama berminggu-mingu terhindarkan, perayaan tahun baru dapat terlaksana atau dijadwalkan ulang dan dilewati penuh kesenangan, dan ulang tahun ke-20-nya dirayakan secara berkesan seperti dulu-dulu. Kecuali satu hal, poin tervital yakni perasaan masing-masing yang terkubur entah sampai kapan dan terburuk, kandas seiring pertambahan waktu.

“Tunggu di sini,” pinta Jongin, di luar dugaan berhenti menarik perhatian Kyungsoo, sementara ia bangkit dan meloncat masuk ke dalam kamar. Semenit dihabiskan di dalam sebelum ia kembali menempati spotnya dengan mengantungi sesuatu di kantung celananya. “Tanganmu.”

Kyungsoo menajamkan pengawasan. Terakhir kali tangannya diminta, ia menderita nyeri di pipi. Kini ia mengulurkan tangan kanan sambil mengantisipasi kemungkinan ditarik tiba-tiba.

“Yang kiri, Kyungsoo-ya. Sebentar, telan dulu protesmu.”

Begitu menggenggam tangan Kyungsoo, Jongin memosisikan duduknya. Agak sulit sebenarnya berlutut bertumpu satu kaki di atas sana namun tetap dicobanya. Tangan yang tenggelam di kantung perlahan ditarik keluar. Belum lagi menyibak apa yang sedari tadi disembunyikan, desahan bernada menyerah menambah panjang masa penasaran Kyungsoo tentang mau diapakan tangannya.

“Oh, aku tak percaya benar-benar melakukannya,” ratap Jongin, membuang wajah jauh-jauh. Kesiapan matang dibutuhkan untuk kelancaran momen dan aspek itulah yang tidak diusahakannya. Sedikit meremehkan malah. “Aku tidak bermaksud menunjukkan sisi... romantisme... atau... betapa protektifnya aku, sungguh, tapi...” ia menelengkan kepala ke kiri-ke kanan tanda kebingungan menemukan sambungan kalimat. Adegan film yang didemonstrasikannya macet di tengah-tengah.

“Mau apa kau sebenarnya, uh?” tanya Kyungsoo risih, walau pun dari posisi mereka setidaknya ia punya gambaran, mau diapakan sebenarnya tangannya.

Tanpa menyambung kalimat, Jongin melingkarkan sebuah cincin ke jari manis Kyungsoo. Untunglah pas sehingga momen memalukan seperti memaksakannya masuk terhindarkan. “Pakai ini selama aku pergi. Sebagai pengikat janji... Awas kalau kau melepasnya sekali saja.”

Kyungsoo sering menyaksikan momen jamak ini, adegan drama televisi, bagaimana protagonis pria melamar pasangan hatinya menggunakan cara romantis. Berlutut dan menghadiahkan kotak berisi cincin lalu memakaikannya. Abaikan perbedaan drastis kepercayaan diri si aktor dengan milik Jongin, namun mungkin yang dirasakannya saat ini persis yang dirasakan si protagonis wanita. Terharu, bahagia, buncahan antusiasme, dan lain-lainnya yang mampu merangsang kelenjar air matanya.

“I-ini...” katanya tergagap. Tak pernah terbayang sebegitu sulitnya meniru reaksi si protagonis wanita yang sontak memeluk pasangannya. Mengungkapkan betapa bahagianya ia. Kyungsoo masih sulit percaya akan keberadaan cincin di jari manisnya.

“Aku tahu, aku tahu. Bagimu ini murahan dan klise. Aish,” Jongin menyimpulkan bungkamnya Kyungsoo, sebatas terpana dan memandangi lingkaran perak di jarinya, sebentuk kekecewaan. Ia merutuk pada kegagalannya menunjukkan keseriusan lebih dan menyayangkan langkahnya.

Tangan Kyungsoo mampir di bahu Jongin. “Punyamu mana? Biar kupasangkan,” ujarnya. Pada Jongin yang tak otomatis bergerak, ia menyangka cincin itu hanya berjumlah satu, bukan sepasang seperti selaiknya. Jadi maksudnya, dirinya seorang yang memegang janji?

“Pu-punyaku di dalam...” kata Jongin pada akhirnya ingat jawaban dari pertanyaan tadi, mengarahkan telunjuk ke arah dalam. “T-tunggu dulu.”

“Jongin-ah,” panggil Kyungsoo begitu Jongin berdiri di beranda. Tangan terulur, ganti meminta uluran tangannya disambut.

Berniat bercanda, Jongin menggenggam tangan Kyungsoo erat dan menyentak tubuhnya. Yang tidak diketahuinya, sesungguhnya di lain pihak Kyungsoo mengharap itu terjadi. Alhasil keduanya—untungnya—tumbang bertumpukan di lantai akibat tubuh Jongin kesulitan menahan perpindahan beban.

Lagi-lagi Kyungsoo mendahului pemikiran Jongin.

Mari sebentar lupakan soal cincinnya.

 

to be continued...

 

bagaimana? komen ditunggu.

tersisa satu jari lagi, ditunggu saja.

kamsahamnida...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sungie_rima #1
Chapter 1: Jongin langsung percaya sama Do KyungSoo. Waw, jadi penasaran sama karakter D.o disini.
rainysummer #2
Chapter 7: Author, ini keren! Tapi kurang panjang :'3
MissKey693
#3
Chapter 7: aaaaaa... manis
sayang ajha KaiSoo belum bener-bener bisa bersatu.
ada beberapa paragraf yang artinya membingungkan, tapi kesuluruhan fic ini enak banget dibaca.
ahh.. sempat jejeritan sendiri pas baca bagian 'kaisoo moment nya'
pokoknya keren deh !

terus berkarya ya!!
semangat !!

p.s. Banyak-banyakin fic kaisoo, ne ?

hehe.
indahdo
#4
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk bosen buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
indahdo
#5
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk boseb buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
Mokuji #6
Chapter 4: Kisah cantik ...
LocKeyG #7
Chapter 4: woo..kaisoo emg selalt unik. . ..lanjut thor.. :-)