-04- L.O.V.E Pt.I

Magic Fingers

Jari manis: cinta (part 1)

Nama mereka menjadi salah dua nama yang menerima ijazah kelulusan. Selamat tinggal pada seragam, saatnya menyambut kebebasan menyambut mimpi.

Kyungsoo menyambung pendidkan universitas seperti keinginannya—Tn.Do berperan penting ‘menginspirasi’-nya. Aral melintang tidak berminat mengusik kelancarannya. Skor tes masuk perguruan tingginya termasuk tinggi. Universitas Seoul menjamin satu tempat baginya di departemen Fisika.

Jongin, lain lagi. Singkat cerita, sejumlah audisi diikuti, sejak di kelas 3, menyambi di tengah jadwal pelajaran tambahan yang memadat. Sayang sebatas pujian yang dituai. Para pencari bakat menilainya berpotensi namun faktor X itu masih belum nampak. Entah apa maksudnya. Pokoknya Jongin bersumpah terus berusaha, mencoba, dan mencoba sampai namanya diluluskan sebuah agensi. Tak peduli memakan setahun, dua tahun, yang pasti semangatnya tak bakal padam sebab nyalanya dilindungi oleh Kyungsoo.

***

“Dengan siapa kau pergi, Kyungsoo-ya?!” seru Ny.Do dari dalam.

“Jongin-ie!” jawab Kyungsoo yang sibuk menali sepatu di beranda. Nama Jongin seperti penjamin terpercaya. Jangan lupakan sejarah pertemanan mereka yang panjang. Perdebatan lanjut berisi wanti-wanti bahaya cuaca dingin berganti wejangan pemakaian mantel tebal, padahal yang dimaksud sudah membungkus dua lapis di tubuh. Demi Tuhan, ia sudah menginjak 19 tahun.

“Haruskah aku masuk dulu? Menyapa?” tanya Jongin yang sudah menunggu di pagar. Pakaiannya sama tebalnya, ditambah syal rajut hitam di leher. Topi juga, semenjak ia terlalu malas mengikat poni panjangnya.

“Jangan. Kuperingatkan. Ayo.”

Tahun baru dirayakan dalam empat hari ke depan. Menyisa waktu cukup panjang untuk menyiapkan pesta meriah. Walau begitu, Jongin dan Kyungsoo satu suara memajukan tahun baru mereka. Seperti setiap tahunnya. Pukul 9 malam ini tepatnya, mengingat Kyungsoo diharuskan tiba di rumah pukul 10-nya. Terserah melenceng terlampau jauh, dibanding berdesak-desakan di tengah himpitan tubuh dan berakhir melewatkan tahun baru di ruang tengah, menonton gegap gempita lewat siaran langsungnya di TV. Yang terpenting, mereka membagi kesenangannya.

Perjalanan mereka berakhir di pantai.

“Ini... ide buruk, kan?” komentar Kyungsoo. Mengingat-ingat apa berita mengabarkan kemungkinan terjadinya badai salju sehingga pantai melompong tanpa pengunjung. Ny.Do yang penikmat berita tidak berkata apa-apa, selain itu tidak terpasang tanda bahaya dalam jarak 100 meter, jadi seharusnya malam ini aman.

“Mm, mungkin ya, mungkin tidak. Setidaknya tempat ini privat untuk kita nikmati berdua. Kapan lagi, uh?,” Jongin menyikut lengan Kyungsoo. Tersenyum riang sembari mengedut-kedutkan puncak alis.

Kyungsoo memutar mata dan turun duluan ke pasir.

Plastik yang mereka bawa berisi kembang api, karpet plastik, minuman kaleng, dan terompet kecil. Semuanya terserak ke atas pasir, kecuali terompet tentu, dicek ulang keberadaannya. Dibantu penerangan senter, mereka berbagi tugas. Jongin mencari area kering untuk menancapkan pasak kembang api. Daya melanting ke udara dan warnanya sengaja diambil yang tidak mencolok untuk menjauhkan pencuri momen. Kyungsoo menyiapkan tempat duduk yang nyaman beradius 10 langkah jarak aman dari lokasi penancapan. Nanti ia yang menyulut api. Nyali Jongin ciut kalau disuruh melakukannya, lantaran takut gerakan kikuknya malah menggagalkan ledakan atau membakar tangan sendiri. Kegagalan yang memboroskan persediaan kembang api yang harganya melonjak mengikuti kenaikan permintaan.

Begitu siap, keduanya duduk di atas terpal, menghadap laut. Minuman kaleng—yang seharusnya diganti segelas kopi panas (siapa yang minum soda di tengah udara dingin?)—sudah dinikmati namun pertunjukan belum dimulai. Baru kembang api tetes yang dinyalakan, sementara yang berukuran sedikit besar disimpan di akhir menuju pukul 9.

Waktu sementara diisi obrolan soal rencana ke depan. Pembicaraan yang dipaksakan pembahasannya karena Jongin kerap mengawalinya dengan desahan penat dan mengakhirinya tanpa menyebut rencana spesifik.

“Punya pengharapan khusus?” tanya Kyungsoo, tetap bertanya, di tengah nyala kembang api tetes di tangan, sesudah pembicaraan soal lain-lainnya. Percikan nyalanya melawan gravitasi, menyisakan ekor abu yang terbang terbawa angin. Hanya ia seorang yang menikmatinya.

Lagi, desahan mengawali, diiringi kepulan asap dari celah mulutnya. Jongin menjawab tanpa nada. “Eobseo. Menurutmu aku sudah cukup beruntung?”

“Maksudmu?”

“Pujian-pujian itu. Satu kata ‘tidak’ mungkin pertanda baik. Setidaknya aku punya realita untuk dijalani dibanding menanti dan menanti. Menggantung harapan dengan pujian? Suatu saat aku harus meninggalkan dunia mimpi, membuka mata dan menyadari jalanku bukan di sini... Katakan aku salah.”

“Tuhan merencanakan sesuatu. Pasti. Kau diberi-Nya waktu menyiapkan yang lebih lagi dan jika Ia menghendaki... boom!” Kyungsoo mengilustrasikan gambaran kecemerlangan karir sahabatnya menggunakan bom tangan. “Para pencari bakat bakal menarik pujian dan berbondong-bondong berebut tanda tanganmu. Tunggu sebentar lagi, ya?”

Jongin mengiyakan seiring padamnya kembang api di tangan Kyungsoo. Semoga mimpinya tidak berakhir serupa abu-abu itu. “Otak mengarangmu masih berjalan, uh. Kuharap Tuhan di atas sana tak menjatuhkanku dari puncak kesombongan picik ini. Mm, ceritakan kuliahmu. Sudah punya teman?”

Sejauh ini, belum. Menjalin pertemanan di lingkungan baru adalah perkara gampang-gampang susah. Sejumlah sodoran tangan telah dijabat namun Kyungsoo menyimpan ajakan berteman sesungguhnya hingga usai mengobservasi personalitas orang-orang di kelas.

“Terdengar sarkastik, Kim Jongin,” jawab Kyungsoo, membalas sarkasme yang sebanding. Jongin selalu menyimpan kecemasan kalau Kyungsoo mengalami kesulitan membaur. Dulu ada dirinya, sekarang tidak. “Yah, usahaku tidak sepayah pikiranmu.”

“Ubah pertanyaannya. Sudah bertemu gadis ideal? Kenalkan padaku.”

“Jangan bercanda. Waktuku terlalu berharga disia-siakan untuk hal-hal semacam itu. Lagi pula, aku terbilang kalah kelas, jauh dibanding pemuda lainnya. Adikmu saja menolakku, ingat?”

“Kau lumayan tampan, Kyungsoo-ya. Berhenti mencari-cari kekurangan diri. Maklumlah, selera adikku memang payah. Mau-maunya memacari begundal, si Jongup itu. Eih, jam berapa?”

Pukul 8 lewat 47. Tinggal 13 menit menuju tahun baru versi mereka.

Kyungsoo menghampiri lokasi penancapan. Pasir di sana sudah dibuat menggunung dan diratakan menyerupai gundukan. Korek api dinyalakan dan sumbu disulut namun nihil. Di percobaan keempat sama saja. Tidak ada tanda-tanda bakal menyala. 

“Mana?” protes Jongin yang sudah meyumpal telinga.

“Tidak nyala,” jawab Kyungsoo yang belum lelah mencoba. Kesemua kembang api menunjukkan kegagalan serupa.

Dugaan sementara, mereka tertipu. Sepertinya pemilik toko memanfaatkan situasi. Kesempatan mendulang untung lewat cara licik, menjual stok lama yang tidak laik atau merek palsu dengan harga normal pasar.

Akhirnya Jongin yang gemas, turun tangan. “Coba sini.” Dengan sok berani menggesek batang korek tetapi hanya tercipta percikan kecil. Kelima percobaan yang dibuat hasilnya sama. “Makanya aku bilang bawa pemantik,” gerutu Jongin sebal lalu menyepak bungkus korek beserta isinya ke arah laut. 

Yah!” teriakan Kyungsoo dua detik tertinggal dari sepakan. Terlambat. “Aku cuma bawa satu tahu.”

Ye?”

Jongin bergegas melesat menuju titik jatuhnya bungkus korek. Mudah-mudahan masih mungkin menyelamatkannnya dari kuyup. Kyungsoo berdiri di sampingnya untuk bantu menyinari. Usaha pencarian terancam berbuah nihil. Air laut memang surut namun masalah utamanya adalah Jongin tidak punya petunjuk akurat di mana bungkus korek tadi mendarat. Ke sana kemari sedari tadi yang tergenggam berupa batu, pasir basah, dan serpihan karang.

Kyungsoo menolak tinggal diam dan turun tangan. Ia mencelupkan tangan ke ombak sebatas pergelangan kakinya dan meraba-raba.

“Ketemu!” teriak Jongin girang. Tangannya (sengaja) menyasar tangan Kyungsoo dan menjadikannya barang temuan. “Ow, lihat. Kita berjodoh”.

Candaan Jongin sebatas mengundang gedikan bahu. “Seriuslah sedikit,” Kyungsoo memutar mata sambil mengingatkan dan menarik tangannya dari pegangan. Demi Tuhan perayaan tahun baru kali ini urung terlaksana.

Jongin bersikukuh. “Lupakan kembang apinya, okay? Habiskan malam melakukan hal lainnya.” Mampir ke warung tenda untuk makanan panas terdengar normal di malam-malam biasa, kan? Kembang apinya mainkan di hari lain. “Ayo, sini,” kata Jongin, lagi-lagi menggenggam tangan Kyungoo yang sesungguhnya belum mau menyerah, membimbingnya ke bibir pantai.

Tiba-tiba sorot lampu senter kuning mengarah ke mata mereka diikuti panggilan, “Yah, kalian di sana!”

Sinyal: tidak bagus!

Mencium ‘bahaya’—risiko seriskan mampir ke kantor polisi, Kyungsoo mengambil inisiatif angkat kaki dan berlari. Jongin diajak turut serta, tertarik paksa mau tak mau sebab tangan mereka masih terkait. Barang-barang bawaan sementara ditelantarkan, melupakan harga mahal kembang api.

“Kalian!” teriakan itu berubah nada. Tidak terdengar murka tapi sudahlah. 

Kembang api seperti berusaha meledek pelarian mereka dengan meledakkan isinya. Rupanya memakan waktu sebelum sumbu habis. Sayang, pendar nyala dan letusannya hanya dapat Kyungsoo dan Jongin nikmati dari tempat persembunyian mereka. Di antara kapal-kapal nelayan yang bersandar di pelabuhan. Mereka sama-sama ingin kembali ke sana dan menyelamatkan yang tertinggal.

“Buat apa kita berlarian, uh? Punya petunjuk... siapa tadi?” tanya Jongin, meminta petunjuk situasi apa yang mengancam mereka.

Polisi patroli, mungkin? Entahlah. Kyungsoo angkat bahu kemudian tersenyum geli membayangkan kepanikan barusan. Lucu. Berada di pantai, bermain kembang api, jamak dilakukan. Apanya yang mengancam. Polisi sekali pun tak berhak menangkap.

Pukul 9 lewat 1 menit. Bukannya bertukar selamat tahun baru, Jongin malah mengumpat. “Kembang api sialan. Korek api sialan. Ajussi sialan entah siapa itu. Bagus sekali. Tahun ini kita awali dengan sangat buruk.” Kegusaran dilampiaskan dengan melayangkan tendangan ke udara kosong.

Opsi tersisa, rayakan tahun baru di tengah malam tanggal 31 atau duduk manis di depan TV.

“Mm, tanganku?” Kyungsoo perlu meminta dengan halus karena dilihat dari bagaimana Jongin menggenggam tangannya, keeratan itu baru terlepas kalau mengusahakannya secara kasar.

“Nanti dulu. Biar kuhangatkan tanganmu, ya. Sini...” Jongin memungut tangan Kyungsoo yang lainnya dan mengelus-elusnya di antara kedua belah tangannya. “Maaf menumpahkan kekesalan pada orang lain. Aku yang salah membuang koreknya. Tahun baru kita hancur karena Kim Jongin. Sebagai penebusan kesalahan, biar aku memberimu kehangatan ekstra.”

Pandangan mereka tertumbuk. Semacam gelombang magnetik menyerap rasionalitas Jongin. Entah mengapa, di matanya, Kyungsoo yang dikenalnya lebih dari 8 tahun itu kini tampak begitu mempesona. Mata bulat dan aura lovable yang terpancar darinya, alasan riil mengapa ia menyebut Kyungsoo tampan. Tolak ukur ketampanan tidak selalu lewat paras. Sejak pertemuan pertama, Jongin melihat Kyungsoo sebagai seseorang yang ingin ia lindungi dan miliki.

 

Miliki.

 

Di detik ini, Jongin ingin melakukan sesuatu, lebih dari sekadar mencubit dagu tembam Kyungsoo. Dibayangkan atau tidak tapi tatapan balasan yang diterimanya mengisyaratkan pengharapan serupa jalan pikirnya.

Debat pikiran tidak kentara itu diakhiri serangan mendadak Kyungsoo, yang menutup jarak di antara mereka. Sebuah kecupan ringan mendarat di bibir Jongin.

 

to be continued...

 

bagaimana? bagaimana?

terima kasih udah membaca. komen sangat menyemangati author.

kamsahamnida.

(btw, kalian yang VIXXO alias VIXX + EXO stan, baca juga VIXX fanfic Keo Stop Vertigo & What To Do)

 

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sungie_rima #1
Chapter 1: Jongin langsung percaya sama Do KyungSoo. Waw, jadi penasaran sama karakter D.o disini.
rainysummer #2
Chapter 7: Author, ini keren! Tapi kurang panjang :'3
MissKey693
#3
Chapter 7: aaaaaa... manis
sayang ajha KaiSoo belum bener-bener bisa bersatu.
ada beberapa paragraf yang artinya membingungkan, tapi kesuluruhan fic ini enak banget dibaca.
ahh.. sempat jejeritan sendiri pas baca bagian 'kaisoo moment nya'
pokoknya keren deh !

terus berkarya ya!!
semangat !!

p.s. Banyak-banyakin fic kaisoo, ne ?

hehe.
indahdo
#4
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk bosen buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
indahdo
#5
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk boseb buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
Mokuji #6
Chapter 4: Kisah cantik ...
LocKeyG #7
Chapter 4: woo..kaisoo emg selalt unik. . ..lanjut thor.. :-)