-05- L.O.V.E Pt.II

Magic Fingers

Jari manis: cinta (part 2)

Kyungsoo sudah meralat cara pandang terhadap sosok Byun Baekhyun, dari penjilat menjadi dewa penyelamat, semenjak kasus pelaporan pengeroyokan Jongin. Aksi diam yang dijalankan menjadi sia-sia sebab anggota cheerboy itu maju melaporkan kasusnya ke komite sekolah. Mau tidak mau para anggota tim basket menerima dispensasi khusus akibat bukti rekaman yang dibawa memberatkan alibi mereka, di mana wajah ketujuhnya terpampang jelas. Tidak disangka, di dalam tubuh gemulai Baekhyun tersimpan nyali sekokoh baja.

Peran dewa penyelamat kembali dilakoni saat Baekhyun membawa petunjuk penting keberadaan Kim Jongin—yang menghilang dari peredaran hidup Kyungsoo. Mahasiswa fashion itu mengaku melihat Jongin bertugas di salah satu carwash. Tidak sempat bertukar sapa sebab ketika keluar dari kotak cuci, Jongin tidak lagi terlihat.

Berikut kutipan poin penting statement Baekhyun di gerai kopi kemarin. ‘Bagaimana mungkin Kyungsoo dan Jongin terpisah dalam waktu lebih dari seminggu. Itu seperti memisahkan lebah pekerja dari ratunya.’ (Kenapa lebah? Baekhyun kebetulan mengenakan setelan hitam-kuning sehingga hewan itu terpikir dijadikan bahan perumpamaan).

Bagaimana mungkin lebah bertahan tanpa ratunya?

Bagaimana mungkin ratu lebah bertahan tanpa lebah pekerja setianya?

Bagaimana mungkin Kyungsoo/Jongin bertahan tanpa salah satunya?

M.U.S.T.A.H.I.L.

Keretakan persahabatan terendus. Jawaban kurang memuaskan Kyungsoo: sibuk dan sulit mengatur waktu, menelurkan berpuluh-puluh kalimat kekaguman terselubung tentang bagaimana-Byun-Baekhyun-dibuat-iri-oleh-pertemanan-kalian dan perasaan duka mendalam jika hubungan tersebut kandas. Semua disampaikan seolah dulu mereka adalah sepasang teman dekat.

Toh, pertemuan dengan Baekhyun membawa angin segar. Kyungsoo ditinggalkan tercenung di meja, bersama secarik kartu berisi alamat carwash dan se-cup latte traktiran.

***

Jongin benci dipasangkan satu sif bersama Kim Jongdae. Lupakan kesamaan dua suku kata pangkal nama mereka. Unggul faktor senioritas, baik usia pun pengalaman kerja, membuat Jongdae berlaku semena-mena, baik pada Jongin dan seorang pekerja paruh waktu lainnya, Kim Minseok. Sudah berusaha meminimalisir percakapan, Jongdae justru semakin tertantang mengusik ketenangan. Mulai dari panggilan fiktif dari pengawas dan pelimpahan tugas yang semestinya jatahnya.

Setiap momen menyebalkan terjadi, Jongin selalu ingat menutup mata, menghela napas, dan menghitung sampai tiga sebelum lanjut bekerja.

“Jongin-sshi, ada teman mencarimu!” teriak Jongdae dari pos pembayaran. Lagi-lagi mengambil jatah waktu bersantai 4 jam lebih awal. Tidak diragukan lagi, ia sedang duduk menyilang kaki ke atas meja sambil bermain game virtual di ponsel pintarnya.

Jongin di dalam bengkel kerja mendelik sebentar lalu melanjutkan tugasnya mengurusi kerja roda-roda mobil mewah tanggungannya hari ini tanpa tertarik menseriuskan panggilan. Taruhan yang barusan itu berlaku seperti yang dulu-dulu. Kalau dituruti, ia hanya akan memboroskan waktu bolak-balik dan kembali bekerja membawa dongkol.

Teman yang mana? Kyungsoo? Tsk, tsk. Kira-kira apa yang bakal dikatakannya?

“Benar-benar sedang sibuk atau sengaja menyibukkan diri, uh?”

Definitely! Sindiran semacam... O—

Bumper belakang sukses mencetak poin kemenangan atas rasa berdenyut di puncak dahi Jongin. Dari semua kejahilan Jongdae, Jongin menilai, lebih baik memboroskan waktu dan diserang dongkol dibanding menghadapi ini.

Kyungsoo, yang tidak dijumpainya selama 16 hari ke belakang, berdiri di belakang punggungnya, mengarahkan tatapan menagih dan terluka. Menuntut jawaban atas pertanyaan yang menghantui hari-harinya.

Mengapa Kim Jongin menjauhi Do Kyungsoo.

“Lihat, kan? Ia tidak sesibuk kelihatannya. Jongin-sshi, berhenti sebentar. Ladeni temanmu. Katanya kalian lama tidak bersua,” saran Jongdae, memakai lagak trademark-nya, mengayun-ayunkan tangannya memanggil.

Jongin perlahan berdiri namun tidak berniat menampakkan wajah. Ia terpaku di tempat dengan tangan terkepal di sisi tubuh, masih memunggungi Kyungsoo—dan Jongdae yang ikut menanti reaksinya.

“Nanti...” gumamnya berbisik, sama sekali tak ditangkap lawan bicaranya. Batas pemakaiannya absurd. ‘Nanti’, berarti mungkin besok, lusa, kapan saja atau tidak sama sekali.

Di tengah kelengahan Jongin menemukan sambungan kalimat ‘nanti’-nya, Kyungsoo membaca kesempatan dan melangkah mendekat. Sayang pikiran Jongin keburu mengunggulinya lima detik di depan. Tubuhnya berbalik cepat, berkelit menghindari Kyungsoo berikut cabikan tangannya yang berusaha menangkap ujung kausnya, dan melesat keluar bak kijang. Tidak mau ketinggalan, Kyungsoo mengekornya. Jongdae ditinggal mengumpat karena kerja Jongin otomatis jatuh ke tangannya.

Scene saling kejar-kejaran pun berlangsung di area terbuka. Keduanya menerobos trotoar, keramaian jalan, dan pelataran gedung pertokoan sambil mengamankan bahu dari pejalan kaki.

Jongin di depan sana, menutup telinga dari panggilan di belakangnya. Peduli apa dengan tanggapan orang sepanjang jalan. Kejayaan fisiknya di masa SMU tetap prima meski lewat setahun setengah tidak diasah. Kecepatan larinya sama dengan yang tercatat di stopwatch sebagai yang tercepat di kelas. Licinnya jalanan tidak menghambatnya.

Kyungsoo yang tertinggal, memacu lari sambil terus meneriakkan nama Jongin. Lebih kepada terbakar tekad karena frustasi memikirkan tiadanya kebaikan hari esok untuk pertemuan lain. Perasaan kehilangan yang benar-benar kehilangan meneror segenap kepercayaan diri Do Kyungsoo. Tidak menutup kemungkinan Jongin bakal melarikan diri lebih jauh. Ke tempat yang tidak ada satu pun manusia yang mengenalnya. Lalu jika itu terjadi, apa yang dapat dilakukan. ‘Konspirasi’ telah dibentuk keluarga Kim demi mengamankan keberadaan putera mereka, termasuk dari Kyungsoo. Secuil pun tidak. Entah cerita apa yang dibagikan.

Batasan fisik berbicara menggagahi tekad kuat Kyungsoo. Ia mengaku kalah. Kemampuan kaki sudah mencapai penggunaan maksimalnya dan napas memendek akibat menipisnya tekanan udara. Berlari di udara dingin menyesakkan rongga dadanya. Bebat pakaian tebal yang melapisi tubuh menambah penderitaannya. Dipaksakan sedikit lagi, bukan tidak mungkin ia jatuh lunglai dan pingsan.

Pencetakan rekor lari tercepat ketiganya pun dipastikan gagal.  

Jongin baru sadar akan lenyapnya irama langkah di belakangnya sewaktu berbelok di ujung jalan. Di tengah napas yang putus-putus ia berhenti menunggui sang pengejar, sembari menyiapkan kewaspadaan menyambung lari.

Terlalu lama!

Sosok Kyungsoo tidak kunjung menampakkan batang hidungnya, merubah kepanikan bertatap muka tadi menjadi kekhawatiran kalau-kalau telah terjadi sesuatu. Sejak kapan ia berhenti mengekor? Sejauh mana titik berhentinya? Kenapa ia berhenti?

Intuisinya—yang selama ini ditelantarkan—mengomando Jongin untuk berbalik dan menjemput Kyungsoo. Dan kali ini ia menurut.

Rupanya tidak sejauh yang dikira. Rupanya tidak semengkhawatirkan itu.

Kyungsoo berada di sebuah taman main yang sebelumnya berniat Jongin jadikan tempat persembunyian. Ayunan tempatnya duduk tidak lagi pantas diduduki pemuda seusianya namun momen itu mengembalikan Jongin ke masa dulu. Pertemuan pertama mereka.

“Menemukan yang kau cari?” Kyungsoo bertanya sembari menekuk lututnya. sebelum Jongin benar-benar tiba di sisinya namun ia pastikan pertanyaan barusan terdengar olehnya.

Terdengar satir. Itu sebuah sindiran.

“Ingat? Kau melewatkan ulang tahunku,” sambung Kyungsoo, mengeratkan pegangan di rantai penggantung yang berkarat, meresapi dinginnya. Kekecewaan atas kesalahan terberat Kim Jongin selama menjauhkan diri. Tahun ini yang pertama tanpa perayaan. Potong tart dan tiup lilin dijadikan momen introspeksi diri.

“Maaf.”

Terdengar getir. Padat penyesalan. Kesalahan itu bukanlah sesuatu yang diniatkan.

Keduanya tahu bagian mana yang memberatkan. Kejadian di tahun baru menyisakan kebingungan dan mungkin semakin bertambah persentase kekeruhannya jika salah seorang dari mereka angkat bicara. Niat meluruskan bukan tidak mungkin berujung pertengkaran yang diakhiri perpisahan yang benar-benar perpisahan.

“Apa poin meminta maaf sekarang? Kita berdua sama-sama salah. Sama-sama menjauh, tidak berniat mengusahakan pertemuan apa pun itu... Aku bakal melewatkan ulang tahunmu besok kalau kau mau kita impas.”

“Yang menjauh, aku. Yang salah, aku,” elak Jongin, menepuk-nepuk dada, menepis dalih Kyungsoo. Kecewa kata maafnya tidak diapresiasi lantaran Kyungsoo merasa berandil sama besarnya. “Tidakkah kau mengerti situasinya, uh?”

“Pembelaanmu memperburuk posisiku. Jongin-ah, kita berdua tahu siapa yang pantas disalahkan. Aku yang melakukannya, kan? Aku, kan?”

Pernyataan Kyungsoo dibantah lagi menggunakan kalimat yang sama. Aku-yang-salah. Penegasan dan pengulangan itu secara langsung memberi petunjuk di mana Jongin menempatkan diri. Oke, pribadi gagah yang mengakui kesalahannya sekaligus, ya, pemendam hasrat. Orang yang menyimpan niatan, hanya kalah langkah dari Kyungsoo. Dan ia kelihatan tidak bersedia menerima kenyataan bila hasrat tersebut tak berlaku sepihak. Bunyinya sama dengan milik Kyungsoo. Jujur di detik itu, entah mengapa, Kyungsoo berpendapat jika Jongin menyodorkan kesanggupan memenuhi harapannya. Kalau tidak, buat apa ia maju dan ambil inisiatif?

“Kau menyukaiku?” tanya Kyungsoo, mengundang pekikan tertahan berbunyi ‘Ya, Tuhanku’.

Jongin menjauh, menangkupkan kedua belah tangan ke wajah, mengumpat tanpa suara pada diri sendiri kemudian membuang muka, berikut rona bersemu di pipi. Tubuhnya kini berdiri memunggungi Kyungsoo.

“Begitu, kan, Jongin-ah?” desak Kyungsoo.

“Lupakan...”

“Ini. Aku bicara kenyataan tapi kau—“ Ponsel Kyungsoo berbunyi. Panggilan masuk dari nomor asing. Menganggu saja. Sudah me-reject untuk menyambung perkataan, si pemilik nomor asing bersikukuh nomor Kyungsoolah yang berniat dihubungi. Membaca niat si penelepon, ia bersedia memberi kesempatan. “Yeoboseyo? Benar, Do Kyungsoo di sini. Siapa yang sedang bicara?” Jeda cukup lama diisi penjelasan panjang lebar dari seberang sambungan. Tentang siapa dan untuk apa aku mencarimu. “Yi... ne? Yi Xing-iyeyo?”

Menangkap nama itu, Jongin mendelik ke balik bahu. Yi Xing, teman Cina yang pandai menari itu? Kenapa menghubungi Kyungsoo?

Ne? Jongin-ie?”

Namanya yang disebut-sebut membuat Jongin benar-benar berbalik menghadap Kyungsoo yang tengah mendongak dan mencari kontak matanya. Ponsel segera diangsurkan. Jongin-lah yang dicari.

“Cepatlah. Sambungannya interlokal,” Kyungsoo menyambar tangan Jongin dan menggenggamkan ponselnya. Yi Xing menghubungi dari Changsa, satu provinsi di Cina.

Pembicaraan berlanjut satu arah sebab Jongin menanggapi lawan bicaranya dengan anggukan bisu yang hanya dapat dilihat Kyungsoo, celetuk oh-uh-ah-eh berulang, dan goyangan bahu ke kiri ke kanan yang gelisah. Begitu sambungan diputus, kesimpulannya menghilangkan aura kehidupan di wajah Jongin. Lebih kepada terkejut sangat sehingga bingung harus bereaksi bagaimana. Berita yang dibawa Yi Xing di luar kemampuan penerimaan ekspektasi.

“Apa? Apa katanya, uh? Apa?” desak Kyungsoo penuh keingintahuan, mengguncang-guncang lengan Jongin.

Tangan lawan bicaranya terayun mengangsurkan ponsel, mengembalikannya. Tidak selamat sampai ke tangan si pemilik karena arahnya nanar. Sesudahnya Jongin ditenggelamkan lautan pikiran. Desakan bertubi-tubi dari Kyungsoo bak angin lalu.

“Kyungsoo-ya...” panggil Jongin pelan. “Mimpiku tamat. Berakhir...”

Ketiadaan ekpsresi di wajah Jongin menulari Kyungsoo serangan panik. Sesuatu yang buruk telah terjadi walau intuisinya kabur. “Apanya yang berakhir?!” tanya Kyungsoo panik. Selama ini penggunaan kata tamat dan berakhir mengindikasikan suatu keadaan yang kurang baik, buruk malahan. Tamat sudah riwayatnya. Menamatkan hidup. End.

Mimpi Jongin tamat, artinya tiada lagi kesempatan. Peluang menjadi penari profesional tertutup sama sekali. Selamat tinggal mimpi.

Kejam. Kenapa kabar buruk itu perlu datang dari Yi Xing yang notabene penghidup mimpi Jongin. Kenapa di antara semua, orang itu adalah Yi Xing? Tahu begitu, panggilan tadi akan Kyungsoo tolak selamanya.

Bermaksud menyuntikkan suntikan penyemangat dan empati mendalam, Kyungsoo melingkarkan lengannya dan menghadiahi Jongin pelukan. Di saat-saat kelam seperti sekarang tiada hal yang lebih dibutuhkan selain sebuah pelukan hangat yang efektif mengurangi kesedihan. Jongin pun sepertinya tidak keberatan dan balas memeluk.

“Sudah, sudah. Kutegaskan padamu, apa pun yang terjadi... aku akan selalu di sisimu. Selalu. Jangan khawatir...”

“Kyungsoo-ya...”

Uh?” sahut Kyungsoo, sedikit merasa aneh sebab Jongin tidak terdengar terguncang.

“Kurasa, kau salah mengerti maksudku.”

‘Tidak, aku sangat mengerti. Aku paham—”

“Yi Xing mengundangku latihan bersamanya di Changsa... Ia janji mengenalkanku pada agensinya...”

Kyungsoo melepas pelukan dan mendelik sangsi. “Apa katamu?”

“Kau mendengarku. Penantianku berakhir. Aku tidak perlu bermimpi lagi!” Sekarang ganti Jongin yang memeluk dan mengajak Kyungsoo berputar-putar sampai ia sadar reaksi sebaliknya yang didapat. Kyungsoo tidak seantusias dirinya. “Yah, katakan sesuatu.”

“Kim Jongin pabo, neo! Benahi kalimatmu. Kau menakutiku!” teriak Kyungsoo, berlagak menghukum Jongin dengan jitakan kepala.

“Apanya? Aku berkata benar, kan? Tuhan benar-benar menyiapkan kejutan dan yep, kau benar. Rencananya berhasil.” Jongin mencium telunjuknya dan mengacungkan satu jentikan ke udara, mengirim ucapan terima kasihnya pada Tuhan.

Duh.

Kyungsoo mengurut dahi. Dibanding mengingatkan kekeliruan penggunaan kata, ia memutuskan diam dan menempati posisi semula. Dilema. Bukan bermaksud egois meremehkan esensi menggembirakan tawaran Yi Xing dan merusak euforia Jongin namun alangkah baiknya meluruskan ‘masalah’ terlebih dulu di tempat pertama.

Perasaan yang mereka punyai harus dibawa ke arah mana? Dikubur dalam-dalam atau dijajaki?

Seakan membaca maksud pergerakan Kyungsoo yang kembali menempati ayunan dengan wajah muram, Jongin tahu selayaknya ia menuruti sahabat—ani. Masih pantaskan peran itu disematkan manakala dirinya menginginkan Kyungsoo sebagai seorang spesial?

Jongin menjatuhkan pantatnya dan duduk bersila kaki di muka Kyungsoo. Tarikan diikuti hembusan napas panjang menandai awal pengakuannya.

“Musim semi setahun lalu, ingat? Ibumu cerita kalau cinta pertamamu datang berkunjung. Tentang bagaimana kedekatan kalian di masa kanak-kanak sebelum kepindahanmu. Entah mengapa kabar itu mengusik ketenangan tidurku... aku... membayangkan kalian menumbuhkan benih-benih yang layu dan... Kau tahu, akhir bahagia di buku cerita.”

Jongin menegakkan lipatan kakinya sebelum melanjutkan. “Itu sebabnya aku datang di hari itu. Aku mau memastikan... oh,” keluhnya mengingat betapa buruk pengharapannya. “Ya, aku senang gadis itu turut membawa kekasihnya dan hanya mengingatmu sebagai cinta pertama. Ya, aku lega kau tidak menunjukkan ketertarikan apa pun pada gadis itu.”

“Maksudmu kau cemburu pada Hyewon?” tanya Kyungsoo, hati-hati menyimpulkan.

Jongin mengacak-acak poninya. “Ne,” jawabnya dengan nada sedikit miris. “Kuberi kau keleluasaan. Sebut aku orang aneh.”

Ani. Kurasa aku tidak lebih normal darimu. Ingat di kelas 1 SMP dan 2 SMU? Siswi bernama Taeahn dan Saeyoung?”

“Siapa?”

“Eih, mau pura-pura, uh? Lim Taeahn dan Woo Saeyoung?”

Jongin mengutuk ingatan kuat yang dipunyai Kyungsoo. Bagaimana mungkin ia sendiri lupa di saat dengannyalah kedua gadis itu berkepentingan. Dua gadis yang memberinya surat pengakuan. “Ke-kenapa dengan mereka?” Bodohnya, ia percaya Kyungsoo tidak pernah mengetahui soal kedatangan Taeahn dan Saeyoung yang susah mati ditutup-tutupinya.

“Awalnya keduanya minta bantuanku untuk menyampaikan surat mereka padamu. Tebak, ya, aku tolak iming-iming voucher belanja buku itu berikut tawaran bergabung ke tim basket.” Rahasia yang belum pernah diceritakan Kyungsoo. Voucher belanja setengah harga adalah tawaran menggiurkan di masa itu. Tawaran bergabung ke tim basket itu juga—di mana Saeyoung adalah keponakan pelatih tim.

Mengulangi reaksi Jongin saat mengenang bagiannya, Kyungsoo juga tersenyum-senyum sendiri mengingat pengharapannya pada kedatangan para gadis itu. Penolakan. “Tapi aku tidak menyesal. Aku berhasil mempertahankan sesuatu yang jauh lebih berharga dibanding tawaran itu. Sesuatu yang sulit ditakar harganya. Dirimu. Keberadaanmu di sisiku. Dan seperti yang kau alami, aku lega bukan kepalang begitu tahu kau menolak keduanya. Aku senang kau tidak menseriuskan pengakuan mereka,” Kyungsoo menepuk bahu Jongin, “Masih berpikir hanya kau satu-satunya orang aneh di sini?”

Rona itu terpampang jelas. “K-kau juga menyukaiku. Begitu?” tanya Jongin memastikan kesamaan latar belakang di balik keanehan milik Kyungsoo. 

Duh. Duh. DUH!

“Dengar baik-baik. Aku bersedia meneriakkan sejuta kali agar kau tidak berpikir hanya dirimu yang rasakan perasaan itu. Aku bersedia mengulangi kesediaanku agar kau tak meragukan perasaanku,” tutur Kyungsoo, lugas menyuarakan isi hati. “AKU MENYUKAIMU KIM JONGIN!”

Teriakan Kyungsoo mengagetkan Jongin. Bukan sekali ia mendengar pengakuan aku-suka-padamu namun sensasinya berkali-kali sebab ia mengharapkan balasan yang sama. Sumpah, ia merasakan panas di telinga, degub keras di dada, dan gelitik senang di aliran darah. Sensasinya melebihi yang dirasakan sewaktu mendengar tawaran Yi Xing beberapa menit lalu. Dan yang ia lakukan adalah membuang pandangan ke tanah, takut Kyungsoo mengolok rona merah padam di seluruh wajahnya.

Yah, Kim Jongin. Sebatas begini saja reaksimu, uh?”

Beri aku waktu, Kyungsoo-ya, erang Jongin sebelum akhirnya menegakkan kepala dengan kikuk, memberanikan diri menatap mata lawan bicaranya lurus-lurus. “B-boleh aku...” Jongin memulai terbata-bata, mengulurkan tangannya. Ya, ia lihat itu. Keseriusan dan keteguhan Do Kyungsoo berikut pengharapan yang serupa jalan pikirnya. Bodohnya jika masih menyisakan keraguan di hati. “...tanganmu.”

Wae?” tanya Kyungsoo heran, meski begitu tetap memberikan yang diminta.

Jongin menyambut, perlahan menggenggam jemari Kyungsoo. Ketenangan perlahan merasukinya. “Gomawo, Kyungsoo-ya, untuk tidak membuatku menjadi satu-satunya orang aneh, merasa aneh, bodoh...”

“Sederhanakan kalimatmu,” gerutu Kyungsoo, geram dibuat menunggu lama. Poinnya tinggal membalas pengakuan, kan?

Tangan Kyungsoo mendadak disentak ke depan sehingga tubuhnya sukses mendarat di dada Jongin—plus tulang pipi menabrak tulang bahu—tanpa berkesempatan memperkirakan efek jatuhnya. Sakit, tapi Kyungsoo menahannya sebab Jongin terdengar terisak di bahunya. Kepayahan mengungkapkan perasaan membuat Jongin beruraian air mata.

Kyungsoo menerjemahkan gumaman tidak karuan Jongin sebagai jawabannya.

Aku juga menyukaimu, Kyungsoo-ya.

Kini mereka dapat bernapas lega. Persoalan terselesaikan, kesalahpahaman menjernih, beban itu sirna, dan petualangan sebagai mereka pun dimulai. Tantangan utamanya adalah bagaimana menjaga dan mempererat hubungan. Bersikap lebih matang dan memutuskan suatu perkara di masa depan secara bersama. Masalah sudah pasti datangnya kelak akan tidak terduga. Kyungsoo belum berani memprediksi namun ada satu yang ‘menghadang’ di depan.

Tawaran Yi Xing.

 

to be continued...

 

bagaimana pembaca semua?

komen ditunggu, kalo bisa tentang isi ceritanya ya...

kamsahamnida...

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sungie_rima #1
Chapter 1: Jongin langsung percaya sama Do KyungSoo. Waw, jadi penasaran sama karakter D.o disini.
rainysummer #2
Chapter 7: Author, ini keren! Tapi kurang panjang :'3
MissKey693
#3
Chapter 7: aaaaaa... manis
sayang ajha KaiSoo belum bener-bener bisa bersatu.
ada beberapa paragraf yang artinya membingungkan, tapi kesuluruhan fic ini enak banget dibaca.
ahh.. sempat jejeritan sendiri pas baca bagian 'kaisoo moment nya'
pokoknya keren deh !

terus berkarya ya!!
semangat !!

p.s. Banyak-banyakin fic kaisoo, ne ?

hehe.
indahdo
#4
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk bosen buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
indahdo
#5
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk boseb buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
Mokuji #6
Chapter 4: Kisah cantik ...
LocKeyG #7
Chapter 4: woo..kaisoo emg selalt unik. . ..lanjut thor.. :-)