-03- Direction

Magic Fingers

Telunjuk: arah.

Baekhyun panik memberitahu Kyungsoo jika sejumlah senior tim basket mengeroyok Jongin di dekat bak sampah, belakang sekolah. Ia menangkap mata namun tak cukup bernyali melaporkan pada pihak berwenang.

Kyungsoo meninggalkan essai-nya, mencetak rekor lari tercepat sepanjang hidupnya, lekas menyambangi lokasi.

Tidak ada!

Jongin tidak dijumpainya di titik yang diinformasikan. Ya Tuhan, ke mana?

Pesan yang masuk ke ponselnya memberi petunjuk berarti. Kyungsoo mencetak rekor lari keduanya di hari yang sama.

Entah bagaimana caranya Jongin tiba di atap dalam keadaan selamat. Ia menyandar santai di tembok beton bak tampung air. Lambaian lemah ia berikan saat wajah Kyungsoo muncul.

Yah, cepat ju—“

Kerah seragam Jongin direnggut kasar dan ia pasrah dijadikan sasaran pelampiasan emosi. Tubuhnya diguncang-guncang bak heoni, boneka busa beruang madu milik Kyungsoo. Alter ego atas kemarahan terpendam.

“Sudah kuperingatkan. Sekarang lihat akibatnya, kan?!” teriak Kyungsoo di depan wajah Jongin, sebentar mengabaikan kesemerawutannya. Seragam kotor, wajah memar, dan rambut kusut bukan apa-apa dibanding kekhawatirannya.

Diguncang estafet ke segala arah, Jongin merasa perutnya bergejolak. Isi lambungnya terkocok-kocok. Walau semestinya ia bersyukur kepalan tangan tidak menyasar ke tubuhnya seperti nasib si malang heoni.

“Berhenti atau aku muntah di bajumu!” ancam Jongin di tengah upaya menutup mulut. Tubuhnya dilepaskan tepat sebagaimana Kyungsoo membuang heoni ke kotak sampah. Ia tersentak ke belakang dan mengerjak-ngerjapkan mata mengusir pening. Lewat setengah detik, cairan berlendir itu siap menodai keputihan seragam Kyungsoo. Jongin menepuk-nepuk bahu Kyungsoo sebagai ucapan terima kasihnya.

Wae? Siapa yang kau ajak berkelahi, uh?”

Jongin menegakkan punggungnya susah-payah bertelekan siku. “Ralat tuduhanmu. Mereka yang mulai duluan.” Dirinya disudutkan sewaktu mengosongkan keranjang sampah dan mengiriminya pukulan bertubi-tubi. Orang-orang pengecut, beraninya main keroyokan. Pukulan mereka pun tergolong lemah seperti tak tega mengeluarkan daya terlalu banyak—atau karena mereka bergerak dipandu perintah bukan insting berkelahi. Terlebih Chanyeol yang enggan turun tangan sendiri. Bocah elf sialan itu—menilik bentuk cuping telinganya yang menyerupai makhluk fiksi itu.

“Mereka tidak melakukannya kalau kau tak memprovokasi. Apa yang kau katakan?”

Tuduhan yang semakin mengotori jati dirinya. Begitukah personalitas Kim Jongin dinilai? Pencari masalah?

“Kita sahabat, Kyungsoo-ya,” tekan Jongin. Tandai dengan font tebal. Salahkah seorang sahabat membela sahabatnya? “Tentu aku tidak berdiam diri melihatmu disepelekan. Itu seperti mengejekku juga.”

“Kau pikir dirimu berhak kuhadiahi penghargaan khusus atas dedikasimu, uh, Kim Jongin?”

Jongin menelan ludah. Namanya selalu disebut utuh penuh penekanan manakala Kyungsoo merasa kecewa berat terhadapnya dan tersinggung atas sikapnya. Pernah satu kali saat Jongin tak menepati janji bermain karena ketiduran. Kedua saat Jongin meninggalkannya piket sendirian karena terseret kemalasan. Dan sekarang. Tentulah kekecewaannya berlipat-lipat. Memberi pembelaan tanpa diminta bukan peran heroik yang dibutuhkan Kyungsoo. Itu sama saja mengolok-olok harga dirinya. Secara tidak langsung mencap Do Kyungsoo tak sanggup mengusahakan sendiri keselamatannya.

“Ma-maaf, Kyungsoo-ya. Bukan maksudku...“ kata Jongin, sedikit kesal sebab sulit menjelaskan jika ini dilakukannya murni atas nama persahabatan, bukan sok berlagak dan ia minta pengertian Kyungsoo dan tak menghakiminya. “Yah, katakan sesuatu.”

Kyungsoo tetap menelungkupkan wajahnya ke puncak lutut. Menyulitkan Jongin menangkap perubahan ekspresi lawan bicaranya setelah permintaan maaf tercetus. Apa ditolak? Apa perlu diulangi lagi? Apa kurang tulus?

Titik air itu jatuh, membekas di lantai beton. Payung bayangan semakin memperjelas titik itu bukan hanya satu. Teman-temannya menyusul. Bukan hujan di siang terik ini.

Kyungsoo menangis.

Detik itu Jongin merasa menjadi pendosa besar yang telah menyebabkan sahabatnya meneteskan air mata. Karena kebodohannya. Karena kealpaannya. Karena dirinya. Harusnya ia tahu Kyungsoo setengah mati mengkhawatirkannya.

Jongin bergerak mendekat. Kyungsoo di hadapannya tak ubahnya bak benda rapuh yang membutuhkan perlindungan. Namun baru tangannya terangkat hendak mengelus puncak rambut Kyungsoo, tubuhnya keburu didudukkan ke lantai. Kyungsoo melingkarkan lengannya dan memeluknya erat sebagaimana ia mendekap heoni yang diselamatkan dari tumpukan sampah.

***

Hamparan langit di atas mereka menyerupai permukaan laut biru muda berhiaskan garis-garis ombak putih. Serasa sedang berjemur di pantai dengan pose berbaring berselonjor kaki yang nyaman seperti sekarang ditambah teriknya udara. Jam menunjukkan pukul 4 sore dan suasana damai ini menahan mereka berlama-lama di atap sekolah. Memilih diusir penjaga yang berkeliling dalam sejam ke depan.

Kejadian pengeroyokan tadi sepakat didiamkan. Ide melaporkan seisi tim basket dengan rencana memaksa Baekhyun buka mulut buru-buru disanggah. Kyungsoo sebagai pemberi ide dan Jongin sebagai orang yang menolak keras. Anggap saja impas, dalam hati Jongin berharap Tuhan mengabulkan doanya untuk menebus tangis Kyungsoo dengan kebaikan di masa depan. Lagi pula diakuinya ialah tersangka utama. Ingat insiden jari.

“Kyungsoo-ya,” panggil Jongin.

Orang di sampingnya bergumam pelan. Sudah bangun tetapi matanya tetap terpejam.

“Tidurmu nyenyak?”

“Tidak pernah seenak ini. Kau sendiri?”

Jongin mengeluarkan gerutuan panjang bersama kuapnya. “Tidak pernah seburuk ini. Bibirku berdenyut-denyut, punggungku ngilu, dan perutku lapar,” lalu menyambung kuap sesaat setelah merenggangkan tubuhnya.

Kyungsoo terkekeh, mencibir keluhan yang disampaikan penuh lagak kekanakan barusan. Mimik pun ditambahkan, menambah kegemasan aksinya. Kalau saja tak terdapat luka di wajah, Kyungsoo senang hati menghadiahi Jongin cubitan.

Menolak terlarut rasa bersalah—di kepala mengutuk bagaimana kejinya orang-orang yang memukuli Jongin, pandangan Kyungsoo kembali ke angkasa, membidik salah satu garis awan dengan telunjung menerawang. “Junmyun bilang, entah besok atau lusa, sekolah membagikan kertas observasi minat... sudah berencana menulis apa?”

Topik yang diangkat membuat Jongin mengerang dan membalik tubuh ke arah satunya. Memunggungi Kyungsoo. Jika masalah ulangan harian mendadak belum cukup memusingkan, mengisi kertas observasi adalah yang terburuk. Kertas kosong yang hanya melampirkan kolom nama dan kelas, selebihnya titik-titik kosong yang menuntut isian paragraf yang menceritakan masa depan. Cita-cita.

Haruskah menseriuskannya di awal semester. Mereka bahkan belum familiar dengan suasana baru di kelas 2.

Jongin punya trauma karena berpikir pendek dan asal tulis. Semasa SD wali kelas menanyakan cita-cita seisi kelas dan meminta mereka untuk menuliskan janji dalam selembar kertas yang berisi upaya untuk mencapai cita-cita tersebut. Tujuannya baik. Menanamkan tanggung jawab dan kegigihan kepada peserta didik untuk berusaha menggapai cita-citanya itu, bukan sekedar bercita-cita tanpa tahu upaya yang harus dilakukan. Kegiatan yang agaknya kurang perlu mengingat pola pikir anak usia 8 belum terlalu luas. Bayangan masa depannya mengambang. Kebanyakan menulis pekerjaan ayah-ibu masing-masing dan lain-lain yang terdengar mustahil diwujudkan. Superhero penjaga langit-bumi. Bagaimana mewujudkannya?

Tahu yang ditulisnya? Komikus. Sebab nilai seninya lumayan jadi ia menulis, ‘Aku berjanji akan berlatih membuat komik selama satu jam sehabis pulang sekolah’ di lembarnya. Tahu yang terjadi? Guru seni akhirnya menjadi rekan akrabnya sepulang sekolah dan mengawasi janjinya itu. Apakah ia berlatih membuat komik atau tidak. Tahu akhirnya? Jongin menghadap wali kelas, minta dipindahkan ke kelas mengarang, semacam klub sastra di tingkat SMU. Di sana ada Kyungsoo yang memotivasinya.

Sekarang Jongin menolak mempertaruhkan waktunya. Apa yang akan dituliskan adalah apa yang tubuh, pikiran, dan hatinya inginkan. Sedari awal ia tak punya ketertarikan spesifik di satu bidang tertentu namun bukannya ia tidak menyiapkan satu opsi. Katakanlah ia belum yakin sepenuhnya.

“Setidaknya, kau punya sesuatu yang ingin kau lakukan, kan?” tagih Kyungsoo, menyederhanakan pertanyaannya. Menilai jeda diamnya Jongin terlalu panjang.

“Ceritakan bagaianmu dulu.”

“Ceritakan apa? Sama dengan yang dulu-dulu. Lulus SMU, kuliah, lulus kuliah, cari kerja... hidup normal, berkeluarga... Tidak terdengar menarik, kan? Ayo, punyamu.”

Desahan panjang dihembuskan Jongin sewaktu mengembalikan posisi. Ternyata ia dikerjai. “Aku belum menceritakannya pada siapa pun terkecuali cermin kamar mandi dan peralatan mandi...”

“Apa? Penyanyi?” tanya Kyungsoo, menyebut hal yang termungkin dilakukan di bilik sempit kamar mandi. Pikirannya antusias membayangkan aksi sok gaya Kim Jongin yang menjadikan cermin sebagai penonton, lalu menjamah kepala shower dan menjadikannya stand mic dadakan.

“Suaraku itu bencana. Semua agensi akan mengatakan ‘tidak’ bahkan saat aku baru mengenalkan diri.” Alasannya menuai tawa. Jongin bangun dari tidur dan memiringkan pandangan ke arah Kyungsoo yang menatapnya penasaran. “Aku ingin menari. Menjadi penari profesional.”

“Serius?”

Pertanyaan balik Kyungsoo terdengar seperti kesangsian yang Jongin takutkan. Berikutnya kepercayaan dirinya jatuh dan mimpi itu terpaksa dikubur lebih awal. Dibanding membahas lebih jauh, Jongin memilih menepi ke pagar pembatas.

Kyungsoo tahu di mana letak poin kesalahannya dan menghampiri Jongin, bergabung di sisinya. Menyamakan pandangan dengan lawan bicaranya yang pikirannya telah melesat jauh meninggalkan pemiliknya. “Kenapa berhenti? Perdengarkan padaku detailnya.” Jujur, ia penasaran. Belum sekali pun rencana itu diutarakan. Malah ia mengira Jongin akan menseriuskan hobi menggambar, merealisasikan cita-cita gagalnya dulu, komikus, dari sketsa-sketsa yang memenuhi halaman belakang buku teks pelajarannya.

“Tampaknya... passion-ku diperuntukkan menghidupkan gerakan-gerakan tubuh. Ingat pagelaran perpisahan sekolah dulu? Penampilan anak pindahan dari Cina, Yi Xing, benar-benar membuka mataku. Aku membayangkan betapa menakjubkannya diriku ketika meliuk gemulai di atas panggung...”

Kyungsoo mengangguk, lupa-lupa ingat anak berlesung pipit sebelah itu. Setidaknya Jongin punya potensi. Koordinasi tubuhnya mendekati sempurna, terbukti di jam olahraga. Menari dan olah fisik sama-sama membutuhkan konsentrasi memadukan gerak, jadi Kyungsoo meyakini penuh perwujudkan mimpi tersebut. “Aku percaya. Kau pasti bisa. Mana mungkin aku meragukan kekuatan tekadmu. Sudah memulainya? Maksudku, mencoba melakukan gerakan-gerakan itu?”

Jongin mengangguk malu-malu. Sepulangnya dari pagelaran, ia menyalakan radio di headset dan menggerakkan tubuhnya sesuai irama. Sebelum tidur, di bangun tidur, saat menuruni tangga... Setiap ada kesempatan. Tanpa keberadaan seorang pun di sekitar  pastinya.

“Bagaimana kau melakukannya? Begini?” Kyungsoo ambil langkah mundur. Merentangkan tangan dan meliukkannya bergelombang seperti tentakel gurita. Selanjutnya ia menghentak-hentakkan kaki, membuat gerakan menyerupai shuffle dance, versi berantakan.

Yah, yah, stop, stop. Kau terlihat seperti cumi-cumi tersedak,” erang Jongin, memalingkan mata, tak tega menyaksikan aksi memalukan Kyungsoo. Alih-alih tersinggung, Jongin justru bernapas lega. Orang yang meragukannya bukanlah Kyungsoo.

“Kuberitahu kau. Itu gurita. Jongin-ah, sepantasnya aku iri pada cermin kamar mandimu...” keluh Kyungsoo, menyindir. Kenapa rahasia penting begini perlu disembunyikan darinya. Toh, ia 100%  mendukung cita-cita sahabatnya, semenggelikan apa pun kedengarannya.

Jongin menangkap aura kecemburuan di sana. Lagi, ia merasa berdosa menyimpan sendiri ceritanya. “Besok, sepulang sekolah, temui aku di sini, ok?” Sepertinya ia siap menunjukkan seberapa seriusnya Kim Jongin dalam menata mimpi untuk menjadi penari profesional. “Kutunjukkan beberapa gerakan—”

“Benar?! Bocorkan sedikit sekarang, boleh?” desak Kyungsoo, menunjukkan betapa besar keingintahuannya.

“Lihat saja nanti.”

“Eh, tunggu. Besok?”

“Punya rencana, uh?”

“Ti-tidak juga. Baik. Besok.”

Yah, kalian!” teriak suara di ambang pintu atap.

Waktunya pulang.

***

Pelataran atap siang itu jadi panggung perdana Kim Jongin. Sebuah pemutar kaset portabel disiapkan berikut kaset instrumental di dalamnya. Penampilannya agak dimodifikasi. Lengan kemeja disingsing, menampilkan otot lengan yang terlatih. Kaki celana sebelah kiri digulung selutut a la KARA, grup idola populer semasa promosi Mr. Topi pet bertengger di kepala, diposisikan serong ke kanan.

“Tinggal tekan tombol play, kan?” tanya Kyungsoo, satu-satunya penonton di sana, mengenai perannya. Teknisi panggung bagian stereo.

“Akh, kau mengacaukan mood-ku,” keluh Jongin sembari berbalik badan, protes persiapan matangnya diinterupsi pertanyaan super tak penting. Dan ia terpancing oleh pertanyaan super tak penting tersebut. “Maaf...”

“Salahku. Jja, bersiaplah.”

“Lihat baik-baik. Awas kalau kau memalingkan pandangan sekali saja.”

Tidak akan, jamin Kyungsoo membatin.

Jongin mengangkat tiga jari, aba-aba kapan tombol harus ditekan.

1.. 2.. 3! Musik pun mengalun.

***

Jongin mengakhiri penampilan dengan membungkuk ke arah penonton dan menaruh topinya ke dada. Tepuk tangan pun membahana. Tidak semeriah nantinya namun menumbuhkan kebanggaan tak terperi. Kyungsoo menghadiahinya standing ovation dan senyum lebar. Baginya itu melebihi segalanya.

Kyungsoo sulit menemukan kata-kata pasnya. Sempurna! “Kau benar-benar...” Ia mengekspresikan kalimat ‘aku benar-benar bangga padamu’ dan sejenisnya dengan mengguncang-guncag bahu Jongin, persis seorang appa di hari pembagian rapor. Semenit lamanya sebelum Kyungsoo teringat sesuatu. “Jangan ikuti aku.” Ia berlari menyiapkan kejutannya.

Jongin berdecak geli melihat yang dibawakan. Harusnya ia menyoal kotak yang dibawa Kyungsoo. Tart mini satu tingkat berhiaskan potongan stroberi melingkar. Lilin kecil menyala tertancap di tengah. “Ayolah, jangan mendramatisir. Ini kan—“

Prakiraan Jongin keliru. Keberadaan tart itu bukan bertujuan merayakan penampilannya. Bodohnya, hari ini adalah ulang tahunnya!

Lantunan lagu ‘Selamat ulang tahun’ didendangkan solo tanpa cela oleh Kyungsoo bagi si party boy melupakan hari kelahirannya. Jongin yang terpana, menunggu giliran untuk mengajukan protes. Kenapa ia tidak diingatkan. Dua hari lalu, 12 Januari ulang tahun Kyungsoo maka, dua harai berikutnya, 14 Januari, ulang tahunnnya.

“Selamat ulang tahun ke-17, Jongin-ah. Mulai sekarang, hidup akan mulai berubah dengan cepat. Kau harus belajar mengemban tanggung jawab, membangun mimpimu, dan terus menjadi sahabat terbaik Do Kyungsoo. Ayo, ucapkan harapanmu.”

Jongin kalah telak. “Tsk, kau mengambil bagianku. Apa lagi yang kuinginkan selain menggapai cita-cita dan tinggal di sisimu, Chinguya.”

“Lekaslah,” Kyungsoo meminta Jongin mempercepat prosesi. Ia kewalahan memayungi nyala lilin dari angin. Sedikit menyesal hanya membawa satu, pendek pula—menyesuaikan ukuran diameter tart.

Jongin ambil tempat di hadapan Kyungsoo, menutup mata dan memadamkan lilinnya. Ketika ditanyakan isi pengharapannya, ia hanya tersenyum.

 

p.s. Pengharapan Jongin berisi semua hal-hal baik untuk Kyungsoo karena berjasa mengukir sweet seventeen berkesan di hidup Kim Jongin.

 

to be continued...

komen sangat menyemangati author, lho.

kamsahamnida^^

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
Sungie_rima #1
Chapter 1: Jongin langsung percaya sama Do KyungSoo. Waw, jadi penasaran sama karakter D.o disini.
rainysummer #2
Chapter 7: Author, ini keren! Tapi kurang panjang :'3
MissKey693
#3
Chapter 7: aaaaaa... manis
sayang ajha KaiSoo belum bener-bener bisa bersatu.
ada beberapa paragraf yang artinya membingungkan, tapi kesuluruhan fic ini enak banget dibaca.
ahh.. sempat jejeritan sendiri pas baca bagian 'kaisoo moment nya'
pokoknya keren deh !

terus berkarya ya!!
semangat !!

p.s. Banyak-banyakin fic kaisoo, ne ?

hehe.
indahdo
#4
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk bosen buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
indahdo
#5
Chapter 7: annyeong author..

ceritanya simple & menarik^^
gk boseb buat bacanya
apalagi chara nya kaisoo coulpe
suka suka suka :)
Mokuji #6
Chapter 4: Kisah cantik ...
LocKeyG #7
Chapter 4: woo..kaisoo emg selalt unik. . ..lanjut thor.. :-)