Heartlines

Heartlines [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Beberapa minggu ke depan masih lembab. Nenekku sedikit mengamuk saat peramal cuaca di televisi meramalkan hujan akan turun pada siang hari dan sore hari sepanjang minggu. Meskipun begitu, ramalan cuaca tersebut pun tidak menghalanginya untuk tiada henti mengadakan jamuan minum teh dan makan siang, dan juga tidak menghentikan teman-temannya untuk datang ke rumah kami.

Untung saja, aku cukup sibuk sepanjang minggu ini. Aku membenahi kostum yang akan Jongin kenakan dan tidak lama setelah itu, kami akan mulai syuting. Eun Hye telah lama mempersiapkan lokasi syuting, yaitu unit studio kuno milik ayah angkatnya, yang hanya berjarak beberapa blok dari kafe. Studio tersebut cukup luas dengan tiga ruang. Aku membantu mendesain dan mendekorasi lokasi dengan teman sekelas kami yang berasal dari klub drama.

Di hari pertama syuting, Jongin terlihat seperti kesulitan menghafalkan dialognya. Mungkin hal tersebut dikarenakan ia sudah lama tidak akting. Sebelum kami meninggalkan studio, Eun Hye memberikan Jongin satu hari untuk mengingat dan mempelajari dialognya untuk adegan-adegan tertentu.

Kembali pada pekerjaanku, aku menawarkan Jongin bantuan, seperti berlatih bersamanya. Awalnya ia tidak ingin mengakui bahwa ia membutuhkan bantuan, namun akhirnya ia menyerah.

Aku berada di studio saat aku tidak bekerja di toko. Saat aku membantu teman sekelasku dalam dekorasi dan mempersiapkan set untuk syuting selanjutnya, seseorang menepuk bahuku. Orang tersebut adalah Jongin, ia memegang naskah yang ia gulung di tangannya. Aku memberitahunya untuk menunggu hingga aku menyelesaikan tugasku. Jongin menganggukkan kepala dan pergi menuju ruangan lain dimana para aktor mengganti pakaian mereka. 

Setelah hampir satu jam, aku kira Jongin akan tidak sabar dan meninggalkan studio karena aku memakan waktu lebih lama dari seharusnya. Namun saat aku menuju ke ruangan tersebut, Jongin sedang duduk dengan santai di kursi kecil, membaca buku. Ia mengalihkan pandangannya dari buku dan menanyakan apakah aku sudah selesai dan kapan kami bisa mulai.

Kami berada di studio satu jam kemudian dan merasa lega melihat Jongin serius dengan perannya, karena jujur saja aku tidak berpikir ia akan seperti itu. Mungkin sedikit, tapi melihat bagaimana ia ingin mendalami karakternya agar ia mampu berakting dengan akurat, Jongin benar-benar serius. Aku pun terpukau.

“Jadi kau ingin menjadi peramal?” Jongin bertanya.

Kami baru saja selesai berlatih dan aku sedang membereskan barang-barangku di meja. Sedikit bingung akan pertanyaannya, aku menatapnya dan merasa pipiku memerah saat aku melihatnya memegang salah satu bukuku dengan seringai jahil.

“Kembalikan padaku!” teriakku saat aku berusaha mengambil buku tersebut dari genggamannya. Ia berdiri dari tempat duduknya dan menaikkan lengannya yang memang cukup panjang keatas, dengan seringai jahil di mukanya. “Kembalikan, Jongin!” teriakku sembari melompat berkali-kali mencoba untuk meraihnya. Hal tersebut sangat sia-sia, mengingat Jongin sangat lebih tinggi dariku.

“Hanya jika kau melihat masa depanku.” Ia menggodaku dengan senang.

Akupun merasa kesal dan meraih ujung kemejanya saat aku mencoba melompat lagi. Namun, aku menarik kemejanya terlalu keras dan saat aku melompat, dan kami berdua mendengar suara sobek. Jongin berhenti tertawa dan melihat kemejanya yang kini terdapat robekan besar di bawah ketiaknya.

“Oh Tuhan!” aku terengah dan akupun menggigit bibir bawahku untuk menahan tawa. Jongin tidak sadar aku tertawa tanpa suara, ia sibuk memperhatikan kemeja sobeknya dan aku mengambil kesempatan itu untuk meraih bukuku.

“Kau merobek kemejaku.” Ujar Jongin. Aku tidak dapat mengartikan tatapannya. Tapi kutebak ia terkejut.

“Maaf aku tidak merasa bersalah.” Aku menyeringai padanya dan menggeggam bukuku. Aku membalikkan badan dan tertawa sembunyi-sembunyi saat aku menuju tasku.

“Aku baru saja membeli kemeja ini.” Ujarnya, mengikuti langkahku ke meja.

“Kau sebaiknya berhenti membeli baju dari toko itu.” Kataku sambil memasukkan buku tersebut ke dalam tasku. “Karena sepertinya kain yang mereka gunakan tidak seberapa bagus.” Aku menunjuk ke arah kemejanya.

Jongin menatap kemejanya dan kembali padaku. “Atau mungkin kau ternyata seorang laki-laki,” candanya. Aku tersenyum kecil dan menggelengkan kepala.

Ia tetap menggodaku akan buku tersebut dan bagaimana aku ternyata seorang laki-laki dibalik sosok perempuan saat kami mengunci studio dan berjalan menuju halte bus.

“Kenapa kau tidak mau membaca masa depanku?” ia bertanya untuk kelima kalinya malam itu saat kami menuju ke halte. Ia menunjukkan telapak tangannya padaku.

Aku menatapnya yang sedang tersenyum lebar. “Tidak ada yang namanya ‘membaca masa depan’, oke?” tekanku.

“Buku tersebut tentang membaca telapak tangan.” Ia menunjuk tasku. “aku telah membacanya dengan cepat saat menunggumu tadi siang.”

“Kau melihat-lihat barangku?”

“Buku itu sudah ada di atas meja saat aku melihatnya.” Balasnya. Lalu ia mulai menerka-nerka tentang hal-hal yang ia pikir telah aku prediksi atau hal-hal yang ingin kuketahui di masa depan seperti apakah aku akan lulus sekolah atau aku akan lolos ujian untuk masuk ke universitas atau aku telah memprediksi ia akan menjadi pemeran pria utama.

“Benar sekali. Aku telah memprediksi kau akan sangat amat menyebalkan.” Ujarku dengan senyuman sarkastik namun ia tidak mempedulikanku dan terus menerka-nerka.

“Dan aku bertaruh kau juga ingin tahu kapan kau akan bertemu kekasihmu, atau bagaimana tampangnya—“

“Aku sudah mengetahuinya.” Aku menyela ucapannya.

“Apa?”

Aku meliriknya dari samping. “Kubilang aku sudah tahu bagaimana ia terlihat.”

Jongin menatapku sejenak. “Oh, kau sudah mempunyai kekasih.” Ujarnya dan iapun mengalihkan pandangannya ke jalan.

“Iya.” Jawabku meskipun itu tidak terdengar seperti pertanyaan. Dan aku tidak mengerti mengapa aku merasa gelisah. Aku rasa ia juga merasa gelisah karena ia mendadak terdiam.

“Jadi,” ia mencoba dengan keras untuk memulai percakapan, “apakah ia berada di sekolah yang sama?”

Aku mengerutkan dahi. “Rasanya aku pernah memberitahumu sebelumnya aku dari sekolah untuk perempuan?”

“Ah benar! Aku lupa.” Kata Jongin, tersenyum pada dirinya seraya memasukkan tangannya ke dalam kantong celananya.

“Ia pergi ke luar kota untuk dua hari ini.” Ujarku dan Jongin mengganggukkan kepala.

Bus telah tiba dan kami berdua pun menaikinya. “Jadi, ia tidak masalah bahwa kau ternyata laki-laki?” ujarnya tiba-tiba saat kami telah duduk. Aku memicingkan mata padanya dan menolehkan kepala ke arah jendela untuk menyembunyikan senyuman kecilku.

Di hari kemudian, kami melanjutkan syuting film kembali setelah kerja kami selesai. Eun Hye terlihat sangat antusias dan takjub tidak hanya karena Jongin tapi juga seluruh kru kami. Jongin menyarankan untuk melanjutkan berlatih bersamaku. Aku setuju akan hal itu karena dapat memberikan keuntungan besar untuk film kami.

“Kau mau kemana?” Tanya Jongin sewaktu makan siang. Aku sedang berjalan menuju dimana para pegawai biasanya makan, lalu tiba-tiba Jongin menepuk bahuku dengan ringan. “Kupikir kau akan membantuku berlatih?” kata Jongin.

“Memang.” Aku memastikan. “Aku hanya berpikir mungkin kita dapat makan siang dahulu.” Aku mengangkat makan siangku kepadanya.

“Baiklah, ayo makan siang dahulu.” Ujarnya, ia menarik tanganku untuk mengikutinya berjalan ke jalan kecil dan sempit menuju ke bagian belakang toko.

Aku ingin bertanya dimana kami sebenarnya pergi karena aku biasanya makan bersama pegawai lainnya dan kami tidak berjalan ke arah tersebut. Kami berjalan melalui ruangan kerja dan danau, setelah beberapa menit aku baru sadar kemana kami berjalan.

Seperti pegawai lainnya di toko, aku biasanya bertanya-tanya dimana Jongin biasanya makan siang. Sekarang kalau aku memikirkannya lagi, aku merasa sangat bodoh. Tentu saja ia akan makan siang di rumahnya sendiri karena jaraknya yang sangat dekat. Namun, kami tidak memasuki pintu depan. Jongin berjalan menuju bagian belakang rumah dan aku mengikutinya setelah ia memanjat tangga kayu kecil.

“Jadi, kau biasanya makan siang di sini?” aku bertanya padanya setelah kami sampai di atap.

Jongin menggerakkan alisnya dan tersenyum lembut, di lengannya terdapat naskah. “Indah, bukan?”  ujarnya seraya menatap sekeliling lalu ke langit yang terbentang biru.

“Iya.” Aku benar-benar setuju akan hal tersebut. “Namun nanti akan turun hujan.” Ujarku mengingatkan.

Jongin menunjukkan jari telunjuknya melintasi bahuku. Aku menoleh ke belakang dan tersenyum. Setengah dari atapnya terbuat dari fib

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 15: sebenarnya jongin suji cocok bersama...
mereka bisa sama2 saling menguatkan satu sama lain...
suthchie #2
Chapter 14: walaupun break, seharusnya juga ngak gitu juga kali...
gimana kalo ntar malah keterusan...
untung suji orangnya baik
suthchie #3
Chapter 13: Jongin emang perhatian banget...
suthchie #4
Chapter 12: Semoga saja jongin ngak suka eunhye...
suthchie #5
Chapter 11: Kurasa suji lebih membutuhkan jongin, dari pada keluarganya sendiri
suthchie #6
Chapter 10: Siapapun yang ditekan oleh orang tua pasti mereasa marah...
suthchie #7
Chapter 9: Mungkin benar juga kalo jongin ang suka...
Tapi kalo ada jaehoon, kayaknya biasa aja dink
suthchie #8
Chapter 8: Padahal hubungan mereka udah makin dekat...
Kenapa harus ada masalah
suthchie #9
Chapter 7: Yah kok balikan sih
suthchie #10
Chapter 6: Ciye yang makin deket sam jongin