The Grey Hour

Heartlines [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Ada beberapa saat dalam di hidupku dimana aku tidak ingin merasa bahagia. Karena aku menyadari bahwa jika kau sedang teramat bahagia, atau senang, sesuatu yang buruk akan menimpamu. Mungkin tidak seburuk itu namun ada hal-hal yang akan membuatmu merasa sedih, sendirian, atau bodoh. Jadi, terkadang aku tidak ingin merasakan apapun untuk beberapa saat karena kebahagiaan? Itu hanya sementara.

Seminggu setelah aku berulang tahun yang ke enam belas, hal tersebut terjadi padaku. Di waktu yang sama pula aku memuntahkan segala sesuatu yang telah kumakan untuk pertama kalinya.

Dan aku merasa aku kembali ke masa itu lagi.

 

Setelah aksi histerisku, seperti yang nenek katakan, di restoran tersebut, aku dikurung di rumah hingga awal semester kedua. Mama dan nenek benar-benar mengamuk saat mereka tiba di rumah, mereka berkata bahwa aku membuat mereka malu di hadapan teman-teman mereka dan juga orang lain. Mungkin aku benar-benar membuat mereka malu karena pada saat teman-teman nenek hadir, mereka berbisik-bisik tentangku. Jujur saja, aku tidak peduli. Aku bahkan tidak ingat bagaimana aku pulang ke rumah. Mungkin aku naik taksi karena semua uang di dompetku habis tidak tersisa.

Akibat marah denganku, mama memaksaku untuk keluar dari tempat kerja dan mungkin saja ia memaksaku berhenti dari pembuatan film pendek jika tidak karena rayuan Hye Rin.

“Hai.” Ujarku tersenyum kepada wanita yang sedang menjaga kasir. Kamis siang ini hamper seminggu sejak insiden tersebut dan semua orang di rumah mengira aku sedang berada di studio. Namun aku tidak ada kekuatan untuk bekerja. Aku menghabiskan waktuku dengan berkeliling kota lalu aku berhenti di toko donat setelah berkelana di kafe dan restoran makanan cepat saji sejak dua jam yang lalu. “Saya pesan sekotak donat. Yang satu lusin.” Ucapku pada wanita tersebut.

“Baiklah,” wanita itu tersenyum dan menuliskan pesananku, “itu saja?” ia menatapku dan menawarkan milkshake enak yang pada akhirnya aku tambahkan dalam pesananku.

Setelah memakan sekotak donat dan meminum milkshake, aku berjalan pendek ke toko kue dimana aku membeli sepiring cupcake dan croissant. Toko kue ini tidak terlalu padat seperti toko donat tadi, aku duduk di meja kosong dan memakan segalanya.

“Hmm,” seseorang bergumam di belakangku, membuatku membeku.

Aku membalikkan badan dan melihat salah satu teman sekelasku. Ia berdiri di belakangku, dengan matanya yang memperhatikan piring berisi croissant di mejaku, lalu ke arah kue keringku. Ia mendesah dramatis dengan matanya yang ber-eye liner tebal.

“Kebiasaan lama memang susah matinya, ya?” ujarnya dengan senyuman tidak enak namun familier di mukanya.

Aku merasa seakan tenggorokanku tercekat, namun aku mampu menahan raut mukaku dengan tenang. Dari semua orang yang aku kenal, mengapa aku harus bertemu dengannya? Kami bukan teman, namun juga bukan musuh. Tetapi ia tahu tentang penyakitku, karena ia juga memilikinya.

“Aku tidak mengerti kau sedang berbicara apa.” Jawabku, berpura-pura kebingungan.

“Aduh, please.” Decaknya. Ia mendekat padaku dan menatapku lekat-lekat dengan nafasnya yang berbau rokok, membuatku ingin menampar senyuman itu darinya. “Tapi kau pasti ingat dengan apa yang aku bilang sebelumnya, bukan?” ia bertanya dengan suara rendah yang sangat berbahaya. “Aku turut bersedih telah mengatakannya padamu.” Aku memalingkan pandanganku, tanganku menggenggam sisi kursiku dengan kuat. “Sampai berjumpa di sekolah.” Aku mendengarnya mengatakan hal tersebut seraya menepuk ringan bahuku.

Sat aku melihatnya meninggalkan kafe, aku mengingat kembali perkataannya tahun lalu, saat aku berhasil lepas dari kondisi ini. Dengan senyuman yang sama ia berkata padaku, “Nanti juga akan kembali,” ujarnya dengan meyakinkan, “Mungkin saat ini kau berhasil mengenyahkannya, namun suatu saat hal itu akan kembali. Kau tidak akan bisa menghilangkannya.”

Aku menarik nafas dengan sedikit gemetar untuk menenangkan diri dan mengusapkan tanganku yang berkeringat pada celanaku. Aku melirik ke arah piring makananku, semuanya kosong—

“Hei.”

Aku terlompat dari tempat dudukku dan memekik kecil saat seseorang menepuk bahuku.

“Maaf aku—“ suara seorang lelaki terdengar di telingaku.

“Jongin?” kataku dengan tidak percaya saat aku melihatnya. Aku berdiri dengan jantungku yang masih berdebar dengan hebatnya.

“Maaf.” Ucap Jongin dengan tulus. “Aku tidak bermaksud mengejutkanmu.”

“Tidak apa-apa,” aku tertawa dengan tegang. “A-ada urusan apa di sini?” aku tidak menyangka akan bertemu dengannya di sini, terutama setelah aku menghabiskan sepiring penuh croissant dan juga kue kering. “Sudah berapa lama kau berdiri di sana?” tanyaku cepat-cepat, aku khawatir ia mendengar pembicaraanku dengan teman sekelasku.

“Aku tadi di kasir,” Jongin menjelaskannya dengan mengangkat sekotak cupcake di tangannya, “dan sepertinya aku mendengar suaramu. Sudah hampir seminggu kita tidak bertemu, jadi aku berpikir untuk menyapamu.” Ia tersenyum kecil dengan kedua sisi matanya yang menyipit, “Hai.”

“Hai.” Kataku, aku merasakan sebuah senyuman mulai terbentuk di wajahku yang membuatku merasa aneh dan asing akan hal itu. Namun senyuman Jongin terlalu menular dan cerah, membuatku tertawa kecil.

“Pergi bersama teman?” Tanya Jongin, melirik mejaku. “Gadis itu tadi,” tambahnya saat aku menatapnya kebingungan, “Yang tadi kau berbicara dengannya.” Akhirnya aku mengerti apa yang ia maksud karena makanan yang aku pesan dapat mengenyangkan dua sampai tiga orang.

“Oh, bukan, bukan.” Jawabku sedikit memaksakan untuk tertawa, “Itu tadi teman sekolah. Kami tidak sengaja bertemu dan bercakap-cakap singkat. Sebenarnya aku datang dengan keluarga.” Aku berbohong seraya memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana. “Mereka pulang terlebih dahulu. Kau mau berjalan-jalan di luar?” tanyaku, mengganti topik pembicaraan dan mengambil tas.

 “Tentu saja.” Ia menganggukkan kepala. “Jadi, apa kabar?” ia bertanya kepadaku saat kami berjalan di jalan setapak.

“Aku baik-baik saja.” Jawabku, menyusuri sepanjang jalan dengan tatapanku. “Hanya sedikit salah paham dengan mama. Kau tahu, pertengkaran ibu dan anak pada umumnya.” Jongin menganggukkan kepala tanda setuju.

Lagi-lagi, aku mengganti topik pembicaraan dengan bertanya bagaimana keadaan produksi saat aku tinggal dua hari. Jongin bercerita padaku tentang adegan yang mereka rekam dan bagaimana Eun Hye membenci perias penggantiku, dan aku tidak dapat menahan tawaku.

“Aku akan datang Jumat ini.” Aku memberitahu Jongin.

“Baguslah. Aku cukup merindukan perias kegemaranku.” Ujar Jongin yang sedang menatapku. “Dan karena perias pengganti tersebut merusak kostumku.”

Aku merasa daguku terlepas. “Tidak mungkin.”

“Kau benar-benar harus datang dan membenarkannya.” Ujar Jongin yang sedang tertawa karena reaksi yang aku tunjukkan.

Bertemu dengan Jongin membuatku sadar akan bagaimana aku merindukan teman-temanku dan pergi bersama mereka. Jujur saja, aku merasa tidak enak bergabung dengan mereka karena apa yang sedang aku lalui, tetapi aku perlu keluar. Keluar dari rumah dan meninggalkan segala aura negatif yang ada. Eun Hye terlihat sangat lega saat ia melihatku dan langsung bercerita tentang apa saja yang aku lewatkan dua hari ini.

Jae Hoon meneleponku dua kali pada hari ini. Ia pergi dengan keluarganya untuk berkunjung ke rumah kakek-neneknya beberapa hari yang lalu. Ia tahu tentang apa yang terjadi minggu lalu dan berkata bahwa aku harus membiarkan mama agar tenang terlebih dahulu. Aku juga berkata padanya aku kembali bekerja.

Meskipun aku percaya padanya, aku tidak dapat bercerita tentang kambuhnya penyakitku. Saat aku mengaku padanya untuk pertama kali tentang hal itu pada masa pemulihanku, ia mendukungku dan mengerti keadaanku, namun ia berlaku seakan-akan ia adalah terapisku dan bertanya padaku tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyakitku dan aku tidak menyukainya. Aku tahu ia peduli akan keadaanku dan aku benar-benar menghargainya, namun alasan mengapa aku tidak ingin pergi ke terapis karena…aku percaya pada diriku sendiri aku dapat melaluinya.

Jae Hoon, kakakku, dan Eun Hye adalah orang-orang pertama yang kuberitahu tentang hal ini saat aku merasa aku kembali pada masa abu-abuku. Mereka benar-benar memberikan dukungan padaku dan aku tahu mereka juga merasa susah. Senyuman tulus mereka saat aku memberitahu mereka bahwa aku sudah pulih benar-benar berharga. Aku tidak tahu reaksi mereka akan hal ini jika mereka tahu aku kembali seperti dahulu kala.

Aku tersenyum pada Eun Hye yang sedang duduk di seberang meja. Kami sedang mengadakan makan-makan di studio setelah kami selesai syuting. Ia tersenyum kembali padaku dan aku tidak tahu apakah aku harus merasa lega bahwa ia tidak sadar akan kambuhnya penyakitku.

Benar adanya, aku memang aktor yang baik. Tid

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 15: sebenarnya jongin suji cocok bersama...
mereka bisa sama2 saling menguatkan satu sama lain...
suthchie #2
Chapter 14: walaupun break, seharusnya juga ngak gitu juga kali...
gimana kalo ntar malah keterusan...
untung suji orangnya baik
suthchie #3
Chapter 13: Jongin emang perhatian banget...
suthchie #4
Chapter 12: Semoga saja jongin ngak suka eunhye...
suthchie #5
Chapter 11: Kurasa suji lebih membutuhkan jongin, dari pada keluarganya sendiri
suthchie #6
Chapter 10: Siapapun yang ditekan oleh orang tua pasti mereasa marah...
suthchie #7
Chapter 9: Mungkin benar juga kalo jongin ang suka...
Tapi kalo ada jaehoon, kayaknya biasa aja dink
suthchie #8
Chapter 8: Padahal hubungan mereka udah makin dekat...
Kenapa harus ada masalah
suthchie #9
Chapter 7: Yah kok balikan sih
suthchie #10
Chapter 6: Ciye yang makin deket sam jongin