Color Me With Butterflies

Heartlines [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Dering bel tanda pelajaran berakhir memenuhi lorong sekolah. Aku melihat teman sebangkuku berdiri saat wali kelas kami memanggilnya. Aku merapikan barang-barang yang ada di mejaku, berdiri dan memanggul tasku di bahu. Aku bersama dengan teman sekelasku menyerahkan pekerjaan rumah kami kepada teman sebangkuku yang sedang berdiri di depan pintu kelas, mengumpulkan makalah kami, saat aku keluar dari kelas.

“Hey, Su Ji!” salah satu teman sekelas baruku memanggilku saat aku berada di koridor. “Selamat ulang tahun!” ia tersenyum padaku. Aku merengut padanya, terheran-heran bagaimana dia dapat mengetahui ulang tahunku karena ia masih baru di sini. Lagipula, hari ini masih Senin, dan ulang tahunku jatuh pada hari Jumat.

Sebelum berbelok, gadis itu melambaikan amplop berwarna biru lalu ia menghilang.

“Selamat ulang tahun, Su Ji!” Gadis lainnya menyapaku saat ia melewatiku. “Aku akan datang Jumat ini!”

“Apa—“ Aku memanggil mereka namun mereka telah berjalan. Ia juga membawa amplop biru. “Eun Hye!” Aku memanggilnya saat aku tiba di lobi sekolah.

“Mama kamu menyebarkan undangan lebih awal dari tahun lalu.” Ujar Eun Hye, mengangkat amplop biru miliknya. “Dan undangan ini beraroma.” Aku mengerang frustasi dan mengambil amplop dari tangannya.

Eun Hye tertawa kecil saat aku membuka amplop dengan tatapan tidak senang. Ini adalah undangan ulang tahunku. Dipersiapkan, didesain dan disebarkan sendiri oleh mama, tentu saja aku tidak mengetahui hal ini.

“Menurutmu berapa banyak ia menyebarkannya?” Aku bertanya pada Eun Hye dan membaca undangan.

“Karena kau senior,” Ucap Eun Hye, “Aku bertaruh semua anak angkatan kita.” Aku melihat sekeliling lobi dan melihat hampir semua anak yang berjalan melalui kami sedang membawa amplop biru. Mereka tersenyum padaku dan beberapa diantara mereka menggerutu karena aku tahu orang tahu mereka akan mewajibkan mereka datang karena keluarga kami adalah “teman”.

“Mengapa ia selalu melakukan hal ini?” aku menggerutu, meremas amplop tersebut dan melemparnya ke tempat sampah lalu aku menyilangkan lenganku di dada, merasa sebal.

“Hei, itu undanganku!” Eun Hye memprotesku, “Bercanda.” Tambahnya saat aku menatapnya tajam.

“Ia tahu betapa aku membenci ulang tahun!” aku menggerutu sendiri. Aku mulai berjalan dengan cepat ke arah gerbang dan Eun Hye mengejarku. “Dan ia selalu merencanakan pesta bodoh ini!”

Aku mendengar Eun Hye mendesah, “Su Ji,” Ia memulai perkataannya, “Bukannya aku berpihak pada mamamu, tapi menurutku ini waktumu untuk, kau tahu, merayakan ulang tahunmu.”

Masih merasa frustasi, aku melirik teman baikku sebelah mata. Ia sedang menatapku dalam.

“Aku yakin papamu ingin kau merayakan ulang tahunmu.” Eun Hye melanjutkannya. Aku mengalihkan pandanganku darinya dan mendesah, kerutan di wajahku mulai menghilang. “Jangan marah.” Tambahnya.

“Aku tidak marah.” Jawabku dengan jujur, meskipun aku masih merasa berat akan pesta ulang tahun ini. Aku melirik ke arahnya sekali lagi. “Sungguh.”

Saat kami keluar dari gerbang, terdapat banyak orang di luar, kebanyakan dari mereka adalah murid-murid yang sedang pergi bersama setelah pulang sekolah. Bagaimanapun juga, meskipun suasana ramai, mataku dengan otomatisnya melihat lelaki tinggi yang sedang bersandar pada truk. Ia sedang bercakap dengan Kyungsoo saat ia menyedot minumannya. Lalu, seolah ia tahu aku sedang menatapnya, Jongin dengan santainya menolehkan kepalanya ke arahku dan tersenyum secerah matahari Selasa siang ini.

“Ia sungguh tampan.” Eun Hye mendesah di sebelahku.

Ia memang benar-benar tampan. Ia sedang mengenakan kemeja biru tua, lengannya ia tekuk hingga mencapai siku, yang ia kenakan bersama jeans, sepatu kets dan kacamata hitam. Ia terlihat seperti model yang sedang berdiri dengan santai dan rambutnya tertiup ke samping karena angin siang yang berhembus. Beberapa gadis dari sekolah kami tidak dapat menahan rasa kagum mereka akan dirinya.

Aku menyetujui ucapan Eun Hye. Lalu, aku mengikutinya berjalan ke arah para lelaki. Kami berencana untuk bertemu seusai sekolah hari ini karena Kyungsoo dan Chanyeol sedang ada waktu luang untuk berbicara tentang produksi film. Chanyeol dengan baiknya membawa truknya sehingga kami tidak perlu naik kendaraan umum ke studio.

“Hai, Su Ji!” Chanyeol tersenyum lebar padaku saat kami tiba pada tempat mereka berada. “Dimana undangan kami?”

Aku mengerjapkan mata. “Undangan apa—“ Jongin menunjuk seorang gadis yang sedang membawa amplop biru di seberang kami. “Oh, itu..” aku mengerang.

“Teman sekolahmu tidak dapat diam akan hal ini.” Ucap Kyungsoo yang kini tersenyum.

“Apakah kami diundang?” Tanya Jongin, melepas kacamata hitamnya.

“Tentu saja.” Ujarku setelah berpikir untuk beberapa detik.

Jongin mengangkat alisnya. “Tidak terdengar tulus bagiku.” Ujarnya dengan bercanda.

“Bukan begitu,” kataku dengan cepat.” Aku benar-benar ingin kalian datang.”

Eun Hye tertawa kecil dan merangkul bahuku. “Bisakah kau berhenti cemberut karena hal itu?” ujarnya, “Kami akan datang.” Lanjutnya, “Kami tidak akan menghancurkan ulang tahunmu.” Ia mengedipkan mata padaku dengan jahil.

“Aku tahu.” Aku tertawa kecil juga, teringat akan bagaimana Da Hee dan ia memulai perang makanan tahun lalu yang membuat mamaku marah. Tapi hal tersebut benar-benar lucu dan menyenangkan.

“Sekarang, dimana Da Hee?” ujar Eun Hye. Ia mengambil ponsel dari kantong seragamnya.

“Aku sudah memiliki sesuatu tentang nenek.” Ujar Jongin padaku diam-diam. Aku mendongak menatapnya, alisku bertaut karena ingin tahu. “Kau memintaku untuk menunjukkan sesuatu yang menggambarkan nenek, kan? Kapan kau akan mulai melukis?” Ia mengingatkanku.

“Oh benar. Benar sekali.” Ucapku, mengingat-ingat percakapan kami malam kemarin di telepon. “Maaf. Aku sedang memikirkan sesuatu.”

Jongin tersenyum lebar. “Menanti-nanti ulang tahunmu?”

“Sudah kubilang aku benci ulang tahunku.” Ujarku dengan senyuman lemah. Jongin menatapku, senyuman di wajahnya mulai menghilang saat ia menyadari bahwa aku sedang tidak bercanda. Lalu matanya berkedip menatap arah belakangku. Dengan sangat samar, ekspresi wajahnya menjadi kaku.

Aku menatap arah belakangku dan melihat Jae Hoon berjalan mendekati kami. Aku hampir saja lupa bahwa ia akan datang seusai sekolah. Sekolahnya hanya berjarak lima menit dari sekolah kami. Ia masih mengenakan seragamnya, lengkap dengan jasnya, dan meskipun hari sudah siang, ia masih terlihat bersih dan tampan, matanya menatap aku dan Jongin.

“Hai,” sapanya dan ia mengecup pipiku dengan singkat dan menyelipkan tangannya pada tanganku. “Hei,” sapanya pada Jongin dengan senyuman kakunya. Jongin hanya memiringkan kepalanya dan mengalihkan tatapan. “Bisakah aku berbicara denganmu sejenak?” Ia bertanya padaku dan aku menganggukkan kepala.

Ia menarikku menjauh dari kerumunan. Kami berjalan menuju kursi yang terbuat dari batu dua meter dari arah kami.

“Bagaimana harimu?” Tanyaku.

“Melelahkan.” Ia mendesah dan memicingkan mata karena sinar matahari yang menyinari area di sekitar kami. “Aku menerima undangan pesta ulang tahunmu pagi ini. Undangannya cantik sekali.”

Aku mendengus. “Tentu saja, mama mempersiapkan segalanya.”

“Ia hanya ingin semuanya sempurna untukmu.”

“Aku tidak menginginkan segalanya menjadi sempurna.” Gumamku.

Jae Hoon mendesah pasrah. “Aku akan pergi ke country club hari ini. Bisakah kau datang dan menontonku bermain?” ia bertanya, menatapku.

“Sudah kubilang aku akan ada—“

“Produksi film, ya.” Ia memotongku dengan jengkel, “Tidak dapatkah kau sekali saja melewatkannya?”

“Jae Hoon, batas pengumpulannya adalah bulan depan.” Aku beralasan, “Aku tidak dapat melewatkannya kali ini. Lagipula, apabila kami dapat selesai lebih awal maka kita akan mempunyai banyak waktu bersama.”

“Tapi aku ingin menghabiskan waktu dengamu sekarang.” Protes Jae Hoon, “Kita tidak menghabiskan musim panas bersama seperti dahulu kala. Kau sangat sibuk karena produksi film. Aku hanya ingin menghabiskan waktu bersamamu. Kupikir kita akan membenahi hubungan kita?”

“Memang.” Kataku, menggigit bibir bawahku dengan rasa bersalah. Memang benar apa yang ia sampaikan, kami biasanya menghabiskan musim panas bersama, bahkan, kami benar-benar tidak terpisahkan namun musim panas lalu benar-benar kebalikannya.

Jae Hoon menyisiri rambutnya dengan jemarinya dengan kesal dan berdiri. “Pergilah,” ujarnya. Ia tidak terdengan marah atau sedih, hanya kelelahan. “Aku akan menemuimu besok saja.” Ia mundur, menyapukan rambut di wajahku dengan lembut.

“Tidak,” Ucapku, “Aku akan pergi bersamamu hari ini.”

“Kalau hal tersebut memang penting,” ia memulai ucapannya, “aku mengerti—“

“Tidak, tidak begitu penting.” Ujarku, tersenyum. “Sebenarnya hari ini hanya rapat. Aku dapat menelepon Eun Hye saat aku di rumah nanti.”

Jae Hoon menatapku untuk beberapa saat dan tersenyum. “Baiklah.”

Jae Hoon menungguku saat aku memberitahu mereka aku tidak dapat ikut rapat. Sebelum aku pergi, aku melambaikan tangan pada teman-temanku dan mereka melakukan hal yang sama. Kecuali satu orang, Jongin, yang membalikkan badan padaku.

Aku menghabiskan jam-jam berikutnya menonton Jae Hoon dan temannya bertanding bola basket. Ia berkata bahwa bermain bola basket membantunya menenangkan diri. Lalu, aku mengetahui bahwa ia dan ayahnya beradu argument malam lalu sehingga ia bertingkah seperti ini. Aku tersenyum padanya dan melambaikan tangan saat ia mencetak skor.

Setelah pertandingan selesai, aku beserta teman-teman Jae Hoon beranjak ke penjual es krim. Saat memakan es krim, ponsel Jae Hoon berdering, ayahnya menelepon, memintanya untuk pulang ke rumah secepatnya. Ia menutup telepon dengan raut wajah frustasi dan memberitahuku bahwa ia akan mengantarku pulang terlebih dahulu. Namun aku berkata aku baik-baik saja, karena aku tahu akan ayahnya yang tidak suka menunggu. Ia tahu benar adanya maka ia mencium dahiku, berkata agar aku pulang dengan selamat dan ia pergi.

Saat menunggu bus, sebuah ide muncul di kepalaku. Aku tidak pergi ke rumah, aku langsung menuju studio, berharap rapat belum usai.

“”Su Ji?” seseorang memanggilku saat aku cepat-cepat masuk ke apartemen. Jongin lah yang memanggilku, ia sedang turun dari tangga. Ia terlihat terkejut melihatku.

“Apakah sudah selesai?” Tanyaku padanya, sedikit terengah-engah karena berlari.

“Iya,” Ucap Jongin yang mendekat padaku. “Apakah kau berlari sampai ke sini?” tanyanya, tatapannya tertuju pada dahiku yang dibasahi oleh butiran keringat.

“Kukira aku dapat mengejar rapat kalian.”

Jongin tertawa kecil. “Sudah berakhir.” Ujarnya, “Tetapi aku dapat memberikan garis besarnya jika kau mau.”

Aku menarik nafas panjang dan tersenyum. “Baiklah.”

Saat kami berjalan ke halte bus, Jongin memberitahuku apa saja yang mereka bicarakan sepanjang rapat dan ia masih di studio karena Eun Hye memintanya untuk mengunci studio. Kami juga melanjutkan percakapan tentang neneknya yang tadinya terputus. Aku memintanya untuk menunjukkan hal yang tadi ia bicarakan untuk mendapatkan inspirasi bagiku saat aku mulai melukis nanti karena hari masih terlalu awal bagiku untuk pulang.

“Kukira kau pergi dengan Jae Hoon?” Jongin bertanya padaku saat kami duduk di belakang, menuju rumahnya.

“Tadinya.” Jawabku meliriknya. “Sesuat

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 15: sebenarnya jongin suji cocok bersama...
mereka bisa sama2 saling menguatkan satu sama lain...
suthchie #2
Chapter 14: walaupun break, seharusnya juga ngak gitu juga kali...
gimana kalo ntar malah keterusan...
untung suji orangnya baik
suthchie #3
Chapter 13: Jongin emang perhatian banget...
suthchie #4
Chapter 12: Semoga saja jongin ngak suka eunhye...
suthchie #5
Chapter 11: Kurasa suji lebih membutuhkan jongin, dari pada keluarganya sendiri
suthchie #6
Chapter 10: Siapapun yang ditekan oleh orang tua pasti mereasa marah...
suthchie #7
Chapter 9: Mungkin benar juga kalo jongin ang suka...
Tapi kalo ada jaehoon, kayaknya biasa aja dink
suthchie #8
Chapter 8: Padahal hubungan mereka udah makin dekat...
Kenapa harus ada masalah
suthchie #9
Chapter 7: Yah kok balikan sih
suthchie #10
Chapter 6: Ciye yang makin deket sam jongin