Chapter 6
Never Let Me Go [Indonesian]Aku mengerjapkan mata ketika sesuatu membutakan mataku. Secara insting, aku menggeser kepalaku dan melihat cahaya bulan mengintip melalui tirai jendela di seberang ruangan. Aku menutup mata lagi, mencoba untuk kembali tidur. Tanganku meraih bantal di bawah kepalaku, kebiasaan yang selalu kulakukan ketika sedang tidur. Aku mengendus kain sarung bantal, baunya tak seperti bantalku tapi bukan berarti itu berbau tidak enak. Aku membuka mata, mengangkat kepalaku sedikit dan menyadari itu sama sekali bukan bantalku. Mataku tertuju pada sprei yang juga tak kukenali. Aku segera duduk dan mencoba berpikir, ada rasa nyeri di kepalaku tapi aku menahannya.
Aku teringat Jongin membiarkanku tidur sebentar dengan membaringkan kepalaku dalam pangkuannya di sofa. Aku benar-benar berpikir itu hanya sekedar mimpi. Aku menoleh ke sofa tapi sofa itu kosong dan sekarang aku berada di tempat tidur. Seorang diri.
Dimana Jongin berada? Pikirku khawatir.
Aku turun dari tempat tidur dan melirik jam tanganku: pukul 01:27 pagi.
"Ya ampun!" Seruku. Aku memakai sepatuku dan menyambar tas diatas meja. Aku buru-buru membuka pintu tapi lorong itu kosong. Bahkan, seluruh penjuru rumah terdengar sepi, pesta pasti telah berakhir. Aku mulai berjalan menyusuri lorong dan aku menangkap seseorang yang kukenali, seketika membuatku marah. "Kau!" Aku berteriak pada Jongin yang baru saja duduk dan memegang gelas setengah penuh berisi jus jeruk di tangannya.
"Hana," katanya dingin, dengan sedikit senyum di wajahnya. "Kau sudah bangun sekarang."
Aku memelototinya saat aku berjalan ke arahnya. "Bangun sekarang?" Aku bergema, mulai mengomel tapi aku tak bisa berkutik saat melihat betapa tampan ia dengan rambut acak-acakan seperti itu, seolah-olah ia baru saja bangun dari tidur sendiri. Tapi aku mencaci diriku sendiri dan mengingatkan diri aku sedang frustasi dan mendorong pikiran bodoh itu ke belakang kepalaku yang berdenyut-denyut. "Bukankah aku telah mengatakan untuk membangunkanku setelah lima belas menit?!?"
Jongin mengalihkan pandangannya ke lantai dengan senyum malu-malu di wajahnya. "Uh ... yeah."
"Apa kau menyadari jam berapa sekarang?"
"Ya, aku tau." Kata Jongin, ia menatapku sekarang. Caranya menatapku memberitahuku ia mulai merasa kesal pada dirinya sendiri, mungkin karena caraku berbicara dengannya. Tapi aku tak bisa menahannya, sekarang hampir pukul 2 pagi!
"Nah, kenapa kau tidak membangunkanku?!" Aku menuntut. "Ini pukul dua pagi dan aku masih di sini dan Min Jee masih belum mampu berjalan—"
"Berhenti bicara." Sela Jongin. Nadanya terdengar keras, membuatku diam dalam sekejap. Setelah beberapa detik, dia berbicara lagi—nadanya terdengar netral. "Dengar, aku minta maaf aku tidak membangunkanmu seperti yang aku janjikan. Hanya saja ... " desahnya, melayangkan tangannya yang bebas menyapu rambutnya yang tampak lembut. "Kau hanya tampak begitu marah beberapa waktu lalu dan aku pikir mungkin kau membutuhkan tidur untuk beberapa waktu ..." jelasnya tanpa kecanggungan sedapatnya. "Maafkan aku. Aku hanya berusaha menjadi teman ... " kemudian ia mengalihkan tatapannya dariku.
Rasa bersalah memukulku segera karena aku tahu ia benar. Jongin telah menjadi teman yang sangat baik padaku dan Min Jee sepanjang malam gila ini dan di sinilah aku, bertindak seperti orang bodoh dan tidak tahu berterima kasih. Aku menekan bibirku dan membuka mulut untuk mengatakan sesuatu, tapi Jongin melakukannya lebih dulu.
"Dan Min Jee tidak di sini lagi." Kata Jongin, akhirnya menatapku.
"Sebentar, apa?" Kurasa aku tidak mendengarnya dengan benar. Ia pasti bercanda.
Jongin menghela napas berat. "Dia akhirnya pulang masih dengan sedikit mabuk beberapa menit sebelum kau bangun. Mungkin aspirin dan kopi membantunya. Baekhyun mengantarnya pulang. "
"Dan dia memutuskan untuk meninggalkanku di sini." Aku mendengus. "Tak bisa dipercaya ..." Aku menggeleng tak percaya dan bersandar pada pagar di belakangku. Aku tidak percaya Min Jee akan melakukan ini padaku. Ia telah melanggar dua janjinya dalam satu malam: ia minum kemudian mabuk dan meninggalkanku sendirian.
"Aku tidak berpikir dia melakukan itu untuk membuatmu kesal, Hana." Jongin memberi alasan. Aku memusatkan tatapanku pada vas bunga di seberang lorong. "Sebenarnya, kurasa dia kesal dengan dirinya sendiri ..."
"Seharusnya begitu." Aku mendengar diriku berkata. Hampir terdengar bukan sepertiku. Bahkan Jongin tampak kaget. Tapi aku tak peduli, aku hanya merasa begitu marah sekarang. Aku ingin berteriak, menendang atau memukul sesuatu. Sebaliknya, aku justru mengepalkan tinju dan mengambil napas dalam-dalam. "Aku harus pergi." Kataku sambil berjalan menuju tangga.
"Ke mana kau akan pergi?" Tanya Jongin, penasaran saat ia selesai meneguk jus jeruknya dengan sangat cepat dan meletakkan gelas kosong itu di atas laci atau sesuatu.
Aku berbalik ke arahnya dengan mata melotot. "Pulang ke rumah." Aku menjawab, sinis dan kemudian aku turun.
"Kau akan naik kereta bawah tanah?" Tanyanya, mengejarku.
Aku memikirkan hal itu sejenak. Kemudian, kejengkelanku perlahan berubah menjadi ragu ketika aku sadar aku tidak tahu di mana tepatnya tempat ini. Tapi aku tidak akan membiarkan Jongin berpikiran demikian jadi aku kembali bersikap dingin. "Ya." Kata
Comments