Chapter 47

Never Let Me Go [Indonesian]
Please Subscribe to read the full chapter

Sudah tiga minggu sejak ibu keluar dari rumah sakit. Aku bahkan melihat Joon Myun di hari ibu keluar. Ia mengunjungi adiknya lagi. Dengan berat hati, aku menggunakan uangku untuk membayar biaya rumah sakit. Ibu tidak mengeluh kesakitan apapun sejauh ini. Aku mencoba membuatnya makan karena salah satu perintah dokter adalah untuk makan makanan sehat karena berat badannya turun banyak. Ibu malah tidak mau makan. Ia kembali ke kesenangannya segera setelah kami sampai di rumah dan menghabiskan sebagian besar waktunya baik di kamar atau di ruang tamu menonton TV. Aku bahkan mencoba membuatnya pergi keluar dan bergaul dengan teman-temannya tapi ia bilang ia lebih suka tinggal di rumah.

Aku bekerja di Spines berurutan beberapa minggu terakhir. Aku juga berpikir untuk mendapatkan pekerjaan lain tapi kupikir aku tak bisa mengurusnya dengan sekolah dan keadaan ibu yang seperti sekarang. Aku menerima pemberitahuan lain dari pihak administrasi, mengingatkanku tentang batas pembayaran uang sekolah. Aku tersadar dari lamunan saat ponselku di atas meja belajar bergetar. Bahkan sebelum aku mengangkatnya, aku punya perasaan kalau itu mungkin: Jongin.

Ia mengirimiku teks, menanyakan bagaimana hariku sejauh ini. Selama beberapa hari terakhir, kami tidak sering bertemu satu sama lain. Bahkan di sekolah. Ia sudah sibuk dengan kelas dan latihan dan aku sudah sibuk juga dengan kehidupanku sendiri.

Sudah tiga minggu sejak ia bilang ia mencintaiku. Dari cara ia mengatakannya, suaranya, kilauan di matanya, cara pipinya sedikit berubah merona ... mereka mengambang di bagian belakang kepalaku setiap hari sejak itu. Seharusnya aku merasa ringan dan senang, kan? Sangat bahagia, bahkan. Aku seharusnya melompat dan memekik gembira karena orang seperti Jongin jatuh cinta dengan seorang sepertiku. Tapi aku tidak merasa seperti melompat atau memekik sama sekali. Perasaan tidak enak dan aneh tampaknya mengontrol sistemku setiap kali aku melihatnya. Aku tahu itu bukan benar-benar perasaan ideal yang seharusnya kurasa tapi itulah yang kurasakan. Terkadang, aku merasa seperti hal itu semakin memburuk karena aku terdorong untuk menghindarinya dan mengabaikannya—aku memang menghindari dan mengabaikannya sekali atau dua kali beberapa minggu terakhir ini.

Dan aku merasa begitu ngeri karena merasa dan bertindak seperti itu. Aku merasa seolah-olah aku sedang dirasuki beberapa roh atau hantu dan mengambil kontrol atas diriku sendiri setiap kali aku bersama Jongin. Aku masih tidak tahu mengapa aku bertingkah atau merasa seperti ini karena aku tidak pernah merasakan ini sebelumnya.

Ini bukan berarti bahwa Jongin sedang menekanku untuk membalasnya atau sesuatu semacam itu—dia tidak melakukan hal itu sama sekali. Seperti yang kukatakan, ia sudah sibuk beberapa hari terakhir dan satu-satunya waktu kami bertemu satu sama lain adalah saat makan siang dan waktu luang. Dia bertindak sebagaimana ia seperti biasanya. Yang ada, justru aku yang bertindak berbeda di sekelilingnya. Aku ingin menelepon Min Jee, dia berangkat beberapa hari yang lalu untuk klubnya. Aku ingin meminta saran, tapi aku tidak bisa menghubunginya jadi aku berpikir keras tentang apa yang bisa dia katakan padaku kalau mungkin aku meminta nasihat padanya tentang hal semacam ini.

Aku ingin baikan dengan Jongin dan mungkin melupakan perasaan aneh dan mengganggu yang kualami ini dan menikmati hari yang indah bersamanya. Setelah kelas terakhir hari berikutnya, aku buru-buru ke Jurusan Seni Pertunjukan dan membuat jalanku ke studio tari.

Ketika aku tiba, studio tari sudah hampir penuh. Aku tidak tahu di sana ada latihan terbuka hari ini. Seluruh studio berkumandang dengan lagu trendi dan enak didengar dan di sanalah Jongin bersama Yixing menari bersama seolah-olah mereka sedang di tengah-tengah kompetisi tari yang epik. Aku tahu Yixing sedang menari dengannya tapi mataku hanya tertuju pada Jongin. Gerakannya sangat cocok—tidak lebih, tidak kurang. Baiklah, mungkin aku terpesona, tapi tetap saja. Kapanpun Jongin menari, aku bisa mengatakan ia berada di dunia yang sangat berbeda dan aku tahu ia tidak melihat siapapun: hanya dirinya, panggung dan musik.

Aku tahu ia mungkin tidak menyadariku dari tempatku berdiri juga. Yah, karena itu dan karena ada laki-laki tinggi dan kurus di depanku (sedang mengambil video mereka yang menari), jadi aku hanya bisa mengintip di sampingnya. Kemudian, tiba-tiba saja, aku bersiap lari ke arahnya ketika ia hampir terpeleset saat menari. Itu terjadi sangat cepat dan kalau saja laki-laki di depanku tidak menggeser kakinya, aku akan melewatkannya. Itu pasti sangat sakit karena Jongin, meski sangat lirih sempat mengaduh. Tapi ia mengatur dirinya sendiri dalam waktu cepat seolah-olah tidak terjadi apapun. Beberapa menit sebelum latihan mereka selesai, aku keluar dan memutuskan untuk menunggunya di sana.

"Jongin!" Aku memanggilnya saat ia keluar dari studio tari bersama teman-teman sekelasnya dan siswa lainnya. Untung ia tinggi dan karena bahunya yang bidang, aku dengan mudah melihatnya di antara teman-teman sekelasnya.

"Hei." Katanya ketika ia melihatku. "Kenapa kau di luar sini?"

"Aku baru saja keluar beberapa menit sebelum kalian selesai." Kataku, sedikit mengangkat bahu saat aku berjalan ke arahnya.

"Kupikir kau ada kerjaan setelah sekolah?" Tanyanya.

"Yeah, tapi ... aku tidak pergi." Jawabku enteng. "Aku, eh ... aku sebenarnya berpikir untuk menanyakan apa kau ingin pergi denganku hari ini. Karena kita belum nongkrong bersama akhir-akhir ini."

Jongin tidak mengatakan apa-apa untuk sesaat. Ia menatapku agak serius. Ia menatap mataku, dengan ekspresi wajahnya yang tak terbaca. Aku tidak tahu apa itu hanya perasaanku saja, tapi untuk sesaat, ia tampak agak terganggu. Aku juga menyadari kalau ia tampak begitu lelah. Pipinya memerah, rambutnya terlihat jelas bercucuran keringat termasuk kemejanya.

"Ya, kedengarannya bagus." Katanya, menyeka sisi wajahnya dengan telapak tangannya. "Aku akan pergi dan—"

"Jongin." Aku memotong, memegang lengannya dan menatap matanya. "Mungkin sebaiknya kita memba

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
suthchie #1
Chapter 55: Akhirnya selesai juga...

Wahhh ngak nyangka lho kalo ceritanya bakal publish selama itu...
Bersyukur aku dapat rekomendasi ff ini udah selesai... Bahakan aku cuma butuh waktu beberapa hari buat bacanya...
Soalnya aku tuh tipe orang yang ngak berhenti untuk penasaran sama cerita kalo belum selesai...
Pokoknya terima kasih banyak buat temenku yang udah merekomendasikan ff ini...

Secara keseluruhan aku suka cara menyampaikan ceritanya, ngak terburu buru tapi juga ngak ngebosenin...
Apalagi cast nya si jongin...

Pokoknya terimakasih buat authornya
yang udah bikin cerita yang hebat
suthchie #2
Chapter 54: Akhirnya balikan juga...
Jongin orang baik. Hana sangat beruntung memilikinya
suthchie #3
Chapter 53: Kuanggap itu sebagai tanda balikan...
Semoga
suthchie #4
Chapter 52: Cobaan hana terlalu berat...
suthchie #5
Chapter 51: Semoga ibu hana benar2 menjadi baik
suthchie #6
Chapter 49: Minjee trtaplah berada di sisi hana...
suthchie #7
Chapter 50: Untunglah hana punya sahabat baik seperti minjee...
suthchie #8
Chapter 48: Kenapa kau mengambil keputusan iyu hana...
Aku yakin, jongin sangat hancur...
suthchie #9
Chapter 47: Yang aku kawatirkan akhirnya trrjadi...
Pasti daehyun memberi tau hal buruk pada jongin
suthchie #10
Chapter 46: Itu hal baik hana... Semoga