Chapter 45
Never Let Me Go [Indonesian]Aku tak bisa mengobrol bersama Jongin dengan teratur beberapa hari kemudian. Jongin terus berlatih dan mengejar ketertinggalannya di kelas karena tak bisa berangkat sekolah beberapa hari ini. Sementara itu, Mi Young mengirimiku beberapa permintaan revisi untuk artikelku. Dengan catatan terang, wawancaraku dengan Daehyun tidak termasuk, yang artinya, aku tidak harus mengganggu diriku sendiri dengannya.
Mi Young memasangkanku dengan dua asisten agar lancar mengerjakan dan menulis draf untuk penerbitan berikutnya, Nu Hyun dan Kang Hee. Aku mengenal Nu Hyun beberapa waktu lalu, kami masuk kerja di tahun yang sama dan dia sangat ramah dan pintar. Kang Hee, di sisi lain, adalah seorang junior dan salah satu penulis yang kami miliki. Dia sangat baik dan ia bisa menjadi sangat perfeksionis suatu waktu. Dia juga agak khawatir di sekitar Mi Young jadi ia memberi kesan dan melakukan semuanya dengan benar untuknya. Tentu saja, tak ada yang salah dengan itu tapi terkadang dia bisa sangat... menyebalkan. Atau mungkin aku hanya tidak menyukai semua itu.
Selama beberapa hari selanjutnya, aku sangat sibuk melakukan semua itu dengan Nu Hyun dan Kang Hee. Untungnya, Jongin sangat pengertian dan mendukung. Faktanya, ia mengunjungiku di hari Jumat, setelah sekolah di kantor majalah sekolah. Ia baru saja menyelesaikan kelasnya dan memutuskan untuk berkunjung.
“Boleh aku masuk?” Jongin bertanya padaku selagi ia menunggu di dekat pintu.
Aku melirik ke arah Mi Young. “Selama kau bertahan setidaknya 15 meter dari meja kreasi.” Mi Young berkata dengan tegas. Meja kreasi, di mana Nu Hyun, Kang Hee dan aku sedang melakukan pekerjaan sebelumnya, di mana draf majalah kami dan ‘orang luar’ seperti Jongin tidak diperbolehkan untuk melihatnya. Mi Young memberi isyarat padanya untuk masuk setelah Jongin mengangguk setuju dengan cengiran lebarnya.
Aku beranjak menghampirinya setelah beberapa saat, dan memberitahunya kalau ia bisa saja langsung pulang ke rumah dan istirahat tapi Jongin menolak. Aku berkata padanya untuk menungguku di meja kerja. Ia menurut dan duduk di sana dalam diam sementara ia memasang ear phone di telinganya, menggerak-gerakkan kepalanya mengikuti musik. Setelah beberapa menit, aku memfokuskan perhatianku pada pekerjaan sekalipun nyatanya di sudut mataku, aku bisa melihat Jongin memandangiku sementara aku bekerja. Beberapa asisten kami mulai meninggalkan kantor, meninggalkanku, Kang Hee, Nu Hyun dan Jongin di kantor. Kami akhirnya menyelesaikan ide-ide dan draf bagian pertama. Aku melirik Jongin yang menundukkan kepala sejak beberapa saat lalu, tidur sebentar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali ketika ia menyadari aku sedang melihat ke arahnya.
“Sudah selesai?” Ia bertanya saat aku berjalan ke meja kerja.
“Yep.” Kataku, mengatur map di atas meja kerja. “Setidaknya untuk saat ini. Aku sudah bilang harusnya kau pulang dan istirahat.”
“Aku juga sudah bilang aku ingin di sini.” Kata Jongin, keras kepala. “Lagipula, aku suka melihatmu bekerja. Kau terlihat sangat menggemaskan.” Ia mengeringai padaku.
Dengan pelan aku menggeleng dan menyembunyikan senyumku selagi kubuka ranselku. Kemudian, aku mendengar Jongin mengucap sampai besok pada Nu Hyun. Aku mendongak dan berkata sampai jumpa juga padanya.
“Oh, aku Kim Jongin.” Aku mendnegar Jongin berkata dengan ramah pada seseorang. Aku berbalik dan melihat Kang Hee sedang memandanginya seolah terpesona.
“Aku tahu.” Kang Hee berkata setelah agak lama. “Maksudku, hai, aku Kang Hee.” Ia terbata. Ia memandangi tangan Jongin yang berotot dan ia akhirnya menggeleng dengan cepat.
“Dia salah satu penulis baru kami.” Aku memberitahu Jongin dengan ramah.
Jongin mengangguk lemah dan memberi Kang Hee senyuman kecil. Pipi Kang Hee seketika berubah merah. Ia berbalik badan dan tidak sengaja menumpahkan beberapa buku ke lantai.
“Ya ampun!” Kang Hee berseru karena hal memalukan itu. Ia berjongkok dan mulai memunguti buku-bukunya. Jongin dan aku membantunya. “Uhm, tidak apa-apa. Terima kasih.” Ia memberitahu kami, terlihat bingung dari sebelumnya dan dengan sengaja tak melihat mata Jongin. “Hana, terima kasih sudah membantuku. Aku harus , uh, pergi—” ia mengalungkan tasnya di bahu.
“Tapi kupikir tadi kau bilang butuh bantuan—” aku memulai.
“Tidak, tidak apa-apa.” Kang Hee menyela dan tertawa dengan canggung. “A-aku bisa menyelesaikannya sendiri.. trims. Uh, aku pergi sekarang. Dah!”
Dengan begitu, ia melangah ke luar pintu dan meninggalkan Jongin dan aku bertanya-tanya. Aku belum pernah melihatnya seperti itu sebelumnya.
“Tadi itu apa?” Jongin bertanya padaku, kebingungan.
“Sepertinya ia fanmu.” Aku tertawa, memunguti buku yang Kang Hee tinggalkan. “Kurasa itu apa yang dinamakan ‘Efek Jongin’.” Godaku.
“Masa sih.” Jongin berkata. Ia memasang mata gelapnya yang tak terbaca padaku dan nyengir. “Kau pernah mengalaminya?” ia berkata dengan ciri khas suaranya yang rendah, dalam yang dengan ampuh membuat tulang punggungku merinding tapi aku memasang ekspresi sedatar mungkin.
“Tidak juga.” Bohongku, menatap matanya dengan tenang. Tapi melihat cara sudut bibirnya terangkat dan matanya berkedip jahil, ia tahu aku berbohong tapi ia tak berkata apapun.
“Ini untukmu.” Ia malah berkata, memegang kotak kecil saat ia berdiri dari tempat duduknya.
Aku mengambilnya dari tangannya perlahan dan membukanya. “Ini untuk apa?” aku menanyainya, memiringkan kepalaku ke samping setelah melihat cupcake kecil yang imut di dalam kotak.
Jongin mengangkat bahu. “Aku berniat memberimu sesuatu. Aku sangat kasar padamu malam itu.” Ia berkata sedikit malu-malu. “Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa. Aku mengerti.” Aku memberitahunya denga tulus. Tanganku bergerak dengan sendirinya, maju ke depan untuk menyisir poni
Comments