Chapter 22
Never Let Me Go [Indonesian]Aku berpikir untuk meledak tertawa karena mungkin ia sedang melontarkan sebuah lelucon padaku, tapi bagaimana cara ia menatapku saat itu membuatku tersadar ia benar-benar serius.
"Apa kau serius?" Aku bertanya dengan hati-hati. Jongin menghela napas berat dan menganggukkan kepalanya sedih. "Ap—Bagaimana?" Aku tergagap. Aku berdiri dari tempat dudukku, berusaha untuk tidak panik tapi aku tidak melakukannya dengan baik. "Beberapa hari yang lalu, kau baru mengatakan padaku menjadi seorang performer adalah satu-satunya hal yang selalu ingin kau lakukan dan sekarang kau bilang kau bukan trainee lagi?"
"Jangan berteriak, oke?" Jongin mendesis padaku, meraih tanganku dan menarikku kembali ke kursi. "Aku belum memberitahu siapa pun kecuali dirimu."
Aku mengangkat alis tak percaya. "Ya Tuhan, apa kau mengatakan kita menjaga ini sebagai rahasia?"
"Tidak untuk waktu lama." Katanya, "Selain itu, tidak ada rahasia yang aman di sekolah ini."
"Kau benar." Aku agak setuju setengah hati. Lalu aku berbalik ke arahnya. "Jongin, apa yang terjadi? Apakah ... karena ibumu?" Aku bertanya ragu-ragu.
"Tidak." katanya, mengulurkan tangan, "Seperti yang telah ku katakan, aku belum memberitahu siapa pun tentang hal ini kecuali dirimu. Selain itu, jika ibu tahu aku yakin dia akan melompat gembira." Katanya datar.
Aku hampir bertanya lebih banyak ketika ponselku berdengung lagi. Dae Hyun lagi tentu saja. Aku memutuskan untuk mengiriminya pesan, mengatakan sesuatu mendadak terjadi dan aku tidak bisa datang ke pertemuan kami.
"Apa itu ibumu?" Aku mendengar Jongin bertanya saat aku menekan tombol KIRIM.
Aku mendongak untuk melihat ia menatapku. "Bukan ..." kataku, mengantongi ponselku. "Maksudku, ya." Mengapa aku berbohong padanya? Pikirku. "Dia hanya bertanya apakah aku akan mengunjungi bibiku."
"Apa kau harus pergi sekarang?" Tanya Jongin agak takut-takut.
"Belum." Kataku karena aku merasa seperti ia tidak ingin aku pergi dulu dan karena aku tidak mau pergi dulu juga. "Jadi, katakan padaku apa yang terjadi. Kenapa kau tidak menjadi trainee lagi?"
Jongin bergeser di kursinya. "Sudah lebih dari dua minggu sejak aku keluar." Katanya, mengacak ujung kepalanya. "Aku punya masalah tentang agenku sejak mereka bilang aku akan memulai debut segera. Mereka memberiku seton sesi pelatihan tapi itu tidak benar-benar masalahnya, aku tidak keberatan bahkan jika mereka memintaku untuk menari selama berjam-jam di ruang latihan." Ia berhenti sebentar.
"Lalu apa masalahnya?" Aku bertanya, mengabaikan posel yang bergetar didalam saku.
"Ketika aku mulai menghadiri persiapan debutku bersama kelompokku, aku menyadari aku tidak siap untuk kehidupan menjadi seorang selebriti." Kata Jongin. "Mereka ingin aku bertindak dengan cara tertentu, mengatakan hal-hal tertentu dan hal-hal semacamnya. Pada awalnya, aku pikir aku akan bisa mengatasinya karena aku masih bisa melakukan hal yang paling kusuka tapi seiring berjalannya waktu aku sadar ... aku tidak bisa." Ia menghela napas berat, ia mengepalkan dan mengendurkan tinjunya. "Aku mencoba membayangkan diriku dalam bertahun-tahun dan melihat diriku menjadi seseorang yang bukan diriku." Ia berbalik dan menatapku lurus ke mata. "Aku hanya tidak berpikir aku bisa melakukannya." Katanya sedih.
Dan aku berjuang untuk tidak memeluknya. Ia tampak begitu sedih dan patah hati dan aku tahu keputusannya untuk meninggalkan agensinya itu tidak mudah.
"Apa kau pernah memberitahu mereka bagaimana yang kau rasakan?" Tanyaku.
"Ya." Katanya, "Tapi mereka seperti ibuku. Mereka bisa mendengarku bicara tapi mereka tidak benar-benar mendengarkan apa yang aku katakan."
Tanpa sadar, aku memandang ke arahnya, membuat Jongin menatapku. "Tapi kau masih akan menari, kan?" Aku bertanya sedikit cemas. "Kau masih akan menjadi performer?"
"Tentu saja." Katanya tersenyum perlahan. "Aku akan menemukan cara untuk membuat itu terjadi."
Aku tersenyum ke arahnya. "Oh!" Aku tergagap ketika aku tiba-tiba teringat sesuatu. Jongin tersentak sedikit dengan reaksiku.
"Apa?" Tanyanya, menatapku penuh rasa ingin tahu.
"Aku baru ingat sesuatu." Kataku, berdiri di kakiku. "Dan aku hampir lupa tentang hal itu!"
"Apa yang kau kata—" Jongin memulai tapi ia tidak menyelesaikannya ketika aku meraih lengannya dan menariknya dari tempat duduk.
"Ayo! Aku akan menunjukkan sesuatu!" Kataku saat aku menyeretnya keluar dari ruangan.
"Tunggu!" kata Jongin tertawa. "Aku ambil barang-barangku dulu." Katanya dan kemudian ia menarik diri dari genggamanku dan kembali ke bangku dan meraih barang-barangnya.
Setelah beberapa saat, kami berdua turun ke daerah loker. Jongin berdiri di sampingku ketika aku memasukkan kode loker dan membuka loker. Aku mengambil sebuah kotak dan menyerahkan padannya tersenyum.
"Apa ini?" Ia bertanya, terlihat enggan mengambil kotak itu dari tanganku.
"Buka saja." Kataku.
Jongin membuka kotak itu dan mengerutkan alis. "Sebuah cupcake?"
"Sebuah cupcake cokelat." Aku mengoreksinya sambil menutup loker. "Salah satu penasehat tim majalah sekolah kami terkesan dengan penerbitan terakhir jadi dia memberi setiap staf dua kotak cupcakes."
"Lalu kenapa kau memberikannya padaku?" Jongin bertanya, "Dan itu cokelat, kesukaanmu."
Aku mengangkat bahu. "Aku sudah makan yang satunya." Aku berkata singkat, mel
Comments