Chapter 8
Tristful*Prepare yourself for romance vibe guyss and.. the confusing scenes wkwk* I have to remind you in the beginning for leave your comment :(
Chapter 8
I wish he will never wake up..
Rintik hujan masih menetes dari langit, mengirimkan suara khas hujan terdengar dari balik kaca minimarket tempat Amber saat ini duduk dengan ramen cup nya yang sudah mengembang tak tersentuh. Matanya mengikuti percikan hujan yang menempel di kaca yang perlahan mengalir turun dan berakhir di lantai.
Beberapa tetes air hujan menitik dari ujung rambut pendeknya, sweater hitamnya basah terkena hujan karena Amber bahkan tak berlari cepat saat hujan turun tiba-tiba dengan derasnya. Matahari mulai kembali kepersembunyiannya, dan hampir dari setengah jam yang lalu gadis itu menyeduh ramen cup nya namun sama sekali tak menarik perhatiannya.
Amber menatap selembar foto yang ditemukannya di kamar Henry 2 hari yang lalu. Potret 6 orang pria dengan setelan jas mahal bersetting di sebuah ruangan meeting, tengah tersenyum formal kearah kamera. Lima dari enam wajah itu dicoret silang dengan spidol merah, kecuali satu wajah yang tampak familiar olehnya. Amber mengenali wajah ayahnya dari 6 orang dalam foto digenggamannya itu, salah satu dari 5 wajah yang disilang. Sama sekali tak ingin berburuk sangka dan berfikir macam-macam, tentang segala foto-foto yang ditemukannya diruangan sang sahabat.
Namun percakapannya dengan Victoria beberapa jam yang lalu membuatnya tak mampu berfikir lagi. Disatu sisi semuanya sudah jelas, namun disisi lain Amber berharap ia salah dalam menyimpulkan. Setelah berbicara dengan Victoria, Amber mencoba kembali ke kamarnya dan memejamkan mata untuk tertidur dan berharap semuanya hanya mimpi, namun setelah satu jam ia terbangun terengah-engah setelah mimpi buruk singgah dalam tidurnya.
“Hmm Amber, tentang informasi dari orang-orang dalam foto ini yang kemarin kau minta.. aku telah menemukannya” ujar Vic yang duduk disebelahnya di meja bar. Amber menerima selembar foto yang kemarin diperlihatkannya pada bos cantiknya itu, sekilas melihat wajah ayahnya dalam foto itu.
“So? Kau sudah menemukan orang-orang dalam foto ini?” Tanya Amber tak sabaran.
“Ya, salah satunya adalah ayahmu bukan?”
Amber mengangguk dan menunggu penjelasan lebih lanjut darinya.
“Jadi foto ini diambil 7 tahun yang lalu, mereka adalah para investor dalam proyek pembangunan sebuah rumah sakit besar di Cina yang digarap oleh perusahaan milik tuan Joseph Lau, pria ini.” Victoria menunjuk satu-satunya wajah yang tidak dicoret di foto itu.
“Joseph Lau?” Tanya Amber sekali lagi memastikan nama yang ia dengar.
“Apa ia memiliki keluarga?”sambung Amber.
“Ya, ia memiliki seorang istri dan seorang putra yang tinggal dan besar di Amerika. Keluarganya adalah termasuk yang terkaya di Cina saat itu dengan perusahaan besar yang sukses menarik para investor. Sepertinya saat itu ayahmu adalah salah satu teman bisnisnya, karena mereka sama-sama berasal dari Cina.”
Amber mendengarkan dengan seksama tiap kalimat yang terucap dari bibir Victoria.
“Awalnya proyek pembangunan rumah sakit itu berjalan lancar, namun ditengah jalan proyek tersebut dilaporkan atas kasus pajak dan korupsi besar-besaran dan nama para petinggi dan investor banyak yang terseret didalamnya. Namun anehnya, diakhir, semua kesalahan hanya ditimpakan pada satu orang, yaitu Joseph Lau sendiri. Tak ada yang tahu kenapa hal itu terjadi, tuan Lau dihukum sendiri, semua harta kekayaannya disita. Dan beberapa bulan kemudian ia ditemukan meninggal terjatuh dari atap gedung rumah sakit.” Victoria berhenti sejenak sambil menghela nafas, merasa prihatin atas subjek yang diceritakannya.
“Apa ia bunuh diri?” Tanya Amber, hatinya perih mengingat kematian ayahnya.
“Media memberitakan seperti itu, namun dari cerita yang kudengar, sepertinya kasus tersebut adalah pembunuhan. Karena dua jam sebelum mayatnya ditemukan, ia menelpon polisi untuk menyerahkan data-data dan bukti serta nama-nama yang terlibat dalam kasus korupsi itu”.
“Apa kau mendapatan informasi tentang keluarganya?”
“Ya, istrinya saat ini dirawat disebuah rumah sakit jiwa di Amerika, dan aku tak tahu dengan putranya, terakhir terdengar kabar ia datang ke Korea beberapa bulan yang lalu.” Jawab Vic.
“Apa putranya bernama Henry Lau?”
“Ya! Kau mengenalnya?”
Amber tak bergeming, memikirkan semua ini terlalu detil untuk sebuah kebetulan.
“Dan oh ya Amber, aku bukan bermaksud menakutimu, hanya saja sekedar informasi semua orang di foto itu telah meninggal dan keadaan keluarga mereka juga hmm tidak dalam kondisi baik”.
“Ya, aku mengerti. Terima kasih atas bantuanmu, eonni. Aku pulang dulu, sepertinya kepalaku sangat sakit dan yang kubutuhkan saat ini hanya tidur” ujar Amber sambil bangkit dari bangkunya.
“Okay, beristirahatlah yang cukup. Jika kau butuh bantuan jangan segan menghubungiku”.
“Alright”.
*
Amber membuang cup ramennya yang masih berisi penuh ke tempat sampah dan melangkah keluar minimarket disambut rintik gerimis yang masih setia bersama malam. Amber tak tahu bagaimana perasaannya saat ini, apakah ia sedih? Atau ia kembali menyembunyikan ketakutannya dibalik topeng nya saat ini.
Amber tahu jika ia kembali kerumahnya, mimpi buruk itu akan datang lagi menghantui. Entah sudah berapa hari dirinya tak mendapatkan tidur dan makan yang cukup, Amber lebih memilih pergi kerja dan menyibukkan diri daripada harus dihantui perasaan takutnya saat sendiri.
Kakinya melangkah tak diikuti pikirannya yang melayang, saat ini sudah pukul 3 dini hari dan amber menemukan dirinya menyusuri lorong café bawah tanah tempatnya bekerja. Victoria memberinya izin untuk menenangkan fikirannya, jadi Amber datang kali ini sebagai tamu. Ia akan memesan minuman yang akan membuatnya lupa dengan pikiran dan semua masalahnya saat ini.
Ruangan itu terlalu besar dan terang untuk dirinya sendiri, sorotan lampu berkelap kelip memenuhi ruangan dekorasi mewah itu.
‘So this is what its feel in the VVIP room…it’s been a while since I sit in this kind of room as a VVIP guest’ Amber tersenyum sinis pada dirinya. Satu sisi dirinya kembali merindukan masa mudanya, alcohol, whiskey, smoke, dan rich friends.
Amber menyandarkan tubuhnya di sofa panjang yang diisi hanya oleh dirinya sendiri, entah berapa botol yang dihabiskannya dalam satu jam terakhir. Amber menatap langit-langit gemerlap dalam ruangan itu, pikirannya terasa lebih ringan namun entah bagaimana ia masih terbangun saat ini.
‘aku seharusnya sudah pingsan dilantai saat ini setelah semua yang kuminum’
Pikirnya sambil meminum segelas cairan pahit itu lagi, dan lagi.
Amber yakin dirinya sudah mabuk, ia yakin kakinya sudah tak akan sanggup berjalan lagi saat ini. Tapi anehnya ia merasa takut tertidur diruangan ini, sepi dan sendiri. Ia merasa seperti seseorang tengah melihatnya dari suatu sudut, memotret gambarnya, dan bisa jadi akan menelponnya lagi memberi ancaman dan seribu ketakutan lagi dibenaknya.
‘I’m literally alone.. theres no place and no one to talk to anymore. No friends who will encourage me when I’m feeling lonely.., I wish I have someone beside me right now.. I’m so scared…’
Perlahan Amber mulai merasa pikirannya seutuhnya melayang, perlahan pandangannya mulai meredup. Sesaat sebelum semuanya gelap, pintu terbuka dan arom
Comments