Chapter 6

Just The Way You Are

Sesekali Minseok akan mencuri pandang pada kekasihnya dari kejauhan, dia berpikir senyuman Sehun sangat indah. Wajahnya memang tampan, tapi senyuman itu lebih menarik baginya. Seperti matahari pagi yang menghangatkan hidupnya, mengusir kesedihan dan menggantinya dengan kebahagiaan. Dunianya tak lagi berwarna putih atau hitam, Sehun menunjukkan bagaimana sebuah cahaya mampu membiaskan sejuta warna pelangi indah setelah hujan berkepanjangan. Mengajaknya menari bersama di atas rumput basah dengan latar belakang musik mahakarya Tuhan, meyakinkan bahwa rintik hujan tidak akan menyakitinya.

Terkadang Sehun juga akan berbuat jahil pada Minseok, menyuruhnya berteduh di bawah pohon yang rindang lalu tanpa aba-aba menendang pohon itu sekuat tenaga. Meninggalkan Minseok yang terdiam dengan tubuh basah kuyupnya, matanya mengerjap saat sadar Sehun tengah menertawainya. Minseok seharusnya marah tapi senyumnya justru mengembang ikut menertawai kebodohannya. Minseok benci berlari tapi bersama Sehun, berlari menjadi hal yang menyenangkan. Dia suka ketika Sehun memberinya pengalaman baru. Dan semua hal tentang Sehun adalah pengalaman baru untuk Minseok.

Minseok seharusnya merasa beruntung, tapi kenyataanya dia merasa menyesal memiliki Sehun dalam hidupnya. Bukan karena dia tidak mencintai pria itu, juga bukan karena masa lalunya dengan Luhan yang terus membayanginya. Tapi ini tentang dirinya, tentang Minseok yang tak merasa pantas menjadi kekasih seorang Oh Sehun. Pria yang dianggapnya terlalu sempurna untuk dirinya yang penuh ketidaksempurnaan. Sering Minseok bertanya pada dirinya sendiri apa yang bisa dia lakukan untuk membalas semua cinta dan perhatian Sehun, pembuktian seperti apa yang bisa dia lakukan untuk menunjukkan kalau dirinya juga mencintai pria itu. Apakah dengan berada di sisinya itu cukup? Apa mengatakan kata cinta setiap hari itu juga cukup. Ya, mungkin itu cukup, tapi sayangnya Minseok tak cukup yakin, apakah dirinya bisa membahagiakan Sehun.

.

.

.

“Kadang aku ingin menjadi sepertimu..”, ucapan Sehun membuyarkan lamunan Minseok. “Kau selalu tampak menyembunyikan banyak hal dariku. Terutama di saat kita sedang berduaan. Kurasa aku berhak tahu apa yang sedang kau pikirkan”.

Minseok menatap lekat-lekat ekspresi cemas yang tersirat di wajah pria yang dicintainya itu. Dia menghela nafas, menggerutu lirih begitu tahu apa yang muncul di kepala Sehun saat ini.

“Aku tidak sedang memikirkan dia, aku tidak sedang memikirkan tentang.. Lu..Han..”, lidah Minseok terasa kelu. Sudah lama sekali ia tidak menyebut nama itu. Minseok tersenyum, mengusap lembut punggung tangan Sehun, mengecup singkat tangan itu lalu meletakkannya di salah satu sisi pipinya.. “Tidak lagi sejak…kita menikah. Sekarang kau segalanya untukku.. Aku mencintaimu…”. Kedua mata Sehun yang tadinya diselimuti kecemburuan bercampur kekhawatiran kini kembali bersinar cerah. Senyum manisnya kembali mengembang.

“Aku juga mencintaimu, jangan buat aku salah paham lagi dengan kediamanmu. Kau tahu kan, aku ini sangat pencemburu..”, ucapnya seraya menarik tubuh mungil istrinya dalam pelukannya. Minseok tertawa. Sehun ikut tersenyum sambil mengelus helai rambut Minseok dengan sayang, membiarkannya bersandar pada dada bidangnya.

.

Hening. Tidak ada satupun dari mereka yang mengeluarkan suara. Hanya Minseok yang sesekali menggeliat mencari posisi jauh lebih nyaman dalam pelukan hangat suaminya.

“Terima kasih…”, suara Minseok membisik lirih memecah keheningan di antara mereka.

“Untuk..?”,

“Untuk semuanya, kau melakukan banyak hal untukku..”.

Sehun mengeratkan pelukannya sebagai respon, menopangkan dagunya pada pucuk kepala Minseok dengan pandangan menerawang. Tanpa terasa, hampir satu tahun mereka menikah. Dan sudah hampir satu tahun pula mereka kembali ke Seoul. Jauh meninggalkan seseorang yang mungkin bisa membuat pernikahan mereka tidak nyaman. Orang tua Sehun juga telah pindah selamanya ke sini, hanya kakaknya Kyuhyun yang tinggal di Beijing sementara untuk mengurus perusahaan.

.

.

Sejauh ini.. kehidupan mereka baik-baik saja. Keduanya berusaha membangun bahtera rumah tangga yang bisa dibilang tak mudah untuk mewujudkannya sebaik mungkin. Sehun perlu banyak waktu untuk meyakinkan Minseok untuk menerima lamarannya, juga Minseok yang selalu merasa tak cukup baik menjadi istrinya. Padahal menurut Sehun, Minseok adalah istri idaman, dia tak hanya cantik secara fisik tapi juga memiliki kepribadian yang mengagumkan. Dia menjalankan tugasnya sebagai istri dengan baik, mengurus keperluannya, mengurus rumah, dia juga selalu memastikan dirinya makan dengan baik meski ada di luar kota untuk urusan bisnis. Minseok bahkan menuruti permintaannya untuk berhenti bekerja setelah menikah dengannya.

.

.

Keduanya kini bersiap tidur, mereka berbaring dengan saling berhadapan. Telapak tangan Sehun mengusap pipi Minseok, terasa lembut dan hangat. Perlahan iris mata cokelat itu mulai meredup, mengantarkan si pemilik ke alam mimpi, sedangkan Sehun masih setia menatap wajah sendu Minseok yang tampak mempesona di mata hitam Sehun. Wajah itu.. masih sama indahnya dengan wajah Minseok saat pertama kali mereka bertemu, juga masih sama cantiknya seperti wajah Minseok di hari pernikahan mereka. Dan Sehun akan selalu mengaguminya setiap hari dan seterusnya.

“Hun-ah, aku mencintaimu…”, gumam Minseok dengan mata terpejam, meskipun lirih tapi Sehun mendengarnya. Benar-benar mendengarnya. Minseok mengatakannya dalam tidur. Ini bukan pertama kali Sehun mendengar kata cinta meluncur dari bibir Minseok. Hanya saja.. kalimat ini.. tidak seperti kalimat sebelumnya. Sulit untuk mengatakan apa yang Sehun rasakan, matanya terasa panas dan berair. Mungkin ini berlebihan, tapi Sehun merasa sangat melankolis sekarang. Rasa sesak karena bahagia memenuhi dada Sehun. Cincin yang sama, melingkar di jari manis mereka. Bukti bahwa Minseok adalah miliknya. Istrinya. Dan wanita itu juga mencintainya. Apa ada hal yang lebih membahagiakan dari perasaan Sehun saat ini?

Masa-masa canggung saat menjadi sepasang kekasih, hari pernikahan yang penuh kebimbangan, malam pengantin yang justru diisi isak tangis dan hari-hari yang mereka lalui dengan harapan Minseok menerima cintanya dengan sepenuhnya. Malam ini Sehun merasakan hangatnya cinta Minseok yang tulus. “Aku juga sangat mencintaimu…”, dia membawa wajahnya lebih dekat untuk mengecup kening si mungil. Menarik selimut untuk menyelimuti dirinya dan istrinya, sebelum memeluk mesra tubuh mungil Minseok, kemudian ikut terlelap ke alam mimpi.

.

.

,

“Kau menaruh handuk basah di tempat tidur lagi?!!”, ujar Minseok yang baru masuk ke dalam kamar dan fokus pada handuk merah yang tergeletak di pinggir tempat tidur. “Lihat sekarang bed covernya jadi basah.. Aish!!”, dia lalu menyampirkan handuknya di bahu sebelum menghampiri Sehun yang masih sibuk mengancingkan kemeja putihnya. Sehun hanya menyeringai mendengar omelan istrinya, hampir setiap hari dia kena marah tapi setiap hari juga dia melakukannya.

Minseok mengambilkan jas hitam dari dalam lemari, menunggu suaminya selesai dengan kemejanya. Tapi demi melihat gerakan Sehun yang sangat lamban memakai dasi, akhirnya dia tidak tahan untuk mengambil alih. “berapa tahun kau akan memakai dasi, huh..!”, Minseok merapikan dasi yang sudah Sehun buat, memastikan kerah kemejanya tidak terlipat. “kau ini seperti anak kecil saja, kalau tidak ada aku bagaimana?”.

“Berarti kau harus ada di sisiku selamanya, jangan pernah pergi..”, Sehun melingkarkan lengannya di pinggang ramping Minseok, yang hanya berdecak dengan tingkah manja suaminya.

“Sudah.. pakai jasmu, nanti kau bisa terlambat..”. Minseok meninggalkan Sehun yang masih berdiri di depan cermin dengan tampang cemberut karena gagal mendapat morning kiss’nya. Beginilah salah satu sifat Minseoknya, cerewet, terkesan memerintah tapi peduli. Dasar. Si cantik yang menyebalkan.

.

Juga kekanakan…

.

.

“Selamat ulang tahun, Sayang…!!!”,

Sehun mengucek matanya malas, kedua mata kelamnya menatap lekat wanita berambut lurus yang duduk di sampingnya dengan kue dan lilin yang menyala di atasnya. Alih-alih membalas ucapan selamatnya tadi, ia malah berujar, “Apa yang kau lakukan tengah malam begini? aku masih mengantuk, besok pagi aku ada meeting penting…”, bersiap merebahkan tubuhnya lagi.

Minseok mematung. Senyum manis di wajahnya berubah menjadi senyum jengkel. Dia balas menatap tajam Sehun, membuat mata cokelatnya justru semakin berkilat-kilat. Sehun melirik dengan ekor matanya lalu menghela nafas panjang. Oh tidak dramanya mulai, batinnya.

“Apa tidak bisa sedikit saja menghargai usahaku? Setidaknya tiup lilinnya..”, suara Minseok bergetar. “Memangnya apa yang aku lakukan? Aku bangun tengah malam untuk mempersiapkan kejutan ulang tahun suamiku, membawakan kue dan juga sekotak hadiah. Dan sekarang bukan tengah malam tapi dini hari. Lebih tepatnya, tanggal Dua Belas April..!!”.

Dua Belas April. Hari kelahirannya. Bukannya Sehun melupakannya atau tidak peduli, tapi menurutnya dia sudah terlalu tua untuk merayakan dengan kejutan seperti itu. Biasanya dia akan dihujani ucapan selamat ulang tahun dan hadiah setelah bangun tidur, bukan dibangunkan saat sedang tertidur pulas. Sehun menggaruk pipinya lalu kembali duduk, memposisikan dirinya berhadapan dengan Minseok yang menunduk. Dia terlihat kecewa.

“Maaf…”, ucapnya lirih, mengambil alih kotak kue yang dipegang Minseok. “terima kasih untuk kejutannya..”, kali ini sembari tersenyum tipis.

“Aku hanya ingin menjadi orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun kepadamu. Maaf sudah mengganggu tidurmu..”, ucap Minseok, disusul isakan lirih. Sehun semakin merasa bersalah dengan kalimat istrinya barusan. Jemari tangan Sehun menghapus air mata Minseok dengan hati-hati, seakan sedikit tekanan saja dapat melukai wajah cantik istrinya.

“Jangan menangis begitu.. maafkan aku..”,

Minseok menyeka air matanya sendiri, “Ah maaf, sepertinya aku berlebihan ya..”, pipinya bersemu karena malu. Minseok juga tidak mengerti kenapa dirinya bisa jadi sensitif seperti ini. Sehun menggeleng pelan, meletakkan kuenya di atas tempat tidur untuk kemudian memeluknya hangat.

.

.

Mereka turun ke bawah, Sehun mengawasi istrinya meletakkan kue tart dan hadiahnya di meja makan. Menunggu dalam diam saat Minseok menuju dapur mengambil pisau dan piring kecil.

“Selamat ulang tahun..!”, ucap Minseok memberi satu kecupan hangat di pipinya.

“Kau sudah mengatakannya tadi”, protes Sehun, Minseok tertawa.

“Saatnya meniup lilin.. Eh tunggu…!!”, cegah Minseok, kening Sehun berkerut. Berhenti dalam posisi siap meniup.

“Ucapkan harapanmu dulu…”.

“Untuk apa?”.

“Jika kau meniup lilin di hari ulang tahunmu sambil mengucapkan harapan, maka harapanmu itu akan terkabul”, jelas Minseok dengan wajah berseri. “Nah sekarang, tiuplah..! Jangan lupa buat permohonan dalam hati.!”.

Tetapi Sehun malah menegakkan badannya, beralih pada Minseok “Aku tidak tahu apa keinginanku, aku sudah punya semua yang kuinginkan saat ini. Materi, Jabatan, Kehormatan, Keluarga dan yang terpenting sekaligus paling mustahil, aku bisa menikah denganmu, memilikimu di sisiku. Aku bahagia. Sepertinya tak ada lagi yang kuinginkan, karena semua harapanku sudah dikabulkan”.

Mengabaikan semburat yang muncul di kedua pipinya, Minseok menggumam, “Buatlah harapan apa saja, dan cepat tiup lilinnya..”.

Sehun memutar bola matanya, berpikir harapan apa yang dia inginkan dan bisa segera terwujud. Di saat itulah sorot mata tajamnya tertuju pada tulisan yang ada pada baju tidur yang sedang dikenakan Minseok. Tertulis “My Baby”.

Menyeringar samar, Sehun kembali pada lilinnya, lalu membatin. Minseok bertepuk tangan setelah Sehun meniup lilinnya hingga padam dalam sekali tiup. Dia tak menghiraukan tatapan aneh suaminya itu.

“Minseok..”, panggilnya.

“Ya?”.

“Apa harapanku bisa terkabul?”,

“Tentu, memangnya apa harap.. Yaa.. ada apa denganmu?”, Minseok menelan ludahnya dengan agak kesulitan. “Kenapa menatapku seperti itu?”, seketika itu nafasnya seakan berhenti saat tangan Sehun menangkup kedua pipinya. Tangan Sehun secara perlahan menyusup ke tengkuk Minseok, menariknya secara lembut dan membawa istrinya pada sebuah ciuman yang memabukkan.

“Aku ingin harapanku segera terkabul, hanya kau yang bisa membantuku.”, bisiknya begitu dekat di telinga Minseok membuat pipinya merona saat sadar apa yang dimaksud Sehun, dan tanpa menghiraukan pekik kaget darinya, Sehun bergegas menggendong tubuh istrinya ke kamar tidur mereka.

.

.

.

Pagi ini seharusnya menjadi pagi yang sempurna untuk Oh Sehun, apalagi setelah dia mendapat hadiah istimewa dari istrinya beberapa jam yang lalu. Dia bahkan tersenyum malu setiap kali membayangkan kejadian itu saat mandi, menyusuri bagian dadanya yang terdapat bercak kemerahan yang dibuat Minseok. Pipinya bersemu lagi. Tapi mendung tiba-tiba menyelimuti wajah cerahnya saat turun dan menemukan sosok mungil duduk dengan manis di pangkuan istrinya.

“Selamat pagi…”, sambut Minseok cerah.

Sehun menatap tajam pada makhluk yang tersenyum lebar padanya, dia memakai topi telinga kelinci, memiliki telinga lebar, mata lentik, pipi chubby dan berkulit putih. Dan Sehun yakin makhuk itu tak bergigi. Melihatnya secara keseluruhan, mengingatkannya pada seseorang.

“Kenapa bayi itu ada di rumah kita?!”, tanya Sehun datar, melewati mereka begitu saja menuju ruang makan. Minseok mengikutinya dari belakang sambil menimang-nimang bayi di pelukannya.

“Katanya kau ingin punya bayi, sekarang harapanmu sudah terkabul.. kau senang kan?! Ini bayi kita..”, ucapnya tanpa mengalihkan perhatiannya pada si bayi, membuat ekspresi lucu untuk menggoda si kecil. Minseok kemudian menciumi pipi bayinya yang tertawa senang, merasa geli karena dihujani ciuman.

“Aang..angg..!!”, Minseok sekarang berpura-pura memakan tangan si kecil.

Sehun semakin cemberut, merasa diabaikan. Harus diakui, Sehun memang tak terlalu pintar, tapi itu bukan berarti dirinya bisa dengan mudah dibohongi, bagaimana mungkin harapannya terkabul dalam beberapa jam. Minseok tidak berbakat dalam berbohong. Pertama, paling tidak mereka membutuhkan waktu minimal Sembilan bulan untuk mewujudkan harapannya, itu pun kalau usaha mereka semalam langsung berhasil. Kedua, bayi itu sama sekali tidak mirip dengannya. Ketiga, Sehun sudah tahu asal usul si bayi bahkan sebelum si bayi lahir.

.

Bayi itu milik pasangan Park Chanyeol dan Byun Baekhyun, mereka suka seenaknya menitipkan bayinya di rumah tanpa pemberitahuan. Alasannya sangat klasik, mereka merasa aman kalau bayinya dijaga oleh Minseok padahal itu hanya alasan agar mereka tidak perlu mengeluarkan biaya tambahan untuk baby sitter. Istrinya yang begitu menyukai bayi tentu saja dengan senang hati merawatnya tapi bagi Sehun itu adalah siksaan. Bagaimana tidak, istrinya akan memprioritaskan si bayi daripada dia, bahkan kadang Sehun akan berubah jadi makhluk astral sehingga tak dianggap sama sekali. Dia jadi ragu, kalau mereka punya bayi sendiri, bagaimana nasibnya.

.

“Mana sarapannya…”, Sehun bersuara.

“Oh, astaga.. aku belum membawanya dari dapur..”, tertawa sendiri, setelah sadar kalau meja yang mereka hadapi masih kosong, hanya ada kotak tissue di atasnya. Sehun kan bukan kambing yang mau makan tissue. “Sehun, tolong pegang dia sebentar..”, mendekatkan si bayi, tapi Sehun hanya terdiam sambil menunjukkan wajah ‘aku-tidak-mau-bajuku-nanti-kusut’. “Ya sudah, kau ambil saja sendiri di dapur”, tegas Minseok.

“Iya, baiklah..!”, dia menyerah, untuk urusan berdebat dengan Minseok, dia tak akan pernah menang. Akhirnya dengan menggerutu, dia mau menerima bayi laki-laki berumur tujuh bulan itu dalam gendongannya. Sementara Minseok menyiapkan sarapannya.

.

Satu detik

Dua detik

Tiga detik

.

Bayi itu mulai bosan. Dia menggeliatkan badannya tak nyaman, kakinya mulai menendang, suara rengekan terdengar, tangannya menggapai dasi Sehun dan menariknya kuat.

“Ya..ya..ya.. jangan uhukk..”, leher Sehun tercekik, langsung menarik dasinya dari genggaman si kecil dengan paksa. Kaget dengan gerakan Sehun yang tiba-tiba tangis si kecil akhirnya pecah.

“Hueee…”,

“Sayang..!!, bayinya menangis, bagaimana ini..?!”, teriaknya panik, dia sudah berdiri dan menepuk-nepuk punggungnya, siapa tahu bayinya akan diam. Dia mondar mandir di ruang makan tapi sialnya si bayi tetap menangis, ya meski tidak sehisteris tadi.

.

Minseok meletakkan secangkir kopi hangat di atas meja, kemudian dengan tenang mengambil alih bayinya. “Sshh.. Jaemin sayang, kenapa? Anak pintar, tidak boleh menangis..”. Minseok mengelus-ngelus bagian belakang kepala Jaemin yang menyandar di bahunya dengan lembut. Ajaib, tangisnya mereda. Si kecil menegakkan badannya memandang Minseok dengan wajah memelas, seperti anak anjing yang minta dikasihani, matanya basah penuh air mata dan sesekali sesenggukan. Sungguh menyedihkan. Minseok tersenyum keibuan sambil menyeka air matanya.

“Cengeng..”, Sehun berkomentar tanpa sadar, Jaemin langsung berpaling pada sumber suara dan saat melihat Sehun menatapnya, tangisnya pecah lagi.

“Hueee..!!!!”, kembali memeluk leher Minseok dan menyandar di bahunya.

“Sehun..!!”,.

“Apa?!”.

“Jangan menakutinya..”.

“Tidak..”.

“Kau memelototinya..”, tuduh Minseok.

“Tidak, aku melihatnya biasa. Seperti ini..!!”, Sehun mengulang tatapannya pada Jaemin, yang kembali membuat bayi itu menangis. “Kau lihat kan, bayinya saja yang berlebihan. Wajahku memang begini, mau diapakan..!!”, Sehun lama-lama ikut jengkel. “dia saja yang terlalu manja, dia tadi juga menarik dasiku sampai leherku tercekik”.

“Oh ayolah, jangan mendramatisir cerita, kau tidak akan mati kehabisan nafas hanya karena dicekik bayi berumur tujuh bulan”.

“Aku tidak bilang dia mencekikku, tapi dasinya yang menjerat leherku, rasanya tidak nyaman”

“Sama saja.!! Jadi ayah apanya, kau pikir jadi orang tua itu mudah, hal sepele seperti ini saja membuatmu tak sabar..!!”.

“Tapi aku…”.

“Sudah sana, selesaikan sarapanmu. Nanti terlambat..!”.

“Arrgghh..!!”, ingin rasanya Sehun menggaruk tembok saat itu juga, untuk melampiaskan kekesalannya. Minseok selalu membela bayi itu. Atau mungkin Sehun yang terlalu berlebihan menanggapinya.

.

.

Dalam diam Sehun menyelesaikan sarapannya sendirian, Minseok ada di halaman depan dengan Jaemin. Bermain-main dengan tanaman dan memperlihatkan ikan koi di kolam kecil yang ada di dekat pagar, ada air terjun buatan di sana.

“Aku berangkat…”, Minseok berbalik mendengar suara di belakangnya, tersenyum mendapati suami tampannya berdiri di teras. Sehun menunggu istrinya berjalan mendekat, Jaemin juga tersenyum padanya, dia jadi merasa bersalah sudah membuatnya menangis.

“Hati-hati ya.. Selain sup rumput laut, kau mau apa? aku akan memasakkan untukmu nanti malam..”, dengan sebelah tangannya merapikan jas hitam milik suaminya. Dia sudah tidak marah lagi.

“Apa saja, semua masakanmu enak”, tangannya bermain dengan jemari kecil Jaemin. Sepertinya mereka sudah berbaikan. Ah anak kecil memang tidak pernah menyimpan dendam, hati mereka begitu polos.

“Semoga hari ini pekerjaanmu lancar. Jangan lupa kabari aku setelah sampai di kantor”.

“Baiklah, aku berangkat..”, mengecup kening Minseok, Jaemin menengadahkan  wajahnya ke atas, berusaha menjangkau wajah Sehun yang hanya berhasil menyentuh ujung dagunya, berceloteh dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Sehun. “Apa..?!”, tanya Sehun bingung pada Minseok.

“Dia ingin kau menciumnya juga..”,

“Bohong..”, Sehun tidak percaya.

“Benar..”, Minseok meyakinkan. Sehun melirik pada Jaemin yang mengulurkan kedua tangan padanya, mengerti maksudnya dia menggendong si kecil dan mencium pipinya. “Kalau seperti ini, kau terlihat seperti Ayah sungguhan..”, puji Minseok. Sehun tersipu mendengarnya. Jaemin sekarang memeluk leher Sehun erat, seolah tahu kalau dia akan pergi.

“Dia tidak cengeng, dia hanya ingin perhatian dan kasih sayang, bahasanya terbatas karena itu dia selalu menangis setiap kali merasa tidak nyaman..”, Sehun mengangguk setuju, sebenarnya Jaemin adalah bayi yang sangat menggemaskan dan Sehun menyukainya, dia begitu periang dan mudah tertawa. Ya, mungkin dia memang perlu belajar menjadi ayah yang baik mulai saat ini. Dengan meminjam bayi Chanyeol seharian misalnya.

.

.

.

.

Jalanan sepi kota Beijing memacu adrenalin Luhan untuk menambah kecepatan laju mobilnya, sorot matanya begitu tajam menatap ke depan. Suara musik di dalam mobil begitu memekakkan telinga, tapi mungkin tidak bagi Luhan yang sudah menulikan telinganya. Alisnya terangkat sebelah saat sebuah mobil sport mendahului mobilnya, menambah semangat Luhan untuk berpacu dengannya atau mungkin dengan sengaja sedang menantang kematian.

Jarum merah pada speedometernya terus meningkat seiring injakan pada pedal gasnya, tak berniat sedikitpun untuk mengurangi kecepatannya. Luhan bahkan tidak peduli berapa kecepatannya sekarang. Yang dia pedulikan adalah bagaimana mengalahkan mobil itu secepatnya. Apa yang Luhan mau dia harus mendapatkannya dan itu harus. Butuh beberapa menit untuk mereka saling mengejar dengan sengit. Dan voila… senyum puas tercetak di wajah Luhan. Dia tertawa penuh kemenangan. Dia merasa menang, berteriak sekeras-kerasnya di dalam mobil, melampiaskan semua yang ada di hatinya saat itu.

.

Yang tidak diketahui Luhan adalah, kekesalan pengendara mobil sport yang ada di belakang mobil Luhan. Dia tampak sangat emosi, dilihat dari caranya menggenggam erat kemudi. Dan saat mobil Luhan melambat, dia menginjak pedal gasnya dengan kekuatan penuh.

.

.

.

Kring..kring…

Lampu di nakas samping tempat tidur menyala, tangan yang mulai berkeriput mengangkat gagang telepon yang sedang berdering.

“Hallo, hmm.. ada apa?”, suara serak khas bangun tidur terdengar.

“Tuan Lu, saya mau melaporkan Tuan Muda Luhan mengalami kecelakaan. Sekarang dia ada di Rumah Sakit Beijing”.

“Bagaimana keadaannya? Apa dia mabuk?”.

“Tidak Tuan, tidak ada kandungan alcohol dalam darah Tuan Muda, dia mengalami memar di beberapa bagian tubuhnya, tapi tidak ada luka dalam. Saat ini Tuan Muda ada di ruang perawatan”.

“Apa ada korban lain?”.

“Tidak ada Tuan, di tempat kejadian hanya ada mobil Tuan Muda. Apa perlu saya melakukan penyelidikan? Karena sepertinya mobilnya ditabrak dari belakang”.

“Tidak perlu.. awasi saja Luhan”.

“Baik Tuan Lu..”.

.

Ayah Luhan mengusap wajahnya, dia tampak lelah secara batin. Ini bukan pertama kalinya dia mendapat kabar anaknya mengalami kecelakaan, dua minggu yang lalu Luhan juga mengalami kecelakaan karena menabrak sebuah pembatas jalan akibat mabuk berat. Dan sekarang pun, Tuan Lu yakin Luhan lah yang menjadi penyebab kecelakaan itu.

“Apa yang harus aku lakukan dengan anak itu...”, menatap nanar tempat biasa istrinya berbaring, kini ruang itu kosong dan dingin, ditinggalkan sang pemilik selamanya. Air mata Tuan Lu jatuh, hatinya terasa pedih. Batinnya bahkan belum sembuh atas kematian istrinya empat bulan yang lalu, sekarang ditambah beban tingkah laku Luhan yang membuatnya khawatir sepanjang waktu.

.

.

.

Mata Luhan mengerjap, dia meringis merasakan seluruh tubuhnya terasa sakit saat digerakkan. Sebuah jarum infus menancap di lengan kirinya, terhubung dengan botol bening yang menggantung di sebelahnya. Dia mengedarkan pandangannya menyapu seisi ruangan yang terlihat seperti kamar hotel berbintang, yang jelas ini bukan kamarnya.

“Tuan Muda, kau sudah bangun?”, sapa pria berkacamata, menghampirinya.

“Kau pasti menghubungi ayahku?!”,

“Hm.. apa lagi yang bisa kulakukan? aku dibayar untuk itu..”, bahasanya berubah santai. “ada banyak cara untuk mati yang lebih mudah, kenapa harus memilih mengebut di jalanan. Jangan buat Tuan Lu mengkhawatirkanmu, lain kali pilihlah cara mati yang lebih efektif..”. Luhan tertawa sinis, pria itu berhasil menebak pikirannya. Dia benar seharusnya dia meminum racun atau menembakkan pistol di kepalanya jika benar-benar menginginkan kematian, tapi yang dia lakukan hanyalah bermain-main dengan kehidupannya. Hidup? Ah Luhan pikir dia sudah tidak punya kehidupan, atau alasan untuk hidup lebih tepatnya.

“Aku mau pulang..!”, Luhan mencabut selang infusnya tanpa ragu.

“Tinggallah beberapa jam lagi, aku sudah membayar mahal untuk kamar ini..”.

“Kau bisa menggantikanku tidur di sini seharian, atau berminggu-minggu kalau kau mau. Aku yang akan membayarnya untukmu, Lao Gao..!!”. Luhan menyambar jaketnya yang tergeletak di sofa dan memakainya sambil berjalan. Pria berkacamata itu menghela nafas panjang.

.

.

Seberapa kesalnya Lao Gao pada Luhan, pria itu tetap mendampingi Luhan, sahabatnya dari kecil yang telah menyelamatkan hidupnya. Jika bukan karena kebaikan Keluarga Lu, mungkin dia dan keluarganya sudah mati kelaparan di jalanan. Hanya Luhan, bocah laki-laki yang mau berteman dengannya dengan tulus. Mereka hidup dan tumbuh bersama, jadi tidak heran Lao Gao menjadi orang yang paling mengerti bagaimana perasaan Luhan saat ini. Di balik sifat angkuhnya, di balik kekuatan fisiknya, ada begitu banyak kesedihan yang disembunyikan. Luhan yang dia kenal tidak pernah mengijinkan orang lain melihat sisi lemahnya, seberapa rapuhnya dia, seberapa hancurnya dia. Tetap saja seorang Luhan mengatakan, aku baik-baik saja.

.

.

Tuan Lu sedikit terkejut melihat Luhan duduk di meja makan, menyantap sarapannya. Dia bahkan memakai setelan jasnya seperti hari-hari biasa seolah tak terjadi apa-apa. Seorang pelayan datang membantu menarik kursi Tuan Lu lalu menyiapkan piringnya, pelayan lain membawakan secangkir teh untuknya.

.

Beberapa menit mereka saling terdiam, hanya sesekali terdengar dentingan sendok dan piring porselen yang beradu. Keheningan yang begitu menyesakkan.

“Jangan memaksakan diri..”, suara Tuan Lu terdengar dalam. Luhan menghentikan gerakan sendoknya di atas piring. “Istirahatlah..”.

“Ada beberapa hal yang perlu aku urus di kantor…”.

“Kau bisa menundanya..”.

“Ada rapat penting…”.

“Batalkan..!!”, suara Tuan Lu meninggi, tangan Luhan terkepal erat. Sejuta kalimat ingin terucap dari mulutnya demi memprotes satu kata dari ayahnya, tapi lagi-lagi itu hanya mengendap dalam dadanya. Setiap detik, jam, bulan bahkan bertahun-tahun lamanya. Bagai sihir mulutnya terkunci, Luhan selalu menjadi anak yang baik, dia tidak pernah membantah ayahnya. Ibunya pernah berkata apa yang ayahnya lakukan adalah demi kebaikannya, dan Luhan mencoba untuk mempercayainya, bahkan jika itu menyakiti perasaannya akan tetap Luhan lakukan. Luhan mengakhiri acara makannya, sedikit mengangguk pada ayahnya sebelum naik ke lantai atas.

.

.

Seberapa sakitkah perasaan itu? Seberapa sepikah perasaan itu? Tidak ada yang tahu.. Tapi dua tetes bening yang jatuh di pipinya mungkin bisa mewakili perasaannya, menyingkirkan sedikit dari berjuta kesedihan. Luhan di masa lalu tentu bukan Luhan seperti sekarang.

.

Luhan kecil begitu sehat dan energik, dia senang bermain bola dan berlarian di atas rumput dengan kaki telanjang, membiarkan tubuhnya basah dengan keringat dan kering oleh angin. Luhan, anak yang baik tapi juga usil, dia suka menggoda teman kecilnya yang dia beri nama Baozi, mengejek kalau dia gendut dan jelek seperti bakpao yang Luhan benci. Padahal Luhan berbohong, Baozi adalah makanan kesukaan Luhan. Teman kecilnya akan menangis dan Luhan tertawa senang, tapi tak lama dia akan melakukan hal konyol untuk membuatnya tertawa. Dan itu berhasil.

.

Luhan yang beranjak dewasa kembali bertemu dengan Baozi kecilnya, tapi dia terlalu malu untuk mengakui bahwa Baozinya sudah berubah jadi angsa putih yang cantik. Jadi dia tetap mengejeknya gendut. Dia takut jika ternyata Baozi tidak menyukainya, jadi dia tetap menjaga gengsinya. Hanya di depan mendiang ibunya dia berani memuji baozi cantiknya.

.

Impian dan cita-cita Luhan begitu menggebu saat itu, dia punya banyak rencana hidup untuk masa depannya, dia jatuh cinta dengan sepak bola dan basket.

Piala itu hancur dan semua piagam penghargaan itu tercabik tak berbentuk, Luhan tercenung di lantai memeluk setengah pialanya, ibunya hanya bisa terisak di sudut ruangan, tak mampu berbuat apa-apa untuk menolong putranya. Ayah Luhan terlihat sangat murka. Luhan putra satu-satunya, calon pewaris seluruh kekayaannya mendaftar kuliah jurusan atletik. Itu adalah lelucon paling konyol untuk Tuan Lu, pemilik Lu Corp.

“Ganti jurusanmu atau kau keluar dari rumah ini…!!!”, kalimat yang menggaung di telinga Luhan, jantungnya bagai ditikam pisau bergaram. Teramat perih. Bukankah ini keterlaluan? Tenggorokannya tercekat tapi dia tak menangis. Justru ibunya yang menghambur memeluknya setelah ayahnya pergi.

“Luhan, jangan tinggalkan Ibu, Nak..!”, Wanita itu sangat tahu putranya tidak segan untuk pergi dari rumah, tapi dia tidak bisa hidup tanpa anaknya. Dia memeluk putranya dengan erat. “Demi Ibu, tetaplah tinggal..”.

Luhan menjadi tenang oleh kata-kata ibunya. Tentu saja Luhan akan tinggal demi ibunya.

.

.

Kebosanan itu hinggap saat Luhan di bangku kuliah, dia pintar dalam perkuliahan tapi menutup diri dalam bergaul. Luhan ingin sesuatu yang menyenangkan dalam hidupnya, bukan sesuatu yang monoton dan sesuatu yang berhubungan dengan Ayahnya, termasuk Baozinya. Wu Qia menawarkan semua yang dia inginkan, dunia gemerlap dan alcohol mulai dikenalnya, wanita itu mengajarinya arti kebebasan. Cara seperti inilah yang Luhan pakai untuk membangkang pada Ayahnya.

.

Rasanya sudah lama sekali Luhan tidak mendengarkan kata hatinya. Dia merasa hampa, karena kesenangannya hanya bersifat semu, dia merasa kosong. Dan saat Luhan mulai sadar, satu kebahagiaannya telah pergi, bahkan dia sendiri yang melepasnya. Luhan menangis dalam diam di suatu malam, hanya ibunya yang bisa mengerti. Menemani duduk di kamarnya yang dibiarkan gelap, Luhan tak mau ibunya melihatnya menangis.

.

.

Tapi Luhan tak sekuat itu, akhirnya mental Luhan tumbang saat ibunya meninggal. Komunikasinya dengan Ayahnya semakin buruk, tidak ada lagi penengah di antara mereka. Tidak ada yang bisa diajaknya bicara di meja makan, saat pulang kerja atau di waktu luang saat ibunya bersantai menonton TV di ruang keluarga. Luhan butuh pelarian tapi dia tak punya tempat sebagai tujuan.

.

.

.

“Apa ini terlihat cantik?”, tanya Ibu Luhan, membuka sebuah kotak dengan sebuah kalung di dalamnya, liontinnya berupa dua cincin yang saling bertautan.

“..Hmm..” Luhan melirik sekilas, lalu kembali pada ponselnya

“Ini kalung kesayangan Ibu, tadinya Ibu ingin menghadiahkan ini untuk bayi perempuan Ibu, tapi ternyata prediksi dokter salah. Ibu melahirkan bayi laki-laki yang tampan. Jadi nanti jika kau menyukai seorang gadis berikan ini padanya ya..”.

“Hmm...”.

“Oh iya Luhan, apa kau menyukai Minseok? Dia sangat manis kan? Apa kau berdebar saat melihatnya?”.

“Hmm.. Eh tidak, dia jelek..!!”,

“Cckk.. anak Ibu tidak pandai berbohong…”, canda Nyonya Lu mengusap kepala putranya, dan tertawa setelah melihat Luhan bersemu merah. “Ya sudah, berikan kalung ini pada Minseok sebelum kita pulang ke Beijing besok pagi”.

“Kenapa harus dia? Aku tidak suka”.

“Tapi Ibu suka, dia kan tunanganmu sekarang... Ya sudah, kalau malu kau bisa memberikannya suatu saat nanti. Ingat ya, kau harus membawa pulang Minseok sebagai menantu di rumah kita. Janji..”.

“Hmm..”.

“Luhan, katakan dengan benar...”.

“Iya, aku…janji…”, jawab Luhan malu.

.

.

.

Seperti terbangun dari mimpi, Luhan terduduk dari tidurnya. Terdiam, berusaha memahami apa yang telah terjadi, apakah itu mimpi, kenangan atau de javu.

.

Luhan mengobrak-abrik laci kamarnya dengan frustrasi, dia ingat menyimpannya di dalam kamar tapi dia lupa letaknya. Luhan lupa bagaimana bentuk kotaknya, lupa bentuk kalungnya tapi yang dia ingat pasti Luhan punya janji yang belum ditepati pada Ibunya, permintaan Ibunya.

Luhan berdiri di tengah kamarnya yang berantakan, menarik rambutnya ke belakang, memperlihatkan bekas luka gores memanjang bekas kecelakaan di siku sebelah kanan.

“Ibu.. dimana kotaknya..? aku tidak bisa menemukannya. Maafkan aku, maafkan anakmu yang bodoh ini!!”, Luhan jatuh bersimpuh, kakinya terasa lemas untuk menopang tubuhnya. Bahunya terguncang, batinnya kembali terasa perih. Lalu tiba-tiba dia teringat sesuatu. Piala rusak itu, dimana dia menyimpannya. Tidak mungkin, dia membuang kotak berisi piala rusak itu. Ya, sekarang dia ingat, dia membuang semua hal yang membuatnya marah di sana. Tapi tidak, Luhan tidak mungkin meletakkannya di sana.

.

Luhan berlari ke gudang belakang, menyalakan lampunya. Dia mencari dengan tidak sabar, sebuah kotak putih dengan dua tali sebagai pegangan di kanan kirinya. Tangannya melempar barang yang dianggapnya tidak berguna, menendang sesuatu yang menghalangi geraknya penuh rasa marah. Hampir satu jam dia berkutat di sana dan tetap tak menemukan kotaknya.

“Tuan Muda Lu, apa yang kau cari..”, suara lembut seorang wanita sedikit mengagetkan Luhan tapi dia berjalan cepat ke arah pintu begitu menyadari siapa yang datang.

“Bibi Im, kau sudah lama bekerja di sini kan… Bantu aku mencari sebuah kotak, isinya piala pecah, bola kaki yang kempes, juga benda kecil lainnya. Oh apa kalian memindahkannya ke tempat lain, tolong katakan padaku dimana?”.

Wanita dengan keriput di wajahnya itu hanya bisa menghela nafas panjang. Dia adalah kepala pelayan yang sudah bekerja semenjak Luhan masih kecil, bisa dibilang Bibi Im adalah ibu kedua bagi Luhan di rumah ini.

“Tuan Lu, itu sudah lama sekali, lebih dari delapan tahun yang lalu.. dan lagi dulu kau membuang kotak itu bukan di gudang tapi tempat sampah di depan rumah. Kau tidak ingat?”.

Rasanya Luhan tak bisa berpikir, tubuhnya lagi-lagi merosot ke lantai yang kotor. Begitu bodohnya dia dulu, rasa bersalah pada ibunya semakin besar sekarang. Air matanya menggenang.

“Memangnya apa sebenarnya yang kau cari, Tuan Muda?”, Luhan menggeleng lemah. “Ibumu ingin kau menjadi pria yang kuat menghadapi hidup, bukan terus menerus menghindar dari kenyataan hidup seperti ini. Selesaikan masalahmu dengan berani, lupakan kenangan buruk itu. Berdamailah dengan Ayahmu dan maafkan dirimu. Ibumu akan bahagia jika kau bisa menata hidupmu menjadi lebih baik”.

“Terima kasih atas nasehatnya, aku akan mencoba..”.

Luhan bangkit, bajunya kotor penuh debu kecokelatan. Dia mulai berjalan terhuyung keluar dari gudang, melewati Bibi Im yang menatapnya prihatin.

“Kalung itu terlihat mahal, tapi mungkin kenangan dengan kalung itu lebih berharga”. Mata Luhan melebar, menoleh cepat pada Bibi Im. “Ibumu yang memungutnya sendiri dari tempat sampah, dan menyerahkannya padaku beberapa hari sebelum dia meninggal. Nyonya Lu bilang untuk menyerahkan ini hanya jika kau mencarinya, Nyonya Lu yakin kau akan mencarinya suatu saat nanti. Tadinya Ibumu ingin menyerahkannya padamu sendiri, tapi dia takut akan melukai perasaanmu. Ibumu tahu kau sebenarnya mencintai gadis itu, tapi Luhan semuanya sudah terjadi, kau harus ikhlas menerimanya. Mungkin menyerahkan kalung ini pada gadis itu bisa membantu mengurangi penyesalanmu pada ibumu..”.

.

.

Luhan memegang kotak beludru merah di kedua tangannya dengan hati-hati. Membukanya perlahan, kalung itu masih sama seperti dulu, berkilau dan tampak cantik.

Luhan merentangkan kalungnya, tersenyum membayangkan Minseok yang sedang memakainya di lehernya. Pasti akan terlihat cantik. Sangat cantik.

“Ibu jangan khawatir setelah ini aku akan bahagia.. Aku juga akan memenuhi permintaan Ibu, membawa Minseok pulang sebagai menantu di rumah ini. Tidak peduli yang akan aku hadapi, aku pasti bisa mendapatkannya kembali..”, Luhan menarik nafas lega, membawa kalung itu dalam dekapannya, kemudian senyumnya berubah menjadi senyuman sinis penuh arti.

.

.

.

Notes :

Ini kepanjangan ga sih chapternya? aslinya ada adegan rate M pas Sehun ultah, yang itu tuh.. tapi dicut haha.. Maaf kalau mungkin banyak typo

Btw,

HAPPY BIRTHDAY SEHUN, May GOD bless you with full of happiness.. ^_^

Review ya, ini ceritanya fleksibel sesuai mood soalnya wkwk..

 

.

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
mineseu3101 #1
Senengnya ff ini updateee. Luhan lagi nyesel bgt ya, emang penyesalan selalu datang belakangan. Skrg giliran udah jadi istri org malah bru ngakuin kalo suka & kembali memperjuangkan. Kdng ngeselin jg liat luhan, haha.

Tp gimanapun jalannya ff ini, selagi castnya ada xiuhan aku tetep nikmatin kog. Ditunggu kelanjutannya ya. Fighting! :)
angga_xyu18
#2
Chapter 7: waahh persaingan makin ketat aja ya..salah ndiri lu-ge napa situ ga bisa mensyukuri apa yg ada aja sih..malah pengen yg aneh" yg lebih.

buat sehun,minseok itu istrimu kamu perjuangin aja dia buat kamu. buktiin ke luhan kalo dia udah salah dulu pernah buang minseok.

buat minseok, ga usah noleh ke belakang, liat apa yg ada di depan aja. belakang itu masa lalu, sekarang waktunya menata masa depan.
flottemo #3
Chapter 7: CIA CIA CIA TIRAN!LUHAN DETECTED!!!!

xiuhunhan bahasa indonesia jarang banget, syukur deh ketemu fic ini hehe, kok liat luhan jijik ya, salah lo udah nganggep minseok angin lalu eh pas nyesel kok malah pengen ngembat bini orang lol.

ciee sehun laki idaman banget neh, udah ganteng, perhatian, siap siaga jaga istri dari predator macam lu-nyebelin-han, sayang si minseok kok bego banget kayanya ya, doi terlalu friendly sama ngga was-was keadaan ato emang centil pengen nge-poliandri sehun sama luhan wkwk

ini bakalan ke xiuhun apa xiuhan sih? kalo xiuhun, ngga seru dong itu-itu aja, ga panas bahtera rumah tangganya, tapi kalo xiuhan ntar kasian minseok kok dapet orang nyebelin jadi suaminya, engga bisa apa xiuhunhan gitu wkwk. Hwheu maaf malah bacot ya ngga usah di tanggepin kok terserah mba malaikatnya mau bikin gimana pokoke aku bakalan tunggu update selanjutnya!!
angga_xyu18
#4
Chapter 7: Chapter7 : oke ini bikin galau binggits..aku cinta xiuhan tapi ini pertama kalinya aku pengen xiuhun happy ending. Jarang bgt aku nemuin ff xiuhun yg happy ending.
Tapi aku juga ga tega liat luge kuh sakit ati..gegana banget..

Oke fix aku mau xiuhun...xiuhun...xiuhun...xiuhun
angga_xyu18
#5
Chapter 6: Chapter6: no comment
angga_xyu18
#6
Chapter 5: Chapter5 : kyaaaaaa mau xiuhuuuun hueee,aku kok malah nyesek ya bacanya,,
Aku ga peduli ah ama luge maunya kek gimana, yg penting xiuhun!
angga_xyu18
#7
Chapter 4: Chapter4 : hahaha terus aja bikin luhan panas, aku memang xhs hardcore, tapi aku kadang suka gemes liat luhan suka ngasih kode ambigu, panasin aja terus si luhan.. aku bahagia, biar tau rasa dia haha (senyum_evil)
(Aku nistain biasku sendiri)
angga_xyu18
#8
Chapter 3: Chapter3 : kyaaaaaa.... Andweeee kenapa mesti barengan gitu ketemuannya. Ga kuat aku mau baca next chapter, kira" bakal ada apa ya?
Aku udah deg"an duluan nih....
angga_xyu18
#9
Chapter1 : bagus banget, aku suka ceritanya, lagi bingung pengen baca ff xiuhan eh, nemu ini, ada xiuhun momen lagi aaaaw sukaaa bgt.
Sip lah
ohahayu
#10
Chapter 7: Xiuhun please