Wind Flower

Sweet Melody and Harmony

Song: Mamamoo - Wind Flower


“Jihoon!” pekik Seungcheol saat ia terbangun di tengah malam itu. Tidak ada yang menjawabnya, sebagian kamarnya tertutupi oleh kegelapan dan hanya lampu tidur yang terletak di nakas sebelah menerangi wajahnya.

Pria itu bangkit perlahan dari tempat tidurnya, mengusap wajah lesunya dengan kasar. Dia kemudian melihat foto berbingkai yang masih terpampang dengan manis di nakas itu. Perlahan tangan kanannya meraih foto itu, mengusapnya pelan dan memandangi senyuman manis mantan kekasihnya itu.

Senyuman lama yang sudah mati itu muncul kembali.

 


 

Here’s a cliché love story of mine

A break up just like another

 


 

Pria mungil itu menatap Seungcheol, jemari kekasihnya bergerak dengan cepat di atas keyboard laptop itu, tidak menyadari kekasih mungilnya sudah melihatnya dari tadi. Jihoon mendengus pelan, dan kemudian berjalan ke arah luar taman itu. Azalea, Magnolia hingga Morning Glory menyambut Jihoon di dalam diam.

“Seungcheol... bisakah kau membantuku untuk menyirami bunga-bunga ini?”

Pria itu menatapnya sekilas dan kemudian kembali ke fokus awalnya, “Jihoon-ah... bisakah kau tidak mengangguku untuk saat ini?”

Hening, tidak ada balasan yang Jihoon lontarkan. Pria mungil itu mengambil selang air yang sudah disiapkan olehnya sejak tadi. Ada rasa sedikit mengganjal di dalam hatinya.

Bunga-bunga bermekaran itu menerima air jernih itu dengan riang namun Jihoon lebih berkutat dengan pikiran mengenai Seungcheol dengan kesibukan tiada akhir yang membuat Jihoon bertanya apakah tidak apa jika pria mungil itu berada di sisinya. Namun ia tidak menyadarinya saat itu.

Setitik tinta hitam yang tidak ia sadari kehadirannya.

 


 

When I was with you, why couldn’t I treat you better?

Why are sweet words starting to linger now?

 


 

“Jihoon... kau pergi saja dengan temanmu, oke?”

“Kenapa kau sangat egois sekarang? Apakah kau tidak tahu bahwa aku juga harus menghabiskan waktu denganku?”

“Seungcheol, bisakah aku menghabiskan waktu bersama denganmu?”

Penolakan tiada akhir dari Seungcheol dan usaha Jihoon membuat tembok transparan memisahkan mereka. Seungcheol yang sibuk dengan pekerjaan dan hubungan bersama relasi di luar sana membuat mereka berdua sering bertengkar tiada akhir dan itu membuat Jihoon lelah. Ia lelah akan sikap Seungcheol yang setidaknya mencoba untuk membuat mereka seperti sepasang kekasih bukannya menjadi orang asing.

Dikala itu, Seungcheol tidak menyadari apapun itu yang akan membuatnya menyesal di kemudian hari. Ia terus mengulangi hal yang sama hingga ia ketika mereka berpisah begitu saja.

 

Di tahun kedua ketika mereka menjadi sepasang kekasih, tinta hitam itu melebar dan memasuki relung hati Jihoon. Tidak ada kalimat yang terucap dari mulut Jihoon, kalimat menyedihkan itu tidak pernah akan keluar dari mulutnya.

“Aku mencintaimu.”

“Bisakah kau meiihatku? Aku merindukanmu?”

Semuanya disembunyikan dirinya, hingga Jihoon tidak menyadari bahwa kalimat tidak terucap itu membuat mereka berdua semakin menjauh.  Jihoon merasa semuanya tidak ada gunanya, tidak ada kesempatan untuknya berdiri di sisi seorang Choi Seungcheol, sosok pria yang sudah mengunci mati perasaan cintanya itu.

Bahkan ketika Seungcheol memutuskan untuk berpisah, ia tidak dapat mengatakan sepatah kata apapun.  Tidak ada luapan emosi yang sudah dipendam olehnya, semuanya masih ditahan olehnya hingga detik ini.

Keresahan mereka berdua tidak dapat ditampung secara diam.

 


 

You probably know already

I was really lonely while you weren’t here

I had a hard time

 


 

Entah apa yang sudah dipikirkan oleh pria itu, memakai topi dan masker menutupi hampir seluruh wajahnya. Pria tampan itu menatap toko bunga yang cukup ramai itu. Bunga-bunga segar itu menghiasi bangunan yang sudah terlihat tua itu. Terlihat sosoknya, sosok Jihoon yang sedang memberikan sekuntum bunga mawar ke anak kecil yang ingin membeli bunga itu. setelah anak kecil itu mendapatkan mawar yang diberikan oleh Jihoon, ia menyerahkan ke orang yang sudah disukainya.

Seungcheol cuma bisa pemandangan itu dari jauh, bagaimana kedua anak kecil itu menikmati momen mereka. Ia tahu bahwa melihat kejadian itu membuatnya merasa semakin kesepian, kehilangan Jihoon yang selalu bersamanya untuk empat tahun merupakan kesalahan terbesar yang sudah dia buat.

Terlintas sekilas ekspresi wajah Jihoon ketika ia memutuskan untuk berpisah karena pemikiran egoisnya menganggap Jihoon tidak mencintainya.

Padahal kenyataannya, Jihoon mencintainya, sangat mencintainya hingga ia lupa bagaimana rasanya ketika sosok cuek Seungcheol tidak berada di sisinya. Ia masih ingat bagaimana rasa hangat itu menjalar ketika pria itu meraih pinggangnya dan menghapus jarak mereka.

Seulas senyum muncul di balik masker yang ia kenakan.

Seungcheol memiih untuk berhenti memikirkannya dan mendapati bahwa Jihoon menatapnya dengan aneh. Matanya membulat dan memutuskan untuk pergi dari sana, sepertinya Jihoon menyadari kebiasaannya untuk melihatnya dari kejauhan selama setahun belakangan ini. Dua tahun perpisahan mereka dan setahun inilah Seungcheol menyadari bahwa ia masih menginginkan Jihoon, sosok mungil yang selalu berada di hamparan bunga terlalu berkilau untuknya.

Jihoon menatap sosok itu pergi dengan tatapan nanar, kedua tangannya ia tempelkan ke dadanya. Tersirat rasa sakit yang sudah ia rasakan selama dua tahun belakangan ini.

“Seungcheol...”

 


 

I’ve been regretting it dear

Now I’m thinking those flowers are really pretty

 


 

“Mingyu...” panggil Seungcheol dan mendapati pria jakung itu menatapnya.

“Ya?”

“Apakah bunga-bunga yang berada di toko itu sangat indah?” tanyanya mendadak ketika mereka sedang duduk di café tepat di seberang toko bunga milik keluarga Jihoon.

Mingyu menatapnya dengan kebingungan, namun kemudian ia tersenyum, “Tentu saja... kau tau sendiri bukan bahwa bunga yang indah berasal dari rasa sayang pemiliknya ke mereka. Meskipun itu adalah tumbuhan sekalipun.”

Seungcheol menatap jenis-jenis camellia yang sudah disusun oleh mantan kekasihnya menjadi sebuah buket bunga. Membuat lagu, mengurus bunga-bunga dan toko bunga milik keluarganya merupakan kegiatan kesukaan Jihoon dan Seungcheol selalu mengingat akan hal itu. Ia tersenyum pahit, “Kuharap aku dapat merawatnya seperti mereka merawat bunga itu.”

“Maksudmu?”

“Aku menyesal karena tidak dapat melihat bunga itu mekar di hadapanku.” Ucapnya sambil melihat Jihoon yang memasuki bagian dalam rumahnya dengan kepala menunduk.

 


 

Yeah, I can be like that, because of this break up

The outside felt too loud, knocks on my door are a shame

A single plate on the dinner table, by myself

Pretending I’m fine, a late meal, yeah

The cloudy weather makes me feel down

There aren’t normal days anymore, why is everything so irritating?

 


 

“Jihoon-ah, kenapa kau tidak mau menghabiskan waktu dengan kami? Apakah kau sudah terlalu sibuk dengan lagu-lagumu dan toko bunga keluargamu?”

“Jihoon... kau semakin diam dari hari ke hari, bahkan kau tidak menanyakan kabar mereka ketika sudah pindah ke luar negeri.”

“Apakah kau tidak apa-apa?”

Bertubi-tubi pertanyaan yang diterima oleh Jihoon membuatnya bertanya-tanya apakah ada yang salah dengannya? Jihoon tidak ingin menyalahkan siapa pun itu namun... patah hati pasti dapat membuatnya seperti itu bukan? Kehilangan cinta kadang seperti kehilangan sebagian dari motivasimu untuk melakukan segala hal di dalam hidupmu. Itulah yang kurang lebih Jihoon rasakan selama dua tahun ini.

Setelah perpisahan itu, Jihoon merasa pandangan orang di sekelilingnya membuatnya tidak nyaman, berbagai komentar hingga ucapan yang tidak ingin Jihoon dengar membuatnya merasa marah. Namun Jihoon tidak ingin terlalu memikirkan itu untuk sekarang.

Bagaimana dengan makan malamnya hari ini yang perlu ia pikirkan untuk saat ini. Jihoon meraih sepiring steak dan semangkuk nasi yang akan dimakan olehnya. Ya, hanya seporsi dan itu untuknya.

Ketika Jihoon mengambil gigitan pertama, ia kembali mengingat momen ketika ia datang ke rumah Seungcheol hanya sekedar untuk makan malam bersama dengannya. Makan malam yang ia anggap makan malam pun sudah terlalu larut untuk dikatakan makan malam. Ketika ia sedang menikmati makan-malam-pukul-dua belas-tepat-tengah-malam itu, ia melihat langit gelap yang ditutupi oleh awan-awan itu. Tidak ada bintang yang dapat dilihat olehnya pada malam ini.

Rasa kesepian dan cuaca menyedihkan itu membuatnya merasa jengkel. Kenapa semua tidak dapat berjalan normal seperti hari biasanya, kenapa semuanya sudah tidak dapat kembali ke saat dulu, saat ia masih belum mengenal Seungcheol atau saat mereka masih menjadi sepasang kekasih.

Dan air mata frustasi itu jatuh begitu saja.

 


 

When we were together why couldn’t it be more beautiful?

Why are we filling our song with lyrics of separation?

It’s painful

 


 

Seungcheol kembali membayangkan Jihoon ketika sedang merawat bunga-bunga itu. Pria itu indah, sangat indah ketika melakukan hal yang ia cintai. Namun, Seungcheol melupakan momen-momen ketika ia bisa membuat hal yang lebih indah ketika mereka sedang bersama. Bagaimana mereka menikmati teh sembari melihat bunga-bunga itu atau berbaring di rumput hijau hanya untuk tidur siang bersama.

Atau berciuman ketika berada di tengah ladang bunga itu.

Namun ia sadar bahwa semuanya hanya kedok masa lalu mereka. Mereka melupakan satu sama lain ketika hari itu Seungcheol memutuskan mereka berdua. Keindahan itu hanyalah mimpi yang Seungcheol buat.

 

“Jihoon! Kenapa kau sibuk menulis lirik patah hati? Bukankah permintaan agensi untuk membuat lirik mengenai cinta?” tanya Jisoo ketika melihat tulisan berantakan Jihoon yang berisi dengan kalimat perpisahan.

“Aku menulis apa yang kumau.”

“Begitu pula dengan Seungcheol,” jawab Jisoo dengan tenang, “dia hanya mendengar lagu patah hati dan di dalam iPod-nya hanya terdapat itu.”

Pria mungil itu hanya dapat terdiam mendengarnya, ia seolah-olah tidak peduli.

Namun itu menyakitkan.

 


 

If I didn’t like you at that time

There wouldn’t be this common breakup

From the day I started to call you and me separately

Comfort for me became my responsibility completely

As if it’s nothing special I live today

 


 

Seungcheol tidak menyangka bahwa ia akan menyukai sesosok pria mungil yang sangat mencintai musik. Pria yang biasanya selalu berada di ladang bunga ataupun studio pribadinya.

Seungcheol tidak menyangka bahwa ia terjatuh sedalam itu.

Semuaya tidak ada yang spesial, tidak ada yang penting di dalam kehidupan Seungcheol sekarang. Bagaimana Seungcheol merasa terhibur, sekarang hanya menjadi hal yang harus ia lakukan sendiri. Meskipun ia masih sering mendengar lagu yang Jihoon buat dan itu membuatnya merasa sedikit senang.

Namun hanya sebatas itu. Karena mereka berpisah.

“Karena ‘kita’ sudah menjadi aku dan kau.”

 


 

Are we the only ones saying goodbye?

Are we the only ones hurting?

 


 

Tidaklah heran ketika perpisahan itu terjadi, semua kalimat ucapan selamat tinggal pasti pernah dilontarkan oleh orang lain kepada sosok yang pernah menjalani komitmen bersama.

Namun seolah Seungcheol adalah pusat segalanya untuk Jihoon dan Jihoon adalah pusat segalanya untuk Seungcheol. Kalimat perpisahan itu sudah dilontarkan cukup lama namun seolah terjadi seperti kemarin. Rasa sakit yang dialami oleh mereka lebih besar dampaknya. Semua orang mungkin pernah melakukannya, namun untuk mereka berdua, itu melebihi dari apapun.

Dapatkah luka itu sembuh begitu saja?

 


 

A day that’s nice because the wind is blowing

A carefree night being alone

A depressing day passes by

Get better day by day

Get better day by day

 


 

Jihoon melangkahkan kakinya dengan perlahan ke tempat ia mencuci pakaiannya. Laundry express bukanlah tempat favorit pria mungil itu namun sesekali ia ingin kesana dan menikmati suasana mencuci pakaian di malam hari. Ia melewati jalan-jalan yang sudah dihapal olehnya. Cuaca di malam ini bagus, langit yang cerah, malam yang bebas untuk dirinya sendiri dan hari-hari yang memfrustasikan sudah dilewati olehnya.

“Semoga semua ini akan membaik dari hari ke hari,” gumam Jihoon pelan ketika melihat bulan itu bersinar di atas kepalanya.

Jihoon memasuki tempat itu, memilah seluruh pakaiannya dan memasukkanya ke dalam mesin pencuci baju itu. Setelah selesai, ia pergi untuk membeli koin agar ia dapat menjalankan mesinnya. Pria mungil itu berjalan dengan pelan sambil menundukkan kepalanya sembari menghitung jumlah koin itu. Terlalu serius menghitung uang membuatnya tidak menyadari bahwa seseorang sedang berada di hadapannya.

Uang koin itu jatuh karena tabrakan itu dan Jihoon panik, “Maafkan aku karena aku tidak memperhatikan jalan.”

Dengan segera koin itu dikutip olehnya dan orang yang ditabraknya itu juga membantunya.

“Ini...” gumamnya pelan.

“Ah... terima kasih...” dan Jihoon mengangkat kepalanya.

Seketika mereka berdua merasa waktu berhenti begitu saja, lidah Jihoon terasa kelu setelah itu, “... Seungcheol.”

“Jihoon...”

Dan pria mungil itu memasukkan koin dan deterjen itu. Mesin cuci itu bergerak dengan sendirinya dan Jihoon menatap kosong itu.

“Bolehkah aku duduk di sebelahmu?” tanya Seungcheol pelan dan Jihoon menganggukan kepalanya setelah melihatnya dengan sekilas.

Hening. Hanya ada suara mesin yang bergerak.

Pria tampan itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Bagaimana dengan kabarmu?”

Pria mungil itu tersenyum kecil, “Baik...”

“Kalau begitu aku juga.”

“Kenapa?” tanya Jihoon dan mencoba untuk memutar kepalanya.

“Karena aku akan baik-baik saja jika kau baik.” Gumamnya pelan dan Jihoon menatapnya semakin intens.

“Apa maksudmu?”

“... bunga,” jawab Seungcheol pelan lalu terputus, “aku melihat kau merawat seluruh bunga-bunga itu dengan baik... bahkan setelah kita berpisah.”

“Aku tidak mengerti maksudmu, Seungcheol.” jawab Jihoon dan Seungcheol merogoh sesuatu di dalam sakunya.

“Tanamlah ini dan berikan aku jawabannya nanti,” gumam Seungcheol dan memberikan sekantong bibit bunga berwarna merah itu.

Jihoon menatapnya tidak percaya, “Ini...”

“Aku mungkin membuatmu tidak percaya dengan apa yang kulakukan namun kuharap kali ini tersampaikan.”

“Kuharap aku juga dapat menyampaikannya,” gumam Jihoon dan kemudian meraih tangan Seungcheol. Perlahan Jihoon menutup matanya, merasakan hangatnya genggaman itu dan Seungcheol juga menutup matanya.

Seungcheol menghapus jarak mereka berdua.

 


 

But like flower petals that will bloom again

 


 

Note :

Hello! Akhirnya aku kembali dengan JiCheol! And before that, Happy Jicheol day guys! Kali ini aku bisa kasih FF anniv di hari yang pas!! Hehe!

Meskipun ini angst, namun kuharap ketikan ini bisa membuat kalian senang ya karna aku udah lama banget ga ngetik mereka dan aku mengejar waktu huhuhu ;-; semoga kalian sukaa huwee aku sayang kalian dan Jicheol ship

With love,

 

Scoupstu

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
leejihoon92
#1
Chapter 8: Asemmmm beginian doang buat gue mewek.... awas lu cheoll mpe beneran buat my bae sakit disana bakalan gua datangin lu ke korea... gua kick ur asshleeee!!!
Balalala1717 #2
Chapter 8: Ih akutu sering denger lagu ini tapi gatau kalo artinya kaya gini cobaa... Wkwkkw
jicheolssi #3
Chapter 8: Angst angst angst

Aku benci angst tapi aku suka angst

Mungkin kita2 ke csc kaya gitu kali ya kalo ada moment lain :')
lakeofwisdom
#4
Chapter 7: “Sepertinya tidak,” dan Jihoon membeku. Seungcheol menyadarinya lalu melepaskan Jihoon dari pelukannya, menatapnya dan kemudian tersenyum, “Karena aku ingin melangkah bersamamu menuju ke masa depan.”

CHEESY AAAAA
jicheolssi #5
Chapter 7: KYAAAAAAAAA MANISSSSSSSSS
Makasi eun
lakeofwisdom
#6
Chapter 6: Kenapa sih kalo jicheol itu selalu identik dengan fluff :' ) lucu bangeeet
sseundalkhom
#7
Chapter 6: LAGU UKISS YA? SAMBIL DENGERIN LAGUNYA... AKU BAPER ASTAGA ㅠㅠ tolong gula banget
Balalala1717 #8
Chapter 5: Pengen langsung dinikahin deeeeeh merekaa berduaa kenaapa imut sekaliii gakuaaaaatttt ><
lakeofwisdom
#9
Chapter 5: Gemash aaaaaaa
Altariaaa #10
Chapter 5: Gah--- kyuti kyuti. Lagu? Maknanya dalem? Paling suka addicted - stevie hoang sih. Jadi kayak mereka udah putus, mereka udah punya pacar tapi mereka masih ingin memiliki satu dgn yg lain. Atau ... thankyou for being born - vixx? ㅋㅋㅋmaafkan starlight khilaf ini