Chapter #14
Vector of Fate
Mungkin hari inilah yang biasa disebut dengan hari terpanas di musim panas. Satu-satunya cara agar keringat tidak terus mengalir di pelipismu adalah dengan berdiam diri di depan mesin kipas angin yang kincirnya terus berputar. Konsekuensi dari menghabiskan liburan tahun ini di rumah paman Hyora adalah tidak ada AC.
"Hoseok-ah, kau mau semangka dingin?" Sosok bibi Hyora muncul dibalik pintu geser bergaya kuno, persis seperti semua pintu lain di rumah itu.
Dengan semangat, Hoseok beranjak dari posisinya menghadap kipas angin sambil mengangguk mantap.
"Ambil sendiri di dapur, ya? Bibi harus pergi ke toko."
Sepeninggal bibi baik hati itu, Hoseok dengan langkah ringan berjalan menuju tempat yang disebut. Di tengah jalan dia baru teringat pada kawan yang memaksanya berlibur bersama dengan alasan ini adalah tahun terakhir mereka di sekolah dasar, Jung Hyora. Kemana perginya perempuan berambut ekor kuda itu?
Paman Hyora menikah dengan wanita Jepang sehingga mereka menetap di negara asal wanita itu, tepatnya di Saitama. Hoseok tidak tahu Saitama bagian mana, yang jelas jauh dari kota. Sepanjang perjalanan yang dilakukannya hanya tidur. Biasanya dia akan bersikap over-excited dan membuat Hyora mengomelinya, tapi kali ini tenaganya terkuras habis saat menaiki pesawat terbang karena itu adalah kali pertamanya melakukan perjalanan udara.
Mereka menangkap kunang-kunang di halaman lalu bermain monopoli sampai larut semalam, hingga akhirnya Hoseok bangun lebih siang daripada biasanya. Saat itu bibi Hyora dengan lembut membangunkannya (tentu saja dengan bahasa Korea minimalis) lalu menyuruhnya sarapan. Ketika ditanya, bibi Jung mengatakan kalau Hyora pergi ke kebun bersama pamannya.
Udara sangat panas bahkan di dalam ruangan, Hoseok tidak ingin menyiksa diri sendiri dengan sengatan matahari di luar sehingga dia mengurungkan niat untuk menyusul Hyora. Sebaliknya, bocah lelaki itu mengambil posisi telungkup di depan kipas angin sambil membaca Detective Conan. Entah dirinya tadi sempat tertidur sebentar atau tidak, yang jelas sekarang sudah lewat tengah hari.
Apa Hyora sudah pulang? Mungkin sudah, tapi Hoseok tidak melihat tanda-tanda keberadaan baik Hyora maupun pamannya di rumah itu. Dia tengah berpikir apakah bibi Jung sudah memotongkan semangka untuknya atau dia harus memotong buah itu sendiri, ketika matanya menangkap sosok seorang perempuan yang mengenakan yukata putih.
Bukan di depan matanya, melainkan di dalam ruangan yang sepertinya adalah tempat bibi Jung menyimpan barang-barangnya. Pintu ruangan itu tidak tertutup sepenuhnya, memberi sedikit celah untuk mata Hoseok yang tajam.
Kedengaran seram memang. Melihat perempuan berambut panjang dengan pakaian tradisional Jepang di dalam ruangan yang dipenuhi lemari tua. Jika saja Hoseok tidak menyadari postur tubuh kecil perempuan itu, atau jika saja perempuan itu berdiri membelakanginya, mungkin Hoseok sudah berlari jauh-jauh detik itu juga.
Tinggi perempuan itu kira-kira sama seperti Hoseok, hanya saja tidak sampai melebihinya. Dia berdiri menghadap sebuah lemari yang terbuka, posisinya memungkinkan Hoseok untuk melihat wajahnya dari samping. Jelas saja itu Jung Hyora.
Kapan perempuan itu pulang? Kenapa Hoseok tak tahu? Mungkin itu seharusnya yang ada di pikrannya, namun Jung Hoseok hanya bergeming. Terlalu terpesona.
Ini kali pertama dirinya melihat Hyora mengurai rambut panjangnya, dan memakai yukata yang terlihat sangat cocok untuknya. Hyora yang memakai hanbok saja Hoseok tidak pernah tahu. Jujur saja, baru kali ini Hoseok berpikir teman perempuannya itu .... cantik?
"Hoseok? Sedang apa berdiri disitu?"
Suara berat pria paruh baya mengagetkan Hoseok setengah mati. Setelah terlonjak, dalam posisinya yang tidak pas dia hendak menoleh, namun kepalanya berakhir terbentur keras pinggiran pintu. Saat itu juga dirinya dilanda pusing luar biasa, campuran efek cedera dan udara panas. Kemudian semuanya berubah gelap.
Malam itu Hoseok terlalu sakit untuk mengiyakan ajakan Hyora ke Festival Musim Panas di pusat desa.
***
Mata Rahee terasa berat, tinggal menghitung detik sebelum perempuan itu menyerah membaca kata demi kata dalam Anne of Green Gables yang dia pegang kemudian membiarkan kelopak matanya tertutup dengan sendirinya. Hanya saja proses perlahan-tapi-pasti itu terhalang oleh suara benda yang bergetar tepat di sampingnya, di atas meja marmer kecil tempat Rahee meletakkan ponsel.
Tanpa berpindah dari posisi ternyamannya di sofa, Rahee meraih benda persegi itu. Di layar yang menyala secara otomatis tiap kali ada pesan masuk, tertulis jelas nama 'Jimin'.
From : Jimin
Grim Reaper itu apa?
Kenapa Jimin menanyakan hal seperti itu? Rasa kantuk Rahee untuk sementara hilang, dengan cepat dia mengetik balasan untuk pesan Jimin. Lebih tepatnya meng-copypaste alamat dari sebuah situs internet sih.
To : Jimin
http://www. urbandictionary.com/define.php?term=Grim+Reaper
Keputusan yang buruk untuk tertidur di sofa ruang tengah hingga Ayahnya yang pulang dari bekerja membangunkan Rahee dan menyuruhnya melanjutkan tidur di kamar. Jadi setelah melipat ujung halaman 112, perempuan itu mulai berjalan menuju kamarnya. Kaki kanannya baru melangkah ke anak tangga pertama saat ponselnya bergetar sekali lagi.
From : Jimin
Situs itu isinya bahasa inggris semua, Ra. Aku bukan Namjoon.
Benar juga, batinnya dalam hati. Menurutnya memberi informasi detail dalam satu pesan singkat bisa lebih efektif, tapi dia melupakan fakta kalau Jimin bahkan tidak bisa melafalkan "Excuse me" dengan benar. Sambil menaiki satu demi satu anak tangga, Rahee kembali mengetik pesan baru.
To : Jimin
Garis besarnya, Grim Reaper itu malaikat pencabut nyawa. Sudah ya, gaya gravitasi tempat tidurku kuat sekali.
Kini tempat tidur yang disebut-sebut sudah ada di depan mata. Sebelum meletakkan ponsel di atas meja belajar, Rahee memencet tombol untuk mengubah benda itu menjadi mode silent, antisipasi kalau-kalau ketidakpekaan Jimin kambuh lalu lelaki itu membanjiri Rahee dengan pesan-pesan lain.
Dan memang hal itulah yang terjadi.
***
Terlihat dua orang siswi tengah berdiri di koridor depan kelas mereka, bertopang dagu dengan masing-masing siku bertumpu pada sisian jendela besar yang terbuka lebar. Manik mereka menilik pemandangan di luar dalam diam. Yang satu sibuk menggigiti sedotan susu stroberi kemasan, sementara yang satunya sibuk mengunyah permen karet.
Mereka adalah Kim Hani dan Song Rahee. Mengabaikan hembusan angin bulan Oktober ditambah suhu pagi hari yang cukup dingin, kedua perempuan itu tenggelam dalam pikiran masing-masing. Menunggu bel masuk ternyata cukup membosankan jika mereka datang terlalu pagi.
Semakin dipikirkan, Rahee semakin merasa takut. Belakangan ini pergi ke sekolah cukup membuat perasaannya waswas, teringat kembali akan hari diselenggarakannya pentas seni. Sebaiknya dia segera membuka pembicaraan dengan Hani daripada harus terus-terusan memikirkan skenario tidak terduga yang ditakutkannya.
"Bagaimana hubunganmu dengan Taehyung?"
Hani menoleh saat temannya mulai berbicara, tanpa sadar dia tersenyum simpul. "Baik. Dia mengajakku ke taman kemarin lusa."
Hanya direspon dengan anggukan, Hani kembali menyahut. "Kau sendiri?"
"Ha?"
"Duh." Membenarkan posisi berdiri, Hani menurunkan tangan kanan yang tadinya dia pakai untuk menopang dagu. "Belakangan ini kau dekat dengan cowok kelas F itu 'kan?"
Tenggorokan Rahee tercekat. Ternyata selama ini Hani cukup memerhatikan hubungannya dengan Soonyoung. Mendadak susu stroberi di tangannya yang tinggal seperempat itu membuat Rahee merasa mual.
"Ada rasa, ya?"
Rona merah menghiasi pipi Rahee, cukup untuk menjadi jawaban dari pertanyaan Hani barusan. Menurut Hani sih begitu. "Sudah lama atau baru-baru ini?"
"Kurasa ... sudah lama." Rahee menolehkan kepala ke arah temannya lalu tersenyum. Dia cukup bisa mempercayai Hani. Siapa tahu perempuan itu bisa membantunya, 'kan?
Mata Hani sedikit melebar, menunjukkan keterkejutannya. "Wow. Sejak kapan? Kenapa aku tidak tahu?"
"Tentu saja aku menyembunyikannya," ujar Rahee sambil terkekeh pelan. "Kita bertabrakan di koridor. Lucunya, saat itu dia sedang cegukan. Jadi karena dia sudah memberitahuku jalan menuju ruang Klub Sastra, sekalian saja aku memberinya minuman."
Tidak pernah terpikir oleh Hani jika seorang Song Rahee mengalami pertemuan dengan laki-laki yang disukainya se-klise itu. Kalau di film komedi yang pernah ditontonnya sih, tabrakan memicu cinta. Klise sekali bukan?
"Kau membelikannya minuman?" Sebelah alis Hani terangkat.
Samar-samar terlihat dahi Rahee sedikit mengerut. "Bukan. Kau tahu setiap hari aku membawa botol air mineral, 'kan?"
Kini alis kiri Hani ikut diangkat, sedetik kemudian sebuah cengiran terbentuk di bibirnya sementara dirinya berusaha sedikit menahan tawa.
"Indirect kiss?"
***
Gelagat Jimin hari ini aneh.
Biasanya lelaki itu rajin sekali berlarian di koridor walaupun sudah ditegur Guru Lee, atau mungkin sekedar mengekori Jungkook kemanapun dia pergi. Dia selalu ikut serta menjahili Yoongi bersama Taehyung dan menjadi orang kedua yang paling sering ribut karena hal kecil di kelas (setelah Hoseok tentunya). Jimin sehari-hari sangat ceria. Namun kali ini dia datang dengan ekspresi datar, memasuki kelas tanpa menyapa seluruh temannya satu-persatu, kemudian duduk di bangkunya dengan posisi kepala di atas meja.
"Ada apa denganmu?"
Pertanyaan itu meluncur dari mulut Taehyung, membuat Jimin spontan mendongakkan kepalanya. Keduanya bertemu pandang, manik hitam Jimin menyiratkan sesuatu yang tidak bisa Taehyung pahami. Seperti .... putus asa?
"Taehyung-ah ...."
Nada bicara Jimin membuat Taehyung takut. Dia menelan ludah, firasatnya mengatakan kalau Jimin akan memberitahunya sesuatu yang buruk.
"A-apa?"
"Kurasa umurku tidak akan lama lagi."
Hampir-hampir Taehyung tersedak salivanya sendiri, kata-kata Jimin melebihi skenario terburuk yang tadi dipikirkannya. "Mwo!? Apa maksudmu!?"
"Kubilang, umurku tidak akan lama lagi." Jimin mendecak sambil kembali menenggelamkan kepalanya ke meja.
"Bagaimana bisa? Darimana kau tahu? Tolong bilang kau cuma bercanda."
Jimin menghela nafas sebelum mengangkat kepalanya lagi dengan susah payah, menatap kawannya dengan ekspresi yang belu
Comments