#01
Vector of Fate#1
“Selamat pagi—“
Guru Park menghentikan salamnya, dahinya yang sudah keriput kini menambah sedikit kerutan ekstra. Ia baru saja melangkahkan kaki memasuki ruang kelas dan sudah disambut oleh dua belas kursi yang berarti lebih dari separuh jumlah murid masih kosong tanpa ada tanda-tanda orang yang mendudukinya.
Dan hari ini seharusnya merupakan hari pertama tahun ajaran baru.
— • —
“Di mana kacamataku?”
Park Jimin menghadapi masalah terbesar saat pagi pertamanya di Sekolah Menangah Atas, kacamata yang biasa ia letakkan di meja belajar hilang ditelan bumi, padahal seingatnya benda itu terakhir dilihatnya tergeletak di sana semalam.
Seharusnya ia sudah harus berangkat sekarang, berhubung bel masuk akan berbunyi 20 menit lagi, waktu yang tergolong sempit mengingat jarak rumahnya ke sekolah—ditambah menit-menit terbuang untuk menunggu bus. Tangannya membuka-buka tiap laci yang ada di kamarnya, tidak lupa melongok ke kolong tempat tidur dan memeriksa bawah bantal, tapi sama sekali tak melihat tanda-tanda keberadaan kacamata sialan itu.
Sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal ia melirik jam dinding, tujuh menit berlalu hanya untuk pencarian sia-sia. Akhirnya dengan berat hati ia berlari meninggalkan kamarnya, memutuskan untuk pergi tanpa kacamata itu karena sudah tidak ada waktu lagi.
— • —
Hari masih pagi, bisa dibilang masih lumayan banyak waktu luang sebelum jam masuk sekolah. Namun, demi membuat image siswi yang rajin, Hwarin memutuskan untuk berangkat lebih pagi.
Senandung ber-genre hiphop terdengar seiring dengan langkah kakinya di koridor apartemen bergaya modern itu, sampai akhirnya kedua suara itu terhenti saat sang gadis berdiri di depan lift. Ada yang salah. Di depan pintunya yang tertutup rapat tertera jelas sebuah papan bertuliskan “SEDANG DALAM MASA PERBAIKAN”.
Kesal? Mungkin. Akan tetapi, dalam hati ia sedikit memaklumi hal-hal seperti ini. Inilah mengapa berangkat lebih pagi menjadi pilihan yang tepat, bisa sebagai usaha menghindari kejadian-kejadian tak terduga. Dengan langkah ringan ia berjalan menuju tangga, yang sebenarnya sangat sempit sampai-sampai hanya muat untuk satu orang tapi lagi-lagi Hwarin berusaha untuk sabar menghadapi keadaan yang ia hadapi.
Menuruni puluhan anak tangga yang seolah tak ada habisnya, ia mengecek papan angka di sebelah pintu. Sudah dua lantai terlewati, berarti tinggal lima lantai lagi untuk sampai di lantai dasar.
“.”
Oke—umpatan dengan volume di bawah 20 Hz itu berasal dari mulut Lee Hwarin, jangan salah mengira ia gadis penyabar karena—hei, sekarang kau sudah melihat sisi aslinya. Alasan meluncurnya sebaris frase umpatan itu kini ada di depannya, seorang perempuan lansia berjalan dengan kecepatan oh-sangat-lambat karena memang begitulah normalnya para lansia?
Menyalip warga lansia pun bukan hal yang sopan untuk dilakukan, lagipula dengan fasilitas tangga yang lebarnya sesempit ini, tidak ada celah untuk melakukannya. Sambil membuang napas putus asa, Hwarin bertanya-tanya apakah ia bisa sampai di sekolah tepat waktu sekarang.
— • —
Cahaya matahari menyeruak masuk lewat jendela dapur rumah Jung Hoseok. Dengan semangat membara kepalanya terus bergerak mengikuti irama musik yang terlantun lewat radio, sembari menusuk-nusuk sayuran yang menjadi menu sarapannya pagi itu.
Setelah menyelesaikan sarapannya, Hoseok memasang earphone yang tersambung ke iPod-nya, lalu ia berjalan keluar rumah sambil menari dengan sukacita.
“Hoseok, selamat pagi. Kau terlihat senang hari ini.”
Bibi tetangganya menyapa dengan ramah, ia sudah terbiasa melihat Hoseok menari sambil berjalan seperti orang gila.
“Selamat pagi, Ahjumma~ Ini hari pertamaku di SMA, jadi aku semangat sekali”
“Wah! Benar juga. Kalau begitu, fighting!”
Hoseok membalas pose fighting (?) yang diberikan Bibi itu kemudian mengeraskan volume di musik yang terlantun di telinganya, kegiatan anehnya pun berlanjut. Percaya atau tidak, ia akan menyesal setengah mati sebab tak sempat mendengar pertanyaan Bibi tetangganya tentang, “kenapa kau tidak membawa tas?”
Yah—untungnya ia akan menyadarinya nanti.
Nanti ... entah berapa menit berlalu hingga tidak akan ada kesempatan untuknya datang tepat waktu ke sekolah.
— • —
Choonhee tidak ingin melewatkan hari se-berharga 'hari pertama sekolah' tanpa membeli donat kesukaannya di toko roti kesukaannya. Maka ia pun rela berlama-lama mengantri di sana. Tapi, sebagaimana kesabaran manusia yang tentu ada batasnya, lama-kelamaan ia mulai cemas karena antrian itu bergerak sangat lambat, membuatnya bertanya-tanya sebenarnya para pembeli ini membeli dengan cara apa?
Tinggal menunggu dua orang lagi tapi Choonhee mulai khawatir waktunya tidak akan cukup. Terbersit pemikiran untuk meninggalkan antrian demi ke-tidak-terlambatannya ke sekolah, namun ia menggeleng kuat-kuat setelah melihat satu orang di depannya selesai, sangat disayangkan bukan kalau ia pergi sekarang?
Detik berikutnya berlalu bersamaan dengan detak jantung Choonhee yang berdentum-dentum. Ketika akhir
Comments