Introduced
Carmen Fantasy“Kau haus?”
Soojung menatap kaleng minuman perasan jeruk yang disodorkan padanya. Gadis itu mendongak, menatap pemberinya. Dia adalah pacar Yonghwa.
“Terima kasih.” Soojung menerima dan menenggak isinya.
“Anytime.” wanita itu tersenyum ramah sambil mengambil tempat duduk disampingnya di ruang tunggu. “Omong-omong, namaku—“
“Seohyun,” sela Soojung. “Oppa sudah memberitahuku.”
Seohyun tersenyum lagi. “Great. Kau boleh memanggilku eonni kalau kau berkenan, agar lebih akrab, mengingat sebentar lagi kau akan menjadi adikku.”
Mata Soojung membelalak. “Apa—apa oppa telah melamarmu?”
“Belum, sih,” jawab Seohyun. “Tapi, suatu saat nanti pasti akan. Dia pasti akan berlutut sambil memberikanku cincin. Romantis sekali!”
Soojung melongo. Satu, ini pertama kalinya dia bertemu wanita dengan tingkat percaya diri seperti Seohyun. Dua, ini pertama kalinya mereka berbicara dan Seohyun dengan blak-blakan memperlihatkan warna aslinya. Tiga, dia sedang berusaha keras menahan muntah membayangkan kakaknya bertingkah romantis.
Seohyun tertawa melihat ekspresi Soojung. “Aku hanya bercanda. Itu hanya untuk mencairkan suasana.”
Soojung manggut-manggut. “Tapi, kau diam-diam berharap hal itu menjadi kenyataan, bukan?”
“Yah, siapa juga yang tidak mau?” Seohyun terkikik.
Berbicara dengan Seohyun membuat Soojung penasaran mengenai hubungannya dengan Yonghwa.
“Bagaimana kalian berdua bertemu?” tanya Soojung.
“Oh, percayalah, kau tidak akan mempercayainya, karena hal itu sama sekali tidak terduga.”
Yonghwa dan Seohyun menuntut ilmu di kampus dan departemen yang sama. Mereka bertemu karena insiden yang disebabkan oleh kecerobohan Seohyun. Seohyun tanpa sengaja meninggalkan kunci asramanya di meja kelas. Yonghwa menemukan dan menyimpannya, tidak sebelum dia menempelkan sticky notes bertuliskan nomor teleponnya di meja itu kalau Seohyun kembali untuk mencari kuncinya.
“Jadi, kau meneleponnya?” tanya Soojung.
“Tentu saja aku meneleponnya. Aku tidak mau mati kedinginan diluar karena tidak bisa memasuki kamar asramaku.”
“Tidak, bukan itu. Tidakkah kau mencurigai ini sebagai bentuk modus penipuan atau apa?”
“Benar juga, ya.” Seohyun baru sadar. “Tapi, saat itu aku sedang tidak berpikir jernih. Aku hanya ingin kunci kamarku kembali, itu saja. Jadi, aku meneleponnya, mengatakan aku pemilik kunci tersebut. Aku dijawab oleh seorang pria bersuara jernih berbahasa Prancis. Dalam hati, aku kegirangan. Aku berpikir aku bisa berkenalan dengan pria Prancis tampan. Nyatanya, malah seseorang dari kampung halaman.”
“Kau terdengar kecewa.”
“Saat itu, ya. Saat ini, tidak sama sekali.” Wajah Seohyun terlihat cerah. “Jika saja waktu itu aku tidak bertindak ceroboh dengan meninggalkan kunci kamarku, pasti aku akan menyesal selama sisa hidupku karena tidak pernah bertemu dengan kakakmu.”
Mendengarnya, Soojung tersenyum tanpa sadar.
“Lalu, bagaimana dia mengajakmu kencan?”
“Cara yang sama seperti pertemuan pertama kami. Sticky notes yang ditempelkan di meja kelas. Karena ini kencan pertama, aku tidak berharap banyak. Dia mengajakku ke apartemennya. Kami menonton 10 Things I Hate About You di laptopnya, berbagi selimut dan cokelat hangat. Hal kecil, memang, tapi sanggup membuatku bahagia sampai tidak bisa tidur malam itu,” Seohyun mengenang. “Lalu, berbulan-bulan kemudian, di hari ulang tahunku, dia menyatakan perasaannya padaku dengan memberikan liontin ini.” Seohyun menyentuh liontin yang melingkari lehernya. “Sejak hari itu, kami sudah berpacaran secara resmi.”
“Si cunguk itu,” gumam Soojung. “Bisa juga bertingkah romantis.”
“Barusan, kau menyebut Yonghwa dengan sebutan apa?”
“Cunguk,” ulang Soojung tanpa merasa bersalah.
“Hei!” seru Seohyun. “Kau tidak boleh menyebut Yonghwa dengan sebutan itu! Yonghwa adalah orang yang baik, perhatian, dan penyayang, bukan seperti yang kau katakan—“
“Aku tahu,” potong Soojung, dalam hati tertawa melihat reaksi Seohyun. “Aku hanya mengetesmu, eonni. Tidak kusangka kau segitu protektifnya terhadap kakakku.”
“Oh.” Seohyun merasa malu sudah berlebihan. “Maaf sudah berteriak padamu.”
“Nggak masalah,” balas Soojung. “Aku iri pada hubungan kalian.”
“Kenapa juga harus iri? Bukankah anak laki-laki yang kemarin itu dalam kehidupanmu seperti Yonghwa bagiku?”
“Darimana kau—oh, oppa.” Soojung tersadar. “Si mulut lebar itu.”
Seohyun melempar senyum jahil padanya, tampak tidak mengindahkan Soojung baru saja kembali mengatai Yonghwa. “Sekarang waktunya bagimu untuk gantian bercerita tentang laki-laki itu.”
“Namanya Jongin,” ucap Soojung. “Dia hampir mendekati kata sempurna. Dia selalu memerhatikanku dan peduli padaku. Dia juga selalu melakukan hal yang membuatku senang. Aku sangat bersyukur memilikinya dalam kehidupanku. Tapi, saat mendengar ceritamu tentang oppa, aku tidak bisa tahan untuk tidak merasa iri. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku harus iri ketika ada orang seperti Jongin disisiku.”
“Let me guess. Kurasa kau tanpa sadar merasakan sebuah lubang dalam hubungan kalian.”
Soojung menyerngit. “Sepertinya itu tidak mungkin.”
“Lalu, mengapa kau perlu merasa iri padaku dan Yonghwa?”
Please Subscribe to read the full chapter
Comments