Confessed
Carmen FantasyKetika Soojung kembali mendapatkan kesadaran, satu-satunya yang terpikir olehnya adalah sang ayah. Bagaimana keadaannya, apakah dia baik-baik saja. Yonghwa memberitahu bahwa operasi telah selesai dan ayah mereka dipindahkan ke kamar rawat. Mendengar itu, Soojung langsung bangkit dan melesat menuju tempat dimana ayahnya berada.
Ruang rawat itu memiliki beberapa buah ranjang, namun hanya satu ranjang yang terisi pasien. Sebuah ranjang yang terletak di pinggir jendela. Seorang pria paruh baya duduk di atasnya sambil menatap ke luar jendela, membelakangi Soojung.
“Yonghwa.” Suara berat Tn. Jung terdengar serak. “Kau kah itu, Yonghwa?”
Soojung menekap mulut dengan tangan karena tidak bisa menahan apa yang dia rasakan. Lega, bersyukur, serta rindu. Seluruh perasaan itu meluap-luap dalam dadanya sampai terasa sakit.
“Yong—“ Tn. Jung menoleh, hanya untuk membeku di tempatnya. Matanya yang identik dengan milik Soojung menatap anak perempuannya lekat-lekat. “Soojung?”
“Appa,” bisik Soojung.
“Mendekatlah,” Tn. Jung meminta. “Aku harus memastikan apakah ini mimpi atau kenyataan.”
Pelan-pelan, Soojung menghampiri ranjang. Dia berhenti di depan ayahnya. Tangan Tn. Jung yang gemetar pun terangkat untuk menyentuh pipi Soojung. Perlahan, dia mengusapnya dengan pelan menggunakan ibu jari. Merasakan itu semua membuat mata Soojung berair.
“Benar,” Tn. Jung berbisik. “Ini bukan mimpi. Ini benar Soojung-ku.”
“Appa,” kata Soojung setelah berjuang keras mengeluarkan suara dari tenggorokannya. “Soojung rindu appa.”
Namun, Tn. Jung tidak membalas perkataannya. Pria itu menunduk, tahu-tahu mengeluarkan tangisan penuh penyesalan. “Maaf, Jungie. Maafkan aku.”
Soojung yang terkejut mendengar tangisan ayahnya bertanya. “Appa, kenapa appa meminta maaf?”
“Karena meninggalkanmu sendirian,” jawabnya. “Karena lebih mementingkan ego daripada dirimu. Karena telah membuatmu menderita selama bertahun-tahun. Karena telah membiarkan segala hal buruk terjadi padamu.”
“Appa, lupakanlah—“
“Apa maksudmu lupakanlah? Itu adalah salah satu dari dosa besarku yang tidak terhitung jari—“
“Appa, percayalah, aku membenci ini semua. Aku benci karena ini semua harus terjadi,” Soojung mengaku. “Tapi, sebesar apapun usahaku untuk membenci appa, aku tidak bisa melakukannya. Benar-benar tidak bisa. Karena appa adalah ayahku. Ayahku yang aku sayangi. Tidak ada yang bisa merubahnya.”
Walaupun begitu, kata-kata itu tetap tidak bisa meluluhkan hati Tn. Jung. Pria itu masih merasa bersalah. Astaga, dia telah melakukan dosa besar, bagaimana dosa itu bisa tertutup hanya dengan pengampunan dari putrinya?
“Baiklah, jika appa masih terus-terusan merasa bersalah, lakukanlah sesuatu untuk membayarnya.”
Kata-kata Soojung itu membuat Tn. Jung akhirnya mengangkat kepala untuk menatapnya. Soojung tersenyum tipis, lalu menoleh ke arah pintu. Tn. Jung mengikuti pandangannya, mendapati Yonghwa sedang berdiri di pintu. Namun, ada pemandangan yang tidak biasa baginya. Yonghwa sedang menggandeng seorang anak laki-laki, yang perlu mengangkat tangan mungilnya tinggi-tinggi agar bisa mencapai tangan Yonghwa.
“Chanwoo, kemarilah,” pinta Soojung.
“Ch—Chanwoo?” ulang Tn. Jung dalam bisikan.
Saat Chanwoo telah berada di dekatnya, barulah Tn. Jung dapat mengenalinya. Dia adalah anak laki-laki yang belum sempat dia namai. Dia adalah anak laki-laki yang Soojin lahirkan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan. Dia adalah anak laki-laki yang dia tinggalkan. Dia adalah anak laki-laki yang harus menghadapi segala ketidakadilan dunia hanya karena keegoisannya.
“Appa,” panggil Chanwoo ceria, membuat Tn. Jung terkesiap. “Maaf aku baru bisa mendatangi appa sekarang.”
Tn. Jung tertegun. Mengapa anak ini begitu polos dan bersih dari dosa? Mengapa anak yang memiliki itu semua meminta maaf pada pria yang telah berbuat jahat padanya?
Akhirnya, Tn. Jung terus mengucapkan kata maaf. Dia terus mengatakannya sampai Yonghwa, Soojung, dan Chanwoo mendekat untuk memeluknya bersamaan. Tubuhnya menggigil walaupun pelukan ketiga darah dagingnya menghangatkan. Namun, disaat itu juga, dia merasakan ketenangan.
Karena mereka bertiga adalah kekuatannya, dan dia tidak akan pernah melakukan apapun lagi yang bisa membuat mereka semua terpisah.
--
Menjelang sore, pintu kamar hotel berbunyi. Soojung membukanya tanpa mengintip di lubang pintu. Dia terkejut melihat Seohyun berdiri dihadapannya dengan sebuah tas besar di tangan.
“Eonni?” tanya Soojung. “Sedang apa eonni disini?”
“Aku butuh bantuanmu,” jawab Seohyun. “Biarkan aku masuk dulu.”
Begitu masuk, Seohyun menjatuhkan tas besar itu ke sofa ruang tengah. Dia membukanya, mengeluarkan tiga helai gaun dari sana.
“Ini—untuk apa?” tanya Soojung heran.
“Pilihlah salah satu,” suruh Seohyun. “Yang mana yang paling kau suka?”
“Tapi, kenapa?”
“Pilih saja,” Seohyun menekankan.
Soojung pun menurut. Dia mengamati ketiga gaun tersebut. Dari ketiganya, gaun berwarna putihlah yang paling menarik perhatiannya. Gaun itu terlihat sederhana, namun juga elegan.
“Yang ini.” Soojung menunjuk gaun putih tersebut.
“Pilihan bagus.” Seohyun mengambil gaun tersebut dan memberikannya pada Soojung. “Sekarang, ganti bajumu.”
Soojung menyerngit. “Lho, mengapa aku yang harus memakainya?”
“Karena kamu akan pergi kencan dengan Jongin malam ini.”
--
Jongin menunggu dengan gugup di lobi hotel. Berkali-kali dia menoleh ke arah kaca untuk mengecek penampilannya. Berulang kali dia merapikan dasinya yang bahkan sudah rapi, lalu mengecek arloji. Waktu sudah lewat tiga puluh menit dari waktu yang telah ditentukan, tapi Soojung masih belum juga muncul. Jongin bertanya-tanya apa yang membuat Soojung begitu lama bersiap-siap.
“Monsieur Kim,” panggil seseorang. “Etes vous prêt?”
Jongin tercengang karena seseorang tiba-tiba mengajaknya bicara dalam bahasa Prancis. Ternyata dia adalah sang supir. Dia lalu membalas. “Belum, dia masih belum turun.”
Setelah si supir bilang dia akan menunggu di luar, Jongin kembali mondar-mandir. Sudah tidak bisa lagi menahan sabar, dia mengeluarkan ponsel. Dia baru mau menelepon Soojung ketika lift berdentang dan pintunya membuka.
Itu dia. Gadis yang sedari tadi dia tunggu-tunggu. Gadis yang masih saja membuatnya berdebar-debar walaupun berbulan-bulan telah berlalu semenjak dia menyadari dia menyimpan perasaan untuknya. Penampilannya malam ini sederhana, dia bahkan tidak melakukan apapun dengan rambutnya selain menggerainya. Namun, itu semua cukup untuk membuat Jongin tidak bisa mengalihkan pandangan.
“Kalau kamu sudah selesai mengagumi diriku, ingat kalau kita punya kencan untuk dilakukan.”
Jongin mendengus. “Mau aku kelamaan mengagumimu atau tidak pun kita tetap saja sudah terlambat. Kamu itu lelet sekali—“
“Hei!” protes Soojung.
“—tapi, kalau keterlambatanmu itu untuk memb
Comments