Astonished
Carmen Fantasy“Masuk.” kata Soojung pada Jongin setelah dia menemukan sosoknya dibalik pintu depan apartemennya.
Jongin melangkah masuk dengan canggung. Tanpa sadar mulai mengedarkan pandangan ke sekitarnya. Jika dinding rumah Jongin penuh dengan barang, dinding rumah Soojung polos tanpa apapun. Foto keluarga pun tidak ada.
“Kau sendirian?” tanya Jongin begitu menyadari bahwa apartemen ini sunyi senyap.
“Adikku sedang pergi. Duduklah dulu.” jawab Soojung lalu menghilang ke dalam sebuah ruang yang Jongin asumsikan sebagai kamarnya.
Bagaimana dengan orang tuanya? Jongin baru ingin bertanya soal itu ketika dia sadar hal itu terlalu pribadi. Ditambah lagi dia sendiri tidak suka jika ditanya mengenai privasi.
Soojung kembali dengan buku cetak Biologi, sejilid makalah dan satu notes. Dia meletakkan seluruhnya di meja didepan Jongin dan duduk bersila diatas karpet. Dengan tangannya, dia mengisyaratkan Jongin untuk bergabung dengannya. Jongin pun duduk didepan Soojung.
“Ini karya ilmiah alumni yang kupinjam dari perpustakaan tadi siang.” Kata Soojung sambil mendorong makalah itu menuju Jongin.
Karya ilmiah itu membahas mengenai pernapasan pada serangga, persis seperti materi penelitian mereka berdua. Didalamnya sudah ada percobaan pada seekor belalang, lengkap dengan langkah kerja sampai kesimpulannya. Jongin langsung menutup kembali makalah tersebut.
“Apa ini berarti kau ingin kita melakukan percobaan sama persis seperti ini?”
Soojung mengangguk tanpa ragu. “Ada masalah?”
Jongin menghela napas. “Tentu saja, Jung Soojung. Ini namanya mencuri pekerjaan orang lain. Sama parahnya dengan mencontek saat ujian. Tidak baik jika kau mendapatkan nilai sempurna hasil kecurangan.”
Soojung cemberut. “Apa nilai sekolah itu sebegitu pentingnya? Pada akhirnya nanti di perguruan tinggi aku akan mengambil jurusan musik dan melupakan segalanya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan alam. Aku tidak akan peduli lagi apa yang digunakan ikan untuk bernapas. Aku pun hanya mengambil pelajaran ini karena jumlah minimum pelajaran yang ditentukan sekolah.”
Selama Soojung mengoceh, Jongin hanya diam, mendengarnya. Baru ketika Soojung berhenti, Jongin membalas dengan suara tenang.
“Jung Soojung,” kata Jongin. “Nilai sekolah itu tidak penting, tapi kamu memerlukannya. Untuk memasuki perguruan tinggi, kamu harus lulus sekolah. Dan untuk lulus sekolah, nilaimu harus mencukupi.”
“Soal pelajaran ini tidak akan berguna di masa depan, aku mempunyai pikiran yang sama denganmu. Aku juga akan mengambil jurusan musik dan melupakan bagaimana cara ikan bernapas. Tapi, seperti yang sudah kubilang tadi, aku harus lulus sekolah dulu. Dan aku mau berusaha dengan jujur untuk mewujudkannya,” Kali ini, Jongin menatapnya di mata. “Maukah kamu bekerja sama denganku untuk itu?”
Soojung diam sebentar lalu mengangkat bahu. “Mau bagaimana lagi. Mr. Park sudah memasangkanku denganmu, dan aku harus setuju apa kata pasanganku atau aku harus bertanggung jawab jika kamu lulus dengan cara curang.”
Jongin tersenyum samar, dalam hati senang karena Soojung tidak mengajaknya berdebat lebih jauh. Mereka mulai berdiskusi. Diskusi mereka harus berhenti ditengah jalan ketika bel apartemen berbunyi. Soojung beranjak untuk membukakan pintu bagi si pengunjung.
“Noona!” Chanwoo berseru lalu melompat ke gendongan Soojung. “Lihat! Orang tua Junhoe baik sekali mau membelikanku satu set Gundam baru!”
Soojung segera membungkuk dalam-dalam pada pasangan Koo. “Terima kasih dan maaf karena aku merepotkan Paman dan Bibi.”
Tn. Koo tersenyum. “Tidak apa-apa, Soojung-a. Melihat Chanwoo dan Junhoe sama-sama senang di festival itu sudah cukup, kok.”
Soojung juga ikut tersenyum. “Kalian mau mampir sebentar?”
“Dengan senang hati.”
Soojung memimpin mereka kembali ke dalam. Saat menyadari keberadaan Jongin di ruang tengah, mata Chanwoo melebar lalu memaksa turun dari gendongan Soojung.
“Noona, dia siapa?” tanya Chanwoo sambil melangkah menuju Jongin. “Apa dia Jung Yonghwa?”
Belum sempat Soojung menjawab, Tn. Koo sudah tertawa. “Ah, Soojung! Kami mengganggu kencanmu ternyata.”
“Tidak, Paman!” kata Soojung refleks. “Kami hanya mengerjakan tugas.”
Jongin ikut nyengir gugup.
Tapi, kelihatannya Tn. Koo tidak mendengar apa yang dikatakan Soojung. “Aku jadi tidak enak sudah mengganggu. Lagipula hari sudah malam. Lebih baik kita pulang, bukan begitu?” dia bertanya pada istrinya, tapi pandangan Ny. Koo melekat pada Jongin. “Ya, ada apa?”
“Oh, tidak,” kata Ny. Koo setelah disadarkan. “Anak itu—mirip Kim Jongdae.”
“Penyanyi favorit eomma!” tambah Junhoe lalu tertawa.
Mendengar nama itu, Jongin menelan ludah.
“Yah, aku juga tahu di dunia ini sekiranya ada tujuh orang yang mirip dengan kita,” Tn. Koo berdecak, kelihatan tidak senang istrinya menyukai lelaki selain dirinya. “Nah, Soojung, Chanwoo dan kau yang disana, kami pamit dulu.”
Setelah keluarga Koo pergi, Chanwoo menghampiri Jongin, melupakan Gundam barunya yang sudah tergeletak di lantai. “Kamu belum menjawab pertanyaanku. Apa kamu Jung Yonghwa?”
“Bukan,” kata Jongin, kagum anak sekecil Chanwoo sudah berani berbicara seperti itu. “Dan kamu—“
“Aku Chanwoo. Dan aku kecewa kamu bukan Jung Yonghwa,” katanya.
“Kamu kelihatan tidak senang denganku,” kata Jongin lembut. “Ada yang harus kulakukan agar kamu senang?”
Chanwoo menyeringai. “Bantu aku menyusun Lego!”
“Jangan sekarang,” kata Soojung. “Kami sedang mengerjakan tugas.”
Bibir Chanwoo mengerucut. “Noona mengganggu!”
“Santai saja, Soojung-a,” kata Jongin. “Lagipula kita sudah selesai.”
Senyum Chanwoo muncul lagi. Tanpa minta persetujuan Soojung, bocah itu sudah berlari ke kamarnya dan kembali dengan sekotak Lego dan robot buatannya yang baru jadi setengah. Tanpa kaki. Jongin mengambil robot itu dan memeriksanya.
“Bagaimana? Aku tidak tahu harus pakai apa yang pas untuk kakinya.” Kata Chanwoo sambil duduk didepan Jongin.
“Bagian badannya sudah bagus,” kata Jongin, menarik-narik tangan robot untuk menguji kelekatannya. “Kalau untuk kakinya, lebih baik kamu gunakan yang ini—“
Selama satu setengah jam kedepan, Soojung duduk di sofa sambil membolak-balik halaman majalah dengan bosan, sambil sesekali mencuri pandang pada Chanwoo dan Jongin. Seraya Jongin membantunya membuat kaki untuk robot itu, Chanwoo tak berhentinya mengoceh tentang bagaimana dia mendapatkan mainan-mainannya. Ada yang sebagai hadiah ulang tahun, ada juga yang didapatkan dari gurunya karena menjadi murid terbaik. Chanwoo juga menambahkan bahwa Soojung pelit jika soal membeli mainan.
“Enak saja, bulan lalu aku baru membelikanmu Tamiya!” seru Soojung, sudah tidak bisa lagi menahan kejengkelannya mendengarkan bocah itu mengoceh daritadi.
Berkebalikan dengannya, Jongin dari luar terlihat baik-baik saja dengan itu semua. Entah jika didalam hatinya dia sudah menggerutu berkali-kali atau tidak.
“Selesai!” seru Jongin beberapa saat kemudian sambil mengangkat robot itu, membuat Soojung mendesah lega. “Bagaimana?”
“Ini sempurna!” Mata Chanwoo berbinar-binar ketika meraih robotnya dari tangan Jongin. “Terima kasih—“
“Jongin.” Si empunya nama tersenyum.
“Jongin,” ulang Chanwoo. “Terima kasih, hyung.”
Tangan Jongin terangkat untuk mengajak Chanwoo high five. Chanwoo menerimanya dengan senang hati, lalu berlari ke dalam kamar.
“Wah, aku sampai tidak sadar kalian belum bertukar nama daritadi.” Kata Soojung sambil membereskan buku-buku yang berserakan di atas meja.
“Saking bosannya?” tanya Jongin geli.
“Tentu saja,” Soojung mencibir. “Aku bingung kenapa kau tahan.”
“Aku memiliki hati yang lunak jika sudah berhubungan dengan anak kecil.”
Soojung menghentikan pekerjaannya setelah mendengar kata-kata Jongin. Aneh rasanya mendengar kata-kata itu keluar dari mulut seseorang yang dikenal oleh seantero
Comments