Underestimated
Carmen Fantasy“Senar celloku putus satu!”
“Astaga, cepat perbaiki!”
“Sunbae, flute ini suaranya sumbang!”
“Pakai yang lain.”
“Sunbae, busurku patah!”
“Pakai persediaan dari lemari dulu untuk sementara.”
“Soojung-a, kertas partiturnya mana?”
“Bukannya tadi ada disini?” Soojung menghampiri piano Seulgi, tak menemukan keberadaan kertas itu dimana-mana. Dia pun memutar otak, memikirkan dimana terakhir kali dia melihat kertas tersebut.
“Ada di Jongin!”
Soojung mengikuti arah telunjuk Sehun, menunjuk pada Jongin yang sedang tidur di meja tempat Soojung biasa bekerja, kepala di tangan yang dilipat diatas meja. Dibawah tangannya, kertas itu tersembunyi.
Naik darah, Soojung mengambil langkah cepat-cepat menuju Jongin. Anak-anak yang lain menahan napas. Jika Soojung sudah bertingkah seperti itu, sesuatu yang buruk akan terjadi.
Benar saja. Soojung melayangkan biolanya sehingga membentur pundak Jongin dengan keras. Jongin langsung terbangun dengan teriakan diikuti banjir sumpah serapah.
“Kenapa sih kau?!” Jongin mengumpat. “Jadi perempuan yang lembut sedikit bisa?”
“Jadi laki-laki perhatian sedikit bisa?” balas Soojung sambil berkacak pinggang. “Kita sedang repot disana dan kau malah tidur! Walaupun kamu tidak begitu berguna, setidaknya kamu bisa membantu kita!”
“Apa maksudmu tidak begitu berguna?” Jongin bangkit dari duduk sambil menatap Soojung sengit.
“Sekarang kau tidak sadar? Yang minggu lalu mohon-mohon padaku agar diterima di klub ini siapa? Yang minggu lalu berterimakasih kemudian berkata sebenarnya dia tidak akan berguna di klub ini siapa?”
Jongin mengepalkan tangannya erat-erat. Bukannya takut, Soojung malah menatapnya dengan sangat berani. Jika saja yang dihadapi Jongin ini bukan perempuan, Jongin pasti sudah berbuat macam-macam.
“Wah, wah, ada apa ini ribut-ribut?”
Seorang anak laki-laki berponi belah tengah yang terlihat bengal muncul di pintu ruang orkestra. Anak itu memegangi bola basket dengan satu tangan. Ada badge kapten di seragam basketnya yang berkubang keringat.
“Mau apa lagi kau, Nam Taehyun?” kata Soojung kesal, seperti bertemu musuh bebuyutannya.
“Tidak ada. Aku hanya iseng lewat dan tertarik ketika mendengar kegaduhan dari dalam sini yang pintunya terbuka lebar,” Nam Taehyun menyandarkan bahu kanannya di pintu dan menyeringai. “Pantas saja klub kalian tidak berhasil. Anggota-anggotanya saja tidak kompak.”
“Ooooh, ada Kim Jongin juga disini,” kata Taehyun riang. “Sudah bosan menjadi bassist jadinya pindah ke orkestra? Ah, aku lupa. Kau, kan, dikeluarkan.”
“Apa itu masalah bagimu?” kata Jongin dingin.
“Tidak. Aku bahkan berterima kasih pada Chanyeol karena sudah mengeluarkanmu,” jawab Taehyun enteng. “Sekedar pengingat untuk yang lain untuk tidak berbuat yang sama denganmu kalau tidak mau masa depannya suram. Suram bersama belasan anak-anak orkestra lainnya.”
Sebelum Soojung berbuat macam-macam lagi, Sehun sudah bangkit dari kursi cellonya dan melesat menuju Taehyun. “Sebaiknya kau pergi.”
“Apa yang membuatmu bisa mengusirku?” kata Taehyun sebal.
“Pergi.” Ulang Sehun, memberi jeda pada setiap suku katanya.
“Oke, kalau itu yang kau inginkan,” kata Taehyun kemudian. “Berbicara dengan orang-orang payah seperti kalian hanya membuang-buang waktuku.”
“Then why did you even bother to do it in the first place!” Soojung berteriak, tapi sayang Taehyun sudah menghilang. Soojung lalu mendengus. “Pengecut.”
“Jung, sudah,” kata Sehun. “Kita seharusnya tidak meladeninya dari awal.”
“Hun, ini sudah kesekian kalinya dia menjatuhkan nama klub kita,” balas Soojung. “Dan kita masih saja diam di tempat. Jika aku tidak bisa menahan diriku lagi, aku sudah akan berdoa pada Tuhan agar tim basketnya tidak akan menang turnamen lagi, agar popularitas timnya menurun, agar perhatian sekolah beralih pada kita. Jujur aku muak sekali dengan perlakuan anak klub lain yang meremehkan kita.”
Jongin terdiam sambil mendengar semuanya. Walaupun dia baru saja bergabung menjadi anggota, dia tahu betapa putus asanya klub ini. Mereka tidak pernah memenangi lomba. Trofi yang berdiam didalam lemari kaca itu hanyalah sebuah tanda bahwa mereka pernah mengikuti kedua lomba tersebut.
“Ngg—sori?” kata Seulgi pelan-pelan dari kursi pianonya. “Kita mulai saja ya latihannya?”
Soojung dan Sehun kembali ke tempat semula. Jongin mengambil saksofon yang tadi dia taruh disampingnya saat dia tertidur lalu menempatkan diri di posisinya.
--
“Jongin!”
Sebuah tangan tiba-tiba melingkari pundaknya. Jongin menoleh, mendapati Sehun sedang tersenyum akrab. Hal ini membuat Jongin menyerngit. Ketika semua orang sedang menentangnya, mengapa Sehun malah menunjukkan tanda-tanda ingin berteman padanya?
“Pulang naik apa?”
Jongin terdiam selama beberapa saat lalu menjawab, “Jalan kaki.”
“Wah, kebetulan sekali,” kata Sehun. “Ayo pulang bersama. Soojung meninggalkanku tanpa bilang, mungkin masih kesal soal tadi. Dia orangnya memang begitu, tapi besok pasti sudah baikan.”
“Kau… pacarnya Soojung?”
“Sahabat,” koreksi Sehun. “Nah, ayo kita pulang. Kau tinggal dimana?”
“Tower A di apartemen itu.” Telunjuk Jongin menunjuk sebuah atap gedung apartem
Comments