intact (an epilog of piece)

A Piece

The me who didn’t know how to be thankful for love

The me who thought that the end was the end

To the image of you who wanted me to be, I fixed myself everyday

I think my love will continue on forever

(EXO - Miracle in December)


 

  Terhitung sudah dua minggu Seoul kembali memasuki musim gugur. Hembusan angin membuat daun-daun kecoklatan mulai memenuhi setiap sudut jalan. Yixing mengenakan mantel tebalnya sore ini, serta sebuah scarf sewarna guguran daun yang melingkari lehernya. Langkahnya menapaki salah satu trotoar bersama pejalan kaki lain. Sesekali membetulkan letak tas gitar yang tersampir di bahu kirinya.

Bruk

"Ah, maaf, paman, saya terburu-buru." seseorang menabrak bagian kiri tubuhnya, membuat tas gitar yang tersampir disana terjatuh dengan bunyi debam keras. Si penabrak ternyata adalah seorang anak kecil yang mungkin baru berusia belasan tahun, sedang membungkuk untuk mengambil tas gitar milik Yixing yang tergeletak di jalan beraspal, meski posisinya tidak jauh dari tempat Yixing berdiri sekarang.

"Saya benar-benar tidak sengaja, paman, maafkan saya."

  Entah sejak kapan Yixing malah melamun. Di hadapannya sekarang anak setinggi bahunya tengah membungkuk dalam dengan tas gitar miliknya berada dalam dekapan, "Mohon maafkan saya. Saya tidak punya banyak uang jika harus mengganti benda dalam tas ini."

  Yixing tertawa ringan. Tangannya terulur untuk mengambil miliknya yang berada dalam dekapan anak itu, membuat si anak terkejut dan otomatis mengangakat kepalanya. Menemukan orang yang ia tabrak tadi jauh dari kata marah justru senyuman terlihat di wajahnya.

"Ini bukan barang mahal kok, lagipula terlihat tidak ada kerusakan. Aku tak akan meminta ganti rugi."

"Benarkah?"

  Si anak menghela nafasnya lega saat paman baik hati di hadapannya mengangguk membenarkan, masih dengan senyuman yang terukir.

"Kalau begitu, terimakasih banyak dan sekali lagi maafkan saya, paman."

"Ya. Kau bisa melanjutkan kembali perjalananmu."

"Baiklah, sampai jumpa."

  Dia berlari sambil sesekali menoleh dan melambaikan tangannya. Yixing membalas dengan senyum serta lambaian tangan juga. Pikirannya kini melayang jauh ke masa dimana ia masih mengajar anak-anak yang seumuran dengan si anak tadi. Bersama pianonya yang sudah lama ia tinggalkan. Senyumnya menghilang saat sosok anak itu sudah berbelok di ujung jalan. Yixing membuang udaranya bersama angin musim gugur yang kembali berhembus kencang. Setelah menyampirkan tas gitar di bahu kirinya, ia mulai kembali melangkah.

.

  Halte bus yang ia tuju sudah terlihat di depan sana jadi Yixing mempercepat jalannya. Tepat saat ia sampai di halte, bus yang akan ia naiki tiba. Terlambat sedikit saja, Yixing akan tertinggal bus dan tentu saja nantinya akan mendapat omelan dari mereka yang ingin ditemui.

  Setelah menempelkan dompetnya pada alat scan di depan pintu, Yixing mulai mengedarkan pandangnya untuk menemukan tempat duduk. Hampir semua kursi telah terisi hanya ada dua kursi di jajaran kanan yang kosong. Yixing tertegun sejenak sementara bus mulai kembali bergerak. Ia berjalan mendekati kursi kosong itu dengan langkah pelan untuk menjaga keseimbangan, semakin dekat, dan Yixing mulai ragu untuk duduk disana atau berdiri saja menumpu besi pegangan di atasnya. Ini terlalu menyakitkan. Hanya karena kursi di dalam bus, kenangan masa lalu memenuhi isi kepalanya. Saat itu di musim gugur yang sama, juga posisi duduk mereka di dalam bus sama persis seperti apa yang Yixing lihat di hadapannya.

  Lalu tanpa sadar, Yixing bergerak maju. Melepas tas gitar dari bahunya untuk ia dekap di dada. Dan Yixing duduk di sana. Di posisi yang sama dengan setahun lalu, musim gugur yang sama, hanya mungkin bus yang berbeda dan juga..

  Tempat di sebelahnya yang kosong. Tak ada Sehun yang mengoceh ini-itu padanya.

 

  Yixing menemukan dirinya terpejam sepanjang perjalanan dengan airmata yang sesekali turun, mengiringi kenangan masa lalu yang terus terputar.

.

.

.

"Yixing hyung!"

  Yixing yang baru saja memasuki coffee shop segera mengedarkan pandangannya, menemukan si pemilik suara bariton yang baru saja meneriaki namanya. Di sudut ruangan tepat di sebelah jendela kaca orang itu memberi lambaian heboh padanya di sertai senyum lebar,   di sampingnya laki-laki dengan garis wajah yang lebih lembut juga ikut tersenyum kecil menyambut langkahnya yang mulai mendekati tempat mereka.

"Apa aku terlambat?" Yixing menarik salah satu kursi yang di meja yang berbentuk bundar itu. Duduk tepat di hadapan mereka setelah menyandarkan tas berisi gitar pada kursi yang ia duduki.

"Tiga menit kurasa." 

  Nada yang terdengar ketus itu amat kentara. Yixing membuang kasar udaranya. Memberanikan diri berada satu pandang dengan laki-laki yang menjawabnya tadi, "Apa kau masih membenciku sejauh ini, Luhan?"

  Laki-laki lainnya menghela nafas, atmosfer tidak mengenakan mulai menguasai sekitar mereka karena itu Luhan memilih mengalihkan pandangannya ke arah kaca jendela, menyaksikan angin yang berhembus menerbangkan debu jalanan.

"Pesanlah sesuatu, hyung. Aku yang traktir."

  Tawaran Jongin membuat Yixing kembali memaksakan senyumnya. Jongin mengangkat salah satu tangannya sebagai tanda agar pelayan di sana menghampiri meja mereka. Setelah memesan segelas cappucino. Canggung kembali mendominasi keadaan mereka.

  Hingga akhirnya Jongin lah yang lagi-lagi harus berinisiatif mencairkan suasana dengan pertanyaan basa-basinya, "Bagaimana keadaanmu, hyung? Kau terlihat semakin kurus dari terakhir kali kita bertemu."

  Yixing mengingat jelas saat terakhir kali pasangan ini menemuinya. Menjelaskan satu lagi hal menyakitkan yang harus ia terima malam itu. Masih dengan senyum kecilnya yang tipis, Yixing kembali menatap laki-laki di sebelah Jongin yang tetap tak mau melihatnya. Sungguh Yixing tidak tersinggung dengan sikap Luhan padanya, karena menurutnya ini memang hal yang pantas ia terima. Beberapa detik, dan ia kembali menatap Jongin untuk memberikan jawaban.

"Aku baik, Jongin-ah. Hanya saja sepertinya menjadi penyanyi kafe lebih melelahkan di banding menjadi guru musik."

"Kenapa tidak mulai mengajar lagi?"

"Kau tahu aku tidak bisa melakukannya kan."

  Ya. Jongin tahu. Bahkan Luhan pun tahu alasan Yixing tak bisa melakukan hal itu lagi. Terlalu banyak hal menyakitkan di dalamnya.

  Cappucino pesanan Yixing datang. Jongin tak bicara lagi, beralibi ingin memberi Yixing kesempatan meminum pesanannya, meski yang sebenarnya ia mendadak kehilangan kepercayaandiri untuk kembali menyelamatkan situasi.

  Keduanya belum menyadari Luhan yang sedari tadi sudah beralih dari pemandangan di luar sana, kini fokusnya ada pada seorang Zhang Yixing yang baru saja meletakkan kembali cangkir kopinya.

"Sehun bagaimana?"

  Tak ada yang menyangka Luhan akan mengajukan pertanyaan sensitif itu secepat ini. Jongin di sebelahnya berusaha memberikan kode agar sang suami menarik kembali pertanyaannya. Tapi Luhan mulai muak dengan basa-basi yang ada sejak tadi. Masalah ini sudah lama tertutupi waktu, dan tak akan pernah selesai jika semua orang yang terlibat selalu menghindar untuk membahasnya.

  Di bawah meja, Yixing meremas telapak tangannya yang berkeringat. Berulang kali mengambil udara lalu membuangnya perlahan.  Nama itu, satu dari dua nama yang merupakan sumber utama rasa sakitnya.

"Tepat seminggu yang lalu, aku mendapat kabar bahwa.." jeda dalam kalimatnya menjadi kesempatan lolosnya setetes airmata. Jemari Yixing menghapusnya dengan cepat, "Sehun tak dapat bertahan, Lu, dia sudah menyerah."

  Setelah berhasil menyelesaikan kalimatnya, Yixing justru semakin di kuasai tangis. Bibir bawahnya ia gigit agar isakannya tak terlalu terdengar. Ini pertama kali, Yixing menceritakan soal Sehun yang sudah benar-benar pergi. Tangisan berhasil ia tahan saat pertama kali mendengarnya dari Chanyeol. Biar bagaimanapun janji Yixing pada Sehun adalah memberikan senyum untuk mengiringi kepergiannya. Menceritakannya kembali menjadikan rasa sakitnya bertambah ribuan kali lipat.

"Berdiri, Yixing."

  Perintah Luhan menyelinap di balik isak tangis tertahannya. Yixing mengangkat kepala dan menemukan Luhan sudah berdiri di sampingnya. Menatap dengan pandangan yang tak bisa Yixing terjemahkan lebih jauh.

  Butuh banyak detik terlewat sebelum akhirnya Yixing berdiri perlahan, Jongin sudah waspada jika saja suaminya yang sedang emosi itu akan melakukan sesuatu pada Yixing.

"Aku turut berduka cita." tangis kembali pecah saat Luhan memeluk tubuhnya erat. Yixing menyandarkan keningnya pada bahu kecil Luhan, menangis disana. Ia tahu Luhan tak pernah membenci dirinya walau ia yang meminta sekalipun. Dan ia berdoa dalam hati semoga Yifan juga masih sama, menjadi orang yang terlalu baik untuknya.

"Mungkin memang ini saat yang tepat untuk mengembalikan apa yang harusnya menjadi milikmu dari dulu."

  Luhan melepaskan pelukannya untuk mengambil ransel kecilnya di atas kursi yang tadi ia duduki, lalu menggeledah isi di dalamnya. Yixing yang tak mengerti hanya diam memperhatikan sembari menghapus asal airmata dengan punggung tangannya.

"Ini milikmu. Pakai dan temui dia."

  Yifan. Yixing tahu hanya satu nama itu yang bisa menggantikan kata dia dalam ucapan Luhan. Satu nama yang mampu membuat hatinya bergetar entah oleh rasa bahagia atau justru takut yang menyelimuti. Jantungnya berdetak keras seolah ingin menghancurkan tulang rusuk yang melindungi, sakit tapi anehnya ini terasa menyenangkan bagi Yixing.

  Laki-laki berambut hitam itu menatap bergantian kotak biru gelap berukuran kecil dan Luhan yang menggenggamnya. Ingatannya masih sangat jelas tentang kotak itu. Saat setahun lalu Yifan mengajaknya melangkah lebih jauh. Juga di saat yang sama Yixing menghancurkan semuanya, perasaan Yifan, hubungan mereka, dan perasaannya sendiri.

"Dia disini?" terdengar seperti bisikan lirih untuk dirinya sendiri. Yixing menjatuhkan lagi satu tetes airmatanya, hanya kali ini untuk Yifan lah kesedihannya tertuju.

  Luhan mengangguk dengan senyumnya yang menenangkan, "Dia menunggumu, Xing."

"Dimana?"

  Kotak itu Luhan letakkan di telapak tangan Yixing yang ia tarik paksa sebelum tersenyum dalam kalimatnya.

"Tempat yang mengawali semua takdir rumit kalian."

.

.

.

.

.

 

  Yang Yixing lakukan setelah turun dari bus adalah berlari, tak peduli dengan tas berisi gitar yang seolah memukul-mukul punggungnya. Hingga kini tempat yang Luhan maksud hanya terpisah jarak beberapa langkah darinya mematung dengan nafas tersengal. Yixing seakan ingin meledak oleh perasaan rindu ketika sosok itu sungguh nyata ada disana. Meski posisinya membelakangi, suara jantung Yixing yang berdetak cepat begitu terasa familiar, mengalahkan riuh distrik Hongdae di sekitarnya. Jantungnya telah bereaksi seperti itu untuk orang yang sama selama bertahun-tahun. Hanya Yifan. Bahkan Sehun pun tak pernah mampu membuat detakan yang sama.

Tap

  Alam bawah sadar yang membawa Yixing melangkah semakin dekat, sampai melebur bersama dirinya ketika Yifan tepat berada di sebelahnya. Aura menenangkannya masih sama, warna rambutnya berubah menjadi coklat lembut yang membuat pahatan wajahnya semakin sempurna. Atau memang sosoknya lah yang selalu tampak sempurna di mata Yixing.

  Yixing memposisikan diri agar sama persis dengan saat itu, mengikuti Yifan yang telah lebih dulu berdiri menghadap kaca besar yang sayangnya sudah tak berisi apapun di dalamnya. Hanya ruangan kosong berdebu dengan keadaan redup yang membuat bayangan keduanya terpantul samar pada kaca.

"Bukankah dia sangat cantik?" keadaan memang tak lagi sama, di dalam sana tidak ada apapun yang bisa mendukung pertanyaan Yixing. Tapi bernostalgia dengan cara ini terasa sangat berarti bagi mereka.

  Yixing tidak punya keberanian untuk sekedar melirik laki-laki tinggi di sampingnya. Bulir keringatnya turun menunggu respon yang akan Yifan berikan. Tidak menutup kemungkinan jika ia akan marah dan kembali meninggalkan Yixing seorang diri disana.

"Siapa yang kau maksud dia?"

  Dalam perjuangannya untuk tidak menoleh dan menjatuhkan diri dalam pelukan, Yixing menghirup perlahan udara yang datang bersamaan dengan angin musim gugur. Bersiap melanjutkan reka ulang adegan bertahun-tahun lalu yang masih tercetak jelas dalam ingatan.

"Grand piano di sana. Cantik sekali." seperti bisikan nadanya kali ini. Dalam bentuk apapun, piano akan selalu mengingatkannya pada seseorang, bahkan hanya dalam bentuk sebuah kata sekalipun.

"Kau bisa memainkannya?"

  Yixing masih sibuk menenggelamkan diri dalam pikirannya, ketika Yifan menoleh dan menjadikannya pusat rotasi waktu.

"Aku masih belajar."

"Menurutku kau pemain piano terbaik yang pernah ku lihat."

  Mendengar itu pikiran Yixing dipaksa kembali pada Yifan. Ia menoleh karena refleks dan menyesali gerak refleksnya saat bertemu tepat dengan dua bola mata kehitaman yang seolah menyedot oksigen di sekitar mereka. Nafas Yixing tertahan di ujung tenggorokannya. Jemarinya mengepal menjadi sebuah kepalan yang kuat, rasa rindu itu semakin mendominasi setiap partikel udara di sekitarnya.

"Yifan.. kau mengacaukan reka adegan kita."

"Terlalu lama, Yixing. Aku begitu ingin memelukmu."

"Dan kenapa kau tidak melakukannya dari tadi?"

  Rasa nyaman itu masih ada. Sama. Tak ada yang berubah saat berada dalam pelukan seorang Wu Yifan. Hangat, nyaman, tempat terbaik untuk melepas rindu yang sudah sangat menyesakkan. Yixing tidak menangis kali ini, ia begitu bahagia hingga ke tahap bingung ingin bereaksi seperti apa. Tersenyum lebar atau menangis terisak. Untuk saat ini, ia hanya ingin hidup dalam moment dimana Yifan memeluknya erat. Menyembunyikan dirinya dalam tangan-tangan besar yang melingkari pinggangnya. Sweater coklat milik Yifan memiliki aroma maskulin yang sama kesukaan Yixing.

"Luhan sudah menemuimu?"

"Ya. Aku meminta pertanggungjawabanmu."

  Yifan tertawa dengan suaranya yang khas, entah kapan terakhir kali Yixing mendengar tawa itu. "Untuk apa?"

"Setelah satu tahun aku menunggu, kau melamarku melalui Luhan. Sebenarnya yang ingin menikahiku itu dirimu atau Luhan?"

  Berpura-pura marah, Yixing menarik diri dari dekapan Yifan meski pada akhirnya menyesal sendiri karena udara dingin kembali bebas menyentuh sela tubuhnya. Menemukan satu-satunya bagian tubuh yang memanas adalah wajahnya, penyebabnya senyum Yifan yang sudah lama tidak ia lihat dari jarak sedekat ini.

"Kau memakainya?"

"Aku memang bodoh, tapi aku bukan orang yang akan melakukan kesalahan yang sama dua kali."

  Yixing mengangkat tangan kirinya, tempat dimana sebuah cincin perak yang indah melingkari jari manisnya.

"Syukurlah, itu terlihat cocok denganmu." sesuatu dalam dirinya berdesir nyaman melihat senyum Yifan yang tak berhenti terukir, kali ini disisipi rasa puas dan bangga.

  Tangannya kembali ia turunkan, "Boleh aku memelukmu lagi?"

"Tidak.. karena aku akan menciummu."

  Lagit kemerahan di atas sana kembali menjadi saksi dua bibir itu bertemu. Saling melumat penuh kelembutan. Yifan menautkan jemari tangan kiri mereka, meremasnya dan merasakan secara langsung bahwa cincin itu benar-benar melingkar disana, memberinya keyakinan bahwa kali ini Zhang Yixing akan menjadi miliknya, seutuhnya. Tangannya yang lain bergerak merengkuh pinggang Yixing agar semakin mendekat. Mengecupi setiap bagian yang ada di bibir, meresapi setiap rasa manis menyenangkan yang satu sama lain rindukan. Sepenuhnya mengabaikan satu-dua orang yang melewati jalan tempat mereka berdiri di depan toko musik yang tak lagi berfungsi. Juga hembusan angin yang mengiringi kehangatan nyaman diantara mereka.

.

.

.

.

.

.

.

 

"Aku ingin mengenalkanmu pada seseorang."

"Siapa? Orang yang kau sukai?"

"Ya. Bisa kau temukan bintang yang paling terang malam ini, Yifan?"

"Kurasa satu yang di sudut sana. Kenapa?"

"Bintang itu, dia Oh Sehun. Murid kesayanganku."

.

.

.

.

.

.

Seriously END!


 

 

 

 

Fanxing shipper tuh bener-bener ye, kelaparan moment semua hohoho semoga ini bisa meluruskan kegantungan kemarin.. Sehuna harus ngalah hiks T.T tapi aku tetep cintah dedek hunna kok~

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
famiexol #1
Chapter 7: Ahh kenapa bias.ku meninggal....
Bdw ini ff bagus banget..
Makasih udah sukses buat aku nangis.. :D
zhendy-mf #2
Chapter 7: ouwh ya ampuuun komplit rasanyaaaah, sedih, seneng trakhirnya guling2 deh. ceriate bgs, mantap. makasih....
nagarusa
#3
Chapter 7: Huweeeee sedih, sehun~ah.
Kirain sehun bakal sembuh. Tapi mungkin emg jodoh si yixing tuh yifan so ...
Sumpah ngarep bgt nh cerita bisa nambah chapter.
chamii704 #4
Chapter 7: sehun g bs brthn toh huhuhu sedih ah.. dan yixing kmbali pada jodoh&takdir dy yg sbnr'a..
Clovexo
#5
Chapter 7: aku pikir endingnya bener2 bakal sesedih itu, tpi syukurlah enggak... walopun ada rasa sedih jyga sehunnya meninggal..
Exo_L123 #6
Chapter 7: Ikutan nyesek waktu yixing nolak lamaran yifan, biar gimanapun mereka pacaran udh lama kan. Rasanya pengen nyalahin Sehun, tapi gimana, dia juga hanya seorang anak yang kesepian dan menemukan semangat setelah ketemu Yixing..

Tapi seneng, Xing kembali bareng Yifan akhirnya.. Dan Sehun yang menjadi bintang paling terang yang menerangi mereka :)
Tikakyu #7
Chapter 7: Wah!!! Daebak, kirain Lay akan bersama Sehun, Tapi bukan ya?

Ceritanya gokil, sayang cuma 6 chapter.
kimzy1212 #8
Chapter 7: Ye fanxing bersatu,ngak masalah ngak ada scane hari H pernikahannya,lu dobellin aja di wedding ne semangat la
moon29 #9
Chapter 7: *mewek* *nyusrut ingus*

Baca ini (pas bagian epilognya sih) pake lagu Mayday-nya BoA. Entah kenapa feelnya dapet banget...

Pertama, ijin nyalahin Yixing di sini. Labil sih! Pilih satu woooy, Yifan atau Sehun. Salah situ sendiri buntut-buntutnya sakit hati kan :p

Tapi... Yixing mah perasaannya halus euy, ga kayak saya yang kasar. Meskipun kalo yang saya tangkap dia nggak bener-bener 'suka' sama Sehun, cuma sekedar kasian, atau mungkin simpatik. Dan akhirnya dia berusaha untuk jadi sumber kekuatan Sehun untuk bertahan. Meskipun mungkin di sela-sela semua yang mereka lakuin, bisa aja sih ada rasa lain yang 'nyelip' di sana...

Sehun sendiri juga ngeselin.. Tapi memang bawaan lingkungan sih, dimana dia berasa diperlakukan sebagai sebuah 'objek' ..sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang bersedia jadi tempat dia bersandar. Paling 'menusuk' memang pas bagian dia bilang: "Aku Oh Sehun, pria yang selalu mencintaimu". Ihik dek Sehun be a man banget :')

Yifan, meskipun bagiannya paling dikit, memang tokoh paling ngenes di sini... Tapi akhirnya toh dia mendapat akhir yang bahagia juga :')

Overall, nice story, alurnya enak.. Meskipun promptnya umum dan agak klise, tapi pendeskripsiannya enak. Penempatan karakternya juga pas. Keep going dear
Tikakyu #10
Chapter 6: Ya! Ige mwoya???

Tidak ada yang jadi pasangan disini? Aish....
Kasihan Yixing ditinggal Yifan dan Sehun.