ending part 1

A Piece

 

"Menikahlah denganku, kalau begitu."

  Dalam diam, Yixing berusaha keras mengontrol reaksinya. Jarak mereka yang sangat dekat, sorot lembut di bola mata Yifan, udara yang terasa menipis, dan sebuah ajakan yang baru saja terlontar. Ia tak tahu perasaan apa yang harusnya ia rasakan saat ini. Mungkin harusnya ia gemetar karena rasa bahagia yang meluap, tapi kenyataannya Yixing justru menciut ketakutan.

"Yifan, aku bersumpah tak akan tertawa jika ini sebuah candaan."

  Yifan tersenyum. Senyumnya seperti kapas yang lembut, tapi juga mudah hancur. Dan Yixing punya firasat ia lah sang penghancur disini.

"Aku tahu ini tidak lucu jika dijadikan bahan candaan, karena itulah aku serius." ia menarik salah satu tangannya yang melingkari pinggang Yixing sejak tadi. Merogoh saku celana untuk mengambil bukti keseriusannya saat ini. Saat kotak mungil menampakan diri di genggaman Yifan, laki-laki lainnya menggigit bibir kuat-kuat, pandangannya buram karena mulai tertutupi airmata yang menggenang penuh haru.

"Menikahlah denganku, Zhang Yixing?"

 

.

.

 

  Jam enam pagi, Yixing sudah berada di dapur. Berkutat dengan telur mata sapi, beberapa sayuran segar, serta potongan roti gandum yang semalam ia beli. Rencananya ia akan membuat sandwich untuk menu sarapan hari ini. Kantuk di matanya sedikit mengganggu gerakannya membalik telur goreng di atas wajan. Juga sisa tangisnya semalam yang masih sangat mengefek padanya pagi ini. Masih sempat melamun ketika pandangannya bertemu pintu coklat di ujung ruangan sana, tepat di sebelah pintu lain tempatnya semalam jatuh dalam tidur yang tidak nyenyak. Memang ada dua kamar di flat kecil itu, hanya saja satu kamar biasa dibiarkan kosong karena penghuninya memilih tidur bersama di satu kamar. Tapi semalam, kamar itu kembali terisi.

  Dunianya seolah kembali berjalan ketika pintu itu terbuka, memunculkan sosok tinggi familiar dalam balutan seragam kerja orange yang dilapisi jaket abu-abu. Susah payah Yixing memaksakan diri untuk bisa tersenyum seperti biasa saat menyapanya.

"Pagi."

"Pagi. Dan sebaiknya kau segera angkat telur itu sebelum benar-benar tidak bisa di makan."

  Dengan paniknya Yixing tersadar dan segera mematikan api kompor yang penggorengannya sudah mengepulkan asap. Ia meringis ngeri pada bentuk telur terakhir yang di gorengnya, untung sebelumnya masih ada telur lain yang selamat.

"Oh sial." kekehan kecil Yifan mengiringi umpatan Yixing yang sedang membuang telur dari penggorengan ke tempat sampah di bawahnya.

"Jangan melamun pagi-pagi, Yixingie."

  Setelah mengucapkan selamat tinggal pada telur gorengnya, Yixing berbalik untuk melihat Yifan yang masih menahan tawa berjalan lurus menuju pintu keluar. "Mau kemana? Kau belum menyentuh sarapanmu?!"

"Kurasa ini sudah siang, aku takut terlambat. Maaf."

  Pembohong yang buruk. Yixing mengumpat dalam hati ketika matanya beralih dari sosok Yifan yang duduk di undakan dekat pintu untuk memakai sepatunya, ke arah jam dinding yang tergantung di tengah ruangan. Entah dari sudut mana Yifan menyebut jam enam lewat lima belas menit sebagai siang. Tak ingin membahasnya lebih jauh, Yixing pilih kembali ke dapur untuk memindahkan beberapa sandwich isi telur yang sudah jadi ke dalam sebuah wadah hijau agar bisa di bawa Yifan sebagai bekal. Mungkin memang lebih baik mereka tidak duduk bersama di meja makan untuk menikmati sarapan, atau suasana akan bertambah canggung begitupun hubungan mereka. Perasaan bersalah itu kembali menyapa Yixing saat sekelebat kejadian semalam mengusik pikirannya. Membuat Yixing juga harus kembali menahan tangis agar tidak lagi pecah.

"Setidaknya hargai usahaku. Kau bisa membawa ini sebagai bekal."

  Suara Yixing dari dapur menahan tangan Yifan bergerak memutar kenop pintu. Memasok udara untuk paru-parunya dengan perlahan, ia menyetujui saran Yixing kali ini. Jadi Yifan menunggu Yixing di depan pintu yang tak lama datang membawa kotak bekal berisi sandwich buatannya. Yifan berbalik tepat ketika Yixing berada di belakangnya, nyaris refleks menarik laki-laki yang masih mengenakan piyama itu ke dalam pelukannya. Ia berhasil menahan diri dengan mengepalkan kuat telapak tangan di sisi tubuhnya. Keadaan Yixing jelas terlihat tidak baik-baik saja, wajahnya sedikit pucat dengan mata merah yang memiliki kantung hitam di bawahnya, serta pipinya yang basah memberitahu Yifan bahwa laki-laki itu baru saja menjatuhkan airmatanya lagi.

"Aku benar-benar minta maaf, Yifan."

  Suaranya menyadarkan Yifan lagi, ia berkedip beberapa kali sebelum berhasil menunjukkan senyumnya, bukan bentuk dari sebuah kebahagiaan melainkan ketidakberdayaan yang menyedihkan. Setelah mengambil udara lagi, Yifan bergerak cepat mengambil kotak bekal di tangan Yixing.

"Terimakasih. Aku berangkat."

  Yifan benar-benar melangkah cepat sampai pintu tertutup dan ia bisa menghembuskan nafas yang tanpa sadar ia tahan. Hanya untuk kali ini, Yifan mengijinkan kekecewaan menguasai dirinya lebih lama.

.

.

 

"Apa yang kau lakukan?"

  Satu pertanyaan serta kerutan heran, Yixing tujukan untuk pemuda tinggi yang kini berdiri di depannya dengan senyum lebar. Ia baru saja menutup pintu ruang rawat dan menemukan sosok Sehun berbeda dari yang terakhir kali ia lihat. Wajahnya tetap pucat meski sekarang terlihat sedikit lebih cerah karena senyumannya, lalu yang membuat Yixing heran adalah pakaian casual yang Sehun kenakan, bukan lagi baju pasien berwarna biru. Anak itu kini mengenakan jeans biru gelap yang memeluk erat kaki-kaki panjangnya, convers putih semata kaki, kaos hijau tosca bergaris yang di lapisi jaket baseball biru muda, juga Yixing bisa melihat ransel hitam ukuran sedang yang menggantung di punggungnya. Lalu saat pandangan Yixing naik sedikit, ia bisa melihat rambut coklat Sehun yang poninya ditata ke atas hingga keningnya terlihat jelas. Si tuan muda terlihat beberapa kali lipat lebih tampan hari ini.

"Ayo kita berkencan!" Sehun dengan nada suara yang kelewat ceria.

"Kencan? Lagi?!" dan Yixing yang ekpresinya semakin suram, menatap tak percaya pada si murid tinggi di hadapannya.

"Lagi? Bukan kah ini yang pertama untuk kita? Ya kecuali jika kau menganggap kegiatanmu mengajariku piano setiap hari adalah kencan."

  Sehun dan kalimat menyebalkannya. Daripada menanggapinya, Yixing pilih mengedarkan pandangan ke dalam ruangan untuk mencari satu lagi sosok tinggi yang ia harap bisa membantu menjelaskan maksud Sehun disini. Saat menemukan Chanyeol yang berdiri diam di dekat ranjang, Yixing mulai melangkah lebih jauh memasuki ruangan. Melewati Sehun begitu saja yang sedang mendengus kesal karena di abaikan.

"Chanyeol-ssi, tolong katakan pada anak ini jika kemarin dokter bilang ia masih butuh istirahat, juga bukankah dia masih harus menjalani kemonya hari ini?"

  Setelah menyelesaikan ucapannya, Yixing mengambil nafas sejenak. Ia menyadari ini kali pertama ia bicara sepanjang itu pada Chanyeol. Suasana hatinya hari ini benar-benar jauh dari kata baik. Dan semoga saja Sehun tak membuatnya bertambah buruk nanti.

"Saya sudah mengatakan semua hal itu padanya, Yixing-ssi, tapi Sehun berhasil memanfaatkan aegyo untuk merayu dokter agar memberinya izin keluar hari ini. Dengan syarat ia akan menjadi anak penurut selama proses terapi nanti."

  Penjelasan Chanyeol membuat Yixing mendengus dan menatap sinis pada pemuda yang posisinya masih tak berubah, juga senyum lebarnya yang masih ia tunjukkan. Omong kosong. Para dokter terlalu polos jika percaya Sehun si keras kepala akan menuruti syarat seperti itu. Tapi dalam hati, Yixing memang mengakui aegyo Sehun adalah hal mematikan.

"Jadi? Tak ada lagi alasan menolak kan?"

"Sehuna, kalau terjadi apa-apa nanti.."

"Aku akan baik-baik saja!"

  Nada suara Sehun yang mulai naik mengingatkan Yixing saat kemarin anak itu mengamuk karena merasa ia di pandang lemah. Sebelum hal seperti itu kembali terulang, "Baiklah. Kita akan pergi hari ini." Persetujuan Yixing belum bisa mengembalikan senyum lebar Sehun, pemuda itu kembali tampak dingin dengan tatapannya. Yixing sedang membuang nafas kasar ketika pandangannya bertemu Chanyeol dan sadar bahwa ada yang ingin laki-laki itu bicarakan dengan Yixing. Tentunya tanpa sosok si tuan muda mereka, "Sehuna, kau bisa menunggu di luar sebentar. Aku akan menyusul."

  Sehun memutar malas dua bola matanya, ia menatap bergantian sosok guru serta pelayan pribadinya yang terlihat saling memberikan kode ingin bicara, "Kalian akan mati di tanganku jika membicarakanku." desisnya, berusaha menakuti. Lalu tubuh tinggi Sehun menghilang di balik pintu yang sedikit ia banting, menimbulkan suara debam menjengkelkan.

"Aigoo, anak itu benar-benar.." gumaman Chanyeol membuatnya kembali mendapat fokus dari laki-laki lain yang tadi ikut memandang jengah ke arah pintu.

"Apa yang ingin kau bicarakan, Chanyeol-ssi?"

  Chanyeol tersenyum sebentar sebelum mulai bicara, "Saya menyimpan beberapa obat untuk keadaan mendesak di ransel Sehun, juga Yixing-ssi bisa langsung menghubungi saya jika sesuatu yang buruk terjadi karena saya di larang keras olehnya untuk mengikuti kalian. Kurasa hanya itu. Saya tidak perlu meminta Yixing-ssi agar menjaganya, karena saya yakin tanpa di minta pun pasti akan anda lakukan."

  Anggukan kepala serta satu senyuman lain di berikan Yixing atas setiap kalimat Chanyeol. Menyadari rasa khawatir yang besar dari laki-laki tinggi itu, Yixing jadi kembali berpikir bahwa kondisi Sehun belum sepenuhnya pulih. Hanya saja sikap keras kepalanya itu berhasil membuatnya terlihat sudah baik-baik saja.

"Ya, saya mengerti. Kurasa ini saatnya pergi atau anak yang menunggu di luar itu akan benar-benar membunuh kita."

"Baiklah. Hati-hati di jalan dan selamat bersenang-senang."

.

.

.

.

.

 

"Dia menyukai orang lain."

"APA?!'

  Gerakan Yifan mengelap meja terhenti karena pekikan nyaring Luhan yang tepat di sampingnya. Lirikan sinisnya tak di tanggapi banyak oleh laki-laki mungil itu, malah tanpa ragu Luhan mulai menarik kursi yang mejanya sedang mereka bersihkan, memaksa Yifan duduk di sana sementara Luhan menarik satu kursi lagi untuknya.

"Jadi kalian sudah berakhir?"

  Mata Luhan yang kecil itu tampak sedikit lebih besar sekarang, menatap si tinggi di depannya dengan menggebu.

"Tidak tahu."

"Lalu, Yixing menolak lamaranmu 'kan?!"

"Tidak juga.."

  Ada satu kedutan heran di alis Luhan. Ia jadi merasa seperti orang bodoh yang sedang Yifan coba bohongi. Atau justru Yifan lah yang bodoh disini?

"Jadi apa maksudmu dia menyukai orang lain? Jelaskan padaku, Yifan!"

  Saat Yifan mengangkat pandangannya, Luhan menyadari sesuatu yang menyakitkan terpancar dari sana. Yifan mengatur pernafasan untuk membuat dirinya lebih tenang, bersiap menceritakan kembali kejadian semalam yang masih dengan jelas memenuhi seluruh memorinya.

"Dia 'belum' bisa menerima lamaranku." Luhan tak bereaksi sedikitpun, berusaha keras memahami arti penekanan pada kata belum disana. "Dia tak ingin menyakitiku lebih jauh dengan bersedia menikah denganku tetapi masih ada orang yang ia sukai selain aku."

"Lalu apa jawabanmu?"

  Satu lagi udara yang ia hembuskan terasa berat, Yifan memutus kontak mata dengan Luhan. Kembali menyibukkan diri mengelap meja yang kursinya sedang ia duduki bersama Luhan.

"Yifan! Jawab aku?!" terkadang memiliki sahabat secerewet Luhan memang benar-benar mengganggu. Yifan menatapnya lagi dengan kefrustasian yang terlihat jelas. Meminta Luhan berhenti mengintrogasinya di pagi hari sebelum jam kerja di mulai. Tapi, Luhan memang keras kepala. "Jangan bilang kau membiarkannya begitu saja.."

"BENAR!" kesabaran Yifan di pagi ini berakhir dengan sebuah bentakan. Luhan terdiam sementara laki-laki lainnya meremas kuat kain di genggamannya sembari menghirup rakus udara di sekitar, "Aku membiarkannya, Luhan! Aku tak melakukan apapun untuk membuatnya tetap bertahan bersama laki-laki payah sepertiku. Jika ia bisa lebih bahagia dengan orang lain, apa yang bisa aku lakukan? Memohon padanya agar memilihku dan membuatnya kehilangan kebahagiaan? Big no! Lebih baik aku yang mundur dan Yixing akan tetap bahagia."

  Luhan tak bicara lagi dan hanya menatap lembut, secara tidak langsung mengizinkan Yifan berdamai dengan emosinya sendiri. Luhan yang hanya seorang pendengar disini saja merasakan sesak tak mengenakan, apalagi Yifan yang bicara dan mengalami semua itu. Bertahun-tahun mengenal Yifan juga Yixing, membuat Luhan sulit memahami hal seperti ini terjadi dalam hubungan mereka yang selalu tampak baik-baik saja. Yifan yang penuh perhatian dan Yixing yang selalu pengertian, mereka punya sifat saling mengisi yang diinginkan setiap pasangan. Kenyataannya hidup memang tak selalu di penuhi bunga-bunga indah, terkadang duri tajam bisa muncul dan menyakiti keindahan yang ada.

"Berikan padaku."

"Apa?!"

"Cincin yang sudah kau siapkan. Aku tidak mau kau emosi lalu membuangnya."

  Mata keduanya kembali bertemu, Luhan bisa melihat luka itu semakin jelas. Yifan dalam posisi goyah yang rapuh. Orang yang dulunya pemberontak kini tampak tak berdaya hanya karena satu nama yang sudah mengambil alih seluruh rasanya. Lalu kini sudah bersiap meninggalkannya.

  Tanpa bicara apapun lagi, Yifan merogoh saku celana jeansnya, menarik keluar kotak mungil yang masih terbungkus rapi, menatapnya sebentar sebelum menyerahkannya pada Luhan. "Jika aku tidak memintanya lagi, kau boleh memakainya."

"Bodoh! Aku tidak butuh ini! Jongin sudah membelikanku yang lebih bagus, jadi pastikan kau ambil kembali cincin ini dariku, Wu Yifan!"

  Setelah menyambar kotak mungil berisi cincin di tangan Yifan, Luhan beranjak dari duduknya. Berdiri di depan laki-laki tinggi yang untungnya masih terduduk di kursinya, Luhan memicingkan mata berusaha mengintimidasi.

"Kau dengar aku tidak?!!"

  Yifan membuang udaranya lagi dengan segala kerumitan isi otaknya yang juga berusaha ia buang, sebelum menjawab sahabat super bawelnya "Aku tak akan menikah dengan siapapun selain Yixing.."

"Aku tau, aku tidak pernah menyuruhmu menikahi orang lain. Kau hanya perlu bersabar, Yifan. Lalu segera ambil cincin ini dariku saat semuanya sudah membaik."

 

Bersabar? Kesabaran seperti apa lagi yang di butuhkan Yifan sekarang?

.

.

.

 

  Sehun sama sekali tak melepaskan tautan tangan mereka. Bahkan sampai mereka sudah duduk di dalam bus, tautan itu justru semakin erat. Yixing yang duduk dekat jendela memfokuskan penglihatannya pada pemandangan di luar yang tampak kabur terbawa bayangan. Tak menyadari dirinya yang menjadi objek utama penglihatan bagi pemuda di sampingnya. Sehun tak bisa menahan diri agar tidak tersenyum, karena hari ini seperti bibirnya hanya akan melengkung ke atas saja.

"Kau sudah makan, Sehuna?" Yixing bergumam, refleks karena tadi melihat seseorang memakan rotinya sambil berjalan di trotoar.

""Sudah. Chanyeol memaksaku makan bubur rumah sakit yang terlihat lebih cocok di sebut muntahan. Kau sendiri?"

"Syukurlah, kupikir aku akan kerepotan mengurusi bocah yang kelaparan."

"Kau belum menjawab pertanyaanku, kau sendiri sudah makan belum?"

"Kurasa sudah.."

  Lalu tiba-tiba saja isi pikirannya yang sedang random berakhir dengan kecemasan pada Yifan yang entah sudah makan atau belum, memakan bekal yang tadi ia siapkan atau tidak. Bagaimana perasaannya sekarang. Serta hal-hal lain yang membuatnya tanpa sadar mengeratkan genggamannya pada tangan Sehun. Menahan rasa menyesakkan itu yang kembali hadir.

"Hyung, kau baik-baik saja?" Sehun bertanya dengan segala kekhawatirannya. Bodoh jika ia merasa tak ada yang salah dengan gurunya hari ini.

"Tidak apa-apa."

"Aku bisa jadi pendengar yang baik disini." ibu jarinya bergerak lembut pada punggung tangan kiri Yixing yang masih ia genggam, "Seseorang mengatakan padaku bahwa kencan pertama adalah soal mengobrol dan mengetahui banyak hal dari pasangan."

  Kali ini Sehun berhasil membuat Yixing mengalihkan fokus padanya, bukan lagi pada sesuatu yang entah apa di luar sana. Alisnya saling bertaut dengan mata sipitnya yang memicing, Sehun nyaris tertawa saat menyadari itu adalah peringatan dari Yixing soal larangan tak lagi membahas isi surat yang di tulisnya semalam.

"Jangan mudah percaya dengan orang lain, Sehuna."

"Bagaimana jika informasi itu kudapatkan dari satu-satunya orang yang bisa kupercayai di dunia ini?"

  Yixing berdecak kencang dan kembali mengalihkan pandangannya pada kaca jendela. Menyembunyikan perasaan senang yang terasa aneh ia rasakan, "Kau sedang menggombali gurumu sendiri ya?"

"Well, aku sedang membicarakan si pemberi informasi kok." Tak ada jawaban yang datang, tapi Sehun bisa melihat satu senyum kecil yang akhirnya muncul dari Yixing. Senyuman pertama yang Sehun lihat hari ini, "Jadi ceritakan semua hal tentangmu, hyung."

"Apa yang ingin kau ketahui dariku?"

"Semuanya. Tanggal lahirmu, hobby-mu, idolamu, keluargamu, kenapa kau pilih pindah ke Korea."

"Asal kau janji padaku akan menurut untuk kembali ke rumah sakit jam lima nanti untuk kemo."

  Yixing menoleh lagi padanya hanya untuk mengatakan itu. Seketika binar di mata Sehun meredup diam-diam. Lalu kalimatnya seperti bisikan kecil yang halus, "Aku janji. Aku tak akan merepotkanmu lagi setelah ini."

"Apa?"

"Aku bilang, aku berjanji, hyung. Puas?!"

  Senyuman Yixing muncul lagi, kali ini lebih lebar dan manis tentu saja dengan dimple yang otomatis mengintip di pipi kanannya. Menjadi gambaran kepuasannya akan reaksi Sehun yang menurut tanpa bantahan ini-itu seperti biasa.

"Anak baik." tangan kanannya yang bebas ia angkat untuk mencapai puncak kepala Sehun dan memberinya usapan lembut disana, membuat Sehun menahan nafasnya untuk beberapa detik.

"Ulang tahunku di tanggal tujuh bulan sepuluh. Aku suka semua hal yang berhubungan dengan musik. Idolaku, Michael Jackson dan Beethoven tentu saja."

"Kenapa Beethoven? Aku lebih suka dengan karya-karya gurunya, Mozart."

"Aku suka semua komposisinya yang terasa lebih bebas, juga kisah hidupnya yang menginspirasiku. Kau suka Mozart tapi permainanmu kemarin masih buruk."

  Sehun melotot karena merasa disindir dengan tepat, "Itu gunanya aku les piano kan? Kalau aku sudah bisa memainkannya dengan sempurna untuk apa aku belajar lagi."

"Oke, aku maklumi karena ini baru satu minggu lebih kita belajar. Tapi kupastikan akan menghukummu jika beberapa hari ke depan permainanmu masih buruk."

"Lanjutkan ceritamu." Sehun memejamkan matanya sejenak, kepalanya yang mulai berdenyut menyakitkan di sandarkan pada bagian belakang kursi yang ia duduki. Dalam hati ia berdoa semoga hari ini Yixing tak membicarakan tentang hari-hari ke depannya lebih banyak. Karena sepertinya memikirkan itu membuat sakit kepala Sehun akan semakin sering kambuh.

"Sandarkan kepalamu di bahuku, Sehuna." tanpa menunggu Sehun menuruti perintahnya, Yixing sudah mendorong lembut kepala Sehun agar bersandar pada bahunya. Dan tak ada penolakan dari yang lebih muda.

"Lanjutkan, hyung."

"Ibuku meninggal saat usiaku sembilan belas tahun, jadi aku hidup hanya dengan ayahku. Kami memiliki sebuah restoran masakan china sebagai sumber utama keuangan. Setahun kemudian, adik perempuan ibuku di Korea menawarkanku untuk tinggal dengannya dan melanjutkan kuliahku disana. Dia bersedia membiayai segala keperluan pendidikanku karena merasa terlalu banyak berhutang kebaikan pada ibuku. Dan dengan itu, aku datang kesini. Kuliah mengambil jurusan musik. Empat tahun kemudian aku lulus dan memutuskan untuk mulai mencari pekerjaan dan hidup sendiri.."

"Jadi kau bertemu si kencan pertama saat tahun pertamamu kuliah?" lagi-lagi Sehun memotong ceritanya dengan sebuah pertanyaan. Yixing melirik bahunya tempat dimana Sehun bersandar dengan mata yang masih terpejam meski seluruh perhatiannya masih untuk Yixing.

  Dengan bisikan pelan Yixing menjawab, "Ya." ia sengaja melewati bagian terpenting dalam perjalanan hidupnya itu. Mencegah luka yang ia torehkan sendiri kembali terbuka.

"Beruntung sekali dia, ada di setiap hal pertama dalam hidupmu."

"Tidak, dia tidak seberuntung itu, Sehuna. Bertemu denganku dan mencintaiku mungkin salah satu kesalahan terbesar dalam hidupnya."

  Perlahan Sehun membuka matanya, ia langsung di hadapi pemandangan wajah sendu gurunya yang menerawang ke luar jendela. Wajah dingin Yixing menyembunyikan lesung mungil di pipi kanannya yang menjadi kesukaan Sehun. Bus yang mereka tumpangi terus bergerak melewati satu demi satu halte, menuruni  dan menaikan penumpang lainnya, obrolan orang lain disana-sini tampak sama sekali tak mengganggu dua laki-laki yang sibuk dengan pikirannya masing-masing.

"Benarkah? Aku tidak berpikir seperti itu. Kupikir tak ada yang salah dalam hal mencintai."

"Cinta bukan hal yang menyakitkan. Tapi aku sudah menyakitinya sejauh ini."

"Sejauh apa?"

"Entahlah."

  Sehun tidak bodoh. Ia bukan anak umur lima tahun yang tidak mengerti apa-apa tentang situasi hidupnya. Ia tahu semua yang di bicarakan Yixing berhubungan dengannya, permasalahan dalam hubungan Yixing dan seseorang yang Sehun sebut si kencan pertama pastilah ada hubungannya dengan kehadiran Sehun di antara mereka. Sejak membaca surat yang di tulis Yixing semalam, Sehun tau harus melakukan sesuatu. Sebesar apapun perasaan Sehun pada sosok Yixing yang kehadirannya memberikan semua bentuk perhatian yang Sehun inginkan, Sehun tak akan egois dan menutup mata saat orang lain tersakiti karena hal ini. Ia tak ingin menyakiti siapapun di hidupnya yang singkat, terutama Yixing dan seseorang yang gurunya itu cintai.

  Merasa Sehun meremas erat tangannya, Yixing pikir sesuatu terjadi pada Sehun yang matanya masih terpejam. "Hei, ada apa, Sehuna? Ada yang sakit?"

  Ya, jika bisa jujur Sehun akan berteriak jika hatinya saat ini jauh lebih sakit dibanding kepalanya yang terus berdenyut kencang

"Jika itu aku, katakan padanya aku tidak akan melakukan apapun lebih dari ini. Aku hanya orang sekarat yang sangat menyukaimu. Tak lebih dari itu."

"Sehun.."

  Ucapan Yixing terputus saat Sehun membuka matanya dengan senyum tipis yang ikut muncul, ia bangkit dari sandarannya pada bahu Yixing dan menengok ke arah jendela bus yang memang sedang berhenti.

"Ayo, hyung! Kita turun disini!".

  Yixing tidak tahu seperti apa perasaannya sekarang setelah mendengar kalimat Sehun tadi. Ia seolah kehabisan udara meski ada rongga kecil di dadanya yang sedikit membuatnya merasa lega. Jadi mati-matian Yixing memberi senyum kecilnya saat menyambut uluran tangan Sehun yang akan membawa tautan erat lagi diantara mereka.

.

.

  Kali ini Sehun menyeretnya. Menyeret dalam arti sebenarnya, karena Yixing merasa kesulitan mengikuti langkah cepat kaki-kaki Sehun yang jelas lebih panjang dari miliknya, meski jemari mereka yang masih saling bertaut itu tak membantu sama sekali.

"Kita mau kemana?"

"Rahasia."

  Yixing pilih tak lagi bicara dan fokus mengimbangi langkah pemuda lain yang sepertinya justru semakin cepat. Gumpalan awan putih menghias birunya langit siang itu, udara cukup panas untuk ukuran tanggal pertengahan musim gugur. Ia tak sempat memperhatikan sekitar untuk bisa menebak dimana mereka sekarang. Suasana tak terlalu ramai, mungkin ini bukan lagi di pusat kota.

  Saat Sehun mengarahkan langkah berbelok di ujung jalan, Yixing mulai bisa menebak kemana tujuan mereka. Dalam hati bergumam betapa tidak kreatifnya anak muda yang sedang mengajaknya berkencan ini.

.

"Kita bisa makan samgyetang yang lebih sehat, Sehuna. Junk food tidak baik untukmu."

"Tidak baik untukku? Lalu baik untukmu begitu?"

  Ucapannya di tutup dengan satu gigitan penuh hamburger. Yixing hanya mampu berdecak kesal dengan kekeraskepalaan muridnya yang kembali muncul. Tapi melihat binaran mata Sehun saat mengunyah lalu menelan hamburger yang ia pesan membuat Yixing tak ingin mengomel lebih jauh.

"Apa seenak itu?" tanyanya penasaran. Yixing tertawa kecil saat Sehun mengangguk semangat dengan pipi menggembung penuh makanan.

"Setelah ini aku akan pesan kentang goreng dan ayam gorengnya."

"Hey hey, aku bilang ini tidak baik untukmu! Jangan terlalu banyak!" Sehun menyeruput colanya, menelan pelan-pelan gigitan terakhir hamburger pesanannya. Well, dia benar-benar menghabiskan satu hamburger dalam waktu kurang dari semenit. Bahkan Yixing saja sama sekali belum menyentuh makanannya, "Astaga! Pelan-pelan saja makannya, Sehuna!"

  Omelan gurunya di balas dengan cengiran yang harus Yixing akui cukup menggemaskan. Lalu tiba-tiba saja hamburger miliknya kini sudah berada tepat di depan wajahnya, Sehun yang melakukan itu.

"Aaaaa~ hyung terlalu banyak bicara hari ini. Makan saja, okay? Aku tidak akan mati keracunan karena makan hamburger."

  Yixing menatap bergantian Oh Sehun yang tersenyum dan hamburger di depannya. Mendengus kasar sebelum memutuskan untuk membuka mulut, mengambil satu gigitan hamburger yang di ulurkan Sehun. Ia mengunyahnya sambil menatap sinis pemuda yang sekarang senyumnya semakin lebar.

"Kalau ingin kusuapi, bilang saja."

"Oh Seh.."

"Ini, makan sendiri. Aku ingin pesan yang lain."

  Menarik paksa tangan kanan Yixing untuk meletakkan sisa hamburger disana, lalu segera melesat menuju antrian orang-orang yang ingin memesan. Yixing benar-benar di buat takjub dengan tingkah si tuan muda Oh.

"Sepertinya aku bisa gila sungguhan hari ini."

  Dengan perasaan kelewat jengkel, Yixing mengunyah satu gigitan lain humburgernya. Dalam kunyahan ketiga ia teringat sesuatu dan segera merogoh saku celana jeans-nya untuk mengambil ponsel. Mulai mengetik sesuatu disana menggunakan tangan kiri karena tangannya masih ada hamburger yang sesekali ia gigit. Yixing tidak ingin terlalu berharap akan mendapat telepon dari Yifan atau sekedar pesannya yang di balas. Sadar sudah sejauh apa kesalahannya untuk bisa berpikir Yifan akan tetap bersikap seperti biasa. Kejadian tadi pagi contohnya, saat Yifan jelas-jelas sedang menghindarinya.

.

.

.

 

Sandwich buatanku tadi pagi tidak kau buang kan? Dan awas kalau kau berani melewatkan makan siangmu, Yifan!

 

  Entah apa Yifan harus menyesal saat memilih mengecek ponselnya yang bergetar ketika ia sedang berpikir untuk mengabiskan jam istirahat siangnya dengan tidur di ruang loker.

"Jika seperti ini bagaimana caranya aku melepasmu, Zhang Yixing?"

  Ia bergumam lirih. Mematikan ponselnya dan menyimpan benda itu di saku celana. Karena lebih lama lagi ponsel berada dalam genggamannya, Yifan yakin ia akan menggerakan jemarinya disana untuk mengetik sebuah balasan atau bahkan mendial nomor sang pengirim pesan. Untuk kali ini saja, ia ingin sedikit egois.

  Pada akhirnya, Yifan memilih bergabung bersama Luhan dan rekannya yang lain untuk menikmati makan siang.

.

.

...


 

 

 

Err modus aku ketauan ya? Judulnya aja ending part 1, ntar ujung-ujungnya bakal ada ending part part berikutnya. Duh tolong bunuh aku! Eh pake cinta tapi *eaaa

Dan HunXing moment merajalelaaaaa ah eottokeeee?? Masa aku jadi pendukung hubungan mereka/?

 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
famiexol #1
Chapter 7: Ahh kenapa bias.ku meninggal....
Bdw ini ff bagus banget..
Makasih udah sukses buat aku nangis.. :D
zhendy-mf #2
Chapter 7: ouwh ya ampuuun komplit rasanyaaaah, sedih, seneng trakhirnya guling2 deh. ceriate bgs, mantap. makasih....
nagarusa
#3
Chapter 7: Huweeeee sedih, sehun~ah.
Kirain sehun bakal sembuh. Tapi mungkin emg jodoh si yixing tuh yifan so ...
Sumpah ngarep bgt nh cerita bisa nambah chapter.
chamii704 #4
Chapter 7: sehun g bs brthn toh huhuhu sedih ah.. dan yixing kmbali pada jodoh&takdir dy yg sbnr'a..
Clovexo
#5
Chapter 7: aku pikir endingnya bener2 bakal sesedih itu, tpi syukurlah enggak... walopun ada rasa sedih jyga sehunnya meninggal..
Exo_L123 #6
Chapter 7: Ikutan nyesek waktu yixing nolak lamaran yifan, biar gimanapun mereka pacaran udh lama kan. Rasanya pengen nyalahin Sehun, tapi gimana, dia juga hanya seorang anak yang kesepian dan menemukan semangat setelah ketemu Yixing..

Tapi seneng, Xing kembali bareng Yifan akhirnya.. Dan Sehun yang menjadi bintang paling terang yang menerangi mereka :)
Tikakyu #7
Chapter 7: Wah!!! Daebak, kirain Lay akan bersama Sehun, Tapi bukan ya?

Ceritanya gokil, sayang cuma 6 chapter.
kimzy1212 #8
Chapter 7: Ye fanxing bersatu,ngak masalah ngak ada scane hari H pernikahannya,lu dobellin aja di wedding ne semangat la
moon29 #9
Chapter 7: *mewek* *nyusrut ingus*

Baca ini (pas bagian epilognya sih) pake lagu Mayday-nya BoA. Entah kenapa feelnya dapet banget...

Pertama, ijin nyalahin Yixing di sini. Labil sih! Pilih satu woooy, Yifan atau Sehun. Salah situ sendiri buntut-buntutnya sakit hati kan :p

Tapi... Yixing mah perasaannya halus euy, ga kayak saya yang kasar. Meskipun kalo yang saya tangkap dia nggak bener-bener 'suka' sama Sehun, cuma sekedar kasian, atau mungkin simpatik. Dan akhirnya dia berusaha untuk jadi sumber kekuatan Sehun untuk bertahan. Meskipun mungkin di sela-sela semua yang mereka lakuin, bisa aja sih ada rasa lain yang 'nyelip' di sana...

Sehun sendiri juga ngeselin.. Tapi memang bawaan lingkungan sih, dimana dia berasa diperlakukan sebagai sebuah 'objek' ..sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang bersedia jadi tempat dia bersandar. Paling 'menusuk' memang pas bagian dia bilang: "Aku Oh Sehun, pria yang selalu mencintaimu". Ihik dek Sehun be a man banget :')

Yifan, meskipun bagiannya paling dikit, memang tokoh paling ngenes di sini... Tapi akhirnya toh dia mendapat akhir yang bahagia juga :')

Overall, nice story, alurnya enak.. Meskipun promptnya umum dan agak klise, tapi pendeskripsiannya enak. Penempatan karakternya juga pas. Keep going dear
Tikakyu #10
Chapter 6: Ya! Ige mwoya???

Tidak ada yang jadi pasangan disini? Aish....
Kasihan Yixing ditinggal Yifan dan Sehun.