ending

A Piece

 

Even if your name becomes unfamiliar someday

My heart will keep it as memory

Even though a sad farewell is to come

Don’t think about that today (Taeyeon - Closer)

 

 


 

 

  Dua hamburger, satu porsi ayam goreng dan nasinya, tiga porsi kentang goreng, serta satu porsi spagetti bolognese, membuat Yixing berpikir keras bagaimana monster makanan seperti Sehun memiliki tubuh kurus dengan tinggi di atas rata-rata. Yixing sendiri hanya menghabiskan satu hamburger dan sesekali mencomoti kentang goreng yang di pesan Sehun, itu pun mendapat protes darinya.

"Ah, aku kenyang sekali."

"Aku akan berpikir kau bukan manusia jika sekarang berkata belum kenyang."

  Sehun menatapnya tidak peduli sambil menyeruput kembali gelas soda ketiga. Lalu tanpa tahu malu, ia bersandawa di lanjutkan cengiran tak bersalahnya. Yixing melotot tak percaya. Kemana perginya wujud tuan muda Oh yang dingin itu?

"Ya Tuhan, kau tidak berpikir pasangan kencanmu akan sangat terganggu dengan cara makanmu yang buas itu?"

"Memang kau terganggu?"

"Tentu saja!"

"Ya anggap saja teman kencanmu ini sedang menikmati keindahan hidup sebelum kematian datang."

  Dengan itu, Yixing terdiam. Beberapa saat yang lalu ia melupakan bahwa Oh Sehun adalah pasien tervonis kanker yang hidupnya di perkirakan tak akan lama. Beberapa saat yang lalu, ia hanya berpikir Oh Sehun adalah pemuda dua puluh tahunan biasa yang sedang menikmati masa mudanya dengan pergi mengencani seseorang.

"Berhenti menatapku seperti itu, aku tidak butuh keprihatinanmu, hyung."

  Ucapan Sehun memaksa Yixing mengerjab, berusaha menghilangkan tatapan yang di maksud.

"Kau, janji padaku untuk tetap bertahan."

  Rasa takut tiba-tiba menghampiri, sangat mendadak hingga Yixing tak bisa menemukan alasan pasti ketakutannya. Sehun yang baru saja mengelap sekitar bibirnya dengan tissue kini membalas tatapan laki-laki di depannya. Hanya untuk sedetik dan ia lagi-lagi memutuskan kontak mata mereka. Berusaha kembali pada sandiwara yang rencananya akan ia mainkan seharian ini.

"Kenapa banyak sekali hal yang harus kutepati padamu?"

"Apa kau masih berpikir untuk menyerah?"

"Beri tahu aku alasan untuk bertahan?"

"Orangtuamu, Chanyeol, teman-temanmu, dan.."

  Ucapan Yixing yang menggantung membawa keinginan Sehun untuk kembali berada dalam satu garis pandang dengannya, "Dan?"

"Aku."

  Satu kata yang membuat senyum tipis Sehun muncul. Meski tipis, tapi terpancar jelas ketulusan disana.

'Aku melakukan sejauh ini hanya untukmu, hyung'

"Kau sedang menggombali muridmu ya?"

"Aku serius, Oh Sehun!"

"Sehuna.."

"Apa?"

  Yixing krisis udara saat Sehun mendadak bangkit dari kursi untuk menyondongkan badan mendekatinya. Mengeliminasi jarak wajah mereka tanpa terganggu meja yang menghalangi. Terlihat jelas bola mata kecoklatan Sehun memantulkan raut wajah Yixing yang tegang.

"Hari ini, kau hanya boleh memanggilku Sehuna, Yixing."

.

.

.

  Panik menguasai Yixing saat Sehun mulai meringis sambil memegangi kepalanya, mereka sedang berada di halte untuk menunggu bus yang akan membawa mereka entah kemana, Sehun tak mengatakan apapun soal itu.

"Sehuna, Sehuna, kau baik-baik saja? Apa yang harus kulakukan?!"

  Kali kedua Yixing berpikir bahwa memeluk Sehun adalah satu-satunya hal yang bisa ia lakukan di saat seperti ini, ia beranjak dari duduknya untuk berdiri di depan Sehun yang masih terduduk di kursi halte, menyembunyikan kepala pemuda itu dalam dekapannya. Yixing mengutuk saat tak ada satupun orang yang berada di sekitarnya siang ini.

"Kita harus kembali ke rumah sakit sekarang."

"Tidak, jangan. Aku tak mau." Yixing ikut meringis saat bantahan Sehun bercampur dengan desisan kesakitan. Saat seperti ini pun dia tetaplah tuan muda yang keras kepala.

"Aku tak mau terjadi apa-apa denganmu, bodoh!"

"Kau yang bodoh! Bukankah tadi Chanyeol sudah memberitahumu ada obat di dalam ranselku? Setelah meminumnya, aku akan membaik."

  Tergesa-gesa ia melepas pelukannya dan meraih ransel Sehun yang sudah tidak terpasang di punggung pemiliknya, menggeledah dengan panik isi di dalamnya sampai menemukan tabung kecil berisi beberapa butir obat berwarna kuning pucat. Mengambil sebutir dan segera memberikan pada Sehun, beserta sebotol air mineral yang juga ia temukan di dalam ransel.

"Dua, aku butuh dua butir, Yixing."

  Yixing menurut, mengeluarkan satu butir lagi dari dalam tabung yang langsung di terima Sehun. Mengabaikan ketidaksopanan muridnya yang lagi-lagi memanggilnya hanya dengan nama.

  Ringisan memilukan itu perlahan tak lagi terdengar setelah hampir lima menit Sehun menelan dua butir obatnya, "Lebih baik, Sehuna?"

  Dan anggukan serta senyum kecil yang sang pemuda berikan berhasil membuat Yixing kembali bernafas normal. Ia mendudukan diri di samping Sehun, persendiannya melemas karena lega yang ia rasakan setelah kepanikan tadi.

"Aku yang punya kanker disini. Kenapa malah kau yang seperti akan segera mati?"

  Yixing memejamkan matanya, mengatur pernafasan untuk menenangkan diri.

"Aku memang ketakutan setengah mati setiap kali melihatmu kesakitan."

"Itu terdengar romantis."

  Kelopak matanya terbuka hanya untuk memberikan Sehun tatapan tajam yang Yixing harap itu mematikan. Bisa-bisanya Sehun menjadikan kepanikannya sebagai bahan lelucon.

"Ini bukan lelucon, aku sungguh tersentuh dengan kalimatmu tadi. Terimakasih, Yixing."

  Matanya masih menghunus tajam meski sudah sedikit melembut. Sehun yang masih mengatur nafasnya terkekeh kecil di tatap seperti itu.

"Dan sejak kapan aku mengizinkanmu memanggilku hanya dengan nama? Kau lupa aku ini gurumu?"

  Tepat saat Sehun akan membuka mulut untuk membalas, bus yang mereka tunggu tiba. Pintu terbuka dan beberapa orang di dalamnya turun.

"Ini yang di sebut pendekatan, bukankah akan lebih nyaman jika bicara informal?"

"Siapa yang bilang begitu?!"

"Sudahlah, ayo naik! Aku tidak ingin ketinggalan bus, Yixing."

"Yak! Oh Sehun!"

"Panggil aku Oh Sehun sekali lagi dan aku akan benar-benar memaksamu menjadi ciuman pertamaku."

  Apa-apaan ancaman itu?

.

.

 

  Berulang kali Sehun menggumamkan rasa penyesalannya karena seumur hidup tak pernah mengunjungi salah satu trademark kota tempat tinggalnya, Han river.

"Sehuna, bisa berhenti berlarian? Kita mulai jadi pusat perhatian."

  Yixing tidak bercanda. Orang-orang yang sedang menikmati sore di hari jum'at yang sedikit redup oleh awan mendung, mulai menatap mereka aneh. Terlebih Sehun yang berlari-lari sambil mengutarakan kekagumannya pada pemandangan di sekitar.

"Aku benar-benar baru tahu Hangang sekeren ini!"

  Dia berhenti kali ini, menumpu beban tubuhnya pada pagar yang membatasi jalan setepak dengan tepi sungai yang mengalir lembut. Pepohonan di dekat mereka menghasilkan bunyi gemerisik khas karena tiupan angin. Matanya tak lepas menatap hamparan luas air sungai di depan.

  Yixing di belakangnya hanya tersenyum tanpa berniat mengganggu kegiatan Sehun. Rambut coklat anak itu tak lagi tertata rapi seperti awal perjalanan mereka, keningnya kini kembali tertutupi poni yang tadi ditata ke atas. Jika boleh jujur, Yixing lebih suka sosok Sehun yang seperti ini, tampak bebas dan alami.

"Aku masih tidak bisa percaya ada penduduk Seoul yang belum pernah kesini."

"Itu karena ibuku selalu bilang bahwa tidak aman berada di keramaian. Jadi aku malas keluar rumah lagi setelah pulang sekolah."

  Dalam benak Yixing kini terbayang betapa membosankannya hidup sang tuan muda Oh. Kenyataan bicara memiliki harta tak selamanya menjamin kebahagiaan. Ia dan Yifan yang selama ini hidup sangat sederhana harus bersyukur karena merasa bahagia hanya dengan memiliki satu sama lain. Dan omong-omong, Yixing kembali memikirkan Yifan.

"Kau sering kesini ya, Yixing?"

"Sekolah musik tempatku mengajar dulu di sekitar sini, jadi lumayan sering."

  Lelah dengan segala bentuk protes yang di layangkan untuk si kurang ajar Sehun. Yixing mau tidak mau mengizinkan anak itu memanggilnya tanpa tambahan hyung. Diiringi dengusan malas, Yixing mengambil langkah mendekati pemuda yang masih bersandar pada pagar pembatas. Melakukan hal yang sama tepat di sampingnya.

"Terimakasih ya. Karena dirimu aku jadi punya kesempatan melakukan hal yang bahkan belum pernah terpikirkan olehku."

  Sehun mengabaikan tatapan intens yang mengarah padanya. Menatap Yixing terlalu lama akan membuatnya kembali ragu dengan keputusan yang sudah ia tetapkan sendiri.

"Sama-sama. Aku juga mendapat banyak hal baru darimu."

"Memang apa yang bisa di dapatkan dari orang sekarat dan putus asa sepertiku?"

"Bisakah berhenti membicarakan soal kematian? Apa tak ada sedikit saja keyakinan dalam dirimu untuk bisa bertahan?!"

  Kali ini Sehun menoleh, mendapati gurunya dengan wajah memerah emosi. Lalu yang bisa ia lakukan hanya mengeratkan pegangan pada pagar besi di depannya. Yixing tak tau apapun, Sehun dan satu alasan kuat yang membuatnya ingin bertahan.

"Mau mendengar kisahku? Aku rasa tidak adil jika hanya dirimu saja yang bercerita."

  Sehun bicara dalam nada yang seolah stabil, meski sesuatu dalam dirinya mulai berontak dan tenggelam dalam tangis. Di sampingnya, Yixing masih betah memberi ketenangan lewat tatapannya. Tak bisa mengelak lagi bagi Sehun bahwa ia jatuh terlalu dalam pada pesona sang guru.

"Aku punya waktu selamanya untuk mendengarkan, Sehuna."

  Senyuman setipis kertas yang rapuh di berikan Sehun, 'tapi aku tak punya banyak waktu lagi, hyung'

"Ayo! Belikan aku minuman hangat dulu."

  Untuk kesekian kali, jemari mereka saling mengisi kekosongan yang ada.

.

"Yixing! Disini saja!"

  Yang di teriaki melenguh kesal. Langkahnya sedikit terhambat karena dua gelas kopi panas di kedua tangannya. Sedangkan Sehun sudah duduk manis di area berumput yang cukup luas, tapi tak ada orang lain lagi disini selain mereka. Entah bagaimana anak itu berkeliling saat Yixing tengah membeli kopi untuk mereka hingga bisa menemukan tempat sepi dan sejuk seperti ini.

"Woah, kau benar-benar definisi sesungguhnya seorang 'tuan muda', Sehuna. Membuat siapapun menuruti keinginanmu." sarkastik. Sehun justru tertawa kecil mendengarnya.

  Yixing menyerahkan gelas kopi milik Sehun sebelum memutuskan ikut duduk di sebelahnya. Menekuk kedua kakinya agar bisa menumpu dagunya di atas lutut, menyesap cairan pekat berkafein di gelasnya, "Kau banyak tertawa hari ini."

"Sudah kubilang, aku banyak melakukan hal baru hari ini."

"Semoga itu dalam artian positif."

  Objek di depan mereka hanya pepohonan sakura yang daunnya mulai kecoklatan berjatuhan karena musim gugur, jika berjalan lebih jauh ke dalamnya akan menemukan jalan setapak utama taman yang ramai. Intinya tempat mereka sekarang memang sangat tersembunyi.

  Sehun meluruskan kaki-kaki panjangnya yang pegal karena tidak terbiasa berjalan lama. Menyesap kopi pesanannya, membuat keningnya mengernyit dalam.

"Coklat?" mendapati Yixing menoleh dengan seringai aneh, Sehun tahu dirinya berhasil di bodohi.

"Kafein tak pernah baik untuk kesehatan. Jadi aku membeli coklat hangat saja."

"Payah! Kau ini seperti anak tk, Yixing."

"Jika menjadi anak tk bisa membuatmu lebih sehat, akan kulakukan."

"Aneh!" meski menggerutu Sehun tetap mengambil sesapan kedua dari gelasnya.

"Hey?"

"Apa?!"

  Yixing menutup mulut dengan telapak tangannya karena tawa kecil yang keluar. Sehun yang cemberut tampak manis dan normal.

"Aku sudah siap mendengarkan loh, Sehuna."

  Sehun tampak berpikir sejenak. Meyakinkan diri untuk kembali menjadikan laki-laki berkemeja putih di sampingnya sebagai objek utama pandangannya. Hari mulai beranjak sore dan itu berarti waktu yang ia miliki semakin berkurang.

  Hembusan nafas berat jadi awal kalimatnya,

"Sejak awal, semua orang di sekitarku selalu menganggap hidupku sempurna." dalam jeda, Sehun mendongak sedikit untuk menatap langit kelabu yang membiaskan warna orange dari redupnya sinar mentari. Seolah melihat potongan demi potongan kisahnya yang siap ia suarakan untuk Yixing, "Dulu ayahku seorang politikus handal dan ibuku, meski tidak dalam posisi penting tapi keluarga ibu berisi pengacara-pengacara terkenal. Aku selalu bersekolah di sekolah elit. Kemanapun aku ingin pergi atau apapun yang aku inginkan, akan ada Chanyeol yang mengabulkan semuanya. Aku tak punya banyak teman, angkanya bahkan tak melebihi jumlah jari kedua tanganku."

  Yixing masih menatapnya, keinginan untuk menyuruh Sehun berhenti bercerita sangatlah kuat. Ada luka yang terlihat jelas dalam tatapan Sehun ke langit sana. Tapi Yixing merasa semua harus di selesaikan saat ini juga, jadi ia teruskan menatap Sehun dalam posisinya.

"Dan hingga detik ini, temanku yang bertahan hanya Chanyeol." senyum pedihnya terlihat, membuat Yixing mengingat seseorang dengan arti senyuman yang sama tadi pagi.

"Kenapa?"

  Cukup lama tak ada jawaban dari Sehun. Anak itu melepas senyum pada langit yang sejak tadi menjadi fokus pandangnya. Helaan nafas terdengar bersamaan dengan angin yang menggesek lembut dedaunan lalu menggugurkannya. Yixing masih diam menunggu. Tak peduli untuk berapa lama ia akan melakukannya.

"Ini bagian menariknya, Yixing." Sehun mencoba mencairkan suasana beku karena jeda lama yang ia berikan tadi. Dan Yixing hanya menarik malas dua sudut bibirnya ke atas, memaksa sebuah senyum juga ikut tercipta. "Aku pernah kuliah, orangtuaku mengatur segalanya agar aku masuk fakultas hukum, meski dari awal aku sudah mengutarakan ketertarikanku pada musik. Tapi setidaknya aku bersyukur karena disana aku mengenal beberapa orang yang bisa kusebut sebagai teman."

"Ada Jongdae yang berisik, Minseok hyung si senior penuh perhatian, mata bulat Kyungsoo yang lucu, Tao yang cengeng.." Sehun tersenyum lagi, lebih lebar dan terlihat mudah, tak lagi di paksakan. Fokusnya masih pada langit karena bayangan beberapa orang yang pernah ia sebut teman muncul disana.

"Mereka pasti teman yang menyenangkan ya, Sehuna."

"Bukan itu bagian menariknya." senyumnya redup, matanya kembali sendu. Yixing tidak yakin bagaimana bisa seseorang berubah aura dengan begitu cepat. Dan kisah selanjutnya dari Sehun membuat Yixing mendapat jawaban.

"Saat tau aku tervonis kanker otak stadium tiga, aku putuskan untuk membuat mereka semua membenciku. Aku mengatakan hal buruk pada mereka, menyombongkan diri, menarik diriku menjauh secara tiba-tiba. Membuat mereka berpikir bahwa aku adalah orang jahat."

  Tak ada yang bisa Yixing deskripsikan tentang perasaannya setelah mendengar semua dari Sehun. Otaknya tak dapat berjalan baik untuk bisa berpikir manusia macam apa Oh Sehun itu, pikirannya sulit di tebak, seperti Sehun memang di lahirkan dengan jalan pikir yang berbeda dari manusia lain.

  Yixing membasahi kerongkongannya yang mendadak kering dengan sesapan cappucino yang sekarang rasanya bahkan lebih pahit dari segelas americano. Lalu kembali mengajukan pertanyaan pada pemuda yang telah kembali memberi jeda lama, "Kenapa kau melakukan itu?"

  Perasaannya bertambah kacau saat Sehun menggantikan dirinya sebagai fokus utama penglihatannya, sejenak melupakan langit yang sudah berisi penuh kenangan. Dan pada Yixing, dalam mata hitam yang ia tatap lemah itu, ia menemukan dirinya di masa sekarang.

"Karena dengan begitu, teman yang kusayangi tak akan pernah menangisiku. Sebaliknya, mungkin mereka akan tertawa senang di hari kematianku. Aku hanya tidak ingin kepergianku menjadi tangis seseorang."

  Airmata itu jatuh begitu saja, berlomba turun menyerbu basah wajah manisnya. Bukan Sehun.  Airmata yang diselingi isakan datang dari Yixing. Sehun justru tersenyum dengan ketenangannya, entah apa arti senyumannya kali ini, Yixing terlalu sibuk menyelami tatapan Sehun yang masih mengarah padanya. Tapi tetap tak ada apapun, Yixing tak menemukan satu hal pun yang dapat di baca dari mata milik muridnya.

  Tangisannya tersembunyi saat Sehun mulai menarik tubuhnya dalam sebuah pelukan erat. Tangan-tangan besar milik Sehun melingkari sekitaran bahunya, mengusap lembut punggungnya, memberi rasa hangat tak terdefinisi. Yixing makin terisak, seperti disini dia lah orang yang tersakiti. Meski pada kenyataannya semua hal itu dialami oleh seseorang yang memeluknya.

"Yixing, berhenti menangis." sebuah bisikan lembut. Terdengar jelas olehnya. Lalu Yixing benar-benar berusaha keras untuk membuat tangisnya berhenti, ia meremas kuat bagian belakang jaket baseball Sehun.

"Aku.. sedang berusaha."

  Sehun kembali memberikan sebuah senyumnya. Ia merasa seolah bebannya ikut luruh bersama setiap tetes airmata guru pianonya yang hampir membasahi bagian depan jaketnya. Sehun pikir jika Yixing sudah mengambil seluruh bagian dari dirinya, menjadi bagian dalam hidupnya, dan itu menjadikan ketakutannya untuk pergi semakin besar.

"Aku janji akan bertahan sampai akhir. Asal kau juga berjanji satu hal padaku."

"Jika kau memintaku untuk ikut pergi menjauhimu, demi Tuhan, Sehuna, aku tak akan pernah melakukannya!"

'Tidak. Aku lah satu-satunya orang yang akan pergi. Bukan kau, juga bukan dirinya.'

  Ada udara yang di buang kasar oleh Sehun sebelum ia bergerak menjauh, melepas pelukannya hanya untuk bertemu dengan bola mata kehitaman Yixing yang berkilat basah. Sehun lagi-lagi menarik sedikit sudut bibirnya saat tau airmata itu sudah tak lagi mengalir. Meski kini meninggalkan jejak basah yang sama sekali tak merubah keindahan wajah yang selalu ia kagumi sejak awal.

"Cobalah tersenyum, Yixing."

  Beberapa detik hanya ada kedipan mata tidak mengerti dari Yixing. Hingga tawa Sehun muncul selembut terpaan angin. Dua tangannya terangkat. Memberi sentuhan tak kalah lembut pada wajah Yixing yang basah, jemarinya mulai bergerak menelusuri tiap lekuknya, menghapus jejak basah yang tertinggal disana. Dan sampai pada dua sudut bibir Yixing yang sengaja sedikit ia tarik ke atas, membentuk senyum yang ia maksud tadi. "Seperti ini, tersenyumlah."

  Yixing membuka matanya yang sempat terpejam tadi, bertemu kembali dengan bola mata Sehun yang seperti cermin memantulkan bayangan dirinya. Sehun sudah tersenyum. Kali ini lebih baik. Jadi Yixing mulai membuang udaranya dengan kasar, mengosongkan paru-parunya agar membuatnya sedikit ringan lalu mengisinya dengan udara segar yang baru. Yixing berhasil tersenyum dengan ketulusannya. Sehun menarik jemarinya dari sana, sedikit menjauhkan diri agar cekungan mungil yang terbentuk karena senyum itu terlihat jelas olehnya.

"Aku hanya meminta senyummu saat nantinya aku sudah tak bisa bertahan. Berjanjilah untuk tersenyum di hari kepergianku."

"Kau akan tetap bersamaku. Kau tidak boleh pergi, Oh Sehun."

'Maafkan aku, hyung.'

  Sebelum senyum itu kembali menghilang, Sehun bergerak cepat. Menempelkan bibirnya pada sisa senyum yang terukir di bibir Yixing. Kembali memeluk tubuh yang lebih kecil darinya sembari bergerak untuk melumat kecil. Gelas kopi milik Yixing jatuh dan menumpahkan isinya pada tanah berumput di sekitar. Sama seperti Yixing yang merasa dirinya terjatuh dan menjadi kepingan terkecil dalam setiap lumatan lembut yang Sehun berikan. Airmatanya kembali turun saat tanpa sadar ia ikut bergerak membalas ciuman itu.

 

  Dan nama Yifan memenuhi isi kepalanya.

.

.

.

 

  Joonmyeon terkejut bukan karena Yifan menolak tawaran lembur darinya, "Apa katamu?"

"Aku meminta setengah gajiku bulan ini."

"Tapi ini belum saatnya kau menerima gaji, Yifan."

"Aku tahu. Aku benar-benar minta tolong padamu, aku membutuhkan uang. Dan juga aku akan mengajukan cuti."

  Kejutan ganda Yifan berikan pada sosok manager sekaligus sahabatnya itu. Joonmyeon menatapnya dengan alis berkerut dalam, berpikir keras tentang hal apa yang membuat salah satu karyawan terlama menemuinya  di ruangan untuk mengajukan cuti mendadak seperti ini.

"Cuti untuk apa? Aku memang temanmu. Tapi sebagai managermu aku tidak bisa sembarangan memenuhi semua keinginanmu itu."

  Yifan memejamkan matanya sejenak sebelum kembali ia buka dengan tatapan penuh harap yang memenuhi. Meyakinkan sosok managernya di balik meja sana.

"Aku ingin menemui orangtuaku."

  Orangtua. Entah kapan terakhir kali Joonmyeon ingat sahabatnya ini menyebut satu kata itu. Yifan selalu tertutup mengenai keluarganya di China sana. Bahkan bersahabat dengan Yifan selama bertahun-tahun yang ia tahu hanya soal Yixing, Yixing, dan Yixing, seolah hidup Yifan hanya di penuhi dengan satu nama. Dan memang kenyataannya seperti itu.

  Joonmyeon menghela nafas sebelum tangannya bergerak membuka salah satu laci mejanya, mengambil selembar kertas dari sana untuk ia letakkan di atas meja. Yifan tahu itu adalah kertas surat permohonan cuti tapi Joonmyeon tak berniat langsung memberikan padanya. Surat itu tertahan di antara meja dan telapak tangan Joonmyeon.

"Kau ingin mengatakan padaku alasannya?"

  Mengetahui jeda diam cukup lama dari Yifan, Joonmyeon mengerti bahwa jawabannya adalah tidak. Ia tak akan memaksa karena alasan sang sahabat untuk menemui orangtua yang selama ini di hindari sudah cukup membuatnya puas.

"Baiklah. Tandatangani ini dan gajimu bulan ini akan langsung kutransfer ke rekeningmu."

"Terimakasih, Joonmyeon-ah."

.

.

"Kau sudah benar-benar yakin dengan keputusanmu ini, Yifan?!"

  Itu pertanyaan kelima yang di ajukan Luhan dan kelimanya memiliki jawaban yang sama bagi Yifan. Jadi dengan sedikit kesal, ia menoleh sejenak pada Luhan yang sedang menatapnya penuh keputusasaan.

"Berhenti bertanya hal yang jawabannya sudah kau tahu. Jika kau dan Jongin keberatan membantuku berkemas, kalian boleh pergi."

  Jongin yang sedang menyeret salah satu koper yang sudah terisi ke depan pintu kembali menoleh kearah sepasang sahabat yang memulai adu argumen lagi. Ia meletakan koper di dekat pintu, lalu berjalan mendekati mereka di pusat ruangan.

"Kami tidak keberatan sama sekali, hyung. Luhan hanya ingin memastikan kau benar-benar yakin. Jangan sampai ada penyesalan di akhir."

  Yifan berbalik menghadap ke arah lemarinya, mengambil lagi beberapa pakaian miliknya disana. Keyakinan itu ada. Meski tidak penuh dan masih dalam bentuk sebuah potongan. Tapi Yifan percaya waktu akan membuat keyakinannya utuh sepenuhnya.

"Kau pengecut, Yifan. Tujuh tahun dan kau hanya akan mundur seperti ini?"

  Pertanyaan Luhan yang kesekian kalinya. Yifan merasa tak ada yang salah dari ucapan sahabatnya. Ia memang pengecut. Ia terlalu takut merasakan sakit saat menyadari Yixing akan benar-benar memilih orang lain, bukan dirinya. Atau saat tahu kebahagiaan Yixing selama ini bukan ada pada dirinya. Satu yang Yifan yakini, ia tak akan pernah sanggup berada di dua posisi itu.

"Kurasa hanya ini barang-barang yang akan kubawa. Sebaiknya aku segera berangkat, pesawatku take off pukul tujuh nanti."

"Kau mengabaikanku!"

  Pekikan kesal Luhan mau tak mau memaksa Yifan menatapnya lagi, ada amarah yang besar disana, juga kekecewaan yang lebih mendominasi. Jongin di sampingnya hanya bisa memberi rangkulan di bahu untuk menenangkan tunangannya yang mulai di kuasai emosi. Ia ikut menatap sosok kakak yang selama ini ia hormati, memohon dalam tatapannya agar Yifan berpikir ulang tentang keputusannya.

"Aku memang pengecut karena itu aku memilih pergi."

 

.

.

.

 

  Canggung menjadi hal yang amat kental setelah ciuman mereka berakhir. Keduanya kembali tenggelam dalam diam. Langit di atasnya semakin gelap karena jam yang sudah menunjukkan pukul enam lewat. Dan Yixing tiba-tiba ingat sesuatu yang membuatnya panik.

"Kita seharusnya kembali jam lima, Sehuna, ayo!  Ke rumah sakit sekarang."

  Yixing bangkit dari duduknya, menarik tangan Sehun agar ikut berdiri dan segera melangkah pulang bersamanya. Tapi pemuda itu tak bergeming, hanya senyuman yang lagi-lagi Yixing tak tau apa artinya. "Sehun, ayo! Kita pulang! Kau sudah berjanji pada para dokter akan menjadi anak penurut selama proses terapi, padaku juga kau sudah berjanji."

"Sebentar lagi, hyung, kita disini sebentar lagi."

  Kali ini Yixing dibuat tertegun. Sehun yang kembali memanggilnya hyung dalam nada yang amat tenang, penyebabnya. Hingga detik ini, Yixing masih belum bisa menebak kapan pemuda di depannya akan kembali berubah sikap. Masih menatap Sehun, Yixing kembali mengambil tempatnya untuk duduk. Laki-laki tinggi di sampingnya tampak nyaman dalam duduk bersilanya, matanya fokus menatap Yixing yang sudah terduduk lagi, tapi pikirannya sudah berkelana jauh dari raganya.

"Kau memanggilku hyung lagi?"

"Ya. Aku sudah kembali menjadi Oh Sehun muridmu yang manis."

  Yixing tertawa geli, merasa perutnya tergelitik oleh sesuatu yang nyaman. "Lalu siapa sosok kurang ajar sebelumnya yang menjadikanku ciuman pertamanya?"

  Kontak mata mereka terputus, Sehun yang melakukannya. Yixing yang sedang dalam tawa seolah terlalu bersinar untuk terus ia pandangi.

"Itu juga Oh Sehun. Dia laki-laki dua puluh tahun yang begitu menyukaimu."

"Aku tahu, aku bisa merasakannya dengan jelas."

  Sunyi cukup lama menguasai. Keduanya memiliki poros dunia sendiri yang berotasi di sekitar mereka. Tenggelam dalam sebuah lamunan tak berujung. Sampai pada Sehun membuka suaranya lagi.

"Di kehidupan berikutnya, kau ingin jadi apa?"

  Yixing diam dengan pikiran yang sibuk mencari jawaban. Topik pembicaraan mereka yang random kali ini tampak menarik di matanya, "Hmm unicorn, mungkin."

  Sedikit tawa kecil dari Sehun, Yixing menoleh dan menyadari tuan mudanya yang berbalut tawa terlihat cukup sempurna.

"Kau yakin usiamu dua puluh tujuh tahun? Pemikiranmu seperti anak lima tahun."

  Yixing berdecak, merasa dirinya di remehkan oleh anak muda yang terpaut usia tujuh tahun dengannya, "Unicorn itu di sucikan tapi ia tersembunyi. Aku hanya ingin bersembunyi jika di beri kesempatan hidup sekali lagi."

"Seperti pengecut?"

"Ya, seperti itulah. Aku sudah lelah menghadapi banyak masalah. Hanya ingin bersembunyi. Kalau kau?"

  Mungkin selain Yixing, hal yang sangat Sehun sukai selanjutnya adalah langit. Ia kembali menjadikan angkasa sebagai pusat pandangnya.

"Aku ingin jadi bintang."  

"Kenapa?" Yixing nyaris tertawa karena jawaban Sehun yang tak lebih dewasa darinya.

"Seperti dirimu, aku juga tidak mau terlibat masalah. Bintang, menjadi bagian kecil dari kehidupan tapi banyak di puja. Sesederhana itu."

  Obrolan kali ini mendapat inti bahwa keduanya hanya ingin menjadi kepingan kecil tak berarti di kehidupan selanjutnya. Masalah memang tetap akan ada nantinya, tapi mereka yakin tak akan serumit kehidupan yang sedang mereka jalani.

  Laki-laki yang lebih tua ikut menatap hamparan langit jingga di atasnya, tersenyum. Dalam bayangannya, suatu saat Sehun akan menjadi salah satu bagian kecil di atas sana dan saat hal itu tiba, Yixing meyakinkan diri akan menemukannya dengan mudah.

"Kau harus menemukanku dengan mudah, hyung."

"Itu juga yang sedang kupikirkan, Sehuna. Jadilah bintang yang paling terang agar unicorn sepertiku bisa jelas melihatmu."

"Sudah waktunya aku pergi. Ayo, hyung!"

  Saat Yixing menoleh, Sehun sudah berdiri menjulang di sampingnya. Membersihkan celana jeansnya dari rerumputan yang menempel lalu mengulurkan tangan pada Yixing yang masih diam memperhatikan. Sejak kapan tuan muda Oh ini memiliki inisiatif sendiri?

"Perubahan sikapmu terlalu cepat, Sehuna, membuatku merinding."

  Tawa kecil itu kembali hadir saat Yixing menyambut uluran tangannya. Sehun mempererat tautan mereka. Sadar mungkin ini kesempatan terakhir untuk menggenggam tangan cinta pertamanya.

"Kita pergi, hyung."

.

.

.

.

.

.

 

  Sejak mereka memasuki sebuah sedan mewah dengan Chanyeol di dalamnya sebagai pengemudi, harusnya Yixing sudah curiga. Ketika Sehun tak lagi bicara dan bersikap dingin padanya selama di dalam mobil, harusnya Yixing sudah bisa menebak. Tapi semua kenyataan baru ia sadari saat mobil berhenti di depan bandara, Sehun turun tanpa sepatah katapun padanya. Yixing dengan segala kepanikan yang ada bertanya pada Chanyeol apa maksud semua ini dan kembali hanya diam memuakkan yang ia dapat. Diiringi umpatan kesal, Yixing terburu-buru turun dari mobil. Mengejar sosok tinggi yang hampir sejauh belasan langkah darinya namun seperti jarak mereka sudah berada dalam hitungan ribuan mil.

"Sehuna, tunggu!"

  Ia berlari dan berhasil menahan lengan pemuda itu, menariknya agar mereka kembali saling berhadapan. Nafas yang terengah berusaha ia stabilkan secepatnya agar kalimatnya bisa ia keluarkan tanpa hambatan.

"Apa maksudmu?! Kita akan pergi kemana?"

  Suaranya yang mengeras tak Yixing pedulikan, ia mengacuhkan keramaian bandara yang mulai terpusat padanya. Tapi bagi Yixing hanya ada dirinya dan Oh Sehun di hadapannya dengan raut wajah yang tak bisa ia baca.

"Hanya aku yang pergi, kau tetap disini, hyung."

  Yixing meremas kuat cengkramannya pada lengan Sehun. Jawaban itu meluruhkan kembali airmatanya, Yixing menggelengkan kepala karena penglihatannya yang mulai buram. Sehun berada tepat di hadapannya tapi kini terlihat sangat jauh. Hal itu menyakiti Yixing lebih dalam.

"Tidak. Kenapa harus pergi?"

"Menepati janjiku padamu untuk bertahan. Hyung, aku akan menjalani pengobatanku di Amerika. Ayah dan ibuku sudah menunggu di dalam."

  Melihat kelopak mata Yixing yang menutup, mengizinkan airmata turun lebih banyak. Sehun melakukan hal yang sama seperti tadi, memeluk sosok rapuh yang terlihat sama sekaratnya dengan dirinya. Ia ikut menangis kali ini, berkhianat pada diri sendiri yang telah mengucap janji untuk tidak menangis ketika hal seperti ini tiba. Tapi ini jauh lebih menyakitkan dari yang pernah ia perkirakan. Cinta pertamanya menangisinya sedemikan rupa. Sehun menyesali pilihan membawa Yixing memasuki kehidupan singkatnya lebih jauh.

"Kau jahat, Sehuna."

"Maafkan aku, hyung. Kau bebas membenciku setelah ini."

"Jika semudah itu membencimu, aku tak akan sesakit ini."

  Pelukan mereka semakin erat, entah siapa yang melakukannya. Sehun menghujani kepala Yixing dengan kecupannya. Berusaha dengan cara lain agar Yixing sedikit tenang lalu ia kembali berbicara, "Kembalilah padanya, cinta pertamamu. Dia yang akan menyembuhkan lukamu."

"Tapi aku telah menyakitinya. Dia juga terluka, Sehuna."

"Kalian akan saling menyembuhkan kalau begitu. Percayalah, hyung. Kembali padanya dan lupakan aku. Sampaikan terimakasihku juga permintaan maafku padanya."

  Yixing semakin tenggelam dalam tangis. Semudah itu Sehun memintanya untuk lupa setelah perasaan yang anak itu torehkan padanya terlalu besar, "Kau akan kembali kan?"

"Tentu, hanya untuk melihatmu hidup bahagia dengannya. Aku akan kembali."

'Atau mungkin aku akan kembali dalam wujud kepingan bintang paling terang di langit, hyung' Sehun meneruskan ucapannya dalam hati, ia tak ingin semakin menyakiti Yixing. Tak tahu akan seperti apa caranya bertahan nanti, di tengah rasa sakit, tanpa Yixing di sampingnya.

  Perlahan Sehun menjauhkan diri, menarik kedua tangannya dari pinggang Yixing yang ia dekap erat sejak tadi. Menemukan kekacauan pada wajah manis gurunya. Sehun kembali melakukan hal seperti sebelumnya, menelusuri lekuk wajah itu dengan jemarinya. Ibu jarinya mengusap lembut kelopak mata Yixing yang tertutup, secara tidak langsung memintanya berhenti menangis

"Tadi aku memintamu tersenyum saat aku akan pergi. Bukan menangis jelek seperti ini, Yixing."

  Yixing meraup udara untuk paru-parunya, "Apa lagi sekarang? Kembali menjadi pemuda dua puluh tahun yang sangat menyukaiku?"

  Sehun berhasil tersenyum lebih ringan sebelum mengecup singkat bibir sang cinta pertama, untuk terakhir kali.

"Bukan. Aku Oh Sehun yang selalu mencintaimu."

.

.

.

.

.

.

  Di sudut lain bandara, Yifan juga mulai mengambil langkah memasuki gate keberangkatan.

.

.

.

The End


 

 

 

 

 

 

Aku coba membagi sama rata rasa sakit mereka bertiga disini, tapi kayanya gagal ya hohoho

Terserah kalian deh mau bunuh aku dengan cara apa, mau pake tanduk unicorn, semburan api penjaga kuil, atau serangan puting beliung -_- asal jangan bunuh aku pake todongan minta sequel please~

Because piece was officially end *bagi-bagi tissue*

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
famiexol #1
Chapter 7: Ahh kenapa bias.ku meninggal....
Bdw ini ff bagus banget..
Makasih udah sukses buat aku nangis.. :D
zhendy-mf #2
Chapter 7: ouwh ya ampuuun komplit rasanyaaaah, sedih, seneng trakhirnya guling2 deh. ceriate bgs, mantap. makasih....
nagarusa
#3
Chapter 7: Huweeeee sedih, sehun~ah.
Kirain sehun bakal sembuh. Tapi mungkin emg jodoh si yixing tuh yifan so ...
Sumpah ngarep bgt nh cerita bisa nambah chapter.
chamii704 #4
Chapter 7: sehun g bs brthn toh huhuhu sedih ah.. dan yixing kmbali pada jodoh&takdir dy yg sbnr'a..
Clovexo
#5
Chapter 7: aku pikir endingnya bener2 bakal sesedih itu, tpi syukurlah enggak... walopun ada rasa sedih jyga sehunnya meninggal..
Exo_L123 #6
Chapter 7: Ikutan nyesek waktu yixing nolak lamaran yifan, biar gimanapun mereka pacaran udh lama kan. Rasanya pengen nyalahin Sehun, tapi gimana, dia juga hanya seorang anak yang kesepian dan menemukan semangat setelah ketemu Yixing..

Tapi seneng, Xing kembali bareng Yifan akhirnya.. Dan Sehun yang menjadi bintang paling terang yang menerangi mereka :)
Tikakyu #7
Chapter 7: Wah!!! Daebak, kirain Lay akan bersama Sehun, Tapi bukan ya?

Ceritanya gokil, sayang cuma 6 chapter.
kimzy1212 #8
Chapter 7: Ye fanxing bersatu,ngak masalah ngak ada scane hari H pernikahannya,lu dobellin aja di wedding ne semangat la
moon29 #9
Chapter 7: *mewek* *nyusrut ingus*

Baca ini (pas bagian epilognya sih) pake lagu Mayday-nya BoA. Entah kenapa feelnya dapet banget...

Pertama, ijin nyalahin Yixing di sini. Labil sih! Pilih satu woooy, Yifan atau Sehun. Salah situ sendiri buntut-buntutnya sakit hati kan :p

Tapi... Yixing mah perasaannya halus euy, ga kayak saya yang kasar. Meskipun kalo yang saya tangkap dia nggak bener-bener 'suka' sama Sehun, cuma sekedar kasian, atau mungkin simpatik. Dan akhirnya dia berusaha untuk jadi sumber kekuatan Sehun untuk bertahan. Meskipun mungkin di sela-sela semua yang mereka lakuin, bisa aja sih ada rasa lain yang 'nyelip' di sana...

Sehun sendiri juga ngeselin.. Tapi memang bawaan lingkungan sih, dimana dia berasa diperlakukan sebagai sebuah 'objek' ..sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang bersedia jadi tempat dia bersandar. Paling 'menusuk' memang pas bagian dia bilang: "Aku Oh Sehun, pria yang selalu mencintaimu". Ihik dek Sehun be a man banget :')

Yifan, meskipun bagiannya paling dikit, memang tokoh paling ngenes di sini... Tapi akhirnya toh dia mendapat akhir yang bahagia juga :')

Overall, nice story, alurnya enak.. Meskipun promptnya umum dan agak klise, tapi pendeskripsiannya enak. Penempatan karakternya juga pas. Keep going dear
Tikakyu #10
Chapter 6: Ya! Ige mwoya???

Tidak ada yang jadi pasangan disini? Aish....
Kasihan Yixing ditinggal Yifan dan Sehun.