dua

A Piece

ps : tolong lupakan aku pernah bilang kalau ini gaakan jadi chapter panjang, karena seperti biasa.. aku selalu punya masalah dengan pelebaran alur dan menentukan ending *sigh*

pss : bersiap dengan siksa-menyiksa batin wyf disini! syalalalala syubidubidupapa~ *ceritanya bahagia*

 

 


  Sore itu, dunia tampak ke-abu-abuan. Penyebabnya awan mendung yang sejak pagi menggantung di atas sana. Aku tetap berjalan tenang sementara orang-orang disekitarku ribut berlarian menghindari tangisan si awan kelabu. Ya, biarkan saja. Lagipula aku tidak hidup di dalam drama dimana si tokoh utama akan langsung jatuh sakit setelah menangis di tengah guyuran hujan. Meski nyatanya aku memang sedang menangis. Jangan mengejekku, jika tidak pernah merasakan seperti apa rasanya menyerah setelah dua tahun berjuang. Rasanya berjalan mundur saat dituntut untuk terus maju.

  Aku masih ingat rasa optimis dua tahun lalu saat pertama kali tiba di negara ini, Korea Selatan. Mengikuti audisi dan lolos. Berlatih dan menanti hari dimana mereka mengumumkan eksistensiku sebagai seorang selebritis. Tapi dua tahun, dan mereka belum juga melakukan itu. Aku yang pada dasarnya seorang pemberontak, sudah pada titik akhir kesabaranku. Belum lagi seluruh tabunganku habis untuk keperluan biaya pelatihan. Orangtuaku di China sana tak pernah kuhubungi lagi, terakhir aku menelpon mereka saat pertama kali aku tiba. Dan sama sekali tak berniat menghubungi mereka sekarang ataupun beberapa tahun ke depan. Bukan, aku bukan anak durhaka. Karena sejak perceraian waktu itu, keluargaku terlalu dingin untuk disebut keluarga.

  Rintikan hujan perlahan mulai menderas dan orang-orang semakin panik. Mereka yang tidak memiliki perlindungan apapun-payung, jas hujan, bahkan tas kerja yang menggantikan fungsi dua benda itu-memilih berteduh di depan toko-toko yang berjejer di distrik Hongdae ini. Sekali lagi aku tidak peduli dan terus melangkah bersama hujan. Sampai pada satu titik di sudut pertokoan yang sepi, keinginanku untuk berteduh seperti orang-orang tadi muncul. Meski seluruh tubuhku telah kuyup oleh air bahkan jaket denim yang kukenakan terasa berat tidak nyaman. Aku berjalan menuju halaman terdekat sebuah toko yang memiliki terpal kekuningan di atasnya. Melepas jaket denimku yang benar-benar massa-nya sudah bertambah.

"Bukankah dia sangat cantik?"

  Suara lembut itu membuatku menyadari bahwa tidak hanya aku yang sedang berteduh di tempat ini. Tapi juga laki-laki kurus di sebelahku dengan sweater abu-abu kebesaran dan jeans hitamnya. Aku mengerutkan kening, berpikir tentang apa pertanyaan itu di tujukan padaku. Karena ia tidak sedang menatapku. Ia justru menghadap kaca bening besar di belakangku yang menampakan suasana di dalam toko. Aku menyadari satu hal lagi, ini toko alat musik.

"Siapa yang kau maksud 'dia'?" aku tau, aku tidak seharusnya menanggapi orang asing yang aneh ini. Bukankah bisa saja dia seseorang yang sedang kehilangan kewarasan? Dan sesuatu dalam diriku berteriak menyangkal.

  Aku berakhir dengan membalikkan badan, ikut menatap ke dalam toko lalu mulai sibuk menebak sendiri apa kecantikan yang ia maksud. Di dalam sana terlihat beberapa gitar listrik yang di-display menempel tembok, gitar akustik yang kebanyakan berwarna coklat di letakkan di sebuah lemari kaca, sebuah keyboard ukuran sedang, ophone mewah yang juga dalam lemari kaca, oh ada satu wanita dengan pakaian casual sedang mengelap sebuah grand piano yang sudah tampak bersih dengan warna putihnya disudut sana, mungkin wanita itu maksudnya..

"Grand piano disana. Cantik sekali."

  Aku bengong menatapnya, bisa kulihat mata hitam pria itu yang berkilau penuh pujian. Jika wanita di dalam sana mendengar perkataannya, pasti akan tersinggung karena menurut seorang pria ia kalah cantik dengan sebuah Grand Piano.

"Kau bisa memainkannya?"

"Aku sedang belajar."

  Dia masih belum menatapku saat bicara sementara aku sudah menghadap sempurna kearahnya. Ini atmosfer aneh bagiku, saat aku bisa dengan nyaman berkomunikasi dengan orang lain. Karena sosialisasi juga jadi alasan aku menyerah, "Kalau begitu kau akan membelinya?"

  Laki-laki itu menggeleng, rambut hitamnya yang lepek ikut bergerak lucu. "Aku bukan orang kaya."

  Ya, dunia memang tak memiliki tempat lagi untuk kata 'murah'.

"Mungkin kau bisa mulai menabung." ada sesuatu dalam dirinya yang membuatku tak bisa berhenti menatapnya. Lalu aku mulai bertanya, yang aneh itu dirinya atau aku?

"Bisa dicoba." Pada saat ia berbalik menatapku, aku meyakini sesuatu tentang kelainan pada organ jantungku yang tiba-tiba berdetak cepat. Laki-laki itu mulai menarik sudut bibirnya melengkung ke atas. Menghasilkan senyum indah beserta lesung mungil yang muncul di pipi kanannya.

"Kau orang Cina?" katanya lembut, tidak mencoba mengalahkan suara berisik tabrakan air hujan dengan aspal. Jika aku mulai mengira bahwa saat ini diriku tengah jatuh cinta, apa itu berarti aku yang benar-benar aneh?

"Jika bukan, aku tak akan menanggapi ucapanmu sejak tadi."

  Ya, kami dua orang yang sejak tadi mengobrol dengan bahasa mandarin, berteduh di depan toko alat musik di daerah Hongdae, Korea Selatan. Seperti sebuah tali tak kasat mata telah menarik kami saling mendekat meski tak mengenal satu sama lain. Mungkin ini yang disebut takdir.

"Wajahmu seperti bukan orang asia."

"Yah, kau tau, mungkin aku contoh hidup dari kalimat 'faktor genetik' "

"Pantas kau sangat tampan."

  Aku membeku sejenak. Sebelum satu kalimat dengan lancang kuluncurkan, "Kau juga sangat cantik."

  Dia tertawa pelan dan gejala sakit jantungku semakin parah.

"Sebagian laki-laki akan menganggap itu sebuah bentuk penghinaan loh."

"Maaf, bukan maksudku.."

"Zhang Yixing."

  Hujan sudah tidak seribut tadi, suara tetesannya mulai terdengar lembut mengiringinya yang memperkenalkan diri, lengkap dengan gesture mengulurkan telapak tangannya. Sedikit gemetaran aku menggerakan tangan kananku untuk memberikan sebuah jabat tangan hangat. Yixing masih tersenyum memamerkan lesungnya yang seakan mengejek sikap pengecutku karena terlalu lama membiarkan tangan mungil itu menggantung diudara.

"Wu Yifan. Salam kenal, Yixing."

 ***

 

  Denting piano itu masih mengalun lembut, mencipta kedamaian abstrak di dalam ruangan bernuansa putih. Sehun melihat lagi lembar partitur yang ada didepannya dengan jemari yang tetap bergerak menekan tuts demi tuts hitam putih penghasil nada. The Symphony No. 40 karya Mozart adalah yang menjadi pekerjaan rumah pertama dari Yixing. Ia tak pernah memainkan ini sebenarnya, hanya sekedar mendengarkan untuk mendinginkan emosinya yang akhir-akhir ini sering meledak-ledak. Tapi ternyata memainkannya secara langsung bisa menghasilkan ketenangan yang jauh lebih besar.

  Sang guru berdiri disampingnya tampak tak melakukan pergerakan apapun, seakan seluruh indranya difungsikan untuk mendengarkan setiap nada yang dihasilkan jemari Sehun dan tuts piano yang ditekannya. Padahal isi otaknya masih terus memutar pertanyaan Sehun beberapa jam yang lalu.

"Bagaimana jika aku menginginkanmu lebih dari teman?"

  Serta sebuah jawaban bodoh dari dirinya sendiri yang membuat Yixing ingin membenturkan kepalanya ke tembok terdekat, "Tentu."

  Demi Tuhan, saat itu ia tengah memikirkan Yifan, orang yang memiliki dan dimiliki olehnya selama tujuh tahun. Orang yang membuatnya bertahan dengan kesulitan hidup di Korea Selatan hanya untuk sekedar bisa hidup berdua dengannya. Tujuh tahun. Dan Oh Sehun merusaknya hanya dalam satu hari. Jadi siapa yang sialan disini? Zhang Yixing yang terlalu mudah? Atau pesona si bocah sekarat yang terlalu kuat?

"Aaarrgghhhh"

  Dentingan lembut sang piano dalam sedetik terganti dengan pekik kesakitan yang memilukan. Yixing segera tersadar dari lamunannya dan matanya menangkap sosok tinggi Oh Sehun tengah meringkuk dikursi yang sejak tadi ia duduki didepan grand pianonya. Tangan-tangan besarnya menjambaki rambut sewarna karamelnya, wajah yang biasanya pucat kini memerah sempurna menahan rasa sakit yang menyerang isi kepala.

"Se.. sehun?"

  Yixing mengambil langkahnya mendekat dengan terseok, udara disekitar seperti menipis karena panik yang mendominasi dirinya. Terlebih teriakan Oh Sehun semakin terdengar menyakitkan.

"Tolong.. aku.."

  Sehun merasa tubuhnya ditarik kedalam dekapan hangat seseorang. Yixing memeluk kepalanya erat seakan hanya hal itu yang bisa dilakukan saat ini, tangan-tangan Sehun mulai meninggalkan rambut yang sejak tadi dijambaki. Mengalihkan rasa sakit dikepalanya dengan meremas kuat ujung kemeja belakang Yixing. Menenggelamkan kepalanya semakin dalam didekapan hangat sang guru.

"CHANYEOL!"

  Satu nama yang sekiranya bisa sangat membantu di keadaan seperti ini, Yixing meneriakkan nama sang pelayan pribadi keluarga Oh dengan keras. Dalam hati berdoa semoga ruangan besar tempatnya sekarang berada tidak kedap suara.

""CHANYEOL! CHANYEOL!!" Yixing kembali berteriak sekeras yang suaranya bisa, merasakan remasan dibelakang kemejanya semakin kuat bahkan Yixing yakin dibagian itu bisa sobek dengan mudah. Juga hembusan nafas sang murid yang kian memberat tiap detiknya. Membuat Yixing ikut menangis membayangkan seperti apa rasa sakit yang tengah menyiksa kepala Sehun saat ini.

  Satu menit terlewat masih dengan erangan kesakitan Sehun. Juga Yixing yang semakin mengeratkan pelukannya. Sampai pintu ruangan terbuka disertai langkah kaki terburu-buru yang terdengar mendekati mereka. Sosok pria tinggi yang menjadi harapan Yixing satu-satunya saat ini. Chanyeol.

"Dimana obatmu, Sehuna?"

  Suara bariton Chanyeol yang berusaha tenang tetaplah gagal. Berkali-kali menghadapi keadaan sang tuan muda yang seperti ini, justru membuat perasaan takut dan khawatirnya semakin besar.

  Merasa Sehun tak mendengar jelas pertanyaan Chanyeol, Yixing yang posisinya lebih dekat kembali mengulangnya "Sehun, dimana.. obatmu?"

"Aku membuangnya."

  Sehun dan suaranya yang terdengar lebih tipis membuat dua orang disana membeku diam. Tak mengerti jalan pikiran pemuda yang berada satu ruangan dengan mereka. Membuang obat-obat itu sama saja menyerahkan nyawanya lebih cepat pada malaikat maut.

"Dimana kau membuangnya?" ada sebuah geraman tertahan di suara Chanyeol kali ini. Yixing menyadarinya, Sehun pun begitu. Ditengah rasa sakit yang mengaduk isi kepalanya, ia mengutuk penyesalan yang juga ia rasakan. Karena ini keinginannya untuk mati lebih cepat, tidak seharusnya ia menyesal. Tapi seseorang yang tengah memeluknya erat sekarang, mengubah keinginannya dalam satu kedipan mata.

"AKU TANYA DIMANA KAU MEMBUANG SEMUA OBATMU, OH SEHUN?!"

  Chanyeol jelas membentak sang tuan muda. Sungguh ia tidak peduli, hubungannya dan Sehun selama ini sudah seperti adik kakak. Dan tindakan bodoh Sehun sudah membuat emosi sang 'kakak' naik.

  Disatu sisi Yixing memilih tak ikut bicara dan tetap pada posisinya memeluk Sehun. Ia terlalu dikejutkan dengan fakta seberapa putus asanya Sehun pada hidupnya.

"Tempat sampah dikamarku."

"Sialan kau!"

  Dengan umpatan itu, Chanyeol segera berlari meninggalkan ruangan.

  Yixing masih tak bergerak. Bagian depan kemejanya yang mulai terasa basah jadi tanda seseorang yang dipelukannya tengah menangis.

"Aku disini. Tenanglah, Sehun."

  Ya, kalimat itu mengandung fakta tak terbantahkan untuk Sehun. Yixing disini, mendekapnya erat dan penuh kehangatan. Menyusupkan rasa tenang bersamaan dengan setiap udara yang masih bisa ia hirup ditengah kesakitan yang menyiksa. Mungkin kedepannya ia hanya akan butuh Yixing untuk bertahan, jika Tuhan masih berbaik hati memberinya waktu sedikit lebih lama.

.

.

  Jam sepuluh malam tepat saat Yixing memasuki flat sederhana yang disewanya bersama Yifan. Kondisi Sehun sejak sore tadi belum membaik, meski sakit kepala yang menyerangnya sudah berkurang berkat obat yang diminum, tapi setelah itu Sehun masih mimisan dan muntah-muntah. Membuat Yixing merasa harus bertahan disana lebih lama lagi, ya, setidaknya sampai tadi ia menemukan sang murid sudah tertidur dengan raut wajahnya yang tampak tenang dan damai. Yixing sempat bertanya pada Chanyeol tentang kepulangan orangtua Sehun, dan jawaban yang ia dapat sungguh membuat Yixing semakin sesak. Sang Menteri Oh dan istrinya tengah melakukan perjalanan dinas ke Hongkong seminggu ini. Bagus sekali, keluarga macam apa yang dimiliki muridnya itu? Sang anak sedang sekarat dengan kematiannya sementara orangtuanya menyibukkan diri dengan tugas negara. Sekarang Yixing mengerti mengapa Sehun ingin segera hidupnya berakhir saja.

"Kau pulang larut, Xing?"

  Gerakan Yixing membuka mantelnya terhenti, suara berat itu seakan membekukan. Yixing baru sadar untuk beberapa detik ia lupa seseorang lain juga pasti ada di flat ini.

"Y..ya, Sehun meminta pelajaran tambahan tadi."

Melihat Yixing yang tampak gugup serta satu nama yang disebut membuat sesuatu dalam diri Yifan berdetak menyakitkan. Ia yang berlebihan, atau memang nama Sehun itu mulai terasa mengganggu.

"Lalu kenapa tidak bisa kuhubungi?"

  Yixing tampak berpikir lalu buru-buru merogoh saku celana, mengeluarkan ponselnya dari sana yang benar saja dalam keadaan mati.

"Ponselku mati, aku lupa mengisi baterainya. Maaf."

  Udara kembali Yifan hirup banyak. Laki-laki tinggi itu mati-matian menenangkan diri agar keadaan tidak jadi bertambah buruk karena bertengkar dengan Yixing adalah hal yang paling ingin dia hindari. Sementara pihak satunya hanya bisa menunduk dengan rasa bersalah. Semua hal yang telah terjadi antara dirinya dengan Sehun membuatnya merasa jadi seorang pengkhianat. Demi Tuhan, tak seharusnya Yixing merasakan 'sesuatu' pada pemuda dua puluh tahun itu kan? Saat Yifan nyaris memiliki dirinya secara utuh.

"Aku sudah membuat nasi goreng, makanlah dulu."

  Yixing mengangkat kepalanya. Menyadari fakta bahwa malam ini ia tak ingin melihat Yifan lebih lama, atau ia akan benar-benar runtuh dengan airmata rasa bersalahnya.

"Aku sudah makan malam tadi. Maaf, Yifan, kurasa aku akan langsung tidur saja. Hari ini melelahkan sekali."  Saat Yixing bergerak maju dan sedikit berjinjit untuk mengecup cepat bibirnya, Yifan tak berniat mengucap apapun lagi. Terlalu sibuk menyingkirkan pikiran tentang Yixing yang tampak menghindarinya, "Aku mencintaimu."

  Yifan menunjukkan senyum kecilnya dengan paksa, "Aku juga mencintaimu."

  Seiring dengan langkah Yixing yang semakin menjauhi ruang tengah, remasan Yifan pada kotak cincin yang sejak tadi digenggaman tangan kanannya juga semakin kuat.

 .

 .

  Seminggu. Dan semua tampak berjalan seperti biasa.

  Yifan masih mengambil semua tawaran lembur yang Joonmyeon berikan, bahkan ia akan memaksa untuk tetap lembur jika manager-nya itu berkata ia bisa pulang cepat. Karena Yixing juga tak akan ada di rumah meski Yifan pulang cepat sekalipun.

  Lalu Yixing dan Oh Sehun..

"Maaf, tapi hari ini adalah jadwal kemoterapi-mu, Sehun."

  Itu Chanyeol dan suara beratnya yang khas dengan kejam melenyapkan suasana suka cita di hati Sehun yang tengah menyambut guru pianonya di depan pintu. Yixing hanya menatap Sehun dan Chanyeol bergantian. Perlahan-lahan mengerti akan situasi dimana ia berada sekarang. Sehun dengan tatapan jangan-dengarkan-omong-kosong-chanyeol serta Chanyeol yang menatapnya bantu-aku-tangani-si-tuan-muda-ini-please. Dan percayalah ini situasi yang sangat menyebalkan.

"Hari ini aku ada kelas piano."

"Kelas piano-mu memang setiap hari. Tapi kemoterapi sudah terjadwal."

"Tapi kelas pianoku tidak bisa dibatalkan begitu saja!"

  Sepertinya 'pembangkang' sudah menjadi sifat dasar seluruh 'tuan muda' di dunia ini. Dan Yixing menduga bahwa Park Chanyeol memang disiapkan untuk itu. Dia masih belum ada tanda-tanda akan menyerah.

"Ini kemo pertamamu, kau selalu menolak kemarin dengan alasan menunggu orangtuamu pulang. Sekarang mereka sudah pulang dan bahkan langsung menunggu di rumah sakit. Apa lagi maumu, Oh Sehun?"

"Aku hanya mau mengikuti kelas pianoku hari ini, Chanyeol! Titik!"

  Yixing memijat kecil keningnya yang berdenyut. Masalah tak akan pernah selesai jika ia memilih untuk terus diam berada di tengah perdebatan dua manusia tinggi ini.

"Tak ada kelas hari ini, Sehun. Kita ke rumah sakit sekarang."

  Dua orang disana menoleh kearah Yixing dengan ekspresi wajah yang kontras. Chanyeol dengan seringai kemenangannya dan si tuan muda Oh yang menatap tajam dengan mata sipitnya yang memicing.

  Yixing mengabaikannya, memilih menoleh kearah Chanyeol "Dia akan pergi, Chanyeol, aku sendiri yang akan menyeretnya jika dia masih membantah."

"Baiklah. Saya akan menyiapkan mobil."

  Setelah membungkuk sembilan puluh derajat, Chanyeol melangkah keluar ruangan. Diiringi dengan tatapan mematikan Sehun yang masih tidak terima kekalahan dalam perdebatan tadi.

"Berhenti menatap orang seolah kau ingin membunuhnya, Sehun."

"Aku memang ingin sekali membunuhnya."

"Kalau begitu hiduplah lebih lama untuk mewujudkannya."

  Sehun menoleh cepat kearah sang guru yang sekarang juga tengah tersenyum menyebalkan. Meski dalam hati Sehun tetap mengakui kadar manis dalam senyuman itu, "Kau sedang menyemangatiku untuk hidup atau mendukungku agar menjadi pembunuh?"

  Yixing mengedikkan bahunya, menunjukkan bahwa ia sungguh tak peduli dengan pertanyaan yang diajukan. Apapun itu asal Sehun memiliki sedikit lagi keinginan untuk terus bertahan. Meski Yixing hanya tidak tahu, muridnya itu diam-diam sudah menemukan satu alasan kuat untuk tetap hidup lebih lama.

"Dengan satu syarat."

  Tubuh tinggi Sehun mendekat maju, memaksa Yixing mengangkat kepalanya agar bisa tetap berada satu pandangan mata. Walaupun usia Sehun jauh lebih muda, tapi Yixing merasa anak ini memiliki aura mengintimidasi yang kuat. Sama seperti Yifan.

"A..apa?"

  Lalu Sehun yang menunduk untuk mengeliminasi jarak wajahnya dan Yixing, juga memperburuk keadaan. Sesuatu bernama jantung di dalam tubuh Yixing bereaksi dengan detakan cepatnya.

"Berkencanlah denganku hari ini, saengnim."

.

.

  Setelah mengenal Oh Sehun satu minggu ini, Yixing merasa hidupnya semakin banyak diberi pilihan. Ia terlalu sering berada dalam situasi untuk memilih dua pilihan yang porsinya sama penting. Dibuat mual oleh rasa bimbang yang seolah mencekik lehernya.

  Sekarang Yixing tengah berada di ruang tunggu rumah sakit elit di daerah Seoul, di sampingnya ada Chanyeol yang auranya tampak gelisah mungkin terlalu khawatir akan kondisi sang tuan muda Oh di dalam ruang terapi sana. Lalu di deretan kursi depan mereka ada Menteri Oh dan istrinya yang tampak saling merangkul memberi kekuatan. Dari yang Yixing lihat, setidaknya perasaan kedua orangtua Sehun masih berfungsi dengan baik, meski dalam hati Yixing tetap mempertanyakan dengan sinis tentang kenapa mereka memilih pergi disaat sang anak membutuhkan dukungan penuh.

  Yixing merogoh ponselnya disaku celana, membuka fitur pesan disana. Membaca sekali lagi sebuah pesan yang sudah ia terima hampir sejam yang lalu tapi belum sempat diberi balasan. Atau tepatnya, Yixing belum tahu jawaban apa yang harus ia kirimkan sebagai balasan.

-Aku akan pulang cepat. Bisakah kita bertemu sore ini? Ada yang ingin sekali kutunjukan padamu. Jika kau setuju, aku akan menjemputmu nanti, sayang. Sampai jumpa~ -

  Yifan. Satu nama itu selalu berhasil membuat Yixing menghela nafas berat di tengah sesaknya rasa bersalah yang mendera. Yixing menggenggam erat ponselnya sambil terus berpikir. Jika saja saat ini ia masih seorang guru piano biasa di sekolah musiknya dulu, ia akan dengan mudah memberi jawaban 'ya' disertai senyum lebar. Tapi sekali lagi, mengenal Oh Sehun membuat Yixing terus-terusan berada dalam situasi harus memilih. Menepati janjinya dengan Oh Sehun atau setuju untuk bertemu dengan kekasihnya sendiri.

"Yixing?"

  Perhatian Yixing pada ponselnya teralih berkat suara bariton Chanyeol yang menyebut namanya. Ia menoleh dan menemukan sosok tinggi itu sudah berdiri dari duduknya, ada sedikit rasa lega dari caranya menatap.

"Proses terapinya sudah selesai. Kau tidak mau melihatnya?"

  Lagi-lagi Yixing baru menyadari, ketidakberadaan orangtua Sehun di depannya. Mungkin mereka sudah lebih dulu masuk ke ruang rawat. Yixing mengecek angka di jam tangannya yang sudah menunjukan pukul empat sore. Harusnya sekarang ia sudah pamit pulang jika setuju bertemu Yifan sore ini.

"Yixing?"

"Kau duluan saja, Chanyeol. Aku akan menyusul nanti."

  Chanyeol mengangguk mengerti, ia membungkuk hormat sebelum memutar badannya dan melangkah memasuki ruangan lainnya. Meninggalkan Yixing dan isi otaknya yang penuh. Menghela nafas, lalu jemarinya mulai mengetik balasan pesan di ponselnya.

.

.

Drrrtt drrrttt

  Getaran ponsel di genggamannya, menghentikan langkah Yifan menuju loker untuk mengganti seragam dengan pakaian biasa. Jam kerjanya telah selesai dan ia menolak tawaran lembur dari Joonmyeon. Karena berpikir tak seharusnya ia menunda lebih lama lagi untuk bicara serius dengan Yixing tentang hubungan mereka kedepannya. Benda bernama cincin terlalu indah untuk hanya sekedar berada di dalam sebuah kotak. Jari manis Zhang Yixing sudah menunggu lama untuk itu. Yifan tersenyum sendiri dengan pikirannya. Terburu-buru ia membuka isi pesan yang sudah diyakini dari sang kekasih.

-Yifan, maaf, aku tidak akan pulang sore hari ini. Kita bicara saat makan malam saja bagaimana? Aku sampai di flat pukul tujuh nanti. Kubawakan jajangmyeon kesukaanmu. Jangan mulai makan malam tanpaku, oke? –

   Susah payah Yifan berusaha untuk tidak kecewa. Mensugesti diri soal isi balasan pesan Yixing yang tidak terlalu buruk. Kekasihnya itu bersedia bertemu dan bicara berdua dengannya, hanya masalah waktu yang diundur. Yifan juga berusaha untuk kembali tersenyum, mengembalikan mood-nya pada keadaan terbaik. Karena malam ini ia haruslah dalam rasa bahagia. Satu minggu ini, pekerjaan yang melelahkan membuat mereka hanya saling menyapa atau memberi kecupan singkat. Yifan benar-benar merindukan dekapan hangat Yixing, celoteh penuh perhatiannya, french kiss mereka yang panas, dan kegiatan seks mereka di ranjang. Oh, Yifan sudah membayangkan untuk melakukan semua itu malam ini.

-Tentu. Aku tunggu. Jangan terlambat, sayang. Aku mencintaimu.-

  Selesai mengetik pesan dan mengirimnya pada Yixing sebagai jawaban, Yifan memasukan ponselnya ke dalam saku celana jeans hitamnya. Kembali berjalan ke loker yang letaknya paling sudut. Meneruskan niat untuk mengganti seragamnya.

.

  Sore ini cukup cerah meski ada sedikit mendung yang menggantung. Yifan melihat sosok mungil sahabatnya tengah berdiri di dekat pintu masuk restoran.

"Kau belum pulang, Lu?"

  Seseorang yang merasa diajukan pertanyaan menoleh. Tersenyum saat menemukan laki-laki tinggi dengan coat coklat panjang yang membalut tubuh serta ransel hitam yang bertengger di punggungnya, sudah berdiri disampingnya. Luhan berdecak, karena ia sempat mengagumi sosok Yifan dengan pakaian casual seperti ini tampak seperti seorang model kelas atas. Dengan tubuh tinggi dan wajah blasteran-nya.

"Aku menunggu Jongin. Dia bilang akan menjemputku hari ini." dari suaranya Luhan memang kentara sekali sedang bahagia. Yifan berpikir apa semembahagiakan itu dijemput kekasih? Apa Yixing juga seperti ini saat ia menjemputnya?

"Baiklah. Karena aku sedang bahagia, aku bersedia menemanimu sampai Jongin datang."

  Ia ikut menatap Luhan yang sedikit mendongakan kepalanya dengan dahi yang berkerut bingung. Ck salah siapa bertubuh kecil.

"Kau bilang ada janji dengan Yixing sore ini?"

  Satu nama yang disebut berhasil memunculkan senyum kecil Yifan. Meski rasa kecewa itu tetap ada dalam nada suaranya, "Ia tidak bisa pulang sore. Jadi kami berencana hanya makan malam berdua saja di flat nanti."

"Pastikan kau memberikannya benda itu kali ini, Yifan! Atau semua akan terlambat dan kau akan sangat menyesal."

  Ucapan Luhan seolah memberi tamparan yang tepat sasaran. Kata terlambat dan menyesal disana yang terus membayangi Yifan seminggu ini. Sikap Yixing yang berubah, dinginnya hubungan mereka, serta nama Sehun yang selalu disebut Yixing benar-benar memunculkan ketakutan terbesar dalam dirinya. Apa kata terlambat itu sudah berlaku untuknya?

"Yifan? Kau mendengarku tidak?!"

  Bentakan Luhan membuat Yifan tersadar dari lamunannya, ia kembali menoleh dan sedikit berjengit karena sekarang di sampingnya bukan hanya ada Luhan melainkan bertambah untuk satu sosok laki-laki berkulit gelap-yang selalu Luhan sebut seksi- tengah merangkul posesif pinggang kecil sahabatnya. Yifan mendengus malas.

"Sejak kapan kau ada disini, Kim Jongin?"

  Ya. Laki-laki di sisi Luhan yang lain adalah Kim Jongin. Kekasih Luhan yang berbeda usia empat tahun. Kekanakkan, manja, posesif, tapi memiliki satu keunggulan yang membuat Yifan kalah telak. Jongin sudah melamar Luhan.

"Sejak hyung melamun sedih."

  Apa dihadapan sepasang kekasih ini Yifan benar-benar terlihat menyedihkan dengan pikiran-pikiran negatifnya?

"Ayo pergi, Jongin. Biarkan si tuan penunda ini memikirkan masalahnya sendiri."

  Luhan mengambil alih suasana yang mulai canggung, ia menarik lengan Jongin dan membawa pemuda itu berjalan meninggalkan area restoran. "Kami duluan, Yifan. Pikirkan kata-kataku tadi!"

"Semangat, hyung! Jangan sampai aku menikahi Luhan terlebih dahulu! Bye~"

  Yifan kembali tersenyum kali ini, melihat Jongin yang sudah lumayan jauh di depannya mendapat pukulan bertenaga dari Luhan di kepala.

  Bocah itu, Yifan tak akan membiarkannya mendahuluinya. Ia akan bekerja lebih keras setelah ini. Hingga ia merasa pantas meminta Yixing menjadi pendamping hidupnya.

.

.

....

 


 

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
famiexol #1
Chapter 7: Ahh kenapa bias.ku meninggal....
Bdw ini ff bagus banget..
Makasih udah sukses buat aku nangis.. :D
zhendy-mf #2
Chapter 7: ouwh ya ampuuun komplit rasanyaaaah, sedih, seneng trakhirnya guling2 deh. ceriate bgs, mantap. makasih....
nagarusa
#3
Chapter 7: Huweeeee sedih, sehun~ah.
Kirain sehun bakal sembuh. Tapi mungkin emg jodoh si yixing tuh yifan so ...
Sumpah ngarep bgt nh cerita bisa nambah chapter.
chamii704 #4
Chapter 7: sehun g bs brthn toh huhuhu sedih ah.. dan yixing kmbali pada jodoh&takdir dy yg sbnr'a..
Clovexo
#5
Chapter 7: aku pikir endingnya bener2 bakal sesedih itu, tpi syukurlah enggak... walopun ada rasa sedih jyga sehunnya meninggal..
Exo_L123 #6
Chapter 7: Ikutan nyesek waktu yixing nolak lamaran yifan, biar gimanapun mereka pacaran udh lama kan. Rasanya pengen nyalahin Sehun, tapi gimana, dia juga hanya seorang anak yang kesepian dan menemukan semangat setelah ketemu Yixing..

Tapi seneng, Xing kembali bareng Yifan akhirnya.. Dan Sehun yang menjadi bintang paling terang yang menerangi mereka :)
Tikakyu #7
Chapter 7: Wah!!! Daebak, kirain Lay akan bersama Sehun, Tapi bukan ya?

Ceritanya gokil, sayang cuma 6 chapter.
kimzy1212 #8
Chapter 7: Ye fanxing bersatu,ngak masalah ngak ada scane hari H pernikahannya,lu dobellin aja di wedding ne semangat la
moon29 #9
Chapter 7: *mewek* *nyusrut ingus*

Baca ini (pas bagian epilognya sih) pake lagu Mayday-nya BoA. Entah kenapa feelnya dapet banget...

Pertama, ijin nyalahin Yixing di sini. Labil sih! Pilih satu woooy, Yifan atau Sehun. Salah situ sendiri buntut-buntutnya sakit hati kan :p

Tapi... Yixing mah perasaannya halus euy, ga kayak saya yang kasar. Meskipun kalo yang saya tangkap dia nggak bener-bener 'suka' sama Sehun, cuma sekedar kasian, atau mungkin simpatik. Dan akhirnya dia berusaha untuk jadi sumber kekuatan Sehun untuk bertahan. Meskipun mungkin di sela-sela semua yang mereka lakuin, bisa aja sih ada rasa lain yang 'nyelip' di sana...

Sehun sendiri juga ngeselin.. Tapi memang bawaan lingkungan sih, dimana dia berasa diperlakukan sebagai sebuah 'objek' ..sampai akhirnya dia menemukan seseorang yang bersedia jadi tempat dia bersandar. Paling 'menusuk' memang pas bagian dia bilang: "Aku Oh Sehun, pria yang selalu mencintaimu". Ihik dek Sehun be a man banget :')

Yifan, meskipun bagiannya paling dikit, memang tokoh paling ngenes di sini... Tapi akhirnya toh dia mendapat akhir yang bahagia juga :')

Overall, nice story, alurnya enak.. Meskipun promptnya umum dan agak klise, tapi pendeskripsiannya enak. Penempatan karakternya juga pas. Keep going dear
Tikakyu #10
Chapter 6: Ya! Ige mwoya???

Tidak ada yang jadi pasangan disini? Aish....
Kasihan Yixing ditinggal Yifan dan Sehun.