Last Game, New Life

Coffee and Writer
Xiumin tetap menjalani pekerjaannya dan pergi sekolah seperti biasa. Dia tetap bersikap biasa dan menganggap tidak ada yang terjadi. Hubungannya dengan Sehun memang sedang memburuk, tapi Xiumin tidak menghiraukannya lagi. Anehnya setiap bertatap mata dengan Sehun nyeri di pipinya muncul, bahkan lebih sakit daripada saat ia baru mendapatkannya. Pipinya membengkak dan sedikit membiru di keduanya. Para pelanggan yang mengenalnya berpura-pura tidak tahu tentang kejadian ini dan memutuskan untuk tidak memperhatikan pipi Xiumin. Hari ini Xiumin agak telat ke cafe karena ada pelajaran tambahan di sekolah. Saat ia memasuki cafe, hal pertama yang ia cari adalah sosok Luhan di meja favoritnya dengan laptop dan gelas kopinya. Sama seperti hari lainnya. Sosok itu tidak ada. Yang ia dengar katanya Luhan 'pindah' ke cafe lain. Sebagian orang menganggap Luhan pengecut, dan sebagian lainnya tidak mau tahu tentang ini. Luhan benar-benar menuruti apa permintaannya. Tentu saja ia kecewa namun itu cara terbaik untuk menghindari pertengkaran lainnya. "Tumben kau datang terlambat." Chen menyambutnya saat Xiumin masuk ke dalam bar cafe. "Ada pelajaran tambahan." Xiumin menjawab sambil memakai apronnya. "Oh ya, tampaknya masa cuti kuliahku akan berakhir. Aku tidak bisa bekerja seharian seperti sekarang. Tidak apa-apa?" Wajah Chen sangat menyesal dan merasa berat untuk mengatakannya. "Tidak apa-apa. Lagipula masih banyak staf yang bisa menggantikanmu. Kau bisa mengambil shift malam. Kumaklumi kalau kau tidak masuk kerja karena aku tahu kuliah sangat menyibukkan diri. Aku tidak akan memotong gajimu. Terima kasih atas kerja kerasmu, Chen." Xiumin pun tersenyum. "Gomawo." Ponsel di saku celana Xiumin bergetar. Ia mengambilnya, mendapati ada pesan baru berasal dari Luhan. Ada apa dia mengiriminya pesan? Bagaimana kabarmu? Semenjak hari itu aku tidak pernah melihatmu lagi. Sesuai keinginanmu kau ingin aku pergi. Jadi, aku memutuskan untuk pindah cafe untuk menghindari dirimu. Sebentar lagi peluncuran novel baruku. Sekaligus menjadi novel terakhirku di Korea. Aku akan kembali berkarya di Cina. Rencananya aku tidak akan kembali lagi. Tolong jangan ganti nomormu. Sewaktu-waktu aku akan menghubungi, ya kalau kau masih ingin tahu keadaanku. Aku akan pergi sore ini jam lima di bandara Incheon. Sekarang aku sedang menunggu penerbanganku. Sebenarnya banyak sekali yang harus aku katakan padamu, tapi aku tidak mau membuat masalah lagi denganmu. Setelah aku tahu aku pembuat kehidupanmu berantakan, aku jadi sadar kalau aku memang keterlaluan. Aku sudah putus dengan Sehun. Demi karierku di Cina aku harus melepaskan semuanya. Terima kasih untuk semua waktu yang telah kau luangkan untukku. Aku akan selalu mengingatmu dan pastinya merindukanmu. Aku masih menyukaimu, sampai sekarang tidak pernah menghilang. Terima kasih, Xiumin. Jaga dirimu baik-baik. Aku menyayangimu..... Pesan panjang itu berakhir bersamaan dengan hati Xiumin yang sesak. Luhan benar-benar pergi. Apa yang harus ia lakukan? "Kau kenapa?" tanya Chen. "Chen, apa yang harus aku berikan kepada orang yang akan pergi?" "Hmm... Sesuatu yang berguna?" "Ish, tidak ada waktu untuk membelinya," Xiumin mengumpat kesal. "Untuk siapa? Luhan? Dia mau pergi kemana?" "Cina. Katanya dia mau berkarier disana." Lalu Xiumin melengang pergi ke kasir. "Mau pesan apa?" "Kau harus kesana." Chen menaruh tangannya di atas konter, menumpu badannya. "Aku sibuk. Kau tidak lihat?" Xiumin malah bersikap acuh, padahal sebenarnya dia ingin kesana menghampiri Luhan dan berkata selamat tinggal untuk terakhir kali. Chen langsung merebut baki ditangan Xiumin. Chen mengambil pesanan diatas baki, memaksa Xiumin untuk memegangnya. Pesanan itu sama persis dengan apa yang selalu dipesan Luhan. Kebingungan menyeliputi kepala Xiumin. "Bawa mereka ke Luhan dan sampaikan isi hatimu, ucapkan selamat tinggal yang sesungguhnua tepat di depannya. Bukan di hatimu. Aku tahu kau mau kesana tapi egomu terlalu tinggi." Chen berkacak pinggang sebelum melanjutkan omongannya. "Aku tahu kau simpatik padanya. Kau tidak ada membiarkannya pergi begitu saja, kan?" Xiumin terlihat ragu. Benar apa yang dikatakan Chen. Dia memang ingin kesana. Tapi, di pikirannya mengatakan kalau kesana sama saja dengan memberi Luhan harapan lainnya. Apa dia benar-benar harus kesana? Pikirannya buyar ketika Chen menepuk pundaknya. "Pergilah. Tinggal dua jam lagi keberangkatannya. Ppali. Katakan apa yang ingin kau katakan padanya." Chen tersenyum lembut, berusaha meyakinkan Xiumin. Chen cepat-cepat menarik bahu Xiumin dan membalikannya. Seperti sebuah isyarat untuk dirinya agar segera pergi. Xiumin mengangguk kemudian membuka apronnya setelah menaruh makanannya. Xiumin menoleh ke arah Chen lalu mengedipkan sebelah matanya, Chen pun mengangguk. Dia tahu Xiumin baru saja memberinya ucapan terima kasih lewat kedipan mata. Hal yang selalu pria itu lakukan, dibandingkan harus mengucapkan langsung. Tatapan mata saja sudah cukup. Xiumin seakan tidak kenal rambu lalu lintas lagi. Jalannya hanya menyalip mobil lainnya. Rasa takut yang biasa ia dapatkan bila di jalan raya, sekarang menghilang begitu saja. ini akibat terlalu mengkhawatirkan Luhan. Dia takut tidak bisa bertemu Luhan untuk terakhir kalinya. Xiumin langsung memarkir mobilnya. Larinya menjadi semakin cepat seiring rasa takutnya yang makin membesar. Langkahnya berhenti di tengah-tengah bandara sambil mencari keberadaan Luhan. Ada rasa cemas ia tidak bisa bertemu dengannya lagi. Matanya menangkap sosok tegap berjaket hitam yang sedang duduk di salah satu kursi di barisan paling depan, duduk membelakangi Xiumin. Dia langsung menghampiri pria itu dan berhenti tepat di depannya. Luhan sangat terkejut, terlihat dari matanya yang membesar. "Kau..." gumam Luhan menahan suaranya, sebenarnya dia ingin teriak tapi dia tahan. Kelihatannya dia sangat gembira melihat Xiumin sekarang berdiri di depannya. Dengan napas satu-satu, Xiumin menyerahkan kantung plastik coklat, khas milik cafenya yang berisi satu gelas Espresso panas dan Waffle dengan saus stroberi. Luhan tampak bingung tapi dia menerimanya juga. Luhan membuka plastiknya, tersenyum lebar mendapati makanan kesukaannya di dalam sana. "Woah, ternyata kau memperhatikanku juga. Kau sampai ingat apa kesukaanku." Luhan mencibirnya dengan senyuman jahil yang sangat mengganggu bagi Xiumin. "Jangan kepedean! Aku hampir mengingat semua pesanan pelangganku. Kau bukanlah orang pertama yang aku ingat. Cih," bantah Xiumin. Walaupun dicekal, tetap saja Luhan tahu Xiumin berbohong. Dilihat dari cara ia bicara tadi yang memalingkan wajahnya ke kiri. Luhan terkikik pelan. "Gomawo," ucap Luhan dengan senyum tulusnya. "Apa?" Xiumin berpura-pura tidak rahu apa yang sedang dibicarakan Luhan sekarang. Dia terlalu sibuk menentramkan jantungnya yang terlalu cepat berdetak. Melihat Luhan sekarang, untuk terakhir kalinya memang menyakitkan untuknya, ditambah lagi tadi dia habis berlari. Jantungnya tidak akan selamat kalau dia memaksa untuk melihat Luhan. 'Sekarang apa? Harus bagaimana? Kenapa dia diam?' Banyak pertanyaan bodoh di kepalanya. Entah dia tidak tahu harus apa dengan keheningan ini, sampai Luhan menarik belakang punggungnya dan melingkarkan kedua tangannya di bahu Xiumin. Waktu seakan berhenti dan jantung Xiumin berdetak lebih cepat, membuat dadanya sedikit sakit. Sementara itu Luhan mengeratkan tangannya, menaruh dagunya di bahu Xiumin. "Ya. Ada yang melihat kita."Xiumin jadi salah tingkah saat melihat orang-orang yang lewat memperhatikan mereka. Entah pandangan apa itu yang penting Xiumin malu pada dirinya sekarang. Luhan harus melepaskan pelukan ini sebelum orang mengira yang tidak-tidak. Sekali meronta, Luhan malah mengeratkan dekapannya. "Mereka akan mengira kita sudah lama tak bertemu. Tak apa. Takkan ada skandal nanti." Luhan tertawa. "Tidak lucu!" Xiumin menggeram. "Aku mau seperti ini sampai pemberitahuan berikutnya." Luhan setengah berbisik di telinga Xiumin. Benar. Lebih baik begini di saat-saat terakhir dengan Luhan. Entah kapan lagi Xiumin bisa bertemu dengan pria Cina ini. Baru saja Xiumin akan melingkarkan tangannya di pinggang Luhan pemberitahuan keberangkatan sudah bergema nyaring. Tangan Xiumin meluruh
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!
BaoziNam
Ada yang bisa kasih saran pairing exo untuk fic aku selanjutnya?

Comments

You must be logged in to comment
D_Ominor
#1
Chapter 8: Kok fanfic x pendek.??
Tor Nam,,, ku tunggu fanfic slanjutnya...
:D
icecandle #2
Chapter 8: waah keren.. Hehehe
Ini end nih? Yakin..
Lanjutin dong.. Hehehe :D
jennifer_yuki #3
Chapter 8: Btw, karma tuh fungsi salah satunya spya bisa upvote story. :)
jennifer_yuki #4
Chapter 8: Lhah, authornim kok udah complete??
The cliffhanger is still there~
Please update soon. (´・ω・`)