[Hyeri’s POV]

“…gadis itu bersandar pada tembok dan mereka berciuman—tidak, tapi making-out. Hell, aku tidak tahu bagaimana gadis itu bisa masuk ke gym, aku bahkan tidak mengenalnya, tidak akan!”

“Aecha-ya…”

“Aku hanya pergi lima hari dan ia membiarkan gadis lain menggerayanginya? Tidakkah itu benar-benar lucu? Ah, aku pening! Dan kenapa semua terjadi ketika ku pikir ia dan aku akan berbagi hidup hingga salah satu dari kami mati! Ini menyebalkan.”

Aecha memutar sebal bola matanya. Ya, ia sedang berapi-api.
Secara kebetulan kami bertemu ketika tengah mengantri untuk memesan kopi, dan kami berakhir di sini—duduk di salah satu bangku coffee shop lalu mengobrol. Aku benar-benar terkejut mendengar ceritanya. Bahkan sesuatu yang tampak tenang dan baik-baik saja tak terhindar dari bencana yang disebut orang ketiga.

“Minho benar-benar bodoh.” aku menghela nafas beratku. Ini memprihatinkan. Semoga Jinki masih waras. Hah~ “Lalu? Sekarang kalian…”

“Aku bilang kami putus lalu aku memblokir nomornya.” jawab Aecha seraya menyeruput kopinya.

“Apa kau gila?!”

“If he is mine, he is mine. I don’t like sharing.” ucap Aecha. Kalimat familiar, eh.

“Kau tidak sedih? Gadis normal akan menangis hingga bola matanya meledak jika menceritakan hal seperti ini.”

“Tentu saja aku sangat sedih, rasanya aku hampir mati. Aku menangis dua hari tapi ku pikir menangis tak banyak membantu. Apa gunanya menangis jika aku tidak bangkit dan menginstropeksi diriku akan kekurangan yang membuat pacarku berselingkuh.”

“Gadis yang patah hati sangat menakutkan.” aku tertawa, menghabiskan gigitan terakhir donatku lalu kembali mengecek ponselku, masih 15 menit sebelum Jinki selesai mengajar.

Aecha lalu menanyakan kabar Jinki, bagaimana hubungan kami dan aku mengatakan bahwa semua baik-baik saja. Kemudian aku teringat tentang Park Yerim. Aecha mengangkat alisnya mendengar nama itu, ia tersenyum sarkastik