Pertemuan Pertama

Kabinet Pom Bensin

“Widih, rajin deh pasangan yang suka bikin heboh satu jurusan.”

Hitomi dan Chaewon mendongak. Keduanya tampak sibuk menertawakan sesuatu dalam ponsel Hitomi sebelum Chaeyeon datang. Ia melepas sepatu, menyimpannya dengan rapi di rak sebelum mendorong pintu koboi yang dicat cokelat, memasuki petak yang mereka sebut sebagai sekretariat himpunan. Karpet sudah digelar—tak ada kotoran yang menempel. Sepertinya Hitomi sudah bersih-bersih tadi.

“Anak ini kalau nggak datang paling awal kayaknya meriang,” Chaewon melirik gadis di sebelahnya sambil mendengkus geli. Chaeyeon terkekeh saat Hitomi cuma memutar bola matanya malas, lantas bergeser ke sebelah kiri, memberi jarak antara dirinya dan Chaewon.

“Kak Chaeyeon sendiri? Nggak sama Kak Yena atau Kak Hyewon?”

Chaeyeon menoleh, lantas meluruskan kakinya yang terasa pegal, punggung bersandar pada tembok. Mestinya ia tidak berlatih tari sepagi ini, “Yena ke kosan Hyewon, biasa lah, pintu kosannya macet lagi.”

“Si langganan banget tuh pintu kos macet,” Chaewon terkekeh, “Udah makan Chaen? Kalau belum, aku mau ke minimarket nih.”

Kedua alis Chaeyeon terangkat, “Ngapain? Nyampe sini jam berapa sih kalian? Ini,” ia mengalihkan pandangannya sejenak pada arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, “Ini masih tiga puluh menit lagi nih sebelum jadwal kumpulan.”

“Tiga puluh menit lalu,” ujar Chaewon. Gadis itu menoleh ke arah Hitomi, “Sayang, dompet aku dong. Tadi kayaknya aku titip di kamu?” saat Hitomi akhirnya mengangsurkan dompet miliknya, Chaewon kembali menoleh ke arah Chaeyeon yang diam-diam meringis mendengar panggilan sayang meluncur dengan mudah dari bibir gadis itu, “Tadi pagi aku nganter Kakak ke stasiun, terus ya kalau pulang dulu nanggung ‘kan. Mending aku ke kosan Hitomi sambil nunggu waktu kumpulan. Eh anaknya malah ngajak berangkat langsung.”

“Kamu kalau udah di kosan suka mager,” gerutu Hitomi, “Udah gih sana, hus! Beli cemilan yang banyak, kita bersepuluh omong-omong,” tangannya mengibas, meminta kekasihnya itu segera pergi. Setelah satu dua ledekan kecil, akhirnya Chaewon menghilang di balik tikungan, bergegas keluar menuju minimarket di dekat kampus mereka. Setelah memastikan gadis itu hilang dari pandangan dan suara mereka tak ada dalam jangkauan pendengarannya, Chaeyeon menoleh ke arah Hitomi.

“Hii?”

“Ya Kak?” Hitomi tampak menarik totebag, menarik keluar laptop miliknya, “Ada apa?”

Chaeyeon menarik napas. Gue harus bilang ini sih mau nggak mau, “Gue tahu, mungkin apa yang bakal gue omongin nih sesuatu yang kurang menyenangkan. Tapi sebagai ketua himpunan, gue harus ngomongin ini sama lo.”

Sejenak, Chaeyeon bisa melihat kerutan muncul di dahi Hitomi. Namun, beberapa saat kemudian, gadis itu tersenyum kecil, “Oh… Soal aku sama Chaewon ya Kak?”

Chaeyeon mengangguk, “Maaf ya. Gue tahu hubungan lo sama Chaewon nih sebenernya bukan cuma hubungan lucu-lucuan kayak temen-temen kita yang lain. Gue nggak masalah. ‘Kan lo juga udah tahu itu,” ada jeda sebelum Chaeyeon melanjutkan, “Tapi kalau boleh, gue mau minta tolong satu hal lagi. Jangan pacaran di sekre. Nggak enak sama yang lain.”

Chaeyeon sudah berusaha sehati-hati mungkin dalam menyampaikan teguran halusnya. Namun, di luar dugaan, Hitomi tak nampak tersinggung sama sekali. Alih-alih, gadis itu malah tertawa kecil.

“Janji Kak,” gadis itu berkata sambil mengangguk kecil, “Aku sama Chaewon sadar diri kok. Kami tadi sebenernya udah bahas ini. Kak Chaeyeon juga pasti tahu ‘kan, meskipun Chaewon tuh pengabdi ayang banget, tapi kami juga nggak mau sembarangan—”

“Sembarangan peluk-peluk, gandeng-gandeng, atau cium pipi.”

“Um… ya gitu,” Chaeyeon tak kuasa untuk tak melempar pandangan menggoda pada gadis itu. Apalagi, kini pipi Hitomi memerah. Lucu, pikirnya, pantes si Chaewon rela jatuh bangun ngejar-ngejar nih anak, “Nggak di depan umum, nggak di tempat umum. Aku juga berani jamin kalau kami nggak akan menyalahgunakan sekretariat. Kak Chaeyeon tenang aja. Selama ini juga kami nggak terlalu sering… um… pamer hubungan ‘kan?”

Ada kelegaan tersendiri yang membanjiri tubuhnya. Sebetulnya, Chaeyeon tak ingin mencampuri hubungan pribadi orang lain. Ia tak peduli. Selama itu tak mengganggu hidupnya, teman-temannya bebas berlaku bagaimana pun. Namun, yang ini berbeda. Ia secara sadar meminta Hitomi untuk mendampinginya sebagai sekretaris jenderal, maka ia juga sepenuhnya memahami bahwa pada beberapa kesempatan, hubungan gadis itu dan Chaewon pasti akan menjadi hambatan.

Chaeyeon tidak ingin itu terjadi. Tidak saat himpunan ini dipimpin olehnya. Maka, ia ingin memastikan tak ada siapa pun yang mengganggu atau membuat tak nyaman siapa pun.

“Ih, tuh ‘kan, beneran Kak Hitomi udah sini,” suara seorang gadis dari arah pintu membuat ia dan Hitomi menoleh. Di depan pintu, berdiri Yujin dan Wonyoung yang tengah sibuk melepas sepatu. Bahkan dari jarak beberapa meter, Chaeyeon bisa membaui wangi parfum Wonyoung. Ini parfum dia jangan-jangan seharga jatah bulanan gue ya?

Keduanya tampak meributkan sesuatu—yang sesungguhnya tak begitu Chaeyeon pedulikan. Matanya kini terfokus pada layar ponselnya. Yena mengabari bahwa ia dan Hyewon sudah berangkat—syukurlah, dan akan tiba dalam beberapa menit. Saat jempolnya sibuk berlarian di atas layar ponsel, geng kecil Hitomi telah lengkap, juga Chaewon telah kembali.

“Mau mulai aja Kak?” tanya Hitomi sambil menaruh laptop di pangkuan. Sudut matanya menangkap Chaewon yang duduk jauh dari Hitomi, tampak menertawakan sesuatu bersama Yujin. Kedua alisnya terangkat. Langsung jauhan gitu. Buru-buru ia menggeleng, mengusir jauh-jauh pikiran tentang hubungan keduanya, dan perasaan tak enak atas tindakannya beberapa menit lalu, yang diam-diam masih bergelayut.

“Yena sama Hyewon bentar lagi sampe—”

“WETS, MANA NIH KARPET MERAH BUAT GUE?”

Chaeyeon menghela napas. Belum apa-apa udah capek. Ia mendongak, menatap datar gadis yang tak tahu malu melambaikan tangan bagai Miss Universe di balik pintu koboi.

“Buruan masuk ah, capek gue denger suara lo. Kita mulai aja sekarang.”


“Yakin nggak bakal menuai kontra?”

Chaeyeon menoleh ke arah Yuri yang sedari tadi diam membisu. Gadis itu hampir tak bersuara sepanjang diskusi, kecuali saat bagian dirinya menyampaikan garis besar program kerjanya untuk periode ini. Namun, setelah Yujin memaparkan idenya untuk menghilangkan Salam Selasa, sebuah program yang selama bertahun-tahun dijalankan oleh bidang yang kini gadis itu ketuai.

“Gimana Kak?” Yujin kini mengubah posisi duduknya menghadap Yuri, yang duduk tak jauh darinya. Sekretariat mereka tak seberapa besar, hingga meskipun mereka hanya bersepuluh, mereka mesti duduk berdempetan, membentuk persegi, dengan Chaeyeon dan Hitomi sebagai pusat dari diskusi.

“Program itu tuh ‘kan udah ada dari lama ya Jin,” gadis itu berujar, “Bukan setahun dua tahun, tapi yang beneran lama banget, pokoknya angkatan Bu Jiyeon aja tuh udah ada,” Yuri akhirnya menyebut nama dosen muda yang baru bergabung dengan jurusan mereka tahun lalu, “Tahu ‘kan Bu Jiyeon angkatan berapa?”

Chaeyeon mengerucutkan bibir tanpa sadar. Ia tahu resiko dari menghilangkan tradisi, dan hanya ada dua kemungkinan; mereka dipuji karena berhasil menyempurnakan yang kurang, atau mereka dihujat karena menghilangkan yang dianggap memiliki nilai lebih.

“Menurutku sih, apa yang barusan Yuri bilang, masuk akal,” kini giliran Hyewon angkat bicara, “Memang sih, kalau program itu dihilangkan, eksklusivitas salam yang disampaikan,” gadis itu membuat tanda kutip di udara, “Bakalan hilang. Sangat, amat, dapat dimengerti kenapa program ini dibuat, bahkan sebelum draft buta ada. Program ini, selain buat lucu-lucuan, kadang juga berhasil bikin ketegangan antarangkatan, bahkan antarkelas jadi cair.”

“Terus tapinya apaan?” tukas Yena. Tak ada satu pun di antara mereka yang menyela. Tiap-tiap dari mereka berusaha mendengarkan hingga selesai apa pun yang ingin diungkapkan oleh masing-masing, “Gue tahu lu juga setuju sama usul Yujin.”

Chaeyeon mengubah posisi duduknya. Ia kini menyimak mereka sambil bertopang dagu, “Tapi menurutku ya kurang efektif juga Yen, Yur, kalau harus ada dua channel kayak gini,” gadis itu kembali melanjutkan pemaparannya, “Fungsi draft buta dan Salam Selasa sama. Bedanya, Salam Selasa cuma ada di akun twitter kabinet aja, dan dilakukan di hari Selasa. Yang boleh kirim juga cuma dari jurusan kita. Kalau draft buta, kita bisa pakai kapan aja. Juga bisa dipakai siapa aja.”

“Terus jadinya gimana?” Nako menyahut, “Jadi Kak Hyewon sendiri setuju atau nggak sama usulannya Yujin?”

“Chaen, dirimu gimana?”

Kini, semua mata tertuju padanya. Ditatap sedemikian lekat oleh sembilan pasang mata, mau tak mau Chaeyeon merasakan sesuatu yang berat hinggap di pundaknya. Oh, gini ya rasanya jadi ketua himpunan yang mesti ngambil keputusan? Ia menghela napas dalam-dalam, berusaha menekan debar jantungnya yang kelewat cepat. Sejenak, ia memejam, sebelum kembali membuka mata, menatap satu-satu anggotanya yang balas memandangya dengan tatapan penuh harap.

“Gue lebih condong sama usulannya Yujin, sebenernya,” ada jeda sebelum ia menambahkan, “Tapi gue sendiri ragu,” ia kemudian menoleh ke arah Hitomi, “Menurut lo gimana Hii?”

Gerakan tangan gadis itu terhenti. Hitomi tampak mengerutkan dahi, seolah tengah menimbang, mengecap kata-kata yang sudah di ujung lidah, memikirkan cara terbaik untuk menyampaikannya dengan mudah. Pelan, gadis itu berkata,

“Ini menurutku ya Kak,” ia berujar, “Lebih masuk akal kalau kita ikut usulannya Yujin. Kenapa?” gadis itu mengangkat jari telunjuknya, “Pertama, realistis aja Kak. Anggota kita nggak banyak. Salam-salam yang dikirim itu nggak pernah satu dua. Kak Chaeyeon udah mau tiga tahun kuliah, tahu sendiri ‘kan berapa banyak salam yang masuk?”

“Di atas lima puluh, kadang tembus seratus,” jawab Chaeyeon cepat. Hitomi mengangguk.

“Kita semua tahu, salam yang diunggah di twitter tuh selalu dikurasi. Artinya, nggak semua pesan bisa kita unggah. Semua kita lakukan manual. Udah tahu emang Kak, siapa aja yang bakal daftar di bidangnya Yujin? Angkatanku aja cuma Nana yang bersedia,” Hitomi meringis, “Angkatan kamu sendiri Jin?”

“Ada Kazuha kayaknya, Kak, tapi ya… Kak Hii tahu ‘kan Kazuha anaknya… gitu? Belum pasti juga dia mau ikut himpunan, Kak.”

“Bujukin aja sama si Yunjin, Jin.”

Chaeyeon melempar tatapan tak setuju pada Chaewon—yang segera mengatupkan kedua tangan di depan dada sambil melempar cengiran penuh rasa bersalah. Chaeyeon mendesah, lantas berkata, “Ya angkatan gue juga cuma Jihoon sih.”

“Nah,” Hitomi mengangguk, “Draft buta sistemnya otomatis, Kak. Kita nggak perlu repot-repot mengkurasi salam-salam yang masuk,” kini gadis itu mengacungkan jari telunjuk dan jari tengahnya, “Yang kedua, menurutku, dengan menghilangkan program yang menyita waktu tapi urgensinya juga nggak ada di urutan nomor satu, kita bisa fokus ke program-program lain yang lebih bermanfaat. Yujin tadi ada rencana mau bikin workshop manajemen media sosial dan beberapa program kerja harian ‘kan?”

Gadis yang namanya disebut itu cuma mengangguk. Kini, semua mata kembali terarah pada Chaeyeon. Gadis itu terdiam, berusaha memikirkan masak-masak keputusannya. Apa pun yang keluar dari mulutnya hari ini, apa pun keputusan yang ia buat hari ini, akan memengaruhi dinamika mereka selama satu tahun ke depan. Ia menghela napas dalam sebelum akhirnya berkata,

“Kita coba usul Yujin.”

Dari sudut matanya, ia bisa menangkap gelisah yang Yuri tunjukkan lewat gestur-gestur kecil. Nanti deh gue obrolin sama dia di belakang. Kini, tatapannya terarah pada Yena, “Oke, giliran lo, Yen. Dari tadi gue sengaja nggak bahas program lo dulu karena bakal panjang dan alot. Jadi, gimana rencana ospek jurusan?”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
apple_lover12
#1
Chapter 2: Yg paling jd favorit ku... TERNYATA SAKURA TRAVELLER JUGA WEY!!! 😭❤️