Periode Baru

Kabinet Pom Bensin

“Ditetapkan di Kampus Panorama, 13 Januari, pukul 22.29. Pimpinan sidang I menandatangani. Pimpinan sidang II menandatangani. Pimpinan sidang tiga menandatangani.”

Begitu ketuk palu terdengar, seluruh peserta sidang umum bersorak. Chaeyeon tahu, tak sepantasnya mereka bersorak—diam-diam, ia melirik takut-takut ke arah deretan alumni yang duduk di barisan belakang sebagai peninjau. Ia lega sekaligus takut. Debar jantungnya yang berlari bisa jadi adalah hasil kawin silang keduanya; ia lega dengan fakta bahwa seluruh teman-temannya, paling tidak, mereka yang duduk di sini bersamanya, dengan tulus mendukungnya sebagai ketua himpunan mereka yang baru. Namun, ia juga takut dengan fakta bahwa ia bukanlah manusia paling cakap di ruangan ini.

Tapi satu angkatan percayanya sama lu, Chaeng. Inget, angkatan Kak Eunbi juga dukungnya lu. Angkatan Yujin juga, kalimat Yena kembali terngiang di telinganya, banyak yang percaya sama lu, banyak juga yang bersedia bantuin lu.

Rasanya, semua terasa otomatis; mulai dari ia yang berdiri untuk mengucap sumpah jabatan, hingga menyalami para alumni, angkatan atas, dan adik tingkatnya sebagai ucapan selamat atas terpilihnya ia sebagai ketua himpunan. Ia masih berusaha memproses semuanya dalam kepala. Semuanya masih terasa seperti mimpi belaka.

“Chaeng,” ia menoleh saat seseorang menepuk pundaknya. Kak Eunbi, “Mohon kerjasamanya ya,” gadis yang lebih tua satu tahun darinya itu tersenyum lebar. Chaeyeon mengangguk, lantas menarik gadis itu dalam pelukan.

“Kalau nggak ada lo, gue kayaknya nggak bisa Kak. Kalau bukan lo ketua dewannya, mungkin gue juga nggak bakal mau maju, jadi…” ia terdiam, memikirkan kata-kata yang tepat dan pantas untuk diucapkan. Ia tak ingin terdengar seperti junior yang tak tahu diri, senang dengan tertundanya kelulusan Eunbi yang barangkali ingin segera angkat kaki dari universitas ini, “Jadi bimbing gue ya, Kak, kayak waktu lo bimbing gue pas jadi maba.”

“Yah, berhubung aku juga lulus masih lama,” Chaeyeon terkekeh mendengar celotehan Eunbi, “Daripada gabut, mending aku jadi ketua dewan nggak sih?”

“Ya mending diem di kosan sih Bi,” Chaeyeon menoleh ke samping, mendapati Hyewon yang berdiri sambil tersenyum geli menatap dirinya dan Eunbi, “Aneh banget alasan jadi ketua dewan karena gabut. Pacarku nggak ada keren-kerennya.”

“Udah gitu peluk pacar orangnya lama banget lagi,” seorang gadis berambut sebahu tiba-tiba menariknya halus, melepaskan pelukannya pada Eunbi, “Kamu kalau ada yang nawarin permen di jalan jangan mau ya,” gerutu gadis itu, yang kini melingkarkan lengan di pundaknya. Chaeyeon terkekeh pelan.

“Nih satu kaum mendang-mending, satu lagi kaum buaya berbulu domba,” ujarnya di sela tawa, mengabaikan gerutuan Sakura dan ekspresi datar Hyewon yang diiringi gelengan pelan, “Udah ah, udah malem nih. Yuk, bantuin panitia beres-beres aula biar cepet pulang.”

“Wets, sebelum itu,” keempatnya menoleh ke arah suara itu berasal, “Jangan lupa mikirin susunan kabinet.”

“Pak Johnny emang terbaik ya kalau ngingetin,” dari sudut matanya, Chaeyeon bisa melihat Eunbi yang memasang wajah jengkel, “Kamu aja jadi sekretaris dewan gimana?”

“Weh, gue bentar lagi sidang Bi. Noh, Wonpil,” ia mengarahkan jempolnya melewati bahu, “Baru mau magang tuh, masih lama dia.”

“Tega banget Johnny ninggalin adiknya dih,” seorang gadis lain menghampiri. Diam-diam, Chaeyeon merasa lega saat gadis itu berdiri di depannya sambil tersenyum. Kehadiran Wendy memang selalu dengan mudah memberinya rasa aman dan nyaman. Ia tak mengerti kenapa, tapi rasanya, tiap kali gadis itu berada di ruangan yang sama dengannya, semua akan baik-baik saja.

“Kak Wendy lagian buru-buru amat lulus?” cibir Sakura, memancing gelak tawa yang lain, “Jatahnya ‘kan tujuh tahun Kak, baru juga empat tahun.”

“Duh, UKT mahal, Sakura. Lagian, aku dua tahun di atas kamu ya, wajar kali udah lulus.”

“Um, Kakak-kakak,” keenam pasang mata itu menoleh ke arah sumber suara. Seorang gadis bertubuh tinggi dengan rambut hitam sepunggung yang digerai memandang mereka ragu, “Aulanya mau dikunci, Kakak-kakak masih lama ngobrolnya?”

Chaeyeon mengedarkan pandangannya ke sekitar. Kursi-kursi telah tersusun rapi di sudut ruangan. Meja panjang yang mereka gunakan untuk sidang tadi telah bersih—perangkat sidang sudah tak ada lagi. Bendera himpunan mereka telah teronggok rapi di atas meja. Meja-meja fraksi telah dirapatkan ke dinding.

Sebagian besar tamu undangan telah pulang. Di dalam ruangan, hanya ada mereka dan beberapa mahasiswa lain dalam balutan almamater kampus. Logo Universitas Panorama terbordir rapi di dada, emblem himpunan tersemat rapi di lengan kiri almamater.

“Di luar yuk ngobrolnya,” kata-kata Johnny memutus rantai pikirannya, “Kasihan nanti anak-anak kena semprot Pak Namgil gara-gara melebihi batas waktu peminjaman.”

“Udah malem kali John,” tegur Wendy halus sambil melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, “Obrolan soal kabinet bisa dilanjut besok atau lusa. Biarin mereka istirahat dulu hari ini.”

Diam-diam Chaeyeon mendesah lega. Setelah dua hari kurang tidur akibat sidang umum, tak ada yang lebih ia inginkan selain merebahkan punggungnya yang kaku di atas tempat tidur kecilnya di kamar kos yang telah ia huni hampir tiga tahun ke belakang itu. Duduk di atas kursi, mendengarkan laporan pertanggungjawaban dibacakan, hingga akhirnya menjadi sorotan utama sidang umum sebagai calon ketua umum himpunan; pinggang dan punggungnya rasanya mau patah.

Johnny tampak menggaruk pelipisnya yang tak gatal, tetapi akhirnya mengangguk meski terlihat ragu, “Iya sih. Masih bisa besok atau lusa. Ntar chat gue aja kalau butuh masukan. Gue siap bantuin kok.”

“Barang-barang Kakak-kakak ada yang masih di sini? Atau di sekre semua ya Kak? Atau di ruang panitia?”

Chaeyeon kini mengalihkan perhatiannya pada junior mereka yang tampak salah tingkah berdiri di antara para seniornya. Chaeyeon menggeleng, “Di sekre semua kok, Jin. Udah aman. Yuk, keluar, ntar lo disemprot Pak Namgil, yang repot gue,” candanya sambil menggiring teman-temannya untuk segera melangkah meninggalkan aula.

Susunan kabinet dipikirin besok aja deh, pikirnya sambil melangkah menuju sekretariat himpunan mereka, melewati beberapa mahasiswa dengan tanda pengenal panitia tergantung di leher, masih harus bujukin beberapa orang dan lihat kesiapan angkatan sendiri. Tepat sebelum mereka berbelok ke arah kanan menuju bilik paling ujung di lantai tiga gedung kemahasiswaan, ia merasa seseorang menarik lengannya pelan.

"Chaeng."

Chaeyeon menoleh, mendapati Sakura tengah menatapnya dengan dahi berkerut, "Ya? Kenapa Ra?"

Sudut-sudut bibir gadis itu berkedut. Chaeyeon terpaksa menghentikan langkahnya, sebab ia yakin bahwa sesuatu tengah bergumul dalam kepala gadis itu. Ia mendesah saat gadis itu tak kunjung bicara, "Kenapa?"

"Kamu tahu 'kan angkatan kita nggak bisa diandalkan kalau soal kepengurusan himpunan?"

Chaeyeon menggigit bibir. Ia paham benar kenapa Sakura memilih untuk membicarakan ini sekarang dan berdua saja. Perjalanannya takkan mudah, tapi bukan berarti ia ingin menyerah begitu saja. Matanya menangkap sosok dua orang gadis yang berdiri berdampingan di depan pintu sekretariat himpunan mereka. Yang satu terlihat berusaha keras untuk terjaga, sementara yang satu menatap gadis di sebelahnya dengan tatapan sayang yang kadang membuat Chaeyeon iri sekaligus geli.

Pokoknya, mereka mesti masuk kabinet gue.

Chaeyeon mengangguk. Dan meski hatinya masih dirisaukan oleh ini dan itu, ia menyunggingkan seulas senyum, "Tenang, aku punya rencana kok. Nggak usah dipikirin sekarang. Pantatku sakit banget duduk terus, pengen cepet sampai kosan. Udah yuk, bawa tas di sekre terus balik. Capek banget nggak kuat."

Masih ada besok, pikirnya, yang bisa dipikirin besok ya biar dipikirin besok aja.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
apple_lover12
#1
Chapter 2: Yg paling jd favorit ku... TERNYATA SAKURA TRAVELLER JUGA WEY!!! 😭❤️