Menyusun Kabinet

Kabinet Pom Bensin

 

 

“Hitomi!”

Gadis berambut gulali itu menoleh. Chaeyeon mempercepat langkahnya sambil membetulkan tali tas yang tersampir di bahunya. Gadis yang ia panggil tadi tampak melipir menghindari kerumunan, lantas berdiri di pinggir koridor yang agak kosong. Di sebelah Hitomi, tampak Chaewon memandangnya dengan sebelah alis terangkat.

“Galak bener Buk lihatnya,” kekeh Chaeyeon pelan sambil mengisyaratkan agar kedua gadis itu berjalan mengikutinya menuju bangku panjang di dekat ruang rapat lantai empat. Pintunya terbuka, menampilkan meja bundar dengan kursi-kursi yang mengelilinginya. Kosong, pikir Chaeyeon, nggak apa-apa kayaknya ngobrol di sini.

“Kenapa Kak?” tanya Hitomi tepat saat mereka mendaratkan pantat di atas kursi. Chaeyeon menoleh ke arah kiri, mengubah posisi duduknya menghadap gadis itu. Di sebelah kiri Hitomi, Chaewon turut memandangnya dengan wajah heran.

“Lo kosong nggak Hii malem ini?” Dilihatnya Hitomi mengerling ke arah Chaewon. Gadis itu mengerucutkan bibir.

“Mau ngomongin kabinet?” tembak Chaewon yang dibalas dengan anggukan singkat oleh Chaeyeon. Chaeyeon bisa melihat keengganan di mata gadis itu—tahu benar bahwa Chaewon keberatan karena hal yang Chaeyeon tak paham benar, tapi berusaha ia maklumi, “Kamu udah menyanggupi?” gadis itu kini bertanya pada Hitomi dengan suara yang lebih pelan. 

“Nggak ada lagi ‘kan?” gadis itu tersenyum simpul, “Kalau kamu yang diminta naik juga kamu pasti nggak mau.”

“Bukan nggak mau, Hitoma—”

“Anggap aja ini latihan buatku kalau kamu sama Kak Chaeyeon udah demisioner,” tandas gadis itu. Ia menoleh ke arah Chaeyeon, “Kalau ngobrolnya di kosan aku aja gimana Kak?” tanya Hitomi lagi, “Aku mau keluar dulu sama Chaewon, belum makan siang ini,” Hitomi mengangkat pergelangan tangan kirinya. Jarum jam menunjuk angka dua, “Terus Chaewon ngajak nonton. Nanti makan malam di kosan aja,” Hitomi kembali melirik ke arah Chaewon yang terlihat mengangguk pasrah.

“Jam berapa tuh lo berdua baliknya?” Chaeyeon tak tahu dan tak mau tahu soal kegiatan kencan mereka. Bukan urusannya. Selama mereka menyanggupi permintaannya untuk mengisi kursi kabinet dan membantunya mengurus himpunan selama satu periode ke depan, ia tak masalah jika di situasi begini, ia harus memaklumi jadwal kencan mereka, “Makan malamnya gue aja deh yang beli.”

“Nyogok nih ceritanya,” dengkus Chaewon geli, “Tapi boleh deh, kapan lagi ditraktir Lee yang sulung,” kekeh Chaewon. Kekehannya berubah menjadi tawa kencang saat Chaeyeon memutar bola matanya malas, “Lho ‘kan emang situ Lee yang sulung?”

“Buruan, jadinya jam berapa? Gue harus ketemu anak-anak dance dulu ini,” desaknya lagi. Chaewon menarik ponselnya dari saku. Beberapa ketuk jari kemudian, ia mendongak,

“Jam delapan deh kayaknya, nggak masalah ‘kan?” 

“Ya gue sih nggak masalah, yang punya kosan gimana?” celetuk Chaeyeon. Hitomi cuma mengangkat bahu.

“Ya aku ‘kan pulang dianterin Chaewon, Kak. Kalau dia bilang jam delapan, berarti jam delapan.”

Chaeyeon terkekeh, lalu bergegas beranjak dari duduknya, “Oke. Jam delapan. Kalau gue bawa Yena, jangan heran ya.”

“Ngapain?” kerutan muncul di dahi Chaewon. Chaeyeon tersenyum kecil sebelum berkata.

“Doi kemarin ketemu Pak Kadep. Ada beberapa hal yang harus kita obrolin soal isi kabinet, osjur, sama acara gedenya jurusan kita yang udah absen beberapa tahun. Ada obrolan itu soalnya dari beliau.”

Chaewon mengerjap, “Festival Budaya?”

“Iye,” Chaeyeon buru-buru menarik ponselnya yang bergetar dalam saku, “Waduh, udah mesti pergi nih gue. Jam delapan ya! Jangan telat ges!”

Hitomi memandang punggung Chaeyeon yang menjauh dan menghilang di balik tangga dengan keheranan, “Tapi ‘kan yang punya kosan aku…? Telat gimana…?” telunjuknya mengarah pada diri sendiri. Di sebelahnya, Chaewon tertawa pelan sambil menggamit tangan kirinya.

“Udah, biarin. Stress anaknya diangkat jadi kahim. Yuk, berangkat sekarang. Takut keburu macet. Perutku udah nagih minta diisi.”


“Bi, kamu yakin nih, yang bakal direkrut nama-nama ini?”

Eunbi mengangkat sebelah alis. Tangannya menggenggam keripik kentang, mulutnya sibuk mengunyah. Ia mengedikkan dagu, mengisyaratkan Miyeon untuk mendekatkan kertas berisi nama mahasiswa yang akan ia rekrut sebagai anggota dewan perwakilan mahasiswa.

“Kenapa harus ada Yuqi sih?” gadis itu menggerutu. Eunbi terbahak—tapi buru-buru meraih gelas di atas nakas.

“Rasain,” gerutu Miyeon sambil menyambar kantong keripik dari tangan Eunbi.

Sebagai mahasiswa tingkat akhir yang belum akan lulus dalam waktu dekat, mereka berdua diharuskan menerima jabatan sebagai penyambung lidah mahasiswa. Meski di depan banyak orang Eunbi terlihat mengeluh dan berkata siap membuat surat pengunduran diri kapan saja, ia tidak merasa seterpaksa itu untuk membantu adik-adiknya.

Angkatan mereka butuh kamu, satu hari Wendy berkata pada Eunbi, soalnya di antara semua temen-temen kamu, cuma kamu yang mereka segani. Mereka menghormati kamu sebagai kakak, juga sebagai senior.

Eunbi ingat betul kapan pertama kali ia merasakan kedekatan yang tak wajar dengan angkatan Chaeyeon. Saat itu, ia yang masih tingkat dua diharuskan menjadi pembimbing kelompok masa orientasi jurusan. Meski awalnya ia sempat keberatan karena…. Yah, karena siapa pula yang mau mendampingi sekelompok anak ayam yang baru keluar kandang, termasuk menemani mereka jurit malam?

Namun, semuanya berubah saat ia membimbing kelompok Chaeyeon. Kombinasi Chaeyeon, Yena, Chaewon, Sakura, Jungwoo, Mark, dan Seungkwan berhasil membuat kehidupan himpunannya sedikit lebih berwarna. Jung Chaeyeon bahkan pernah menyatakan keheranannya pada Eunbi soal perubahan sikap Eunbi yang terlihat seperti langit dan bumi. Ia cuma mengangkat bahu, menanggapi ucapan Chaeyeon sambil lalu. Tapi, ia sadar benar bahwa sedikit banyak, adik-adiknya ini telah membuatnya terikat lewat tawa dan tangis yang mereka bagi.

“Ya karena nggak ada lagi dong, Mi, ah,” Eunbi menggerutu. Gelas dalam genggamannya kembali kosong. Ia mendesah. Tak lama, suara air yang mengalir dari dispenser kembali terdengar, “Aku denger dari Hyewon sih, tadinya yang mau dimasukin tuh Kino, tapi tukeran sama Yuqi soalnya Yena maunya Kino jadi komdis nanti.”

“Hyewooon mulu,” cibir Miyeon sambil menggasak keripik kentang milik Eunbi, “Tapi Yuqi tuh tipe tim hore gitu lho Bi, aku malah takutnya anak-anak nggak bisa misahin Yuqi si anggota DPM sama Yuqi si personal komedian mereka.”

Eunbi tersenyum kecil menanggapi keluhan Miyeon. Ia mengerti. Sama seperti Yena, kembar beda ayah dan ibunya itu, Yuqi adalah manusia yang tak memerlukan pengeras suara hanya agar suaranya dapat terdengar dari ujung lapangan ke ujung yang lain. Belum lagi tingkahnya yang memancing gelak tawa banyak orang kapan pun dan di mana pun ia berada. 

Serius dan Yuqi tampak tidak berjodoh.

“Yuqi bisa serius kok,” ujar Eunbi, “Kamu ingat kemarin pas sidang umum? Dia yang nyecer aku di kursi panas. Chaeyeon yang biasanya jadi manusia paling kritis aja nggak banyak bicara. Hitomi yang biasanya dikit-dikit angkat tangan aja bahkan nggak sekali pun ngangkat tangan. Yuqi tahu gimana harus bersikap, jangan takut.”

Miyeon menghela napas. Meski masih ada ketidakrelaan yang membayang di wajahnya, ia berkata, “Yah, lihat nanti deh. Yang harus kita pikirin sekarang adalah siapa yang harus kita rekrut dari angkatan termudanya kita; angkatannya Ahn Yujin.”

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
apple_lover12
#1
Chapter 2: Yg paling jd favorit ku... TERNYATA SAKURA TRAVELLER JUGA WEY!!! 😭❤️