Strategi Perang

Kabinet Pom Bensin

 

 

“Yen… ini gue mau beli makan, mau nitip nggak?”

Yena mengerjap, menarik selimutnya rapat-rapat hingga menutupi leher. Ia yakin matahari sudah naik sejak tadi—samar, ia bisa merasakan sinarnya menyelinap masuk melalui jendela kamar kos Chaeyeon yang terletak tepat di seberang tempat tidur. Lagipula, mengingat bahwa ini Chaeyeon, Yena yakin gadis itu juga telah membuka gorden jendela kamarnya lebar-lebar.

“Jadiin dua aja lah,” gumamnya sambil membalikkan tubuh memunggungi jendela. Ia bisa mendengar gerutuan pelan Chaeyeon, tapi ia sedang tak ingin memusingkan hal-hal begitu; ia butuh tidur, demi sejuta kepiting busuk. Sidang umum yang berlangsung selama dua hari ke belakang itu menguras tak hanya tenaganya, tetapi juga emosinya.

Ia masih ingat wajah Johnny semalam saat laki-laki itu diadili. Ia juga masih ingat wajah kaku Nayoung saat beberapa alumni menuduh masa orientasi yang ia laksanakan kacau balau. Yena paham, ada banyak sekali kekurangan dalam pelaksanaan masa orientasi yang dilaksanakan kemarin, tetapi tak lantas mereka bisa dengan mudah menyebut Nayoung gagal.

(Padahal, mereka juga yang mengacaukan jalannya beberapa acara. Yena juga yakin bahwa nanti, saat angkatannya menjabat, mereka akan melakukan hal yang sama hanya agar punya alasan untuk memaki para junior di acara sidang umum)

“PERMISIII PAKEEET!”

Yena melenguh, mendengkus kelewat kencang. Ia mendorong tubuhnya cepat, menatap pintu kamar kos Chaeyeon yang kini telah terbuka lebar. Sosok Sakura dengan cengiran lebar menghiasi wajahnya tertangkap matanya. Selimut yang ia kenakan melorot begitu saja. 

“Bangun kenapa sih Yen, malu sama matahari. Matahari udah cerah, masa Choi Yena masih sepet aja.”

“YA SEPET GEGARA TERIAKAN LU ANJIR!”

Sakura terbahak. Tangan kanannya terangkat, menggoyangkan bungkusan berwarna putih yang tampak berat, “Ada lontong, yakin nggak mau?”

Perutnya memang tak bisa diajak kerjasama—begitu wangi kuah lontong memenuhi indera penciumannya, perutnya berbunyi. Ia mendesah.

Ya udahlah, makan aja dulu.


“Kerupuk lu udah abis ya anjrit NGAPAIN NYOMOT PUNYA GUE!”

Dengan tampang polos, Sakura tetap mengunyah kerupuk yang baru saja dijarahnya dari piring Yena, “Tidakkah Anda mengingat fakta bahwa saya yang bawain lontong ke sini, juga saya yang beliin buat kalian berdua?”

“Anj—” kata-katanya terputus sebab—ya bener juga sih. Di sebelah Sakura, Chaeyeon menggeleng sambil mengulum senyum tipis.

“Udah sih Ra, ambil punya aku aja,” ujarnya pelan sambil meraup beberapa keping kerupuk. Yena mencibir.

“Ini gue harus nongkrongin lu berdua pacaran kah,” gerutunya sambil menyuap. Chaeyeon terkekeh. Belum sempat gadis itu membuka mulut untuk menanggapi keluhan Yena, cepat Sakura menyambar,

“Yuri dikemanakan wahai Choi Yena?”

Ia mesti berterima kasih pada Chaeyeon—sebab jika gadis itu tidak dengan sigap mengulurkan segelas air padanya, mungkin ia sudah mati tersedak. Ia tak ingin muncul di berita pagi dengan tajuk Mahasiswi Ditemukan Tewas di Dalam Kamar Kosnya Karena Tersedak Lontong. Terdengar hina untuknya. Tangan kirinya menepuk-nepuk dada pelan. Isi gelas itu bahkan telah hilang begitu saja. Matanya melirik Sakura dengan sewot, “Kartu kuning anjrit!”

“Emang salahnya di mana?” kedua alisnya terangkat—tapi bahkan Chaeyeon hanya mampu melempar pandangan datar padanya.

“Kamu kenapa sih Ra,” tegur Chaeyeon halus, “Udah pernah diceritain ‘kan?”

Dahi gadis itu berkerut, “Apa? Kapan? Apa—Oh.”

“Nah,” gerutu Yena, “Lu tuh jangan suka mencukai luka secuka-cukanya ya anjrit. Gue baru juga bisa menambal luka, udah lu bongkar lagi anjrit.”

Kali ini, Chaeyeon terbahak, “Bahasa lo, anjir!” tapi gadis itu buru-buru berusaha meredam tawa saat Yena mendelik ke arahnya, “Omong-omong ya ges,” tambahnya cepat, “Ini gue, aku, mau ngajak ngobrol soal susunan kabinet.”

Kunyahan Yena melambat, “Pantesan si Sakura ke sini pagi-pagi. Biasanya baru tidur habis menjelajah Tevyat.”

“Ya ‘kan yang sana pelor semalem, mau menjelajah gimana,” cerocos gadis itu, yang hanya ditimpali dengan tawa pelan oleh Yena, “Tapi emang soal susunan kabinet harus segera diobrolin sih. Tahun ini kayaknya 'ku nggak bakalan bisa di badan eksekutif.”

“Kenapa nggak?” sebelah alis Yena terangkat, “Lu ‘kan udah digadang-gadang jadi kabid pendidikan—pendidikan ‘kan sekarang namanya? Bukan PSDM lagi?”

Sakura menggeleng. Kedua matanya menatap Yena lamat-lamat, “Nggak bisa, Yen. Nanti yang ngisi kursi DPM siapa?”

Yena terdiam. Benar juga. Ketika pendaftaran badan eksekutif dibuka, biasanya, tak cuma mahasiswa baru yang berbondong-bondong untuk mendaftar. Teman-teman Yena pun ikut memburu beberapa kursi. Biasanya sih, mencari celah agar bisa masuk jajaran senior berbaju hitam dengan ban merah terlilit di lengan kanan pada masa orientasi. Namun, jika disodorkan formulir pendaftaran kursi dewan perwakilan mahasiswa, mereka mendadak mundur.

“Ini giliran angkatan kita yang ngejabat. Udah bagus nih ketua dewannya Eunbi, bukan yang lain. ‘Ku juga harus memastikan kalau angkatan kita punya suara,” tandas Sakura. Yena mengangguk—meski masih terasa ganjil baginya ketika Sakura selalu memanggil senior mereka itu tanpa embel-embel kak. Yang Yena tahu, mereka memang teman sejak kecil.

“Kak Eunbi udah ngomong sama kamu emang Ra?”

Dalam hati, Yena mencibir. Aku. Kamu. Chaeyeon mana pernah begitu pada yang lain. Meskipun cara bicara gadis itu tetap halus (dengan beberapa umpatan terselip sesekali) meski tak menggunakan dua kata sapa tersebut, tapi tetap saja—rasanya seperti gadis itu tengah mengistimewakan Sakura.

(Yah, memang Sakura istimewa untuk Chaeyeon—ini cuma perihal Yena yang menangisi nasibnya sebagai jomlo di tengah geng kecilnya. Satu pemuja brondong akut, satu pengabdi senior cantik, satunya lagi nyaman dengan yang seumuran. Memang menyedihkan nasibnya)

“Udah ngode dari kemarin pas nunggu fraksi diskusi,” ujarnya, “Hari sebelumnya juga sih. Katanya, targetnya tuh satu angkatan tiga. Akan sedikit keteteran sih kalau Eunbi memang betulan mau merombak ini dan itu, tapi cukup harusnya. Angkatan Eunbi masih ada. Asal angkatan Hitomi sama Yujin ngisi kursi, aman.”

Yena mengangguk, tak berniat mengomentari. Lagipula, apa yang diucapkan Sakura memang sesuatu yang sudah lama bersarang dalam kepalanya. Ia menggumamkan trims pelan saat Chaeyeon dengan sigap menarik piringnya yang kini telah kosong, lalu menumpuknya di tengah bersama dengan piring miliknya sendiri.

“Si Uwu tuh mau-mau aja katanya kemarin,” celetuk Yena. Sakura memandangnya dengan kedua alis terangkat.

“Jungwoo?” tak ada nada sangsi dalam suaranya. Murni keterkejutan. Di sebelahnya, Chaeyeon cuma mengangkat bahu—tak tampak terkejut atau ragu.

“Waktu maba juga dia DPM,” jelas Chaeyeon, “Wakilin prodi sama fakultas kita di tingkat kampus juga kok.”

“Iya gitu?” pertanyaan Sakura hanya terdengar seperti angin lalu. Yena kembali memusatkan perhatiannya pada Chaeyeon,

“Terus wakil lu gimana, Chaeng? Lu mau narik siapa jadi sekjen?”

Chaeyeon tampak mengerucutkan bibir, “Ada satu nama,” ujarnya pelan, “Dan kayaknya cuma dia aja yang bisa,” Chaeyeon lantas menarik ponselnya yang berada di atas nakas di balik punggungnya.

Mereka tengah menyusun taktik dalam menghadapi musuh seapik mungkin.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
apple_lover12
#1
Chapter 2: Yg paling jd favorit ku... TERNYATA SAKURA TRAVELLER JUGA WEY!!! 😭❤️