Sebuah Pinangan

Kabinet Pom Bensin

"Yujin!"

Gadis yang dipanggil namanya itu menoleh. Hitomi melambai singkat—sebelah tangan memeluk makalah yang baru saja dicetak di tukang fotokopi fakultas sebelah. Yujin, yang dengan segera mengenali Hitomi, tersenyum lebar hingga lesung pipinya menyembul malu. Kedua mata gadis itu menyipit, sebelah tangannya ikut melambai heboh. Dalam tiga langkah besar, gadis itu sudah ada di depan Hitomi. Hitomi terkekeh melihat penuhnya tas gadis itu—tas di pundaknya bahkan terlihat menggembung. Hitomi mengisyaratkan Yujin untuk duduk di sebelahnya, mengisi ruang kosong di bangku panjang depan ruang rapat fakultas.

"Kak, makasih ya! Presentasinya dapet nilai bagus dari Bu Juhyun," ujar Yujin tepat setelah mendaratkan pantatnya di atas bangku. Hitomi mengangguk seraya melempar senyum kecil, "Mau ngomongin apaan Kak? Eh iya, Wonyoung ke toilet dulu ya Kak. Kasihan tadi anaknya digempur pas presentasi."

Tepat saat Yujin menyudahi kalimatnya, seorang gadis berjalan ke arah mereka. Sejenak, Hitomi tertegun. Sejak pertama kali melihat gadis itu di acara penerimaan mahasiswa baru, Hitomi tahu ada yang berbeda dari gadis itu, seolah ada efek halo yang bersinar di belakangnya. Rambut hitam legamnya ikut beriak tiap ia melangkahkan kaki. Tas yang tersampir di bahunya terlihat biasa saja, tapi Hitomi tahu bahwa tas itu adalah koleksi terbatas dari satu merk ternama.

Jang Wonyoung selalu berhasil membuatnya merasa segan, bahkan saat gadis itu berkali-kali berkata padanya untuk memperlakukannya sama seperti Hitomi memperlakukan adik asuhannya yang lain.

Namun, bagaimana bisa ia berlaku sembarang pada Jang Wonyoung, putri semata wayang Jang Geunsuk, pebisnis kenamaan yang perusahaannya bahkan memproduksi ponsel yang berada di saku Hitomi?

"Kak, aduh, maaf, saya kebelet tadi. Presentasi di depan Bu Juhyun ternyata semengerikan itu ya. Pantes dulu Kak Yunjin bilang hati-hati kalau dosen pengampu matkul retorikanya beliau."

Hitomi hanya mampu melempar cengiran kaku. Ia ingat betul bagaimana rasanya melakukan presentasi di depan Bae Juhyun. Rasanya seperti ditelanjangi. Perempuan itu akan menatapnya lekat-lekat hingga Hitomi merasa jengah. Namun, itu bisa kita bahas lain kali. Saat ini, yang penting adalah merayu kedua mahasiswa baru ini agar bersedia membantu Hitomi mengurus himpunan mereka.

"Sebetulnya kamu salah sih nanya aku soal matkul retorika, Jin," Hitomi mengerling ke arah Yujin, "Harusnya tanya Kak Sakura aja. Beliau mahasiswi kesayangan Bu Juhyun, dan yah—memang kayaknya matkul itu tuh beliau jagonya. Tapi," Hitomi merasakan ponselnya bergetar. Ia mengisyaratkan kedua juniornya itu untuk menunggu saat melihat ada panggilan masuk. Buru-buru ia menggeser tombol hijau, "Ya Kak? Oh… udah, ini lagi sama Yujin sama Wonyoung. Iya. Kakak udah di sana 'kan? Iya. Iya. Oke Kak. Oke."

Di sebelahnya, Yujin menatapnya dengan sebelah alis terangkat, "Kenapa Kak? Siapa?"

"Kak Chaeyeon ya Kak?" Sambar Wonyoung yang masih berdiri, hingga Hitomi harus mendongak banyak untuk menatap wajahnya, "Kak Hii 'kan udah bilang kemarin ih Yujin. Hari ini kita ketemu Kak Hii sama Kak Chaeyeon."

Yujin menepuk dahi, "Haduh, betulan lupa aku. Efek gadang nih kayaknya."

"Makanya jangan jadi penganut SKS," Hitomi terkekeh sambil beranjak dari tempatnya, "Yuk? Udah 'kan? Kak Chaeyeon nunggu di kafe seberang kampus," ujar Hitomi sambil membetulkan letak tali totebag di bahunya, "Kita ketemu di sana sama Kak Chaeyeon."

"Oke," Yujin akhirnya bangkit, lalu ketiga gadis itu berjalan menuruni tangga, keluar melewati pintu belakang, meninggalkan gedung fakultas yang berangsur sepi, seiring dengan terbenamnya matahari, mengakhiri hari panjang nan melelahkan.


"Beneran Kak, Kak Chaeyeon yang bayar?"

Gadis yang duduk di depannya itu mengangguk. Diam-diam, Hitomi terkikik geli melihat binar di kedua mata Yujin tambah terang saat Chaeyeon berkata bahwa Yujin tak perlu mengeluarkan dompet; makan malamnya yang kepagian sore itu akan jadi tanggungan Chaeyeon.

"Pesen gih, bilangin nanti bayarnya disatuin sama pesenan gue. Meja nomor dua belas."

"Harus ke kasir ya Kak?" Tanya Wonyoung. Hitomi mengangguk. Kedua gadis itu lantas melenggang menuju kasir, terlihat bersemangat seolah baru saja dikabari bahwa mereka bisa lulus tanpa skripsi. Hitomi tersenyum simpul melihat dua gadis itu berdiri bersisian. Sepasang sahabat yang tumbuh besar bersama, tak bisa dipisahkan. Kalau ada yang tega bikin mereka nangis waktu rapat nanti, aku siap pasang badan.

"Lo ngasih tahu Chaewon, Hii?"

Perhatiannya seketika teralih pada Chaeyeon. Hitomi mengangguk, "Kalau nggak bilang, nanti anaknya ngambek. Kakak ‘kan tahu sendiri Chaewon pernah cemburu sama Kak Chaeyeon," Hitomi terkekeh sembari mengibaskan sebelah tangannya. Di depannya, Chaeyeon ikut tertawa, "Tapi syukurnya, Mama minta diantar belanja bulanan, Kak. Repot duh kalau Chaewon ikut sekarang. Dia masih uring-uringan juga soal aku naik."

Ia bisa melihat kekecewaan di wajah Chaeyeon saat gadis itu mengembuskan napas, "Maaf ya. Semoga ke depannya lo berdua nggak jadi berantem gara-gara ini."

Cepat, Hitomi menggeleng, "Kak Chaeyeon kayak nggak tahu Chaewon aja deh. Udah Kak, tenang aja. Dia cuma takut ditanyain Ayah aja itu. Kalau aku sakit atau apa 'kan, yang ditanyain dia. Padahal ya Ayah sama Bunda juga cuma nanya, bukannya marah apa gimana."

"Kak Chaeyeon, makasih ya," pembicaraan mereka berdua terputus saat Wonyoung dan Yujin kembali ke meja mereka. Yujin tampak berseri. Kedua kakinya digoyang-goyangkan saat ia duduk. Persis anak lima tahun, "Jadi, ada apa nih Kak Chaeyeon ngajak aku sama Wonyoung ketemu?"

"Gue nggak bakal basa-basi ya," ujar Chaeyeon segera. Kedua tangannya terjalin menopang dagu. Diam-diam, debar jantung Hitomi berlari. Ini penentunya, "Jin, Wonyo, lo berdua mau ya, jadi kabid humas sama pendidikan?"

"HAH?"

"GIMANA KAK?"

Hitomi, diikuti Chaeyeon, buru-buru bangkit. Keduanya lantas membungkuk pada beberapa pasang mata yang berjengit ke arah mereka. Gumaman kata maaf meluncur deras dari mulut mereka. Setelah memastikan tak ada lagi tatapan heran dan terganggu yang diarahkan pada mereka, ia akhirnya kembali duduk di kursinya. Di sebelahnya, Yujin masih termangu. Di sebelah Chaeyeon, Wonyoung masih melongo.

"Saya nggak salah dengar 'kan ya Kak?" Tanya Wonyoung setelah gadis itu terlihat bisa menguasai dirinya, "Ini Kak Chaeyeon lagi minta saya jadi kabid?"

Di sebelah Wonyoung, Chaeyeon mengangguk, "Iya, Wonyo."

"Bentar," jika saja situasinya tak begini, Hitomi mungkin sudah tertawa. Yujin tampak memegang kedua pelipisnya. Kedua matanya yang bulat tampak semakin bulat, "Ini ya, aku nggak salah dengar 'kan ya, Kak Chaeyeon nyuruh aku jadi kabid?"

Lagi, Chaeyeon mengangguk. Yujin akhirnya berkata, "Oke, berarti yang salah bukan aku, tapi Kak Chaeyeon. Wah," Yujin menggeleng, raut tak percaya tergurat di wajah, "Bener-bener. Kak Chaeyeon semalem pasti kejedot pintu nih, skrup otaknya longgar satu. Ngajak Wonyoung sih aku paham, tapi ngajak aku?" Yujin tiba-tiba mengangkat jempol, telunjuk, dan jari tengahnya. Telapak tangan menghadap ke arah Chaeyeon. Hitomi lantas menggeser kursi. Meski reaksi ini sudah diperkirakan, mau tak mau ia merasa bahwa keduanya lucu sekali.

"Pertama," Yujin akhirnya berkata sambil melipat jempol, "Aku nih An Yujin Kak, badut angkatan 22. Aku masang tiang tenda aja nggak becus Kak, apalagi jadi tiang himpunan?"

"Tapi tinggi lo udah kayak tiang sih Jin."

"IH KARTU KUNING!" gadis itu berseru tertahan. Cepat-cepat Hitomi membekap mulut—takut tawanya menyembur, "Ya pokoknya gitu! Terus yang kedua," gadis itu melipat jari tengahnya. Hitomi tahu betul Yujin tengah menahan malu, sebab kedua pipinya memerah, "Aku nugas aja SKS Kak. Presentasi tadi sore, dikerjain jam satu pagi, itu juga dibantuin Kak Hii."

"Weh, keren juga rima lo, Jin."

Yujin memejam—dan makin sulit bagi Hitomi untuk menahan tawanya, "Terakhir, ya aku ini maba, Kak. Mahasiswa baru. Belum kompeten. Belum cukup keren untuk jadi ketua bidang, Kak."

Hitomi tak bereaksi. Ia merasa tak harus mengatakan apa-apa, sebab semalam, Chaeyeon sudah berjanji bahwa perihal protes Yujin yang sudah mereka duga, ia sendiri yang akan menghadapi. Hitomi menangkap kegelisahan di wajah Wonyoung, tapi tak seperti Yujin, gadis itu berusaha tetap tenang. Gadis itu hanya melempar pandang penuh tanya pada Hitomi. Hitomi lantas mengangkat bahu sambil tersenyum kecil, kemudian mengedikkan dagu ke arah Chaeyeon. Ketua himpunan mereka itu lantas mengangkat kedua tangannya, mengisyaratkan junior mereka itu untuk tetap tenang.

“Gue paham kok,” ujarnya tenang, “Reaksi lo berdua udah bisa gue duga,” ia kembali menarik jeda. Senyum tipis kini tersungging di bibirnya, “Sebelum gue jelasin kenapa gue milih lo berdua, gue mau minta maaf dulu karena udah bikin kaget dan ke depannya, gue bakal merepotkan lo berdua.

“Lo berdua mungkin udah bisa menduga situasinya. Dari waktu ospek pun, angkatan gue nggak banyak ‘kan, yang ikut himpunan? Jangankan himpunan, kepanitiaan aja nggak banyak.”

Hitomi bisa melihat perubahan ekspresi Yujin dan Wonyoung. Mereka tahu. Konflik yang terjadi di angkatan Chaeyeon sudah jadi rahasia umum. Dari desas-desus yang ia dengar, senior mereka bahkan sempat merencanakan untuk menganulir angkatan gadis itu, lantas langsung menyerahkan tonggak kepemimpinan himpunan pada angkatan Hitomi. Syukurlah hal itu tak terjadi. Meski angkatan Hitomi jauh lebih aktif dibandingkan dengan angkatan Chaeyeon, ia juga tak yakin teman-temannya akan sanggup mengurus himpunan mereka tanpa bimbingan siapa pun.

“Kak,” akhirnya Wonyoung angkat bicara, “Saya… paham sih. Maksud saya, waktu saya ospek pun, hampir semua kakak tingkat yang saya ajak kenalan itu angkatannya Kak Hitomi. Tapi,” gadis itu melempar pandangannya pada Hitomi, “Tapi kenapa… Kenapa Kak Chaeyeon malah milih saya sama Yujin? Memangnya… angkatan Kak Hitomi nggak ada juga?”

Kali ini, giliran Hitomi yang mengembuskan napas kasar, “Bisa dibilang begitu,” ia tersenyum kecut, “Ada sih, Wonyo. Tapi untuk bidang yang rencananya dipegang kalian berdua ini, nggak ada angkatanku yang cocok. Semalam, aku sama Kak Chaeyeon berusaha memetakan kebutuhan tiap bidang. Kalau ada yang cocok dari angkatan Kak Chaeyeon, kami akan minta dari angkatan Kak Chaeyeon. Tapi yang dua ini, cuma kalian berdua yang menurut kami cocok.”

“Lo salah Jin waktu bilang lo nggak keren dan nggak kompeten,” sambar Chaeyeon, “Sejak awal gue lihat lo waktu daftar ulang, lo punya aura yang nggak bisa gue jelaskan. Lo tuh bisa membawa diri dengan baik. Lo nggak segan mengungkapkan isi kepala lo. Meskipun gue tahu apa yang mau lo ungkapin itu kurang menyenangkan, lo akan tetap bilang, dengan cara paling santun. Gue nggak lupa waktu lo setengah mati nahan emosi sama Kak Sooyoung sama Kak Taeyang waktu mereka berdua mengintimidasi Jiheon. Jiheon sakit, tapi nggak bilang, terus lo nyadar.

“Lo peka, Jin. Udah gitu, hubungan lo sama temen-temen lo baik. Gue inget juga waktu Sunoo lupa bawa payung, lo kasih payung punya lo, terus lo ngakunya sama komdis yang lupa bawa payung itu ya lo.”

Hitomi terkekeh. Dia ingat betul peristiwa itu. Saat pengondisian, meskipun statusnya adalah pembimbing, Hitomi tidak bisa sembarangan mendekati adik asuhannya. Ia bersyukur bahwa adik asuhannya tak ada yang teledor, terima kasih pada Wonyoung dan Seongmin yang selalu giat mengingatkan teman-temannya baik dalam obrolan grup mereka maupun pertemuan langsung. Namun, di sebelahnya, Minju gelisah. Saat pemeriksaan barang bawaan dimulai, ia bisa melihat Sunoo yang duduk di belakang terlihat mau menangis.

Dia lupa bawa payung, bisik Minju. Minju sudah pasrah ia akan ikut dikenai hukuman oleh para komdis karena dianggap lalai mengingatkan adik asuhannya saat samar, Hitomi bisa melihat Yujin menyodorkan payung tanpa kata pada Sunoo. Halus sekali, hingga tak ada seorang pun yang sadar kecuali Hitomi. Yujin, pada akhirnya, memang dikenai hukuman. Ia diminta untuk menyanyikan himne kampus mereka, tetapi secara mengejutkan, Minju tak ikut dikenai hukuman. Yujin berusaha keras menjelaskan bahwa yang salah adalah dirinya, dan bukan pembimbing mereka.

(Hukuman untuk para pembimbing sudah tentu telah disepakati bersama saat mereka rapat. Tidak merepotkan pula. Namun, Minju tak pernah hapal mars himpunan mereka. Bisa-bisa, martabat Minju jatuh)

“Masa sih karena gitu doang Kak?” gumam Yujin yang terlihat salah tingkah. Kali ini, Hitomi merasa perlu buka suara.

“Itu bukan doang, Yujin,” ujarnya, “Kamu udah berusaha menghadapi semua yang terjadi sama kamu dengan kepala dingin meskipun aku tahu, kamu pasti maunya maki-maki komdis waktu itu,” Hitomi terkekeh. Di depannya, Wonyoung ikut tertawa, “Kamu lebih dari kompeten, Yujin. Udah gitu, waktu kepanitiaan acara inaugurasi pun, kami semua sepakat kamu tuh humas yang baik. Gitu juga Wonyoung,” pandangannya kini beralih pada gadis yang sedari tadi hanya duduk menyimak dirinya bicara

“Aku pembimbing kamu, Wonyo. Tiap ada sesuatu yang sulit dimengerti sama temenmu, kamu dengan sabar jelasin sampai mereka paham. Ini bukan cuma soal ospek. Beberapa kali aku nongkrongin kalian nugas juga ‘kan?” Wonyoung terlihat mengangguk, “Aku seneng kalian selalu ngutamain tugas di atas ospek. Kalian keren. Kamu juga keren waktu berusaha bantu temenmu memahami materi dengan membimbing temen-temenmu, bukan menyuapi temen-temenmu.

“Sampai sini, masih mau bilang kalian nggak keren dan kompeten?” 


Semua pesan-pesan dan obrolan grup mereka bisa dibaca di tw-tter. Kamu bisa cari menggunakan judul cerita ini. :]

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
apple_lover12
#1
Chapter 2: Yg paling jd favorit ku... TERNYATA SAKURA TRAVELLER JUGA WEY!!! 😭❤️