4. Menimbang, Mengingat, Memutuskan

Kabinet Pom Bensin

“Ini dia manusia nggak tahu diri yang ngebiarin tamunya selonjoran depan kamar sampai digigitin nyamuk.”

“Ya ‘kan aku udah minta maaf Kak,” cicit Hitomi di belakang Chaewon yang cuma terkekeh, “Habis gimana, macet.”

“Ya macet ‘kan bisa diakali dengan lu batal nonton atau bawa makan ke sini aja, kenapa sih,” kali ini Yena yang bersuara. Tangannya sibuk bertepuk sana-sini. Nyamuk-nyamuk sialan, “Kalau begini si Abang kagak bakal mau nungguin gue balik nih. Chaeng, gue nginep kosan lu ya?”

“Iye, gampang,” Chaeyeon menyingkir saat Hitomi berjalan ke arah pintu, lengkap dengan kunci yang bergemerincing mengiringi langkahnya, “Sekarang ini urusan kabinet aja dulu selesai deh. Semakin ditunda, semakin numpuk kerjaan gue,” ujarnya. Ia melangkah masuk saat Hitomi, masih dengan raut wajah bersalah, menyilakan mereka semua masuk. Ia menunggu hingga gadis itu menutup pintu, tetapi tak sampai rapat, semata-mata hanya agar angin malam tak mengusik diskusi mereka. Diam-diam, Chaeyeon mengedarkan pandangannya.

Kamar gadis itu terlihat resik.

Chaeyeon tak pernah berlama-lama di sini—ia hanya kemari untuk mengambil beberapa barangnya yang dipinjam Hitomi, menitipkan kebutuhan proker, atau numpang ke toilet saat terpaksa. Ia tahu bahwa Hitomi adalah gadis paling rapi yang pernah ia temui, tapi ia bahkan tak menyangka Hitomi serapi ini; buku-buku berderet di atas rak, sesuai dengan keilmuannya. Ada beberapa makanan ringan yang berjejer rapi di laci paling bawah, juga diatur sesuai warna dan ukuran. Chaeyeon lantas mengalihkan pandangan ke dinding di dekat tempat tidur.

Ada beberapa foto yang dicetak dan digantung pada papan memo. Diam-diam, Chaeyeon tersenyum kecil.

Ia mengenali banyak foto yang tergantung di sana. Foto Hitomi dan geng Risol Danusan saat mereka menjalani masa orientasi jurusan, foto Hitomi dan Minju dalam balutan busana yang sama di depan sebuah cermin, foto Hitomi dan Nako yang tengah tersenyum lebar, hingga foto Hitomi dan Yuri yang saling melempar ekspresi mengejek. Namun dari semua foto, ada satu foto yang terselip di ujung.

Sebuah foto yang tampak sedikit gelap, diambil di dalam ruangan. Chaewon, sebelah tangan melingkar di pundak Hitomi, kedua mata tertuju pada gadis itu, lengkap dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Hitomi, tersenyum lebar ke arah kamera, lengan melingkar di pinggang Chaewon.

Sulit ya kayaknya, pikir Chaeyeon, tapi mau gimana juga gue sih yang butuh mereka.

“Duduk dong, Kakak-kakak,” suara halus Hitomi menyadarkannya dari lamunan, “Kalau mau snack, ambil aja.”

“Bawa ke kosan boleh nggak Hii?” ujar Chaeyeon sambil mencomot sebungkus keripik kentang. Saat dilihatnya Chaewon melirik ke arahnya dengan tatapan bengis, ia lantas berujar, “Yailah, ‘kan yang nawarin Hii, kenapa lo yang sewot?” 

“Maruk,” gerutu Chaewon pelan—yang tak luput dari pendengarannya. Ia sudah akan membalas ejekan gadis itu saat dilihatnya Hitomi sibuk mendaratkan cubitan kecil di pinggang Chaewon. Jangan gitu, jika Chaeyeon tak salah membaca gerak bibir, itulah yang Hitomi ucapkan pada Chaewon. Tak mau ambil pusing, ia lantas meraih satu bungkus biskuit cokelat, lalu melemparkannya pada Yena.

“Bisa mulai sekarang aja?” ujarnya. Di depannya, dua sejoli itu akhirnya berhenti kasak-kusuk. Di sebelahnya, Yena mengangguk sambil membuka bungkus biskuit cokelat, “Oke,” Chaeyeon lantas membetulkan postur tubuhnya, “Kayak yang lo semua tahu, tahun ini gue dikasih kepercayaan buat jadi ketua himpunan—aduh Hii, boleh minta minum?”

Hitomi buru-buru bangkit dari duduknya, lantas mengambil segelas air. Setelah mengucapkan terima kasih sambil lalu dan menenggak hampir seluruh isi gelas, Chaeyeon melanjutkan, “Nah, kayak yang lo semua tahu, angkatan gue tuh males-malesan kalau udah soal himpunan.”

“Ya sama sih Kak,” Hitomi terkekeh, “Angkatanku juga begitu. Tapi lanjut dulu deh Kak.”

“Yah, intinya, gue ke sini mau meminang,” Chaeyeon membuat gestur tanda kutip di udara, “Hitomi buat jadi sekretaris jenderalnya gue. Jujur, gue bukannya nggak mau milih dari angkatan sendiri, tapi menurut gue, belum ada yang sepantes lo, Hii.”

“Oh, berarti si Chaewon nggak pantes ya?” di sebelahnya Yena terkekeh. Gadis itu buru-buru berkelit menghindari lemparan bantal yang datang dari arah depan—Chaewon menatapnya sambil mencebik, “Idih, ngambekan. Hii, yakin mau sama tukang ngambek begini? Mending sama gue aja kali, dijamin ketawa receh tiap hari.”

“Urus aja tuh brondie dua, nggak usah genit-genit sama masa depanku,” gerutu Chaewon yang lagi-lagi menuai gelengan kecil dari Hitomi. Chaeyeon berdehem, meminta ketiga gadis ini untuk kembali memusatkan perhatian padanya.

“Gimana, Hii?” ia menatap Hitomi lekat-lekat. Di depannya, Hitomi terlihat seperti tengah menimbang-nimbang. Bibir gadis itu mengerucut, dahinya berkerut. Di sebelahnya, Chaewon tampak sedikit gelisah. Diam-diam, Chaeyeon mendesah. Ia tahu resikonya ketika memutuskan untuk ‘meminang’ Hitomi. Selain karena gadis itu cukup ambisius dalam akademik, Hitomi juga punya banyak kegiatan di luar kampus.

Tidak sekali dua kali Chaeyeon mendengar kabar Hitomi tumbang. Tidak sekali dua kali pula Chaeyeon dan teman-temannya mesti merelakan ketidakhadiran di acara nongkrong mereka Chaewon karena mesti mengantar kekasihnya itu ke klinik. Namun, jika bukan Hitomi, Chaeyeon yakin takkan ada yang bisa. Meski mungkin dalam perjalanan mereka mengarungi lika-liku himpunan Chaeyeon harus menyesuaikan beberapa hal, ia tak masalah. Jika ia harus menyambangi kos-kosan Hitomi malam-malam karena Hitomi ada janji temu dengan ibunda Chaewon di malam hari, ia takkan keberatan.

Asalkan ia bisa menjadikan Hitomi wakilnya, ia tak masalah.

“Aku paham sih Kak,” Hitomi tampak berhati-hati berkata, “Waktu sidang umum kemarin, aku juga merasa kalau… angkatan Kak Chaeyeon nggak bisa diandalkan untuk yang ini. Maaf lho Kak,” gadis itu meringis, sementara Chaeyeon hanya tertawa kecil, “Aku nggak mau pukul rata. Aku tahu kok siapa-siapa aja di angkatan Kakak yang juga sama layaknya denganku, tapi kayaknya rebutan sama DPM ya? Lagipula, Kak Chaeyeon juga pasti udah punya gambaran kasar soal isi kabinet.”

Chaeyeon mengangguk sambil menandaskan isi gelasnya, “Iya,” diletakkannya gelas di atas nakas pelan, “Pacar lo udah pasti nggak mau naik,” Chaeyeon mendengkus geli saat Chaewon menggumamkan sesuatu yang terdengar seperti bukannya nggak mau, tapi aku nggak layak, “Terus Yena ‘kan udah diplot buat jadi kabid kaderisasi dari zaman kapan,” ia menyenggol Yena di sebelahnya yang cuma mengangguk-angguk. Remahan biskuit berjatuhan di atas celana jin yang ia kenakan.

“Kak Nayoung udah titip banyak hal,” ujar gadis itu sambil mengunyah biskuit, “Jadi ya, kalau gue jadi sekjend, malah berabe kayaknya,” imbuh gadis itu. Dari sudut matanya, Chaeyeon melihat Chaewon terlihat ragu-ragu. Gadis itu tampak ingin mengatakan sesuatu—mulutnya membuka dan menutup, persis ikan yang dibawa ke darat. Chaeyeon mendesah.

“Apaan?” tembaknya. Meski masih terlihat ragu, Chaewon akhirnya berkata,

“Nggak mau ngangkat Hyewon aja kah?”

Chaeyeon menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Bukannya nggak mau,” ujar Chaeyeon. Ia sudah menduga Chaewon akan menanyakan hal ini, “Tapi gue rasa, untuk saat ini, Hyewon nggak bakalan sanggup untuk itu.”

Chaewon terlihat hendak menyanggah, tapi di sebelahnya, Yena mengisyaratkan gadis itu untuk tak bertanya lebih jauh—nanti gue jelasin, ujar Yena pelan. Chaeyeon tahu, melihat dari ekspresi Hitomi saat ini, gadis itu juga penasaran dengan alasan Chaeyeon yang terlalu singkat. Meski begitu, gadis itu memilih untuk diam. Syukurlah. 

“Mau, Hii?” tanyanya lagi. Gadis di depannya itu terdiam. Perlahan, segaris senyum tipis menghiasi wajahnya.

“Oke,” ujar gadis itu, “Kak Chaeyeon udah banyak bantu aku waktu aku maba. Sekarang, giliranku bantu Kakak.”

Chaeyeon menghela napas lega, “Oke, kalau gitu, udah jelas siapa kabid penelitian dan pengembangan.”

Dua gadis di depannya terlihat mengerutkan dahi. Yena terbahak saat keduanya menatap Chaeyeon bingung, “Ya elu dong, Chaewon bego, ah. Kalau Hitomi naik, nggak mungkin lu nggak naik sama sekali. Lagian, ‘kan ilmu dari Kak Miyeon udah cukup tuh,” ada ejekan dalam senyum dan nada suara Yena. Chaeyeon buru-buru mengalihkan pandangan—takut tiba-tiba tawanya menyembur. Dari sudut matanya, ia bisa menangkap ekspresi Chaewon; gusar, seperti manusia tertangkap basah, sementara di sebelahnya, Hitomi melempar pandangan bingung.

“Ya oke, ketuk palu nih?” setelah berhasil mengendalikan tawanya, Chaeyeon kembali bertanya, “Jadi udah ada empat posisi terisi ya?” ujarnya lagi, “Litbang Chaewon, kaderisasi Yena, sekjend Hii, advokasi Hyewon.”

“Ini si Yena ikut ke sini ngapain deh?” akhirnya Chaewon angkat bicara. Chaeyeon menggigit bibir—tak tahan melihat Chaewon yang jelas terlihat salah tingkah saat nama senior mereka itu diungkit-ungkit, “Kamu ke sini cuma mau nanya Hii doang ‘kan?” pipi gadis itu bersemu merah. Chaeyeon mendengkus.

Pan tadi siang gue bilang, kemarin si Yena ketemu Pak Kadep. Beliau minta kita buat ngadain Festival Budaya, soalnya udah dua tahun absen.”

“Terus apa hubungannya sama Yena?”

“Heran, bego kok dipiara,” celetuk Yena, “AH ANJING JANGAN LEMPAR-LEMPAR BANTAL DONG!” gadis itu kembali berkelit menghindari lemparan bantal Chaewon. Di sebelah gadis itu, Hitomi juga terlihat menunjukkan raut tak suka.

“Sayang,” panggil gadis itu pelan. Chaewon menarik napas dalam sebelum kembali duduk sambil bersedekap.

“Lu tahu sendiri ‘kan Won, kalau ngadain Festival Budaya, pilihannya antara bulan Mei sama Oktober?”

“Karena Mei emang banyak libur, terus kalau Oktober, karena bulan bahasa?”

“Tahu ‘kan bulan Oktober ada apa?” tukas Yena sambil menggasak sebungkus keripik singkong dari laci, “Ya benar, ketua divisi komdis yang terhormat, ada ospek jurusan.”

“Hah, iya juga,” ganti Chaewon menggaruk pelipisnya yang tak gatal, “Mana rencananya tahun ini litbang mau ngadain studi banding, terus—tunggu,” gadis itu mengerjap, menatap Chaeyeon dan Yena yang balas menatapnya dengan kedua alis terangkat, “Apa tadi? Ketua divisi komdis?”

Chaeyeon mengangkat bahu, menyerahkan sepenuhnya pembicaraan soal ospek jurusan pada Yena. Gadis di sebelahnya cuma nyengir lebar.

“Di antara kita semua, cuma lu yang paling galak, Won. Udah cocok bentak-bentak anak orang di bawah terik matahari. Kalau lu jadi ketua divisi pembimbing, gue takut lu cinlok lagi.”

Dan dengan begitu, Yena mendapat lemparan bantal dari dua sejoli yang sibuk menyumpahinya, sementara Chaeyeon hanya tergelak.

Ini akan jadi malam yang panjang.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
apple_lover12
#1
Chapter 2: Yg paling jd favorit ku... TERNYATA SAKURA TRAVELLER JUGA WEY!!! 😭❤️