Bab 1

Just Friends
Please Subscribe to read the full chapter

Adakah yang salah dengan persahabatan antara laki-laki dan perempuan? Aku yakin alis kalian pasti sudah terangkat satu sambil memasang tatapan curiga.

 

Hmm, lalu bagaimana jika sepasang manusia beda gender tidur bersama dalam satu ranjang tanpa melakukan aktivitas seksual sedikitpun, maksudku ya benar-benar hanya tidur? Baiklah, aku yakin sekali kalau saat ini kamu pasti sudah mendengus sambil memutar bola mata dan mengibaskan satu tangan tanda tidak percaya.  

 

Ah, mana mungkin nggak kesetrum? Pasti ada dooong perasaan berdebar tiap kali bersentuhan, kayak pegangan tangan atau dipeluk gitu? – kamu mulai menghakimi. Lagian, seperti kata pepatah bahwa cinta datang karena terbiasa, pastilah lama-lama perasaan itu muncul juga, manusiawi namanya” Kamu kembali menambahkan dengan nada nyinyir yang sukses bikin nyali kempes.

 

Ya, aku tau, di belahan bumi manapun, rasanya sulit menemukan sepasang laki-laki dan perempuan yang terikat dalam sebuah persahabatan yang tulus tanpa rasa tambahan. Mustahil, nyaris tidak mungkin terjadi. Kalaupun hal itu benar-benar terjadi, mereka pasti buru-buru dituduh penyuka sesama jenis.

 

Ah, keterlaluan, berlebihan sekali. Padahal kan nggak harus selalu begitu. Buktinya aku sukses kok menjalin persahabatan yang sudah 24 tahun ini kujalani dengan Jongin tanpa adanya bumbu-bumbu tambahan seperti tuduhan orang pada umumnya.

 

Dia tetap orang yang menemani hari-hariku tanpa menuntut status lebih. Masih juga menjadi pria yang berdiri paling depan untuk membela ataupun melindungiku dari segala ancaman, termasuk deretan fans dan mantan pacarnya.

 

Dan dia, masih pria yang sama yang hobi tidur seranjang denganku tanpa sedikitpun berniat menaikkan level aktivitas dari sekedar bercerita atau tidur.

 

Seperti yang terjadi pagi ini. Lagi-lagi aku menemukan Jongin tenggelam dalam tidur nyenyaknya di balik selimut abu-abu tebal yang menutup tubuhnya hingga dada, membuat kulit tan-nya terekspos dengan sempurna dibawah sinar temaram lampu tidur. Aku bahkan bisa dengan leluasa menikmati dadanya yang bidang, sembulan otot pada lengannya serta perutnya yang bak ‘roti sobek’ mengintip dari balik selimut.

 

Dengan pemandangan seperti ini, aku yakin perempuan diluar sana sudah melotot dengan mulut menganga nyaris ngences seperti melihat sepotong kue coklat lezat tak bertuan.

 

Iya wajar, itu memang masih normal sih mengingat sahabatku yang satu ini dianugerahi tubuh dengan proporsi setara model profesional; antara tinggi badan 182 meter plus otot yang mencuat di beberapa titik lantaran dia hobi nge-gym. Dan oh, tolong jangan lupakan kulit tan yang justru membuat figurnya terlihat semakin seksi dan menggiurkan.

 

Menggiurkan untuk sebagian besar kaum hawa, kecuali aku.

 

“Bear, ayo cepet bangun, ini udah jam 7!” Untuk kesekian kalinya aku kembali mengguncangkan tubuhnya sebelum menarik selimut yang kekeuh ditariknya kembali.

“Ummh 5 menit lagi” Gumamnya sambil mengubah posisi jadi memunggungiku.

 

Errr kesabaranku benar-benar sudah habis. Urusan ngebangunin Jongin setiap pagi memang selalu sukses bikin naik darah. Percaya deh, mau nyalain 5 paket petasan di dekat telinganya sekalipun nggak akan bikin dia langsung bangun.

Ya, sesulit itu membangunkan beruang tidur. Itu juga alasan kenapa mama Kim lebih senang kalau Jongin bermalam di apartemenku, karena artinya dia nggak perlu repot-repot ngebangunin anak semata wayangnya yang kalau tidur udah kayak beruang hibernasi.

 

“Serius bear, aku harus meeting jam 9. Ayo cepet bangun atau kutendang kamu keluar jendela!”

Ancamanku kali ini terpaksa harus dibarengi dengan sebuah jeweran kencang di telinga kirinya yang sontak membuatnya teriak.

 

“YYAA!!”

“Soojung-ah, kemeja biruku ditaro dimana?”

 

Kira-kira beginilah pagiku setiap kali Jongin menginap di apartemen. Teriakannya dari dalam kamar nggak jauh-jauh menanyakan dimana kemeja atau pakaian dalam miliknya. Aku hanya bisa menghela nafas kasar sebelum membalas teriak,

 

“Di rak nomer dua!”

 

Kelihatannya memang sedikit aneh dan mencurigakan melihat kedekatan kami yang mungkin lebih tepat disebut sepasang suami-isteri daripada ‘sahabat’, tapi percayalah, hal ini sudah terjadi selama bertahun-tahun, tepatnya semenjak aku resmi hidup mandiri dan tinggal sendirian di sebuah apartemen.

Sejak orangtuaku meninggal, mama Kim yang merupakan sahabat ibuku memutuskan untuk membantu biaya sekolah aku dan kakakku. Kami berdua bahkan sempat tinggal di kediaman keluarga Kim selama beberapa tahun sebelum akhirnya kakakku memutuskan untuk hidup mandiri begitu ia diterima bekerja sebagai sekretaris.

Dan begitu dia menikah, aku berhasil meyakinkan unnie bahwa aku ingin tetap tinggal di Seoul, tentu saja dengan gajiku yang pada saat itu masih terbilang cukup untuk membayar sewa apartemen tiap bulan, bahkan masih ada sedikit sisa untuk kutabung.

Meski tak lagi tinggal serumah, hubunganku dengan keluarga Kim tetap berjalan baik. Aku masih sering menginap dirumah mereka, terutama jika aku merindukan ibuku. Dengan tangan terbuka mama Kim akan memelukku dan bahkan menemaniku tidur.

Begitu pula dengan Jongin yang sering sekali menginap di apartemenku, hampir tiap malam, dan bahkan dialah satu-satunya orang yang mengetahui password apartemenku. Kamu bahkan bisa dengan mudah menemukan tumpukkan pakaiannya yang terletak di rak lemari yang sama denganku. Dan jangan kaget juga kalau menemukan mug berlabel ‘Jongin’ di cabinet dapur.

 

Karena kami memang sedekat itu.

 

Nah, kalau sudah begitu dekatnya apa bukan pacaran namanya? – Sekali lagi kamu menghakimi dengan nada menuduh.

 

Serius, kami hanya bersahabat. Aku sudah menganggap Jongin sebagai kakak, meskipun kelakukannya lebih pantas kusebut bocah daripada pria dewasa.

 

 

“Gila, aku ada meeting jam 8, kamu kok nggak ngebangunin sih!” Jongin tiba-tiba muncul di pantry tempat dimana aku sedang sibuk menyiapkan sarapan untuk kami berdua.

Tangannya sibuk mengancingkan kemeja satu per satu sementara tangan kanannya dengan sigap menyambar selembar roti panggang yang baru saja terlempar keluar dari toaster dan menggigitnya.

 

“, panas!” Dia refleks melepehkan kembali gigitan roti tersebut sementara aku hanya memutar bola mata melihat pemandangan yang sudah biasa kulihat ini. “Ngancingin bajuku atau nyuapin?”

 

Oh wait, apa dia bilang? Aku masih belum bisa sepenuhnya mencerna kata-katanya barusan. Jadi, 20 menit perjuanganku ngebangunin dia tadi itu apa?

Geez, aku bahkan hampir saja melempar bom Molotov di kepalanya kalau dia nggak juga bangun. Dan sekarang dia malah menawarkan pilihan yang seolah-olah itu pertanyaan paling normal sejagad raya.

 

Sadar wajahku mulai memerah menahan kesal, aku merebut roti panggang dari tangannya lalu dengan santai menyumpal mulutnya yang sontak membuatnya kesulitan bicara.

 

“Nih makan, aku udah telat!”

“Yya! Humnjydffkuajds”

 

Detik berikutnya aku melenggang anggun meninggalkan Jongin yang masih sibuk ngomel dengan sebongkah roti panas menyumpal mulutnya.

 

Oh by the way, aku belum mengenalkan diri ya?

Namaku Krystal Jung, tapi orang-orang lebih sering memanggil nama Koreaku, Soojung. Aku bungsu dari dua bersaudara. Kakak perempuanku satu-satunya namanya Jessica Jung dan kini ia menetap di Jepang bersama suami dan anaknya.

 

Saat ini aku masih berstatus sebagai karyawan di sebuah konsultan arsitektur dan interior dengan memimpin divisi interior yang beranggotakan 15 orang karyawan super kreatif tapi (maaf) agak sedikit merepotkan alias sinting.

 

Nah, sedangkan pria menyebalkan yang tadi kusumpal mulutnya itu namanya Jongin, Kim Jongin, anak satu-satunya dari keluarga Kim. Sebenarnya dengan statusnya sebagai anak tunggal, Jongin seharusnya meneruskan tahta ayahnya sebagai pemilik sekaligus direktur utama dari sebuah perusahaan otomotif ternama di Seoul. Cuma bukan Jongin namanya kalau nggak idealis.

 

Sejak kecil dia sudah tertarik mengutak-atik komputer atau perangkat elektronik lain yang mungkin baginya sama mengasyikkannya seperti bermain lego. Nah, berawal dari hobinya itulah akhirnya Jongin membangun sebuah perusahaan konsultan IT bersama teman sekampus sekaligus sahabat kita juga, Lee Taemin, dan menolak tawaran ayahnya.

 

Beruntung papa Kim yang semula sempat bersitegang dengan anaknya itu akhirnya mau mengalah dan membiarkan Jongin mengejar cita-citanya. Sekarang papa Kim malah bangga karena usaha anaknya itu ternyata berhasil dan bahkan mampu bersaing dengan konsultan IT lainnya di wilayah ASIA.

 

Tidak hanya sukses urusan pekerjaan, aku juga harus mengacungkan dua jempol untuk urusan percintaannya. Pasalnya, sahabat saya yang satu ini terbilang cukup picky kalau menyangkut urusan hati. Padahal sejak kecil dia selalu dikelilingi fans perempuan yang berlomba-lomba menarik perhatiannya dan berharap menjadi pacarnya.

 

Bahkan sampai ada yang sengaja mendekati aku atau Taemin dengan harapan bisa dekat dengan Jongin juga. Jujur, itu bukan masalah sih untuk kita berdua, malah happy kebanjiran hadiah dari mereka sebagai bentuk sogokan agar kita mau memberi tau nomor telepon Jongin, meskipun pada akhirnya akulah yang sering kena getahnya setiap kali mereka cemburu melihat kedekatanku dan Jongin.

 

Meski terkenal angkuh dan dingin, sebenarnya Jongin itu tipe pacar yang setia dan rela melakukan apapun untuk pacar tersayangnya, lho. Terkadang hal inilah yang membuatku dan Taemin merasa kesal setiap kali dia absen ngopi bareng lantaran sibuk berkencan.

 

Sejauh ini, Jongin tercatat baru tiga kali berpacaran, tentunya dengan gadis yang parasnya luar biasa cantik serta tubuh bak manekin berjalan. Dan pacar terakhir yang sudah hampir setahun dia pacari ini berasal dari kalangan sosialita, namanya Song Eunhye.

 

“Oh no, I’m dead. Soojung-ah aku pergi dulu, maaf nggak bisa mengantarmu kali ini”

Dengan wajah pucat seperti habis melihat hantu, Jongin bergegas memasukkan ponselnya ke saku sebelum meraih kunci mobilnya dan mengecup cepat pipiku, “Terimakasih sarapannya”

 

“Yya, Kim Jongin!”

 

Ada apa dengan anak itu? Kenapa jadi buru-buru sekali? Apa dia baru saja mendapat pesan dari hantu? Aishh…

Louvre Design, J Tower, Seoul.

 

Tok Tok

 

Ketukan pintu dua kali yang diikuti sosok perempuan langsing berpenampilan nyentrik mengusik konsentrasiku. Segera kualihkan pandanganku dari tumpukan berkas calon klien yang baru saja kuterima pagi ini kearah Sulli yang kini sudah duduk santai di depan mejaku.

 

“Jay nanyain progress proyek apartemen miss J tuh, emangnya

Please Subscribe to read the full chapter
Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
MaoMao_96
#1
Chapter 1: walaupun ini hanya sebuah cerita biasa, tapi aku sendiri masih inginkan KaiStal XD