Chapter 1

Lily of the Valley


Lily of the Valley 2

   Petir menderu.
Langit malam seolah dihantam oleh siksaan maha dahsyat. Aroma tanah yang terguyur hujan segera baur dengan udara dingin dan lolongan kesakitan. 

"Leo! Jung Leo!"

teriak parau seseorang bertubuh kurus yang kelihatan susah payah mengetuk pintu dengan segenap kekuatannya.

"Leo, tolong! Jika kau tidak membuka pintu ini, aku tidak akan segan-segan untuk menendangnya terbuka! Leo!"

Dialah Chiyeon. Ryu Chiyeon.
Ya barusan dia hanya sekedar melancarkan gertakan ringan. Alih-alih mendobrak pintu yang menghalangi akses masuknya, dengan tenang Chiyeon memutar kenop dan mengendap tanpa suara. Tentu saja ia bersyukur masih menyimpan kunci duplikat kediaman tersebut. Begitu tiba di dalam, dengan tergesa ia mencari-cari sumber lolongan menyakitkan yang bergema di malam penuh badai ini.
Mengandalkan mata elangnya, Chiyeon mulai menyisir setiap celah berharap penglihatannya segera memindai 'sosok' yang coba ia temukan.

Saat membuka pintu kamar utama, betapa mengerikan pemandangan yang ada tepat di hadapannya.

Vas-vas antik yang semula berderet rapi di lemari hancur kedalam serpihan tajam keramik yang bisa melukai siapapun yang menginjakkan kaki di sekitarnya. Bingkai foto dan lukisan juga tampak bertebaran di sembarang tempat. Buku-buku tebal yang biasanya berbaris rapi di rak susun kini telah koyak dan porak poranda.

Chiyeon seketika merasa jantungnya tergelincir ke perut saat melihat adegan nahas berikutnya di dalam kamar redup ini.
Seorang pria, terduduk lesu di lantai marmer, meraung tak terkendali bersama sebilah pecahan vas di tangan gemetarnya. Meski pencahayaan kamar ini sangat minim, tapi berkat kilatan petir yang memantul dari luar jendela, Chiyeon bisa dengan jelas mengenali cairan pekat yang tak henti mengalir dari pembuluh nadi pria itu. Darah seolah diperas habis dari tubuhnya.

"Leo!" jerit Chiyeon, terbirit menghampiri pria yang mulai melemas kehabisan darah itu. Ia mengoyak kain gorden dalam jangkauannya lantas membebat rekahan lebar di tangan Leo. Lelaki itu tak melawan namun bahunya  masih terguncang begitu keras. Tangisannya bertambah liar dan sarat luka.


"Kendalikan dirimu sendiri, Jung Leo! Sadarlah, apa yang kau lakukan ini ?!" Chiyeon memegangi bahu Leo dan mengguncangnya pelan. Dengan suara yang parau dan samar, pria itu mencoba membisikkan
tanggapannya. "Aku lelah."
Refleks, Chiyeon merangkul Leo dan membiarkannya sejenak menenangkan diri dalam pelukannya.

"Hei, hei, tidak apa-apa." bisik Chiyeon penuh perhatian, mirip seorang ibu yang mencoba meredakan tangis putra kesayangannya. Ia merasa begitu terluka melihat sahabatnya sekacau ini. Dengan sekujur tubuh kedinginan dan pergelangan tangan yang bersimbah darah.. Leo sungguh sangat memprihatinkan.

"Tidak apa-apa, Jung Taekwoon. Kamu tidak sendiri." Chiyeon dengan sabar menenangkan. 

"Ingat aku akan selalu bersamamu ya? Kau tidak sendiri dalam hal ini, ayo, kau akan baik-baik saja."

Kemudian Chiyeon teringat luka Leo belum ia tangani dengan benar. Dengan meminjam kecepatan kilat, ia berlari menyambar kotak P3K dalam laci dan mengeluarkan alkohol, salep anti infeksi, juga segulung kain perban steril. Dengan hati-hati, ia membuka bebatan kain di tangan Leo dan mulai membersihkannya. Chiyeon mengerutkan dahi saat melihat Leo meringis perih.

 "Sudah kubilang usaha bunuh dirimu tidak akan pernah berhasil! Kau malah mendapat bekas luka yang baru sekarang..ckck"

Leo mengatup rapat mulutnya dan hanya menatap kosong.

"Jangan mencoba mengiris nadi atau melakukan hal aneh seperti ini lagi, Leo! Kumohon..." pekik Chiyeon lumayan keras dan usahanya kini tampak membuahkan hasil. Pria pendiam nan dingin di hadapannya mengangguk samar menanggapi peringatannya. 

"Bagus, kalau tidak aku benar-benar akan
mengalami serangan jantung. Kau tidak menginginkannya, kan?"


"Tidak." Leo menyeret ucapan dengan lidahnya yang kelu. Tapi itu sudah cukup membuat Chiyeon terbebas dari jerat paranoia seperti beberapa saat lalu. Selesai membalut perban di sekitar luka Leo, Chiyeon mendapati hal lain yang mengusik batinnya. Pria ini tampak begitu pucat pasi, pantas saja, berapa liter darah yang telah terkuras tadi? 

 "Aku akan pergi menyiapkan makan malam, oke. Aku tak mau tahu meskipun kau menolak, kau harus tetap makan!"

ancam Chiyeon sebelum ia berbalik menuju ke dapur sementara Leo mengekor di belakangnya. Setibanya di ruang tamu, pria itu menjatuhkan dirinya di sofa dan duduk diam. Tatapan kosongnya mengelana ke luar jendela, seperti sedang melihat ke suatu tempat nun jauh dalam khayalannya.

~~

"Tuan!" seorang prajurit muda berlari menuju Taekwoon. Hujan dan peluh membanjiri pakaian perangnya setelah berlari jauh melintasi perbatasan desa. Taekwoon dan anggota pasukan istana lainnya berbalik dengan raut cemas.

"Ada berita?" tanya Taekwoon. Prajurit muda itu menggelengkan kepalanya letih sambil berusaha mengatur pernapasannya agar kembali normal sebelum ia
membuka mulut dan menyampaikan laporannya.

"Empat orang kami sekarang tengah berpencar mengejar penjahat bertopeng itu. Kami mengira bahwa dia menuju lembah. Kami telah menyusun strategi untuk mengepungnya di tepian!"

Taekwoon mengangguk dan memerintahkan pasukannya untuk bergerak. Dengan menunggangi kuda, panglima muda itu memimpin pasukannya menuju lembah. Baru saja ia hendak melecut tali kekang kudanya, muncullah sosok yang menyeruak dari balik pekatnya kabut pagi.

   Jung Taekwoon melihat seorang wanita paruh baya yang dikenalnya sebagai ibunda Putri Sunhwa tercintanya, memanggilnya dengan isyarat tak biasa. Perlahan, Taekwoon berjalan menuju wanita itu.

 "Anda memanggilku, Nyonya?" Taekwoon bertanya hati-hati begitu dilihatnya sesuatu yang tak wajar dari perangai Madam Bae.

"Apakah penjahat itu tertangkap?" ibunda Sunhwa bertanya. Taekwoon menggelengkan kepalanya.

"Belum, Nyonya. Sebagian prajurit istana sedang mengejarnya menuju lembah, dan sebentar lagi, dia akan tertangkap dan diberi hukuman setimpal atas-"

"Puteriku!!" ucapan Taekwoon terpotong oleh jeritan histeris Madam Bae yang detik itu pula ambruk di tanah kemerahan musim gugur. Bangsawan yang dihormati itu jatuh bersimpuh di kedua kakinya sendiri lalu menangis sejadi-jadinya.

"N-nyonya.. tenanglah." Taekwoon mencoba menenangkan ledakan emosi Madam Bae yang tiba-tiba. Tapi bersamaan dengan pelipisnya yang dibasahi keringat dingin, pria itu lantas merasakan firasat tak mengenakkan perlahan melingkupi batinnya.

"Puteriku.. Bae Sunhwa ku.. tadi subuh sekali dia berangkat bersama Boreum menuju lembah.. dia berkata padaku bahwa dia ingin menyaksikan lili liar di tepi jurang. Meski.. meski sudah kularang, tapi.. dia tetap pergi. Dan.. dan sekarang kau mengatakan bahwa penjahat bertopeng sedang menuju kesana.." Madam Bae bertutur dengan suara bergetar. 
Lalu seperti ada panah tak bertuan yang melesat dan menusuk jantung Taekwoon begitu mendengarnya.. Sunhwa.. lembah.. lili liar.. penjahat bertopeng? Bagaimana mungkin..

"Oh, semoga langit menunjukkan rahmat-Nya, puteriku adalah satu-satunya keturunan kami, kumohon jangan renggut nyawanya ya dewa~"

Tanpa aba-aba Taekwoon melompat dan memacu kudanya bagai orang kerasukan. Ia membelah hutan berkabut menuju lembah gunung dimana kekasihnya berada. Semoga.. semoga penjahat bertopeng itu tidak menemukannya. Puteri Sunhwa sama sekali tidak berdosa. Pria itu berkali-kali merapalkan doa dan pengharapannya.

    Setengah jam berlalu, kabut mulai menipis seiring dengan kian dekatnya Taekwoon tiba di tempat tujuan. Samar, pria itu mendengar suara gemerisik pepohonan diikuti suara jejak langkah cepat.Taekwoon melompat turun dari pelana dan berlari mengejar. Tapi ia terlambat begitu terdengar olehnya jerit kesakitan terlepas ke udara, membelah langit pagi yang dingin dan suram. Taekwoon berhenti bernapas.. ia.. ia begitu mengenali pemilik suara itu.. Suara indah yang dianugerahkan surga kepadanya.. suara Bae Sunhwa.

Taekwoon berlari dan hatinya tercabik menyaksikan kekasihnya meregang nyawa tepat di bibir lembah sana. Gaun hanboknya telah sewarna darah. Begitu pula sekuntum lili liar di sela jemari rampingnya yang kini terkulai lemah. 

   Pembunuh bertopeng yang berdiri dengan sebilah pedang terhunus tepat di sebelahnya menyeringai. Ada sirat dendam dan amarah yang mendiami tatapan kejinya.

"Lihat bagaimana kekasihmu tercinta mati?" iblis itu menertawakan perbuatan kejinya seolah itu hal yang menyenangkan. Dari suaranya, ia terdengar seperti psikopat gila atau seorang maniak yang menikmati membunuh nyawa manusia.

Sementara di sisi lain, Taekwoon seolah seluruh dunianya dihentikan perputarannya secara paksa. Ia begitu terpukul, menyaksikan nyawa Sunhwa melayang tanpa sempat ia selamatkan.. Bersamaan dengan hujan yang turun tiba-tiba, Taekwoon menangis pilu saat satu-satunya cinta dalam hidupnya kini telah tiada.

 "Selamanya kau akan menjalani kutukan ini, waktu akan terus berputar tapi jiwamu akan terus mengulangi lingkaran kehidupan yang tak ada habisnya. Selamanya kau akan tenggelam dalam keterpurukanmu, selamanya kau akan merasakan kesedihan atas kepergian kekasihmu tercinta ini.. hahaha~"
"Hidupmu tidak akan berakhir, hidupmu yang malang dan penuh derita tidak akan pernah berakhir, Tuan Jung Taekwoon." desis penjahat bertopeng itu lantas merentangkan kedua tangan lebar-lebar sebelum kemudian menjatuhkan dirinya sendiri dari ketinggian lembah yang curam.

Like this story? Give it an Upvote!
Thank you!

Comments

You must be logged in to comment
No comments yet